22 Agustus 2012

AMALAN BULAN SYAWAL : ANTARA YANG SUNNAH DENGAN YANG BID'AH



I. AMALAN SUNNAH 

Kita hanya bisa memanjatkan puji syukur kepada Allah atas nikmat yang tak terhingga ini. Allah Yang Maha Memberi Nikmat telah memberikan kesempatan untuk merasakan sejuknya beribadah puasa. Sungguh suatu kebanggaan, kita bisa melaksanakan ibadah yang mulia ini. Janji yang pasti diperoleh oleh orang yang berpuasa jika dia menjalankan puasa dengan dasar iman kepada Allah dan mengharapkanganjarannya telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut,

ذَنْبِهِ مِنْ تَقَدَّمَ مَا لَهُ غُفِرَ وَاحْتِسَابًا إِيمَانًا رَمَضَانَ صَامَ مَنْ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampun.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)

Sungguh sangat menyayangkan sekali orang yang meninggalkan amalan yang mulia ini. Begitu sering kami melihat orang yang mengaku muslim namun di siang hari bulan Ramadhan dia makan terang‐terangan atau dia mengganggu saudaranya dengan asap rokok. Sungguh sangat merugi sekali orang yang meninggalkan ibadah ini, padahal amalan ini adalah bagian dari rukun Islam yang dapat menegakkan bangunan Islam dan para ulama sepakat tentang wajibnyamelaksanakan rukun Islam yang satu ini.

Setelah kita melalui bulan Ramadhan, tentu saja kita masih perlu untuk beramal sebagai bekal kita nanti sebelum dijemput oleh malaikat maut. Pada tulisan kali ini, kami akan sedikit mengulas mengenai beberapa amalan yang sebaiknya dilakukan seorang muslim setelah menunaikan puasa Ramadhan. Semoga kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

1 .Amalan pertama : Tetap Menjaga Shalat Lima Waktu dan Shalat Jama’ah 

Bulan Ramadhan sungguh sangat berbeda dengan bulan‐bulan lainnya. Orang yang dulu malas ke masjid atau sering bolong mengerjakan shalat lima waktu, di bulan Ramadhan begitu terlihat bersemangat melaksanakan amalan shalat ini. Itulah di antara tanda dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka ketika itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشَّيَاطِينُ وَصُفِّدَتِ النَّارِ أَبْوَابُ وَغُلِّقَتْ الْجَنَّةِ أَبْوَابُ فُتِّحَتْ رَمَضَانُ جَاءَ إِذَا
1“Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim no. 1079)

Namun, amalan shalat ini hendaklah tidak ditinggalkan begitu saja. Kalau memang di bulan Ramadhan, kita rutin menjaga shalat lima waktu maka hendaklah amalan tersebut tetap dijaga di luar Ramadhan, begitu pula dengan shalat jama’ah di masjid khusus untuk kaum pria.

Lihatlah salah satu keutamaan orang yang menjaga shalat lima waktu berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 الْجَنَّةَ أَدْخَلْتُهُ لِوَقْتِهِنَّ عَلَيْهِنَّ حَافَظَ مَنْ أَنَّهُ عَهْدًا عِنْدِى وَعَهِدْتُ صَلَوَاتٍ خَمْسَ أُمَّتِكَ علَى افْتَرَضْتُ وَجَلَّ عَزَّ اللَّهُ قَالَ
 عِنْدِى لَهُ عَهْدَ فَلاَ عَلَيْهِنَّ يُحَافِظْ لَمْ وَمَنْ
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku wajibkan bagi umatmu shalat lima waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang menjaganya pada waktunya, Aku akan memasukkannya ke dalam surga. Adapun orang yang tidak menjaganya, maka aku tidak memiliki janji padanya’.” (HR. Sunan Ibnu Majah no. 1403. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Shalat jama’ah di masjid juga memiliki keutamaan yang sangat mulia dibanding shalat sendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 دَرَجَةً وَعِشْرِينَ بِسَبْعٍ الْفَذِّ صَلاَةِ مِنْ أفْضَلُ الْجَمَاعَة صَلاَةُ
“Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” (HR. Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650)

Namun yang sangat kami sayangkan, amalan shalat ini sering dilalaikan oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan mulai pada hari raya ‘ied (1 Syawal) saja, sebagian orang sudah mulai meninggalkan shalat karena sibuk silaturahmi atau berekreasi. Begitu juga seringkali kita lihat sebagian saudara kita karena kebiasaan bangun kesiangan, dia meninggalkan shalat shubuh begitu saja. Padahal shalat shubuh inilah yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

حَبْوًا وَلَوْ لأَتَوْهُمَا فِيهِمَا مَا يَعْلَمُونَ وَلَوْ ، وَالْعِشَاءِ الْفَجْرِ مِنَ الْمُنَافِقِينَ عَلَى أَثْقَلَ صَلاَةٌ لَيْسَ
 “Tidak ada shalat yang paling berat dilakukan oleh orang munafik kecuali shalat Shubuh dan shalat Isya’. Seandainya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)  2

Saudaraku, ingatlah ada ancaman keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang meninggalkan shalat. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu ‐bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam‐, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 أَشْرَكَ فَقَدْ تَرَآَهَا فَإِذَا الصَّلَاةُ وَالإِيْمَانِ الكُفْرِ وَبَيْنَ العَبْدِ بَيْنَ
“Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia telah melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)

Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 آَفَرَ فَقَدْ تَرَآَهَا فَمَنْ الصَّلاَةُ هُمُوَبَيْنَ بَيْنَنَا الَّذِى الْعَهْدُ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574)

Begitu pula shalat jama’ah di masjid, seharusnya setiap muslim –khususnya kaum pria‐ menjaga amalan ini. Shalat jama’ah mungkin kelihatan ramai di bulan Ramadhan saja. Namun, ketika bulan Ramadhan berakhir, masjid sudah kelihatan sepi seperti sedia kala. Memang dalam masalah apakah shalat jama’ah itu wajib atau sunnah mu’akkad terjadi perselisihan di antara para ulama. Namun berdasarkan dalil yang kuat, shalat jama’ah hukumnya adalah wajib (fardhu ‘ain). Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah di mana beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

 فَسَأَلَ .الْمَسْجِدِ إِلَى يَقُودُنِى قَائِدٌ لِى لَيْسَ إِنَّهُ اللَّهِ رَسُولَ يَا فَقَالَ أَعْمَى رَجُلٌ ‐ملسو هيلع هللا ىلص‐ النَّبِىَّ أَتَى
فَقَالَ دَعَاهُ وَلَّى فَلَمَّا لَهُ فَرَخَّصَ بَيْتِهِ فِى فَيُصَلِّىَ لَهُ يُرَخِّصَ أَنْ ‐ملسو هيلع هللا ىلص‐ اللَّهِ رَسُولَ  «   تَسْمَعُ هَلْ
بِالصَّلاَةِ النِّدَاءَ  ».  قَالَ .نَعَمْ فَقَالَ  «  فَأَجِبْ  ».

“Seorang laki‐laki buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid’. Kemudian pria ini meminta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberi keringanan untuk shalat di rumah. Pada mulanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi dia keringanan. Namun, tatkala dia mau berpaling, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil pria tersebut dan berkata, ‘Apakah engkau mendengar adzan ketika shalat?’ Pria buta tersebut menjawab, ‘Iya.’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Penuhilah panggilan tersebut’.” (HR. Muslim no. 653) 3

Lihatlah pria buta ini memiliki udzur (alasan) untuk tidak jama’ah di masjid, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikannya keringanan, dia tetap diwajibkan untuk shalat jama’ah di masjid. Padahal dia adalah pria yang buta, tidak ada penuntun yang menemaninya, rumahnya juga jauh. Di Madinah juga banyak hewan buas dan banyak pepohonan yang menghalangi jalan menuju masjid. Namun, lihatlah walaupun dengan berbagai udzur ini karena pria buta ini mendengar adzan, dia tetap wajib jama’ah di masjid.

Bagaimanakah kondisi kita yang lebih sehat dan berkemampuan? Tentu lebih wajib lagi untuk berjama’ah di masjid. Itulah dalil kuat yang menunjukkan wajibnya shalat jama’ah di masjid. Jika seseorang meninggalkan shalat jama’ah dan shalat sendirian, dia berarti telah berdosa karena meninggalkan shalat jama’ah, namun shalat sendirian yang dia lakukan tetap sah. Sedangkan bagi wanita berdasarkan kesepakatan kaum muslimin tidak wajib bagi mereka jama’ah di masjid bahkan lebih utama bagi anita untuk mengerjakan shalat lima waktu di rumahnya.

2. Amalan kedua : Memperbanyak Puasa Sunnah 

Selain kita melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan,  hendaklah kita menyempurnakannya pula dengan melakukan amalan puasa sunnah. Di antara keutamaannya adalah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

 جُنَّةٌ الصَّوْمُ الْخَيْرِ أَبْوَابِ عَلَى أَدُلُّكَ أَلاَ
“Maukah kutunjukkan padamu pintu‐pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi no. 2616. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud bahwa hadits ini shohih)

Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan‐perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Keutaman lain dari puasa sunah terdapat dalam hadits Qudsi berikut.

 وَيَدَهُ ، بِهِ يُبْصِرُ الَّذِى وَبَصَرَهُ ، بِهِ يَسْمَعُ الَّذِى سَمْعَهُ آُنْتُ أَحْبَبْتُهُ فَإِذَا ، أُحِبَّهُ حَتَّى بِالنَّوَافِلِ إِلَىَّ يَتَقَرَّبُ عَبْدِى يَزَالُ وَمَا
 لأُعِيذَنَّهُ اسْتَعَاذَنِى وَلَئِنِ ، لأُعْطِيَنَّهُ سَأَلَنِى وَإِنْ ، بِهَا يَمْشِى الَّتِى وَرِجْلَهُ بِهَا يَبْطُشُ الَّتِى
“Dan senantiasa hamba‐Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan‐amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada‐Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506) 4

Itulah di antara keutamaan seseorang melakukan amalan sunnah. Dia akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, www.islamspirit.com)

Banyak puasa sunnah yang dapat dilakukan oleh seorang muslim setelah Ramadhan. Di bulan Syawal, kita dapat menunaikan puasa enam hari Syawal. Juga setiap bulan Hijriyah kita dapat berpuasa tiga hari dan lebih utama jika dilakukan pada ayyamul bid yaitu pada tanggal 13 14, dan 15. Kita juga dapat melakukan puasa Senin‐Kamis, puasa Arofah (pada tanggal 9 Dzulhijah), puasa Asyura (pada tanggal 10 Muharram), dan banyak berpuasa di bulan Sya’ban sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika ada yang punya kemampuan boleh juga melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Semoga Allah memudahkan kita melakukan amalan puasa sunnah ini.

3. Amalan ketiga : Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawal 

Alhamdulillah, kita saat ini telah berada di bulan Syawal. Kita juga sudah mengetahui ada amalan utama di bulan ini yaitu puasa enam hari di bulan Syawal. Apa saja faedah melaksanakan puasa tersebut? Itulah yang akan kami hadirkan ke tengah‐tengah pembaca pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat.

Faedah pertama: Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 الدَّهْرِ آَصِيَامِ آَانَ شَوَّالٍ مِنْ سِتًّا أَتْبَعَهُ ثُمَّ رَمَضَانَ صَامَ مَنْ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”[1]

Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan yang emisal. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh, ‐pen) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).[2] Jadi seolah‐olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 أَمْثَالِهَا عَشْرُ فَلَهُ بِالْحَسَنَةِ جَاءَ مَنْ) السَّنَةِ تَمَامَ آَانَ الْفِطْرِ بَعْدَ أَيَّامٍ سِتَّةَ صَامَ مَنْ
“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal][3].”[4] Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal.[5] Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.

Cara melaksanakan puasa Syawal adalah:

􀀹 Puasanya dilakukan selama enam hari.

􀀹 Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.

􀀹 Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.

􀀹 Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.

Faedah kedua: Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib.

Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal akan menyempurnakan kekurangan‐kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana‐sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunnah.[6]

Faedah ketiga: Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.

Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki untuk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.[7] Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf,   بَعْدَهَا السَّيِّئَةُ السَّيِّئَةِ جَزَاءِ وَمِنْ بَعْدَهَا، الحَسَنَةُ الحَسَنَةِ وَابِثَ مِنْ
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”[8]

Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”[9]

Renungkanlah! Bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di bulan Ramadhan (rajin shalat musiman), namun setelah Ramadhan shalat lima waktu begitu dilalaikan? Pantaskah amalan orang tersebut di bulan Ramadhan diterima?!

Al Lajnah Ad Da‐imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa Saudi Arabia) mengatakan, “Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek‐jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.” Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.”[10] Hanya Allah yang memberi taufik.

Faedah keempat: Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah.

Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Alah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir‐akhir bulan Ramadhan?!

Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.”[11] Sampai‐sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa‐dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh istri tercinta beliau yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengenai shalat malam yang banyak beliau lakukan, beliau pun mengatakan,
 شَكُورًا عَبْدًا أَآُونَ أَنْ أُحِبُّ أَفَلاَ
“Tidakkah aku senang menjadi hamba yang bersyukur?”[12]

Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalu bacaan takbir “Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

 تَشْكُرُونَ وَلَعَلَّكُمْ هَدَاآُمْ مَا عَلَى اللَّهَ وَلِتُكَبِّرُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكْمِلُوا
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk‐Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)

Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk meaksanakan shalat tahajud.

Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: “Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan nikmat yang semisalnya”.

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan ada terus sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna).”[13]

Faedah kelima: Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja. [14]

Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.  Sebagian manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosa ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ‘ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.

Ada sebagian orang yang hanya rajin ibadah dan shalat malam di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka,

 ةنسلا دهتجي و دبعتي يذلا حلاصلا نإ ناضمر رهش يف الإ اقح هلل نوفرعي ال موقلا سئب
 اهلك
“Sejelek‐jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun.” Ibadah bukan hanya di bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja.

Asy Syibliy pernah ditanya, “Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saj. Kami kami juga dapat mengatakan, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.

‘Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah beliau mengkhususkan hari‐hari tertentu untuk beramal?” ‘Aisyah menjawab,

 دِيمَةً عَمَلُهُ آَانَ .لاَ
“Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).”[15]

Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,

 الْيَقِينُ يَأْتِيَكَ حَتَّى رَبَّكَ وَاعْبُدْ
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[16] Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa “al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[17]

Sebagai penutup, perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, “Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. … Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang‐ambing.”[18]

Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk istiqomah dalam ketaatan hingga maut menjemput. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan dan memudahkan kita untuk menyempurnakannya dengan melakukan puasa Sawal.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat‐Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di Batu Merah, kota Ambon, 4 Syawal 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:

[1] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori
[2] Syarh Muslim, 4/186, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah.

[3] QS. Al An’am ayat 160.
10
 [4] HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dari Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1007.

[5] Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 3/6, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah dan Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 282, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.

[6] Lihat Latho‐if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 394, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas]

[7] ‐idem‐

[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al Lail]

[9] Latho‐if Al Ma’arif, hal. 394.

[10] Fatawa Al Lajnah Ad Da‐imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ke‐3, Fatawa no. 102, 10/139‐141
[11] Latho‐if Al Ma’arif, hal. 394.

[12] HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820.]

[13] Lihat Latho‐if Al Ma’arif, hal. 394‐395.

[14] Pembahasan berikut kami olah dari Latho‐if Al Ma’arif, hal. 396‐400
[15] HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783
[16] Latho‐if Al Ma’arif, hal. 398.

[17] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah
[18] Latho‐if Al Ma’arif, hal. 399.

4. Menjaga Shalat Malam 

Inilah penyakit yang diderita oleh kaum muslimin setelah Ramadhan. Ketika  Ramadhan masjid terlihat penuh pada saat qiyamul lail (shalat tarawih). Namun coba kita saksikan setelah Ramadhan, amalan shalat malam ini seakan‐akan hilang begitu saja. Orang‐orang lebih senang tidur nyenyak di malam hari hingga shubuh atau pagi tiba, dibanding bangun untuk mengambil air wudhu dan mengerjakan shalat malam. Seolah‐olah amalan shalat malam ini hanya ada pada bulan Ramadhan saja yaitu ketika melaksanakan shalat tarawih. Seharusnya jika dia betul‐betul menjalankan ibadah shalat tarawih dengan baik pasti akan membuahkan kebaikan selanjutnya.

Sebagian salaf mengatakan,

بَعْدَهَا السَّيِّئَةَ السَّيِّئَةِ جَزَاءِ مِنْ وَإِنَّ بَعْدَهَا، الحَسَنَةَ الحَسَنَةِ ثَوَابِ مِنْ إِنَّ
“Sesungguhnya di antara balasan amalan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya. Dan di antara balasan dari amalan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir pada tafsir surat Al Lail)

Namun, ibadah shalat malam ini mungkin hanya ibadah musiman saja yaitu dilaksanakan hanya di bulan Ramadhan. Padahal keutamaan shalat malam ini amatlah banyak, di antaranya:

[1] Shalat malam adalah sebaik‐baik shalat setelah shalat wajib. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 اللَّيْلِ صَلَاةُ الْفَرِيضَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ وَأَفْضَلُ الْمُحَرَّمُ اللَّهِ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرِ بَعْدَ الصِّيَامِ أَفضَلُ
“Sebaik‐baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –Muharram‐. Sebaik‐baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

[2] Orang yang melakukan shalat malam dijamin masuk surga dan selamat dari adzab neraka. Dari Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 بِسَلَامٍ اَلْجَنَّةَ تَدْخُلُوا ,نِيَامٌ وَالنَّاسُ بِاللَّيْلِ وَصَلُّوا ,اَلطَّعَامَ وَأَطْعِمُوا ,اَلْأَرْحَامَ وَصِلُوا ,اَلسَّلَام شُواأَفْ !اَلنَّاسُ أَيُّهَا يَا
“Wahai manusia! Sebarkanlah salam, jalinlah tali silturahmi (dengan kerabat), berilah makan (kepada istri dan kepada orang miskin), shalatlah di waktu malam sedangkan manusia yang lain sedang tidur, tentu kalian akan masuk ke dalam surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Tirmidzi no. 2485 dan Ibnu Majah no. 1334. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 569 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

[3] Orang yang melakukan shalat malam akan dicatat sebagai orang yang berdzikir kepada Allah Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 وَالذَّاآِرَاتِ آَثِيرًا اللَّهَ الذَّاآِرِينَ مِنَ آُتِبَا رَآْعَتَيْنِ فَصَلَّيَا امْرَأَتَهُ وَأَيْقَظَ اللَّيْلِ مِنَ الرّجُلُ اسْتَيْقَظَ إِذَا
“Apabila seseorang bangun di waktu malam, lalu dia membangunkan istrinya, kemudian keduanya mengerjakan shalat dua raka’at, maka keduanya akan dicatat sebagai pria dan wanita yang banyak berdzikir pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 1335. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah bahwa hadits ini shohih). Hadits ini menunjukkan bahwa suami istri dianjurkan untuk shalat malam berjama’ah.

[4] Orang yang bangun di malam hari kemudian berwudhu dan melakukan shalat malam, dia akan bersemangat di pagi harinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 فَذَآَرَ اسْتَيْقَظَ فَإِنِ ، فَارْقُدْ طَوِيلٌ لَيْلٌ عَلَيْكَ عُقْدَةٍ آُلَّ يَضْرِبُ ، عُقَدٍ ثَلاَثَ نَامَ هُوَ إِذَا أَحَدِآُمْ رَأْسِ قَافِيَةِ عَلَى الشَّيْطَانُ عَقِدَ
 خَبِيثَ أَصْبَحَ وَإِلاَّ ، النَّفْسِ طَيِّبَ نَشِيطًا فَأَصْبَحَ عُقْدَةٌ انْحَلَّتْ ىصَلَّ فَإِنْ ، عُقْدَةٌ انْحَلَّتْ تَوَضَّأَ فَإِنْ ، عُقْدَةٌ انْحَلَّتْ اللَّهَ
 آَسْلاَنَ النَّفْسِ
“Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika dia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan sholat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)

Sangat disayangkan sekali, sebagian orang lebih memilih tidur pulas di malam hari daripada bangun shalat malam. Inilah orang‐orang yang mendapat celaan yaitu akan dikencingi setan sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.

Dari Abu Wa’il, dari Abdullah, beliau berkata, “Ada yang mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa terdapat seseorang yang tidur malam hingga shubuh (maksudnya tidak bangun malam, pen). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

« أُذُنَيْهِ فِى بَالَ الشَّيْطَانُ ذَلِكَ  ».

“Demikianlah setan telah mengincingi kedua telinganya.” (HR. An Nasa’i no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1330. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 640 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Hendaklah kita merutinkan amalan shalat malam ini di luar ramadhan sebagaimana kita rajin mengerjakannya di bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang dulu gemar shalat malam, namun sekarang dia meninggalkannya.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,

« اللَّيْلِ قِيَامَ فَتَرَكَ اللَّيْلَ يَقُومُ آَانَ ، فُلاَنٍ مِثْلَ تَكُنْ لاَ ، اللَّهِ عَبْدَ يَا  »

“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si A. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari no. 1152)

Sebaik‐baik orang adalah yang mau mengerjakan shalat malam jika tidak berhalangan karena kecapekan atau ingin mengulang pelajaran sebaaimana Abu Hurairah.

اللَّيْلِ مِنَ يُصَلِّى آَانَ لَوْ ، اللَّهِ عَبْدُ الرَّجُلُ نِعْمَ
“Sebaik‐baik orang adalah Abdullah bin Umar, seandainya dia biasa mengerjakan shalat malam.” (HR. Bukhari no. 1122 dan Muslim no. 2479)

Padahal shalat malam itu mudah dikerjakan, bisa dengan hanya mengerjakan shalat tahajud 2 raka’at dan ditutup witir 1 raka’at, namun sebagian orang enggan mengerjakan shalat yang utama ini.

5. Amalan yang Kontinu (Ajeg), Amalan yang Paling Dicintai 

Kalau memang kita gemar melakukan shalat malam atau amalan sunnah yang lainnya, maka hendaklah amalan‐amalan tersebut tetap dijaga. Kalau biasa mengerjakan shalat malam 3 raka’at dan dilakukan terus menerus (walaupun jumlah raka’at yang dikerjakan sedikit), maka itu masih mending daripada tidak shalat malam sama sekali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 قَلَّ وَإِنْ أَدْوَمُهُ اللَّهِ إِلَى الْعَمَلِ أَحَبَّ وَإِنَّ تَمَلُّوا حَتَّى يَمَلُّ لاَ اللَّهَ فَإِنَّ تُطِيقُونَ مَا العَمَلِ مِنَ اآْلَفُوا
“Bebanilah diri kalian dengan amal sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 1228 mengatakan hadits ini shohih)

Ingatlah bahwa rajin ibadah bukanlah hanya di bulan Ramadhan saja. Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah‐ibadah tersebut. Dia pun menjawab,

رَمَضَانَ شَهْرِ فِي إِلاَّ حَقًّا اللهَ يَعْرِفُوْنَ لاَ القَوْمُ بِئْسَ
“Alangkah buruknya tingkah mereka; mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!” (Lihat Latho’if Ma’arif, 244)

Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu sempit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
14
الشِّدَّةِ فِى يَعْرِفْكَ الرَّخَاءِ فِى اللهِ إِلَي تَعَرَّفْ
“Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” (HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini shohih)

II. AMALAN BID’AH 

Ada beberapa bid’ah yang sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim di bulan Syawal:

[1] Beranggapan sial jika menikah pada bulan Syawal 

Mungkin bid’ah semacam ini jarang terjadi di tempat kita. Malah kebanyakan kaum muslimin di negeri ini melaksanakan hajatan nikah ketika Syawal karena pada saat itu adalah waktu semua erabat berkumpul berlebaran.

Namun, inilah bid’ah yang terjadi di masa silam dulu (masa jahiliyah). Mereka enggan melaksanakan hajatan nikahan ketika bulan Syawal. Itulah i’tiqod (keyakinan) mereka. Sedangkan di negeri kita, bukan bulan Syawal yang dianggap sial, tetapi bulan Suro (Muharram). Kedua anggapan ini adalah anggapan yang salah. Mengenai anggapan sial nikah di bulan Syawal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah membantah hal ini. Sebagaimana terdapat riwayat dalam Sunan Ibnu Majah (haditsnya dishohihkan oleh Syaikh Al Albani) bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pada bulan Syawal dan keluarga beliau tetap harmonis.

Menganggap bulan Suro atau bulan Syawal sebagai bulan sial untuk melaksanakan beberapa hajatan adalah anggapan yang terlarang dlam agama ini. Beranggapan sial dengan bulan atau waktu sama saja dengan mencelanya. Dan mencela waktu itu sama saja dengan mencela yang menciptakan waktu yaitu Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 وَالنَّهَارَ اللَّيْلَ أُقَلِّبُ الدَّهْرُ وَأَنَا الدَّهْرَ يَسُبُّ آدَمَ ابْنُ يُؤْذِينِى وَجَلَّ عَزَّ اللَّهُ قَالَ
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak‐balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyatakan bahwa beranggapan sial seperti ini termasuk kesyirikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ  ».  ثَلاَثًا  «  بِالتَّوَآُّلِ يُذْهِبُهُ اللَّهَ وَلَكِنَّ إِلاَّ مِنَّا وَمَا  »

15
“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda), tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan tawakkal (pada Allah).” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

[2]  ‘Idul Abror (’Ied pada tanggal 8 Syawal)

Ini adalah bid’ah yang terjadi di beberapa daerah di negeri kita. Entah namanya apa, tetapi maksud dari acara tersebut itu sama.

Sebelumnya mereka melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Lalu mereka berbuka (tidak berpuasa) pada tanggal 1 Syawal. Setelah itu –mulai tanggal 2 Syawal‐, mereka melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Lalu pada hari kedelepan dari bulan Syawal, mereka merayakan ‘ied (yang di kalangan Arab dikenal dengan ‘Idul Abror).

Abror di sini bermakna orang baik lawan dari orang fajir yang gemar berbuat maksiat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah perayaan ied semacam ini dengan mengatakan,

“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebutkan dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke‐8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke‐8 Syawal ‐yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror‐; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Adapun perayaan hari ke‐8 Syawal, maka itu bukanlah ‘ied (yang disyari’atkan). Ini bukanlah ‘ied bagi abror (orang sholih/baik) atau pun orang fajir (yang gemar bermaksiat). Tidak boleh bagi seorang pun meyakini perayaan ini sebagai ‘ied. Janganlah membuat ‘ied yang baru selain ‘ied yang sudah ada dalam agama ini (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha).” (Al Ikhtiyarot Al Fiqhiyyah, 199)

Demikian pembahasan seputar amalan yang sebaiknya dilakukan setelah Ramadhan dan perkara yang sebaiknya dijauhi oleh setiap musim. Semoga kita termasuk orang yang selalu mendapat taufik Allah dan dimudahkan untuk istiqomah dalam agama ini.
16
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi‐Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul
Menjelang waktu zawal, 4 Syawal 1429 H (bertepatan dengan 4 Oktober 2008)

Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.

Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Tidak ada komentar: