BENTUK-BENTUK WITIR DAN JUMLAH RAKA’ATNYA
Oleh : Dr Said bin Ali bin Wahf Al-Qathani.
Witir memiliki jumlah raka’at dan bentuk-bentuk yang
bermacam-macam sebagai berikut.
[a]. Sebelas Raka’at, Dengan Salam
Pada Setiap Dua Raka’at Dan Berwitir Satu Raka’at.
Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang menceritakan :
“Rasulullah biasanya shalat malam sebelas raka’at, berwitir dari shalat itu
dengan satu raka’at” Dalam riwayat lain : “Rasulullah biasanya shalat antara
usai shalat Isya –yakni yang disebut sebagai atamah- hingga fajar sebanyak
sebelas raka’at, mengucapkan salam antara dua rak’aat, dan berwitir satu
raka’at” [1]
[b]. Tigabelas Raka’at, Setiap Dua
Raka’at Salam, Dan Berwitir Satu Raka’at Dasarnya adalah hadits Abdullah
bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan cara shalat Nabi. Dalam hadits
itu tercantum : “… Maka akupun berdiri di sebelah kiri beliau. Tiba-tiba beliau
meletakkan tangan kanan beliau di atas kepalaku, dan memegang telingaku serta
memutar tubuhku hingga berada di sebelah kanannya, kemudian beliau shalat dua
raka’at, dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at dan dua raka’at,
kemudian beliau melakukan witir, lalu berbaring hingga datang muadzin. Setelah
muadzin datang, beliau bangkit dan shalat dua raka’at ringkas, kemudian baru
beliau keluar menuju jama’ah dan shalat shubuh” [2]
Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia
menceritakan : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
shalat malam tiga belas raka’at, kemudian baru keluar untuk shalat shubuh. [3]
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani Radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan
bahwa ia pernah berkata : “Aku betul-betul memperhatikan shalat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam hari. Beliau shalat dua raka’at
ringkas, kemudian shalat dua raka’at yang panjang sekali, panjang sekali,
panjang sekali, kemudian shalat lagi dua raka’at, namun tidak sepanjang yang
pertama. Kemudian shalat lagi dua raka’at, juga tidak sepanjang dua raka’at yang
sebelumnya. Kemudian shalat lagi dua raka’at namun juga tidak sepanjang dua
rakaat sebelumnya. Kemudian shalat lagi dua raka’at, namun tidak sepanjang dua
raka’at sebelumnya. Kemudian baru beliau melakukan witir. Jumlah semuanya tiga
belas raka’at” [4]
[c]. Tiga Belas Raka’at, Dengan Salam Pada Tiap Dua Raka’at, Dan
Berwitir Lima Raka’at Sekaligus
Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang
menceritakan : “Rasulullah apabila shalat malam, melakukannnya tiga belas
raka’at. Dari semua itu beliau berwitir lima raka’at, hanya duduk di akhirnya
saja” [5]
[d]. Sembilan Raka’at Hanya Duduk Di Raka’at Kedelapan,
Kemudian Langsung Masuk Raka’at Kesembilan.
Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang
menceritakan : “Kami biasa menyiapkan siwak dan air bersuci beliau. Allah
membangunkan pada waktu yang Allah kehendaki di waktu malam. Beliau bersiwak
dan berwudhu, lalu shalat sembilan raka’at, hanya duduk di raka’at yang
kedelapan. Lalu berdzikir kepada Allah, berdo’a kepadaNya (tahiyyat pertama), kemudian
baru bangun dan tidak mengucapkan salam. Kemudian beliau bangkit dan melakukan
raka’at kesemblian. Setelah itu baru beliau duduk dan berdzikir, bertahmid dan
berdo’a kepada Allah (tahiyyat kedua), kemudian salam dengan suara yang dapat
kami dengar” [6]
[e]. Tujuh Raka’at Dengan Tanpa Duduk Kecuali Diakhirnya.
Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang tercantum
di dalamnya : “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah berusia
lanjut dan mulai gemuk, beliau shalat dengan witir tujuh raka’at” [7]
Dalam riwayat lain : “Hany duduk di akhirnya saja “ [8]
[f ]. Tujuh Raka’at Dengan Hanya Duduk Pada Raka’at Yang Keenam
Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyalahu ‘anha, yang menceritakan : “Kami
biasa mempersiapkan siwak dan air wudhu Rasulullah. Lalu beliau bangun dalam
waktu yang Allah kehendaki di malam hari. Kemudian beliau bersiwak dan
berwudhu, baru kemudian shalat tujuh raka’at, hanya duduk di raka’at keenam,
lalu duduk dan berdzikir kepada Allah
serta berdo’a” [9]
[g]. Lima Raka’at Dengan Hanya Dududk Diraka’at Terakhir
Dasarnya adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Witir itu hukum yang berlaku bagi setiap muslim. Barangsiapa
yang suka melakukan witir lima raka’at, hendaknya ia melakukannya. Dan
barangsiapa suka melakukan witir 3 raka’at maka lakukanlah. Dan barangsiapa
yang suka berwitir satu raka’at hendaknya ia melakukannya” [10]
Telah diriwayatkan dengan shahih dari hadits Aisyah Radhiyallahu
anha, bahwa bentuk shalat semacam itu dilakukan secara sekaligus dengan hanya
duduk di raka’at kelima saja. Dalam hadits itu tercantum : “Dalam shalatnya itu
beliau berwitir lima raka’at, dengan hanya duduk di raka’at terakhirnya” [11]
[h]. Tiga Raka’at Dengan Salam Setelah Dua Raka’at,
Kemudian berwitir Satu Raka’at
Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma
bahwa ia menceritakan :
“Nabi biasa memisahkan antara raka’at genap dan ganjil dengan
salam yang dapat kami dengar” [12]
Telah diriwayatkan dengan shahih dari Abdullah bin Umar secara
mauquf. Dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar biasa melakukan witir dengan salam
antara dua raka’at pertama dengan satu raka’at terakhir, sehingga beliau sempat
memerintahkan beberapa hal dari kebutuhannya [13] Hadits mauquf itu bisa
menguatkan hadits marfu’. Penulis sendiri pernah mendengar guru kita Imam Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah tentang Witir tiga raka’at, bahwa itu
dilakukan dengan dua kali salam : “Itu lebih utama, bagi orang yang ingin
shalat tiga raka’at, dan inilah yang mendekati kesempurnaan” [14]
[I ]. Tiga Raka’at Secara Langsung,
Dengan Hanya Duduk Diraka’at Terakhirnya
Dasarnya hadits Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu yang tercantum di
dalamnya : “Barangsiapa yang ingin berwitir tiga raka’at, hendaknya ia
melakukannya” [15]
Juga hadits Abdullah bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu witir membaca ” Sabbihis Marabbikal
A’la”, pada raka’at kedua membaca ” Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun”. Dan pada rakaat
ke tiga membaca ” Qul Huwallahu Ahad” Usai salam, beliau mengucapkan ” Subhanal
Malikil Quddus” tiga kali [16]
Akan tetapi tiga rakaat itu beliau lakukan sejaligus, dengan
hanya satu kali tasyahhud di akhirnya.
Karena kalau dilakukan degan dua kali tasyahud, akan mirip
dengan shalat Maghrib [17]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang shalat
sunnah diserupakan dengan shalat Maghrib [18], berdasarkan hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan bahwa
beliau bersabda : “Janganlah kalian berwitir tiga raka’at. Berwitirlah lima
rakaat atau tujuh raka’at. Jangan serupakan dengan shalat Maghrib. [19]
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahulah menggabungkan antara
hadits-hadits dan riwayat yang membolehkan witir tga rakaat dalam penafsiran
bahwa ketiga rakaat itu dalam shalat hingga akhir, dengan hadits-hadits yang
melarang witir tiga raka’at dalam penafsiran bahwa itu dilakukan dengan dua
kali tasyahud, hingga menyerupai shalat Maghrib” [20]
Di antara dalil yang munnjukkan. Witir tiga rakaat adalah hadits
Al-Qasim dari Abdullah bin Umar, bahwa ia berkata : Rasulullah bersabda :
“Shalat pada waktu malam itu dua-dua raka’at. Bila engkau hendak
menyelesaikannya, hendaknya shalat satu raka’at itu bisa menjadi witir dari shalat
yang sudah kamu lakukan”.
Al-Qasim menyatakan : “Kami sendiri pernah melihat banyak orang
semenjak kami nalar, yang melakukan witir tiga raka’at. Sesungguhnya masalah
ini cukup luas. Aku kira tidak ada yang salah dari semua cara itu. [21]
[j ]. Satu Raka’at
Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Witir adalah satu
raka’at di akhir malam” [22]
Dari Abu Mijlaz diriwayatkan bahwa ia menceritakan : “Aku pernah
bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma tentang witir. Beliau menjawab
: “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Satu raka’at di akhir malam”. Aku juga pernah bertanya kepada Ibnu Umar.
Beliau menjawab : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : Satu raka’at di akhir malam” [23]
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa itu merupakan dalil sahnya
witir dengan satu raka’at, dan dianjurkan untuk dilakukan di akhir malam” [24]
Penulis sendiri pernah mendengar Imam Abdul Aziz bin Baz menyatakan : “Akan
tetapi semakin banyak jumlah raka’atnya, semakin baik. Namun bila hanya
melakukan satu raka’at saja, juga tidak makruh” [25]
Di antara yang menunjukkan bahwa witir satu raka’at itu boleh
adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, di situ tercantum.
“Barangsiapa yang suka berwitir satu raka’at, hendaknya ia
melakukannya” [26]
__________
Foot Note
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim dengan no. 736
[2]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam kitab Al-Witr, bab : Riwayat Tentang Witir, no. 992, demikian
juga beberapa jalur riwayat lain, no. 117, 138, 6316. Diriwayatkan oleh Muslim
dalam kitab Shalatul Musafirin, bab : Shalat Nabi dan Doa Beliau pada Malam
Hari, no. 182, 763
[3]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin,
bab Shalat Nabi dan Do’a Beliau di Malam Hari, no. 764
[4]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin,
bab Shalat Nabi dan Do’a Beliau di Malam Hari, no. 765
[5]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin,
bab Shalat Malam dan Jumlah Raka’at Nabi pada Malam Hari, bahwa witir itu Satu
Raka’at, no. 737.
[6]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin,
bab : Jami’u Shalati no. 746 [7]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul
Musafirin, bab : Jami’u Shalati no. 746 dan ini adalah bagian dari hadits itu.
[8]. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab Qiyaamul Lail dan
Tathawwu di Siang Hari, bab : Witir Tujuh Raka’at, no. 1718, dishahihkan oleh
Al-Alabni dalam Shahih An-Nasa’i I : 375. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
Ahmad VI : 290 dari hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha dengan lafazh :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tujuh atau lima
raka’at, tidak memisahkannya dengan ucapan atau salam. Diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dalam Sunannya dalam kitab Iqamatush Shalah, bab : Riwayat tentang witir,
lima, tujuh atau sembilan raka’at no. 1192, dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Ibnu Majah I : 197
[9]. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya {ihsan]
dengan no. 2441. Al-Arnaaut menyatakan dalam catatan kaki Ibnu Hibban VI : 195
: “Sanadnya shahih berdasarkan persyaratan Al-Bukhari dan Muslim, lafazhnya
adalah lafazh Muslim. Diriwayatkan juga oleh Ahmad yang senada dengan itu I :
54
[10]. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan no. 1442. Diriwayatkan
oleh An-Nasa’i dengan no 1712. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan no 1192. Dan
diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya [ihsan] dengan no. 670.
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al- Mustadrak I : 302-303
[11]. Diriwayatkan oleh Muslim dengan no. 737
[12]. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban [Ihsan} dengan No.
2433,2434,2435. Diriwayatkan juga oleh Ahmad II : 76 dari itab bin Ziyaad.
AL-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan dalam Fathul Baari II : 482 :"Sandanya
kuat". Al-Albani Rahimahullah menyatakan : "Hadits ini memiliki
riwayat penguat yang marfu'. Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha diriwayatkan bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melakukan witir dengan memisahkan
antara dua raka'at dengan satu raka'at". Sanadnya Shahih, berdasarkan
persyaratan Al-Bukhari dan Muslim. Beliau juga menisbatkan hadits ini kepada
Ibnu Abi Syaibah. Lihat Irwaaul Ghalil II : 150.
[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Witr, bab :
Riwayat Tentang Witir, no. 991. Diriwayatkan juga dalam Al-Muwatha’ Imam Malik
I : 125.
[14] Penulis mendengarnya secara langsung ketika beliau
menjelaskan Ar-Raudhul Murbi II : 187 tertanggal 1:11: 1419H.
[15] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan no. 1422. Diriwayatkan
oleh An-Nasa’I dengan no. 1712. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan no. 1192.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dengan no. 670. Diriwayatkan
oleh Al-Hakim I : 302
[16] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab Qiyamullail dan
Shalat Sunnah Siang, bab Ikhtilafin naqilan li khabar Ubay Ibnu Ka’b fii witri
1201 dan dishahihkan dalam Shahih Sunnan An-Nasa’i oleh Al-Albani 1/372, dan
lihat Nailul Authar 2/211, dan lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar ada syawahid
disana 2/481 dan Nailul Authar Asy-Syaukani 2/212.
[17] Saya dengan ini dari Imam Abdul Aziz Ibnu Baz ketika
mensyarah Ar-Raudh Al-Murbi’ 2/188 dikala membasah witir 3 rakaat dengan
satu salam, beliau berkata : “Namun jangan diserupakan dengan Maghrib, langsung
saja”.
[18] Lihat Asy-Syarh Al-Mufti Al-’Alamah Ibn Utsaimin 3/21.
[19] Ibnu Hibban (Al-Ihsan] 2429, Ad-Daruquthni 2/24, Al-Baihaqi
3/31, Al-Hakim menshahihkan dan disetujui Adz-Dzahabi 1/304, Ibnu Hajar berkata
dalam Al-Fath 2/481, isnadnya sesuai syarat Syaikhan berkata dalam At-Talkish
2/14 no. 511 isnadnya semuanya tsiqat dari tidak mengapa pemauqufan orang yang
mengnggapnya mauquf.
[20] Lihat Fathul Baari Syarah dari Shahih Al-Bukhari, oleh Ibnu
Hajar II :481 dan juga Nailul Authar oleh Asy-Syaukani II : 214.
[21] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dan ini lafazhnya dengan no. 993. Diriwayatkan oleh Muslim dengan
no. 743 dan telah ditakhrij sebelumnya.
[22]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin,
bab : Shalat Malam Itu Dua-dua Raka’at, Dan Witir Itu Satu Raka’at di Akhir
Malam no. 752
[23]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab dan bab yang sama
sebelumnya no. 753
[24] Syarah Muslim oleh An-Nawawi VI : 277
[25] Penulis mendengarnya sendiri dari penjelasan Syaikh
terhadap Ar-Raudhul Murbi’ II: 185
[26] Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan no. 1422. Diriwayatkan
juga oleh An-Nasa’i dengan no 1712. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1190
[Disalin dari Kitab Shalatut Tathawwu' Mafhumun, wa Fadhailun,
wa Aqsamun, wa Anwa'un, wa Adabun Fi Dhauil Kitabi was Sunnah, edisi Indonesia
Kumpulan Shalat Sunnah dan Keutamaannya, oleh Dr Said bin Ali bin Wahf
Al-Qathani, Penerbit Darul Haq]
———————————————————————————–
SUNAT RAWATIB DAN PENEGASAN SHALAT DUA RAKA’AT FAJAR.
Oleh : Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam.
Shalat fardhu memiliki sunat-sunat rawatib, yang disebutkan
dalam As-Sunnah yang shahih dan suci, baik berupa perkataan, perbuatan maupun
pengakuan dari pembawa syari’at.
Shalat sunat rawatib ini mempunyai faidah yang besar dan pahala
yang agung, nerupa tambahan kebaikan, ketinggian derajat, penghapusan
keburukan, menambal kekosongan dan menyempurnakan kekurangannya. Karena itu
harus ada perhatian terhadap shalat rawatib ini dan menjaganya ketika berada di
tempat. Adapun ketika dalam perjalanan, tidak pernah disebutkan dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adanya satu shalat rawatib kecuali dua rakaat
fajar. Beliau tidak pernah meninggalkannya, baik ketika menetap maupun ketika
dalam perjalanan.
“Dari Abdullah bin Umar Radhyallahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Aku
pernah shalat dua rakaat sebelum Zhuhur bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa sallam, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Jum’at, dua rakaat sesudah
Maghrib dan dua rakaat setelah Isya’”
adapula riwayat yang lain:
“Barang siapa yang sholat empat rakaat sebelum Dzuhur dan empat
rakaat sesudahnya, maka diharamkan baginya api api neraka”. (SHAHIH. HR. Ahmad,
Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, di Shahihkan oleh Albani)
“Dalam suatu lafazh disebutkan, ‘Adapun (rawatib) Maghrib,
Isya’, Fajar dan Jum’at dikerjakan di rumah beliau”.
“Dalam lafazh Al-Bukhary disebutkanm bahwa Ibnu Umar berkata,
“Aku diberitahu Hafsah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa shalat dua rakaat yang ringan setelah fajar menyingsing, dan itu
merupakan saat aku tidak menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
MAKNA
GLOBAL
Didalam hadits ini terkandung penjelasan lima shalat sunat
rawatib, bahwa untuk shalat Zhuhur mempunyai empat rakaat, dua rakaat
sebelumnya dan dua rakaat sesudahnya, shalat Jum’at mempunyai dua rakaat
sesudahnya, shalat Maghrib mempunyai dua rakaat sesudahnya dan shalat Isya
mempunyai dua rakaat sesudahnya. Rawatib Maghrib, Isya’, Shubuh dan Jum’at
dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah.
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu mempunyai hubungan yang erat dengan
rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena kedudukan
saudarinya, Hafsah di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu
dia dapat masuk ke tempat beliau saat beribadah, tetapi tetap memperhatikan
adab, sehingga dia tidak masuk kecuali hanya sesekali waktu saja dan tidak
masuk pada saat-saat yang tidak diperkenankan, karena mengikuti firman Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan
wanita) yang kalian miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kalian,
meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari) yaitu sebelum shalat
Shubuh…” [An-Nur : 58]
Dia tidak masuk ke tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada saat-saat shalat Shubuh, kendatipun dia ingin tahu shalat yang
dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Karena didorong keinginan
untuk mendapatkan ilmu, maka dia bertanya kepada saudarinya, Hafshah tentang
hal itu, lalu Hafshah memberitahu
kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
shalat dua rakaat secara ringan setelah fajar menyingsing dan ini merupakan
shalat sunat.
KESIMPULAN
HADITS.
[1]. Anjuran melaksanakan shalat-shalat rawatib tersebut dan
menjaganya.
[2]. Shalat Ashar tidak mempunyai rawatib dibandingkan dengan
rawatib-rawatib yang ditegaskan ini.
[3]. Rawatib-rawatib Maghrib, Isya’, Shubuh, Jum’at lebih baik
dikerjakan di rumah.
[4]. Meringankan dua rakaat Fajar
[5]. Disebutkan dalam sebagian hadits shahih bahwa Zhuhur
mempunyai enam rakaat, Empat sebelumnya dan dua sesudahnya. Disebutkan riwayat
At-Tirmidzi dai haditsUmmu Habibah secara marfu’, “Empat rakaat sebelum Zhuhur
dan sesudahnya”.
[6]. Sebagian dari rawatib-rawatib ini dulakukan sebelum shalat
fardhu sebagai persiapan jiwa orang yang shalat untuk ibadah sebelum masuk ke
fardhu. Sebagian rawatib dikerjakan sesudah fardhu untuk melengkapi
kekurangan dalam fardhu.
“Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dia berkata, Tidak ada satupun
shalat nafilah yang lebih diperlihara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain
dari dua raka’at Fajar” .
“Dalam lafazh Muslim disebutkan, “Dua rakaat fajar lebih baik
dari dunia dan seisinya”
MAKNA
GLOBAL
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan terhadap penegasan dua
rakaat fajar. Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menguatkannya dan mengagungkan urusannya dengan perkataan dan
perbuatan beliau. Dalam hal ini Aisyah berkata, “Tidak ada satu pun dari
shalat-shalat nafilah yang lebih dijaga dan dipelihara Rasulullah Shallallahu
‘alaihi, seperti halnya dua raka’at fajar”
Beliau juga bersabda bahwa dua rakaat fajar ini lebih baik
daripada dunia dan seisinya.
KESIMPULAN
HADITS
[1]. Shalat sunnat (dua rakaat) fajar ini sangat ditekankan
sehingga tidak boleh
diabaikan.
[2]. Keutamaannya yang agung sehingga beliau menganggapnya lebih
baik dari dunia dan
seisinya.
[3]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga dan memberikan
perhatian lebih banyak terhadap dua rakaat fajar daripada yang lainnya.
[4]. Mengabaikan dua rakaat fajar menunjukkan kelemahan agama
dan keengganan
mendapatkan kebaikan yang besar.
[Disalin dari Kitab Taisirul Allam Syarh Umdatul Ahkam edisi Indonesia
Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim Oleh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih
Ali Bassam, hal 122-126 Darul Falah]
————————————————————————————–
ADAKAH SHALAT SUNNAH QABLIYAH JUM’AT?
Oleh : Wahid bin ‘Abdis Salam Baali.
Di antara kaum muslimin ada yang setelah mendengar adzan pertama
langsung berdiri dan mengerjakan shalat dua rakaat sebagai shalat sunnah
Qabliyah Jum’at.
Dalam hal ini perlu saya katakan, saudaraku yang mulia, shalat
Jum’at itu tidak memiliki shalat sunnah Qabliyah, tetapi yang ada adalah shalat
Ba’diyah Jum’at.
Memang benar telah ditegaskan bahwa para Sahabat radhiallahu
‘anhuma jika salah seorang dari mereka memasuki masjid sebelum shalat Jum’at,
maka dia akan mengerjakan shalat sesuai kehendaknya, kemudian duduk dan tidak
berdiri lagi untuk menunaikan shalat setelah adzan. Mereka mendengarkan
khuthbah dan kemudian mengerjakan shalat Jum’at.
Dengan demikian, shalat yang dikerjakan sebelum shalat Jum’at
adalah shalat Tahiyyatul Masjid dan shalat sunnat mutlaq.
Dari Salman radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “ Tidaklah mandi seseorang pada hari
jum’at dan berwudhu, dan memakai wewangian, kemudian keluar seraya tidak
memecah-belah 2 orang (melangkahi pundak orang2), kemudian sholat sedapatnya,
kemudian ia diam mendengarkan imam berkhotbah, melainkan diampuni dosanya
antara Jumat tersebut denagn jumat yang lain” (SHAHIH, HR Bukhari dan Nasa-i,
dishahihkan oleh Al Albani, lihat kitab “Seleksi hadist2 Shahih tentang Targhib
dan Tarhib Imam Mundziri, takhrij hadist syaikh Imam Al Albani).
Dari hadist tersebut, jelaslah dalilnya mengenai adanya sholat
sunnat menunggu saat khutbah dimulai dan ini bukanlah sholat qobliyah jum’at
sebagaimana yang di fahami sebagian orang.
Dan hadits-hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan shalat
sunnah Qabliyah Jum’at adalah dha’if, tidak bisa dijadikan hujjah (argumen),
karena suatu amalan Sunnah itu tidak bisa ditetapkan, kecuali dengan hadits
yang shahih lagi dapat diterima.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani rahimahullah mengatakan:
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban melalui jalan Ayyub dari Nafi’, dia
mengatakan, “Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalat sebelum shalat Jum’at dan
mengerjakan shalat dua rakaat setelahnya di rumahnya. Dan dia menyampaikan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan hal tersebut.”
Hadits ini dijadikan hujjah oleh an-Nawawi dalam kitab,
al-Khulaashah untuk menetapkan shalat sunnah sebelum shalat Jum’at seraya
memberikan komentar, bahwa ucapan Ibnu ‘Umar, “Dan dia biasa melakukan hal
tersebut,” kembali pada ucapannya, “Dan dia mengerjakan shalat dua rakaat
setelah shalat Jum’at di rumahnya.” Dan hal itu ditunjukkan oleh riwayat
al-Laits dari Nafi’ dari ‘Abdullah bahwasanya jika telah mengerjakan shalat Jum’at
dia kembali pulang untuk kemudian mengerjakan shalat sunnah dua rakaat di
rumahnya dan selanjutnya dia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa melakukan hal tersebut.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Adapun ucapannya, “Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalat sebelum
shalat Jum’at,” maka yang dimaksudkan adalah setelah masuk waktu shalat
sehingga tidak bisa menjadi marfu’, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa keluar ke masjid jika mata-hari sudah tergelincir lalu beliau menyampaikan
khutbah dan setelah itu mengerjakan shalat Jum’at. Jika yang dimaksudkan adalah
sebelum masuk waktu shalat, maka yang demikian itu merupakan shalat sunnah
mutlaq, dan bukan shalat rawatib. Dengan demikian, tidak ada hujjah di dalamnya
yang menunjukkan adanya shalat sunnah Qabliyah Jum’at, tetapi ia merupakan
shalat sunnah mutlaq.
Dan telah disebutkan adanya anjuran melaku-kan hal tersebut
-seperti yang telah disampaikan sebelumnya- di dalam hadits Salman dan lainnya,
yang di dalamnya dia mengatakan, “Kemudian dia mengerjakan shalat yang
diwajibkan kepadanya.”
Selain itu, ada juga hadits-hadits dha’if yang diriwayatkan
berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah Jum’at, di antaranya adalah dari Abu
Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan lafazh, “Dan beliau biasa
mengerjakan shalat dua rakaat sebelum Jum’at dan empat rakaat setelahnya.” Di
dalam sanadnya terdapat kelemahan.
Dan dari Ali juga terdapat hadits yang semisal yang diriwayatkan
oleh al-Atsram dan ath-Thabrani di dalam kitab al-Ausath dengan lafazh, “Beliau
biasa mengerjakan shalat empat rakaat sebelum Jum’at dan empat rakaat
setelahnya.” Di dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin ‘Abdurrahman
as-Sahmi, yang menurut al-Bukhari dan perawi lainnya, dia adalah seorang yang
dha’if (lemah). Al-Atsram mengatakan, “Ia merupakan hadits yang waahin.”
Juga masih ada hadits lainnya yang senada dengan itu, dari Ibnu
‘Abbas dan dia menambahkan, “Beliau tidak memisahkan sedikit pun darinya.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad waahin (lemah). Di dalam kitab
al-Khulaashah, an-Nawawi mengatakan, “Sesungguhnya ia me-rupakan hadits
bathil.”
Dan ada juga hadits yang semisal dari Ibnu Mas’ud yang
diriwayatkan oleh ath-Thabrani, di dalam sanadnya terdapat kelemahan dan
inqithaa’ (keterputusan). Al-Albani rahimahullah mengatakan, “Semua hadits yang
diriwayatkan berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah Jum’at Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak ada yang shahih sama sekali, yang
sebagian lebih dha’if dari sebagian yang lain. [1]
MENINGGALKAN SHALAT SUNNAH BA’DIYAH JUM’AT?
Di antara kaum muslimin ada yang meninggalkan shalat sunnah
Ba’diyah Jum’at, baik karena malas maupun karena tidak tahu. Dan sebagian lagi
tidak mengetahui bahwa shalat Jum’at itu memiliki shalat sunnah ba’diyah.
Diantara mereka ada juga yang tidak mau mengerjakan sholat
ba’diyah jum’at dengan dalil Firman Allah :
“Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah ayat 10)
Ada seseorang yang selama dua puluh tahun tidak pernah mengerjakan
shalat sunnah Ba’ diyah Jum’at sama sekali. Wallahul musta’an. Ini jelas salah,
dan ia dapat digolongkan sebagai orang yang mana disebutkan dalam sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka dia bukan termasuk
golonganku.” [2]
Shalat sunnah Ba’diyah Jum’at itu empat ra-kaat, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat Jum’at,
maka hendaklah dia mengerjakan shalat empat rakaat setelahnya.” [3]
Dan jika mau, dia juga boleh mengerjakan dua rakaat saja. Hal
ini didasarkan pada riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar, di mana dia
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat sunnah
setelah Jum’at sehingga beliau pulang, lalu beliau mengerjakan shalat dua
rakaat di rumah beliau.” [4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengata-kan, “Jika
mengerjakan shalat sunnah di masjid, beliau mengerjakan empat rakaat. Dan jika
me-ngerjakan shalat sunnah di rumahnya, maka beliau mengerjakannya dua rakaat.”
[5]
Dan dimakruhkan menyambung shalat Jum’at dengan shalat sunnah
Ba’diyah tanpa pemisah antara keduanya, seperti pembicaraan (dzikir) atau
keluar dari masjid.
Telah diriwayatkan oleh Muslim dari as-Sa’ib Radhyallahu ‘anhu,
dia berkata, Aku pernah mengerjakan shalat Jum’at bersama Mu’awiyah
Radhiyallahu ‘anhu di dalam maqshurah .[6]
“Setelah imam mengucapkan salam, aku langsung berdiri di
tempatku semula untuk kemudian mengerjakan shalat, sehingga ketika dia masuk
dia mengutus seseorang kepadaku seraya berkata, “Janganlah engkau mengulangi
perbuatan itu lagi. Jika engkau telah mengerjakan shalat Jum’at, maka janganlah
engkau menyambungnya dengan suatu shalat sehingga engkau berbicara atau keluar
(dari tempatmu), karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memerintahkan hal tersebut kepada kita, yaitu tidak menyambung shalat
Jum’at dengan shalat lainnya sehingga kita berbicara atau keluar.” [7]
[Disalin dari kitab kitab al-Kali-maatun Naafi’ah fil Akhthaa'
asy-Syaai’ah, Bab “75 Khatha-an fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75
Kesalahan Seputar Hari dan Shalat Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali.
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Diambil dari : aslibumiayu.wordpress.com