23 Desember 2024

Rahasia Di Balik Pesona Kawah Mati Dan Kawah Ratu: Apa Yang Menyebabkan Kehancuran?

 Rahasia Di Balik  Pesona Kawah Mati Dan Kawah Ratu: Apa Yang Menyebabkan Kehancuran?

“Perubahan alam, deforestasi , perburuan, perdagangan mengancam keanekaragaman hayati. Imbasnya meningkatkan risiko penurunan populasi hingga kepunahan di alam”. Rheza Maulana, 2024,

Kawah Ratu adalah salah satu tempat yang memiliki keajaiban di dunia. Di samping tempatnya yang indah dan menarik juga ada aroma mistis yang kental. Maka tidak mengherankan jika akhir pekan dan waktu libur ratusan orang berbondong-bondong melakukan pendakian di lokasi yang masuk kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini.

Pagi itu, kami berlima sudah tiba di pintu masuk jalur Pasir Reungit untuk mendaki. Pilihan ini menjadi pilihan terbaik bagi pemula karena aksesnya yang dibilang jauh lebih “mudah” juga jaraknya paling pendek dibanding  jalur pendakian Gunung  Bunder dan Bumi Perkemahan Cengkuang. “ Jarak hanya 2,5 kilometer dan bisa ditempuh 2,5 jam, cukup 6 jam tektokan, sudah bisa menikmati kawah mati dan kawah ratu 1 jam.”  Tulis selebgram di youtube.

Permulaan pendakian jalanan masih relatif datar dan jalur sudah dibangun dengan pecahan batu. Sepanjang jalan masih ditemukan hutan tipe pegunungan bawah. Tanaman yang ada sengaja dibudidayakan alias bukan tanaman yang tumbuh alami. Banyak ditemui jenis tanaman pinus, rasa mala, pohon puspa, saninten, pasang dan aneka jenis hura. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman hutan sejenis yang dibudidayakan oleh Perum Perhutani.

 Namun kondisi semakin berbeda saat memasuki pos satu hingga kawah ratu tujuan akhir pendakian. Jalan benar-benar menantang. Jalan hanya setapak sehingga saat mau mendahului atau berpapasan dengan para pendaki harus berhenti dan bergeser menepi dahulu. Batu-batuan tajam, kadang lumpur becek, tanah kering bahkan genangan air menjadi satu satunya jalan yang harus dilalui. “Nah pas di akar pohon ini, dulu kami disuruh balik turun karena hujan sudah mulai turun dan jalan ini berubah jadi sungai yang bisa mengancam keselamatan pendaki!” Kisah teman yang saat 2 tahun silam gagal mencapai Kawah Ratu. Banyak pohon besar, tinggi dan lebat sebagai ciri hutan tropik di Gunung Salak ini. Menurut penelitian dari IPB (2016) di sepanjang jalur pendakian ini ditemukan 256 spesies dari 15 spesies tanaman paku teristrial baik yang tegak maupun yang menjulur. Di samping itu banyak juga dijumpai tanaman kaliandra merah, dadap cangkring, kayu afrika, jeunjing dan aneka jenis bambu sebagai ciri khas tanaman  hutan tropis pegunungan atas.

Dua setengah jam perjalanan yang cukup melelahkan bagi pemula seperti rombongan kami, akhirnya disuguhkan pandangan yang sangat menakjubkan. Sebuah cekungan yang cukup luas bak danau yang dikelilingi pepohonan lebat nan hijau. Cekungan inilah yang orang menyebutnya kawah mati. Sebuah kawah yang berada diatas ketinggian 2.221 meter permukaan laut. Tanahnya gersang dengan struktur batuan yang mengelupas. Warna kuning, putih, coklat bercampur jadi satu sebagai ciri khas kawah mati akibat aktivitas vulkanik sudah tidak aktif.  Aroma belerang cukup menyengat dan membuat napas sedikit sesak jika kelamaan berdiri disini. Menurut data dari Badan Geologi Kementerian ESDM, Gunung Salak termasuk kategori gunung api aktif tipe A yang mengalami letusan secara berkala semenjak tahun 1699 dan terakhir tahun 1938. Letusan yang terjadi telah membawa dampak terjadinya perubahan lanskap kawasan. Demikian juga dengan emisi belerang yang keluar dari dalam bumi telah membinasakan banyak spesies mikro organisme, aneka serangga, pepohonan hingga kerusakan kualitas lahan dan degradasi ekosistem lokal.

Bekas-bekas pohon yang berwarna kecokelatan roboh dan berserakan, lahan yang gundul, tanah yang berupa batuan induk yang tajam, genangan air yang keruh dan beberapa tumbuhan lumut menempel pada lokus tertentu menambah nuansa telah terjadi kerusakan lingkungan dan musnahnya habitat mikro di kawah mati ini. Hal ini sejalan dengan hasil kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional yang merilis hasil kajiannya bahwa aktivitas vulkanik ini telah menyebabkan penurunan biodiversitas hingga mencapai angka 30 persen yang dibarengi dengan hilangnya tutupan vegetasi pada lahan mencapai angka 40 persen. Tanaman Paku Kawat (lycopodium) yang sangat terkenal paling kuat bertahan pada cuaca ekstrem pun mengalami gangguan fotosintesis. Demikian pula dengan tanaman jenis paku-pakuan kecil yang hidup menjalar yang lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan telah mengalami pemusnahan populasi secara signifikan akibat kerusakan lahan dan polusi udara.

Tidak sekedar tumbuhan, habitat satwa yang ada di sekitar Kawah Mati juga mengalami penurunan populasi dan terancam kepunahan. Hasil penelitian Nasir (2003) menemukan berbagai jenis burung (elang jawa dan cuculus micropterus), macam tutul, bunglon, ular sanca kembang, surili, trenggiling dan aneka jenis kodok mengalami kematian akibat menghirup gas beracun jenis CO, CO2 dan SO4  level A yang sangat mematikan. 

Tidak jauh dari Kawah Mati akan ditemukan kawah yang masih aktif yaitu Kawah Ratu. Berbeda dengan Kawah Mati, Kawah Ratu masih menyemburkan asap yang cukup banyak sepanjang waktu. Sebaran asap putih masih menyelimuti seluruh kawasan sehingga jarak pandang terkadang sampai terbatas. Jika pada Kawah Mati ditemukan sisa-sisa vegetasi yang mati dan membatu, pemandangan sebaliknya  ditemukan di kawah ini. Seluruh hamparan ditemukan batuan induk yang berwarna kuning, hitam, coklat bata sebagai tanda kandungan belerangnya tinggi. Di bagian lembah dari cekungan kawah ditemukan sungai sepanjang 1 kilometer dengan warna air yang sangat hijau karena tumbuhan lumut di  dasarnya. Air sungai ini sering dimanfaatkan pendaki untuk mandi karena kandungan belerangnya mempunyai berbagai manfaat untuk penyembuhan penyakit kulit, gatal dan menyegarkan kembali badan setelah lelah mendaki. Menurut Majalah Tempo (2022) Kawah Ratu mempunyai luas sekitar 2 hektar dan lebih luas dari Kawah Mati. Namun demikian, keduanya asal-usulnya sama yakni letusan freatik hebat pada tahun 1938 yang menyisakan bekas seperti saat ini.

Taman Nasional Gunung Halimun Salak, menurut Jurnal Biologi Indonesia (2012) masih dihuni oleh 11 kelompok masyarakat adat Baduy dan Kasepuhan. Masyarakat adat Kasepuhan terbagi menjadi Kasepuhan Cicemet dan Kasepuhan Citorek. Kebiasaan dan gaya hidup mereka masih dekat dengan alam dan sangat menjaga kelestarian alam. Hal ini tercermin dari larangan untuk memetik bunga anggrek secara sembarangan. Juga masih menjunjung tinggi kearifan lokal yang bernama pikukuh. Pikukuh tidak lain aturan yang telah diwariskan oleh nenek moyang  kepada generasi penerus yang dipertahankan hingga saat ini. Pikukuh dijadikan referensi untuk berperilaku dan interaksi dengan lingkungan serta berbagai larangan tertentu untuk menjaga sekaligus melestarikan lingkungan.

Kini, akhirnya kita memahami Kawah Ratu dan Kawah Mati di Gunung Salak menyimpan keindahan yang menakjubkan, namun di balik pesonanya terdapat kisah kelam tentang kehancuran. Musnahnya tumbuhan dan satwa akibat aktivitas vulkanik menjadi kenyataan yang sangat menyedihkan. Letusan gunung berapi telah menghancurkan ekosistem, menyebabkan penurunan biodiversitas hingga 30% dan hilangnya tutupan vegetasi mencapai 40%. 

Gas beracun dari aktivitas vulkanik telah mematikan banyak spesies, termasuk burung, reptil, dan mikroorganisme yang berperan penting dalam keseimbangan alam. Kawah Ratu, meski masih aktif dan menarik perhatian banyak pendaki, menunjukkan kontras yang mencolok dibandingkan Kawah Mati yang gersang dan hancur.

Keajaiban alam ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati dan lingkungan. Dalam setiap langkah pendakian, kita dihadapkan pada fakta bahwa keindahan alam bisa rapuh, dan tanggung jawab kita adalah melestarikannya untuk generasi mendatang. Mari kita nikmati keindahan ini sambil berkomitmen untuk menjaga dan melindungi alam yang kita cintai melalui Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia.





17 November 2024

Kisah Inspiratif: Agradaya Memperdayakan Petani Tanaman Empon-Empon Di Perbukitan Menoreh


Perbukitan  Menoreh adalah jajaran bukit yang membentang dari selatan menuju utara yang berada di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa. Perbukitan ini kokoh berdiri bak raksasa tidur yang menjadi pembatas Provinsi DIY dengan Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Dusun Pringtali, Desa Jatimulya, Kecamatan Girimulya dikenal sebagai daerah lereng Perbukitan Menoreh yang masyarakatnya menghasilkan empon-empon. Usaha budidaya empon-empon dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan lahan pekarangan secara tumpang sari di sela-sela tanaman sengon, jati, kelapa hingga mahoni. Maka tidak mengherankan jika hasil budidaya empon-empon ini tidak bisa meningkatkan kesejahteraan mereka karena hasil jahe hanya di beli dengan harga Rp.5.000,00/kg, kunyit seharga Rp.800,00/kg dan temulawak dihargai Rp.5000,00/kg oleh para pengepul. 

Asri Saraswati dan Andhika  Mahardika, pendiri CV.Agradaya, merasa prihatin melihat ibu-ibu di Dusun Pringtali tidak dapat sejahtera dari usaha budidaya empon-empon tersebut. Mereka telah puluhan tahun membudidayakan empon-empon secara subur dan hasil melimpah tapi keuntungan terbanyak justru di tangan pengepul. Dengan bekal pengalaman menjadi relawan Indonesia Mengajar, Asri dan Andika, melalui CV.Agradaya berkomitmen memberdayakan petani lokal melalui pengolahan tanaman empon-empon menjadi komoditas bernilai tinggi. Melalui pendekatan yang inovatif dan berkelanjutan, CV.Agradaya tidak hanya meningkatkan kesejahteraan para petani tetapi juga memastikan produksi yang berbasis pada kelestarian lingkungan.  Dengan bekal keahlian menempuh pendidikan dalam chemical engineering bio procces dari salah satu kampus di Malaysia dan kursus  agrowaste di sebuah kampus di Filipina, Asri mulai bereksperimen bagaimana mengolah empon-empon menjadi komoditas bernilai tinggi. Meskipun percobaan pertamanya tidak berhasil, dia tetap tidak putus asa. Dia tetap semangat berkolaborasi dengan para petani wanita di kampung tersebut untuk menghasilkan barang setengah jadi  yang berupa empon-empon yang ditanam secara organik dan dikeringkan secara higinies. Selanjutnya, bahan setengah jadi dibeli dengan harga tinggi berkali lipat. Jika harga satu kilo kunyit  semula di beli pengepul Rp. 5.000,00/kg kini di beli oleh CV. Agradaya seharga Rp 25.000,00/kg, temulawak pun naik drastis harganya dari Rp.8000,00/kg dihargai Rp.40.000,00/kg. Dengan pembelian empon-empon yang melebihi harga pengepul, secara langsung akan lebih menguntungkan kepada para petani  dalam menjual produknya.

Di samping melakukan pembimbingan terkait budidaya dan pengolahan  empon-empon, CV.Agradaya melalui jaringan lembaga swadaya masyarakat lainnya untuk mengajak kolaborasi pemberdayaan masyarakat di lereng Perbukitan Menoreh. Bantuan Solar Dryer House diberikan oleh lembaga non profit untuk petani Dusun Pringtali. Melalui pemanfaatan teknologi ini, kualitas pengolahan empon-empon yang dilakukan oleh petani semakin bagus kualitasnya dan semakin cepat proses pengeringannya serta kapasitasnya lebih besar. Hasilnya, produk empon-empon harganya bertambah tinggi, memenuhi standar olahan produk internasional yang menjadi target market CV Agradaya ke manca negara.  Sempat, pada awalnya, banyak petani yang ragu karena khawatir tagihan listrik mereka akan membengkak. Namun, setelah dipaparkan contoh rumah pengering hemat energi tersebut, para petani mulai memanfaatkan teknologi tersebut. 

Pada tahun 2016 petani  binaan CV.Agradaya masih beranggotakan sekitar 20-30 orang dengan luas lahan sekitar 500 meter persegi. Kini, telah mencapai 150 orang dengan menyewa lahan milik inhutani seluas 1,5 hektar yang bernaung di bawah Kelompok Wanita Tani Pringtali Asri Hutan Kemasyarakatan Nuju Makmur.  Kelompok ini telah mendapat apresiasi banyak pihak karena telah mampu menciptakan sistem pertanian organik yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Juga, berhasil meningkatkan peran wanita dalam meningkatkan pendapatan keluarga menuju keluarga yang sejahtera. Keberhasilan CV.Agradaya dalam meningkatkan kesejahteraan petani wanita di Perbukitan Menoreh, telah menginspirasi usaha serupa di banyak tempat di Indonesia. Kini, desa binaan CV.Agradaya telah bertambah anggotanya yang berada di Kecamatan Samigaluh (Kulon Progo),  Gunungkidul (DIY), Sumba (NTT), Trenggalek dan Pacitan (Jawa Timur).

Prinsip dasar kolaborasi yang diimplementasikan oleh CV.Agradaya adalah planet, people, procces, product, dan profit. Pertanian yang dikembangkan merupakan pertanian organik melalui pemanfaatan lahan pekarangan dan agroforestri dengan memakai teknologi tepat guna yang ramah lingkungan. Target utama sebagai mitranya adalah masyarakat pedesaan yang secara ekonomi kurang berdaya sehingga mampu memperdayakan dirinya dan meningkatkan kesejahteraan melalui usaha tani empon-empon organik. Proses budidaya, pengolahan, harus memenuhi standar kualitas produk organik yang akan dipasarkan oleh CV.Agradaya ke pasaran internasional khususnya berbagai negara Eropa. Usaha budidaya empon-empon organik secara keekonomian jauh lebih menguntungkan karena harga yang lebih mahal dan prospek ke depan makin cerah seiring dengan kesadaran masyarakat hidup sehat dan back to nature. 

Melalui kemitraan ini, Cv.Agradaya tidak hanya membantu petani meningkatkan pendapatan mereka tetapi juga membangun komunitas yang lebih kuat. Petani kini memiliki akses ke pelatihan tentang teknik pertanian berkelanjutan dan pengolahan pasca-panen. Dengan demikian, mereka dapat menghasilkan produk berkualitas tinggi yang memenuhi standar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan standar kesehatan internasional. Hal ini memungkinkan produk empon-empon dari Perbukitan Menoreh untuk bersaing di pasar lokal maupun internasional. Di samping itu, CV.Agradaya telah mewujudkan pertanian berkelanjutan yang berbasis pada kearifan lokal. CV.Agradaya berulang kali melakukan blusukan ke desa-desa untuk memahami kebutuhan dan tantangan yang dihadapi petani empon-empon di Perbukitan Menoreh. Dengan memanfaatkan pengetahuan lokal dan hasil riset,  CV.Agradaya menerapkan praktik pertanian yang ramah lingkungan. Ini bukan hanya tentang keuntungan finansial; Agradaya berkomitmen untuk menjaga ekosistem agar tetap seimbang dan menyejahterakan petani wanita.


Kesimpulan

Kisah dari CV.Agradaya adalah contoh nyata bagaimana inovasi dan kolaborasi dapat mengubah kehidupan masyarakat di Perbukitan Menoreh. Dengan memberdayakan petani wanita melalui budidaya empon-empon yang menerapkan teknologi tepat guna, pendekatan pertanian berkelanjutan yang berbasis kearifan lokal, CV.Agradaya tidak hanya meningkatkan kesejahteraan ekonomi tetapi juga melestarikan budidaya tanaman empon-empon yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa dengan visi yang jelas dan komitmen terhadap keberlanjutan, masa depan pertanian di Indonesia bisa lebih cerah.

Melalui inisiatif ini, CV.Agradaya berhasil memberikan dampak positif bagi petani wanita di Perbukitan Menoreh sambil melestarikan warisan budaya pertanian Indonesia. Kisah inspiratif ini membuktikan bahwa perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil.