23 Desember 2012

Bolehkah Menerima Kue dan Hadiah Natal?

Merayakan natal jelas suatu hal yang terlarang bagi umat Islam. Begitu pula mengucapkan selamat, juga terlarang. Seorang muslim pun tidak boleh menghadiri acara natal dan tidak boleh mendukung dalam hal apa pun dalam perayaan tersebut. Lantas bagaimana jika tetangga atau rekan kerja kita memberi kue, makanan atau hadiah yang berhubungan dengan perayaan natal? Apakah boleh kita terima dan menikmatinya? Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ ditanya, “Bolehkah seorang muslim memakan makanan dari perayaan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) atau dari perayaan orang musyrik di hari raya mereka atau menerima pemberian yang berhubungan dengan hari raya mereka?” Jawaban para ulama Lajnah, “Tidak boleh seorang muslim memakan makanan yang dibuat oleh orang Yahudi dan Nashrani atau orang musyrik yang berhubungan dengan hari raya mereka. Begitu pula seorang muslim tidak boleh menerima hadiah yang berhubungan dengan perayaan tersebut. Karena jika kita menerima pemberian yang berhubungan dengan hari raya mereka, itu termasuk bentuk memuliakan dan menolong dalam menyebarluaskan syi’ar agama mereka. Hal itu pun termasuk mempromosikan ajaran mereka yang mengada-ada (baca: bid’ah) dan turut gembira dalam perayaan mereka. Seperti itu pun dapat dianggap menjadikan perayaan mereka menjadi perayaan kaum muslimin. Boleh jadi awalnya mereka ingin mengundang kita, namun diganti dengan yang lebih ringan yaitu dengan memberi makanan atau hadiah saat mereka berhari raya. Ini termasuk musibah dan ajaran agama yang mengada-ada (baca: bid’ah). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa yang mengada-adakan amalan baru yang bukan ajaran dari kami, maka amalannya tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagaimana pula tidak boleh bagi seorang muslim memberi hadiah kepada non muslim yang berhubungan dengan perayaan mereka. [Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’no. 2882, pertanyaan kedua, 22: 398-399, ditanda tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota] Yang berkata terlarangnya menerima hadiah dan kue natal, bukanlah kami. Coba perhatikan, kami hanya menukil fatwa para ulama yang lebih berilmu dari kami dan lebih paham yang terbaik bagi umatnya ketika mereka mengeluarkan fatwa. Hidayah hanyalah dari Allah, kami hanyalah menyampaikan. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. @ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 1 Shafar 1433 H — Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Muslim.Or.Id

Bolehkah Memanfaatkan Diskon Natal dan Tahun Baru?

Kita sudah sering memperhatikan bahwa menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, banyak diskon yang ditawarkan oleh berbagai tempat belanja. Jika memang kita membutuhkan barang-barang yang dijual diskon tersebut, apakah kita boleh membelinya? Hal ini tentu berbeda jika seseorang membeli aksesoris perayaan natal. Ada pertanyaan yang diajukan pada Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah dalam situs beliau Al Islam Sual wa Jawab, “Di Australia, ada diskon besar (bertepatan dengan perayaan non muslim) pada barang-barang tertentu seperti pakaian, furniture, elektronik dan sebagainya. Apakah diperbolehkan membeli barang-barang tersebut untuk mendapatkan diskon besar, yang hanya tersedia pada waktu ini saja selama setahun?” Jawaban dalam situs Al Islam Sual wa Jawab, Tidak mengapa jika kita membeli pakaian, furniture dan barang lainnya pada moment hari raya orang kafir seperti ketika natalan asalkan kita tidak membeli apa yang digunakan untuk merayakan perayaan mereka atau untuk meniru orang-orang kafir dalam festival mereka. Bagi pedagang muslim, boleh saja membuka toko di saat perayaan orang kafir asalkan memperhatikan dua syarat: 1. Tidak menjual barang yang nanti digunakan oleh orang kafir untuk bermaksiat atau yang akan menolong mereka untuk mengadakan perayaan mereka. [contoh: penjual tidak boleh menjual aksesoris natal seperti santa klaus serta berbagai hadiah, kue, dan makanan untuk perayaan natal, pen] 2. Tidak menjual barang kepada kaum muslimin yang akan membuat mereka meniru-niru perayaan orang kafir. [contoh: saat tahun baru tidak menjual petasan, mercon, kembang api untuk mendukung perayaan tahun baru masehi karena hal ini akan membuat kaum muslimin meniru-niru perayaan tahun baru yang memang menjadi perayaan orang kafir, pen] Intinya, membeli sesuatu yang menjadi kebutuhan seseorang (bertepatan dengan perayaan orang kafir) itu lebih ringan daripada menjual dan membuka toko kala itu. Namun, asalnya boleh-boleh saja membeli (barang diskonan kala itu) dan jika bertepatan dengan waktu perayaan orang kafir, itu tidaklah masalah. Wallahu a’lam. Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 145676 Penyusun: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Muslim.Or.Id

"DIBALIK" UCAPAN SELAMAT HARI NATAL

Cukup mengagetkan hati tatkala melihat semangat sebagian "kiyai" atau "wali" dari kalangan aswaja dalam memberi ucapan "selamat natal" kepada kaum Nasrani. Bahkan tatkala Gus Dur dalam kondisi kritis dan menjelang wafatnya, maka beliau masih sempat mengucapkan selamat natal, sebagaimana dituturkan oleh putri beliau Inayah Wahid. Ia berkata : ((Saat itu, kondisi ayahnya yang makin kritis saat berbaring di rumah sakit. Teman, rekan, sahabat Gus Dur dari kalangan nasrani, datang menjenguk, bertepatan dengan Hari Natal, 25 Desember. "Dengan kondisi yang sakit, Gus Dur masih bisa mengucapkan selamat Natal. Ucapan itu persis pada pada tanggal 25 Desember.)), sebagaimana dinukil dari http://www.tribunnews.com/2011/01/01/gus-dur-masih-bisa-ucapkan-selamat-natal) Demikian juga semangat mengucapkan natal disampaikan oleh Gus Sholah, sebagaimana dituturkan oleh Tribun News: ((Cendekiawan Muslim Salahuddin Wahid mengatakan, umat Islam sah-sah saja mengucapkan Natal kepada umat Kristiani. Pasalnya, tidak ada dasar yang melarang Muslim mengucapkan natal. "Mengucapkan Natal adalah bentuk ungkapan saling menghormati antarpemeluk agama," kata pria yang akrab disapa Gus Sholah itu, Kamis (20/12/2012))), http://www.tribunnews.com/2012/12/20/gus-sholah-tak-ada-larangan-muslim-ucapkan-selamat-natal,). Padahal ketua MUI telah melarang mengucapkan selamat natal (http://www.tempo.co/read/news/2012/12/20/173449329/MUI-Umat-Islam-Tidak-Usah-Ucapkan-Selamat-Natal) Hari natal adalah hari perayaan kaum Nashrani. Apa sih yang sedang mereka rayakan?, yang sedang mereka gembirakan??. Tentunya semua kaum Nashrani –dari Sabang sampai Merauke- sepakat bahwa mereka sedang merayakan hari kelahiran tuhan dan sesembahan mereka. Mereka tidak sedang merayakan kelahiran Yesus sebagai seorang nabi, akan tetapi merayakan kelahiran Yesus sebagai "Tuhan" atau "Anak Tuhan". Coba kita renungkan dengan akal sehat…, tatkala seorang muslim mengucapkan selamat kepada mereka, apakah yang dipahami oleh mereka?, apakah mereka memahami seorang muslim sedang menyatakan, "Selamat atas kelahiran Yesus sebagai seorang Nabi?". Tentunya sama sekali tidak !!!, karena jika mereka memahami demikian tentunya mereka akan ngamuk dan merasa dihina oleh seorang muslim…. Karenanya…mengucapkan selamat hari natal menimbulkan kelaziman-kelaziman yang sangat buruk… ((Selamat Hari Natal = Selamat hari lahirnya "tuhan" kalian = selamat menyembah salib = selamat kalau Allah punya anak = selamat bertrinitas = selamat memusuhi agama tauhid (Islam) = Selamat bahagia dengan bangkitnya kaum salibis yang senantiasa mengharapkan hancurnya Islam)) Ucapan selamat natal lebih parah daripada ucapan : Selamat berzina..., selamat mabuk..., selamat mencuri..., selamat membunuh..., selamat korupsi..., karena dosa terbesar adalah dosa kesyirikan… Akan tetapi masih banyak kaum muslimin yang tidak menyadarinya...!!!! Apa yang saya simpulkan di atas ternyata telah jauh-jauh diperingatkan oleh para ulama. Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya "Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah" berkata: وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل "Adapun memberi selamat terhadap perayaan-perayaan kufur yang khusus maka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan (para ulama) seperti seseorang (muslim) memberi selamat kepada mereka (orang-orang kafir) atas perayaan-perayaan mereka. Maka ia berkata "Perayaan yang diberkahi atasmu…" atau "Selamat gembira dengan perayaan ini" atau yang semisalnya. Maka perbuatan seperti ini –kalau pengucapnya selamat dari kekufuran- maka perbuatan ini merupakan keharaman, dan kedudukannya seperti jika ia memberi ucapan selamat kepada orang yang sujud ke salib. Bahkan hal ini lebih parah dosanya di sisi Allah dan lebih di murkai dari pada jika ia mengucapkan selamat kepada orang yang minum khomr (bir) atau membunuh orang lain, atau melakukan zina dan yang semisalnya. Banyak orang yang tidak memiliki ilmu agama yang cukup terjerumus dalam hal ini, dan mereka tidak tahu akan buruknya perbuatan mereka." (Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah 1/441, tahqiq : Yusuf bin Ahmad Al-Bakry dan Syaakir bin Taufiiq, cetakan Romaady li An-Nasyr, cetakan pertama 1418 H/1997 M) Seseorang hendaknya mencari keridoan Allah ta'ala, dengan mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan murka terhadap apa yang dimurkai oleh Allah. Allah sangat murka dengan pernyataan bahwa Yesus adalah anak Allah. وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (٨٨) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (٨٩) تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الأرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (٩٠) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا "Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak". Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena Ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda'wakan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak." (QS Maryam : 88-91) Allah menggambarkan rusaknya keyakinan Allah punya anak dengan menyatakan bahwa pernyataan tersebut hampir-hampir menjadikan benda-benda mati yang megah seperti langit, bumi, dan gunung hancur karena betapa mungkarnya pernyataan tersebut. Lantas kemudian kaum Nasrani bergembira dengan pernyataan tersebut…Lantas sebagian kaum muslimin ikut mengucapkan "Selamat" atas keyakinan yang batil ini, yang merupakan puncak kesyirikan !!!! Tidak diragukan lagi bagi orang yang berakal/waras bahwasanya jika seseorang berkata kepada orang lain, "Selamat berzina" sambil mengirimkan kartu uacapan selamat, disertai senyuman tatkala mengucapkannya, maka tidak diragukan lagi bahwasanya menunjukan ia ridho dengan "zina" tersebut. Dan itulah yang dipahami oleh sang pelaku zina. Lantas jika ada orang yang mengucakan "Selamat hari natal" bukankah ini menunjukan ia ridho denga acara kesyirikan dan kekufuran tersebut??. Ucapan selamat seperti ini, tidak diragukan lagi secara dzohir menunjukan keridoan !!! Dari sinilah kenapa para ulama mengharamkan ucapan "selamat natal". Meskipun –sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnul Qoyyim- bahwasanya kebanyakan orang yang mengucapkannya tidak bermaksud demikian, dan tidak bermaksud rido dengan kekufuran dan kesyirikan. Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal (Muslim.or.id)

LARANGAN UNTUK MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL




Mungkin tidak lama lagi, akan terdengar, akan terpampang tulisan yang dibaca “Merry Christmas”, atau yang artinya Selamat Hari Natal. Dan biasanya, momen ini disandingkan dengan ucapan Selamat Tahun Baru.
Sebagian orang menganggap ucapan semacam itu tidaklah bermasalah, apalagi yang yang berpendapat demikian adalah mereka orang-orang kafir. Namun hal ini menjadi masalah yang besar, ketika seorang muslim mengucapakan ucapan selamat terhadap perayaan orang-orang kafir.
Dan ada juga sebagian di antara kaum muslimin, berpendapat nyeleneh sebagaimana pendapatnya orang-orang kafir. Dengan alasan toleransi dalam beragama!? Toleransi beragama bukanlah seperti kesabaran yang tidak ada batasnya. Namun toleransi beragama dijunjung tinggi oleh syari’at, asal di dalamnya tidak terdapat penyelisihan syari’at. Bentuk toleransi bisa juga bentuknya adalah membiarkan saja mereka berhari raya tanpa turut serta dalam acara mereka, termasuk tidak perlu ada ucapan selamat.
Islam mengajarkan kemuliaan dan akhlak-akhlak terpuji. Tidak hanya perlakuan baik terhadap sesama muslim, namun juga kepada orang kafir. Bahkan seorang muslim dianjurkan berbuat baik kepada orang-orang kafir, selama orang-orang kafir tidak memerangi kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)
Namun hal ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menggeneralisir sikap baik yang harus dilakukan oleh seorang muslim kepada orang-orang kafir. Sebagian orang menganggap bahwa mengucapkan ucapan selamat hari natal adalah suatu bentuk perbuatan baik kepada orang-orang nashrani. Namun patut dibedakan antara berbuat baik (ihsan) kepada orang kafir dengan bersikap loyal (wala) kepada orang kafir.
Alasan Terlarangnya Ucapan Selamat Natal
1- Bukanlah perayaan kaum muslimin
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa perayaan bagi kaum muslimin hanya ada 2, yaitu hari ‘Idul fitri dan hari ‘Idul Adha.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata : “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata : Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya kurban (‘Idul Adha) dan hari raya ‘Idul Fitri” (HR. Ahmad, shahih).
Sebagai muslim yang ta’at, cukuplah petunjuk Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjadi sebaik-baik petunjuk.
2- Menyetujui kekufuran orang-orang yang merayakan natal
Ketika ketika mengucapkan selamat atas sesuatu, pada hakekatnya kita memberikan suatu ucapan penghargaan. Misalnya ucapan selamat kepada teman yang telah lulus dari kuliahnya saat di wisuda.
Nah,begitu juga dengan seorang yang muslim mengucapkan selamat natal kepada seorang nashrani. Seakan-akan orang yang mengucapkannya, menyematkan kalimat setuju akan kekufuran mereka. Karena mereka menganggap bahwa hari natal adalah hari kelahiran tuhan mereka, yaitu Nabi ‘Isa ‘alaihish shalatu wa sallam. Dan mereka menganggap bahwa Nabi ‘Isa adalah tuhan mereka. Bukankah hal ini adalah kekufuran yang sangat jelas dan nyata?
Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
3- Merupakan sikap loyal (wala) yang keliru
Loyal (wala) tidaklah sama dengan berbuat baik (ihsan). Wala memiliki arti loyal, menolong, atau memuliakan orang kita cintai, sehingga apabila kita wala terhadap seseorang, akan tumbuh rasa cinta kepada orang tersebut. Oleh karena itu, para kekasih Allah juga disebut dengan wali-wali Allah.
Ketika kita mengucapkan selamat natal, hal itu dapat menumbuhkan rasa cinta kita perlahan-lahan kepada mereka. Mungkin sebagian kita mengingkari, yang diucapkan hanya sekedar di lisan saja. Padahal seorang muslim diperintahkan untuk mengingkari sesembahan-sesembahan oarang kafir.
Allah Ta’ala berfirman,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Qs. Al Mumtahanah: 4)
4- Nabi melarang mendahului ucapan salam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ
Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167). Ucapan selamat natal termasuk di dalam larangan hadits ini.
5- Menyerupai orang kafir
Tidak samar lagi, bahwa sebagian kaum muslimin turut berpartisipasi dalam perayaan natal. Lihat saja ketika di pasar-pasar, di jalan-jalan, dan pusat perbelanjaan. Sebagian dari kaum muslimin ada yang berpakaian dengan pakaian khas perayaan natal. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kaum  muslimin untuk menyerupai kaum kafir.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Pembicaraan Kelahiran Isa dalam Al Qur’an
Bacalah kutipan ayat di bawah ini. Allah Ta’ala berfirman,
فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا (22) فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا (23) فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا (24) وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا (25)
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia mengasingkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.’ Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 22-25)
Kutipan ayat di atas menunjukkan bahwa Maryam mengandung Nabi ‘Isa ‘alahis salam pada saat kurma sedang berbuah. Dan musim saat kurma berbuah adalah musim panas. Jadi selama ini natal yang diidetikkan dengan musim dingin (winter), adalah suatu hal yang keliru.
Penutup
Ketahuilah wahai kaum muslimin, perkara yang remeh bisa menjadi perkara yang besar jika kita tidak mengetahuinya. Mengucapkan selamat pada suatu perayaan yang bukan berasal dari Islam saja terlarang (semisal ucapan selamat ulang tahun), bagaimana lagi mengucapkan selamat kepada perayaan orang kafir? Tentu lebih-lebih lagi terlarangnya.
Meskipun ucapan selamat hanyalah sebuah ucapan yang ringan, namun menjadi masalah yang berat dalam hal aqidah. Terlebih lagi, jika ada di antara kaum muslimin yang membantu perayaan natal. Misalnya dengan membantu menyebarkan ucapan selamat hari natal, boleh jadi berupa spanduk, baliho, atau yang lebih parah lagi memakai pakaian khas acara natal (santa klaus, pent.)
Allah Ta’ala telah berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2).
Wallahu waliyyut taufiq.

Penulis: Wiwit Hardi Priyanto
Artikel Muslim.Or.Id


15 Desember 2012

MENYOROT SHALAT ARBAIN DI MASJID NABAWI

Pada umumnya, para jamaah haji dijadwalkan untuk mengunjungi kota Madinah sebelum atau sesudah penyelenggaraan ibadah haji. Mereka sangat bersemangat berkunjung ke Madinah meski ziarah ini tidak ada hubungannya dengan ibadah haji. Hal ini tidak aneh karena Madinah memiliki kedudukan yang tinggi dalam sejarah penyebaran Islam. Ke tempat inilah Nabi Muhammad berhijrah untuk kemudian menghabiskan umur beliau dalam menyemai dakwah Islam di sana. Maka meski ibadah haji tetap sah tanpa ziarah ke Madinah, para jamaah haji selalu merasa ada yang kurang jika tidak berkunjung ke sana. Di antara ibadah yang biasa dilakukakan para jamaah haji selama di kota ini adalah shalat arba’in di Masjid Nabawi. Tulisan ini mencoba menelisik beberapa segi dari ibadah ini agar para pembaca bisa mengetahui kedudukannya dalam Islam. Keutamaan Shalat di Masjid Nabawi Shalat di Masjid Nabawi tidaklah seperti shalat di masjid lain. Allah telah menyematkan padanya keutamaan yang besar, sebagaimana Allah telah melebihkan sebagian amalan di atas sebagian yang lain. Hadits berikut dengan tegas menjelaskan hal ini: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلاَّ المَسْجِدَ الحَرَامَ» Dari Abu Hurairah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda : “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram. ” (HR. al-Bukhari no.1190 dan Muslim no. 505) Sungguh keutamaan yang besar! Ini berarti satu kali shalat fardhu di sana lebih baik dari shalat fardhu yang kita lakukan dalam dua ratus hari. Maka sungguh merugi orang yang sudah sampai di Madinah tapi tidak sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan besar ini. Hadits yang muttafaq ‘alaih sehingga tidak diragukan lagi keshahihannya ini sudah cukup sebagai penggelora semangat kita dan kita tidak butuh lagi hadits-hadits yang lemah. Apa itu Shalat Arba’in? Arba’in atau arba’un dalam bahasa Arab berarti empat puluh. Yang dimaksud dengan shalat arba’in adalah melakukan shalat empat puluh waktu di Masjid Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madinah selama minimal 8 hari agar bisa menjalankan shalat arba’in. Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: «مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً، لاَ يَفُوتُهُ صَلاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ» “Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan.” (HR. Ahmad no. 12.583 dan ath-Thabrani dalam al-Ausath no. 5.444) Hadits ini dihukumi shahih oleh beberapa ulama seperti al-Mundziri , al-Haitsami dan Hammad al-Anshari[1] berdasarkan dimasukkannya Nubaith bin Umar dalam kitab ats-Tsiqat oleh Ibnu Hibban. Padahal Nubaith ini tidak dikenal (majhul),dan para ulama hadits menjelaskan bahwa Ibnu Hibban memakai standar longgar dalam kitab ini, yaitu memasukkan orang-orang yangmajhul dalam kelompok rawi yang terpercaya (tsiqah). Perlu direnungkan, bagaimana amalan dengan pahala sebesar ini tidak populer di kalangan sahabat dan hanya diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh satu tabi’i yang tidak dikenali dan tidak memiliki riwayat sama sekali –tidak dalam hadits shahih maupun dha’if- kecuali hadits ini?[2] Maka sesungguhnya penshahihan ini tidak bisa diterima, dan pendapat yang melemahkan hadits ini adalah pendapat yang –wallahu a’lam- lebih kuat, dan ini adalah pendapat Syaikh al-Albani, Bin Baz, Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan Lajnah Daimah (Komisi Tetap Fatwa di Arab Saudi).[3] Pembahasan lebih dalam mengenai takhrij hadits dan perbedaan para ulama seputar keshahihan hadits ini bisa ditelaah di tulisan lain dalam mabhats ini. Beberapa Catatan Tentang Praktek Shalat Arba’in Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan seputar amalan ini, di antaranya: 1- Kadang-kadang terjadi pelanggaran sunnah yang sudah jelas untuk mengejar pahala amalan yang masih diperselisihkan ini. Saat musim haji, di Masjid Nabawi kita bisa dengan mudah melihat banyak orang yang berlarian saat mendengar iqamat dikumandangkan. Hal ini mereka lakukan untuk mengejar takbiratul ihram bersama imam. Padahal Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-memerintahkan kita untuk mendatangi masjid dengan tenang dan melarang kita untuk tergesa-gesa saat hendak shalat. Beliau bersabda: «إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا» “Jika kalian mendeng ar iqamat, berjalanlah untuk shalat dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru, shalatlah bersama imam sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang tertinggal.” (HR. al-Bukhari no.636 dan Muslim no. 154, dan ini adalah lafazh al-Bukhari) 2- Sebagian orang tidak lagi bersemangat untuk shalat di Masjid Nabawi setelah menyelesaikan arba’in. Hal ini bisa mudah dilihat di penginapan para jamaah haji menjelang kepulangan dari Madinah. Panggilan adzan yang terdengar keras dari hotel-hotel yang umumnya dekat dari Masjid Nabawi tidak lagi dijawab sebagaimana hari-hari sebelumnya saat program arba’in belum selesai. Jika kita melihat kondisi para jamaah haji setelah sampai di negeri masing-masing, kita bisa melihat kondisi yang lebih memprihatinkan lagi. Adakah ini karena keyakinan mereka bahwa mereka telah bebas dari neraka dan kemunafikan setelah menyelesaikan program arba’in? Jika demikian, maka amalan yang masih diperselisihkan ini telah memberikan dampak buruk atau dipahami secara salah. Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim –salah satu ulama yang ikut menshahihkan amalan ini- berkata, “Perlu diketahui bahwa tujuan dari arba’in adalah membiasakan dan memompa semangat shalat jamaah. Adapun jika setelah pulang orang meninggalkan shalat jamaah dan meremehkan shalat, maka ia sungguh telah kembali buruk setelah sempat baik.” [4] 3- Sebagian orang memaksakan diri untuk menginap di Madinah untuk waktu lama, sedangkan mereka tidak memiliki bekal yang memadai. Padahal mereka perlu menyewa penginapan dan menyediakan kebutuhan hidup yang lain. Sebagian orang yang kehabisan bekal akhirnya mengemis di Madinah demi mengejar keutamaan arba’in.[5] Adapun jamaah haji Indonesia, insyaallah tidak mengalami hal ini karena biaya hidup di Madinah sudah masuk dalam paket biaya pelaksanaan ibadah haji yang harus dibayarkan sebelum berangkat. Di samping itu, jika ada bekal dan waktu berlebih, lebih baik jika digunakan untuk memperbanyak ibadah di Makkah dan Masjidil Haram yang jelas memiliki keutamaan lebih besar. 4- Barangkali ada jamaah haji yang memaksakan diri untuk tetap shalat di Masjid Nabawi saat sedang saat keras demi mengejar keutamaan arba’in. Semangat ibadah tentu sangat dianjurkan, namun jika sampai membahayakan kesehatan, maka hal ini menjadi tidak boleh. Dalam beberapa kasus, saya melihat bahwa memforsir tenaga secara berlebihan selama perjalanan haji adalah salah satu faktor penyebab banyaknya kematian para jamaah haji. Sayangnya hal ini kadang terjadi dalam ibadah yang tidak kuat dalilnya, seperti mengulang-ulang umrah saat di Makkah. Sementara sebagian jamaah lain justru sakit saat ibadah utama (haji) tiba waktunya, karena sebelumnya sudah terforsir untuk ibadah-ibadah seperti ini. 5- Bagi para jamaah haji wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid Nabawi. Mari kita perhatikan hadits berikut ini: عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ، قَالَ: «قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي» ، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid as-Sa’idi-bahwa ia telah datang kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata, “Aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu dari shalat di kamar depan. Shalatmu di kamar depan lebih baik bagimu dari shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu dari shalat di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalat di masjidku.” Maka Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan masjid di bagian rumahnya yang paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai bertemu Allah. (HR. Ahmad no. 27.090, dihukumi hasan oleh Ibnu Hajar) Kita sudah mengetahui besarnya keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Namun bagi para wanita, shalat di rumah mereka tetap lebih baik bagi mereka dibanding shalat di Masjid Nabawi, bahkan di Masjidil Haram. Semakin tersembunyi tempat shalat, itu semakin baik bagi mereka. Para jamaah haji wanita perlu meneladani Ummu Humaid yang begitu menaati sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan selalu shalat di rumah. Tidak seperti sebagian jamaah haji wanita yang kadang sampai shalat di jalan-jalan kota Makkah karena masjid-masjid penuh. Mereka bersemangat tinggi tapi tidak didasari ilmu agama yang memadai. Ada Arba’in Lain Selain arba’in di atas ada arba’in dengan bentuk lain dengan dalil yang lebih shahih, yaitu hadits berikut: عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ. Dari Anas bin Malik, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barang siapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan. (HR ar-Tirmidzi no. 241, dihukumi hasan oleh al-Albani, dan al-‘Iraqi mengatakan: para rawinya tsiqah)[6] Dibanding arba’in yang di atas, arba’in ini memiliki beberapa perbedaan, yaitu: 1- Jumlah bilangan shalatnya dua ratus shalat dalam empat puluh hari. Bandingkan dengan empat puluh shalat dalam delapan hari! Karenanya, sebagian orang yang pernah mencoba mengamalkannya mengalami kesulitan yang cukup besar, kira-kira sebanding dengan besarnya pahala yang dijanjikan. 2- Arba’in ini pelaksanaannya tidak terbatas pada Masjid Nabawi, tapi bisa dilakukan di masjid manapun di atas muka bumi ini. Jangan Lewatkan Pahala Jihad di Masjid Nabawi Di akhir pembahasan ini, saya ingin mengajak para peziarah kota Madinah untuk tidak melewatkan sebuah peluang pahala besar selama di Madinah, yakni sebuah amalan yang tidak hanya akan bermanfaat selama musim haji saja, tapi diharapkan bisa menerangi sisa kehidupan mereka yang akan datang. Hal ini termaktub dalam hadits berikut: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا، لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ» Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-bersabda: “Barang siapa mendatangi masjidku ini, tidak datang kecuali untuk kebaikan yang ingin dia pelajari atau dia ajarkan, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Dan barang siapa datang untuk selain itu, maka ia laksana orang yang hanya memandang barang orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 227, dihukumi shahih oleh al-Albani) Memandang barang orang lain maksudnya adalah ia seperti orang yang masuk ke pasar, tapi tidak menjual atau membeli, dan hanya memandang barang orang lain sehingga tidak mendapatkan apa-apa. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Masjid Nabawi adalah suqul ‘ilmi (pasar ilmu), dan selayaknya bagi orang yang masuk ke dalamnya untuk berdagang ilmu, baik dengan menuntut ilmu atau mengajarkannya.[7] Jika anda paham bahasa Arab, anda bisa belajar langsung kepada para ulama di Masjid Nabawi. Jika tidak, anda bisa membawa kitab untuk dibaca, berdiskusi atau membaca al-Quran dan terjemahnya. Atau menghadiri pengajian berbahasa Indonesia yang mulai tahun ini insyaallah akan dibuka di kursi-kursi resmi dalam Masjid Nabawi dan diampu para mahasiswa senior di Universitas Islam Madinah. Yang penting setiap langkah anda dari penginapan menuju Masjid Nabawi tidak lepas dari niat mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, agar pahala jihad tidak luput dari anda. Musim haji selain menjadi musim ibadah juga merupakan titik temu para ulama dan penuntut ilmu. Para jamaah haji yang ingin melipatgandakan keuntungan mereka menimba ilmu dari para ulama haramain atau para ulama yang datang dari berbagai penjuru dunia, kemudian mendakwahkannya di negeri masing-masing. Mereka menjadi duta dakwah sebagaimana dahulu para sahabat meninggalkan tanah suci yang mereka cintai untuk menebar hidayah. Atau jika tidak mendakwahkannya secara luas, paling tidak mereka mengenal Islam yang murni langsung dari sumbernya dan bermanfaat untuk mereka dan keluarga mereka, dan ini sungguh keuntungan yang tidak sedikit. Khatimah Dari paparan di atas, jelaslah bagi kita keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Keutamaan ini sangat cukup memotivasi kita untuk melakukan shalat jamaah sebanyak mungkin di Masjid Nabawi. Lemahnya hadis arba’in, ditambah adanya praktek-praktek yang salah sebagaimana telah dijelaskan di atas membuat kita tidak memerlukannya. Semoga Allah membimbing kita dan kaum muslimin untuk berilmu sebelum beramal, dan membimbing kita semua kepada apa yang Dia cinta dan ridhai. Amin. Referensi: •Adhwa’ul Bayan fi Idhah al-Qu`ran bil Qur`an, Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi, Darul Fikr. •Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41. •At-Targhib wat Tarhib, al-Mundziri. •Fadhlul Madinah, Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad. •Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, •Majma’ az-Zawa`id wa Manba’ al-Fawa`id, al-Haitsami, Maktabah al-Qudsi. •Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz, Muhammad asy-Syuwai’ir. •Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih, Abul Hasan al-Mubarakfuri, al-Jami’ah as-Salafiyyah. •Shahih at-Targhib wat Tarhib, al-Albani, Maktabah al-Ma’arif. •Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, al-Albani, Maktabah al-Ma’arif. •Takhrij Ahadits Ihya Ulumiddin, al-Hafizh al-‘Iraqi, Darul ‘Ashimah. Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, MA (Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah) Artikel Muslim.Or.Id

HUKUM JAMAAH KEDUA DI SATU MASJID


Sering sekali terjadi pengulangan jamaah dalam satu masjid, sehingga lebih dari dua jamaah, bahkan terkadang terjadi dua jamaah dalam satu waktu. Hal ini merupakan kenyataan yang harus diketahui hokum syari’at tentangnya, agar semakin jelas permasalahan dan hukum syari’atnya.
Apabila melihat keadaan jama’ah kedua dalam satu masjid, didapatkan ada beberapa kondisi, yaitu:
  1. Melakukan jamaah kedua disatu masjid yang tidak memiliki imam rawatibnya. Hal ini diperbolehkan.[1] Hal ini merupakan ijma’ sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawiy. Beliau menyatakan: “Apabila masjid tidak memiliki imam rawatib (tetap) maka diperbolehkan mengadakan jamaah kedua dan ketiga atau lebih menurut ijma’”[2]
  2. Melakukan jamaah kedua disatu masjid yang ada imam rawatibnyaNamun dilakukan karena kapasitas masjidnya tidak mampu menampung seluruh jamaah      sholat. Demikian juga hal ini diperbolehkan.
  3. Melakukan jamaah kedua di masjid yang sama pada waktu yang bersamaan pula.      Hal ini disepakati para ulama keharomannya[3]. Hal ini dikuatkan dengan beberapa hal, yaitu:
    1. Hal ini menyelisihi amalan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya, karena kejadian ini tidak pernah ada dizaman mereka. Syeikh ‘Aliisy Al Mishriy menjelaskan bahwa awal terjadinya berbilang jamaah dalam satu masjid di abad keenam dan belum pernah ada sebelumnya.[4]
    2. Menyelisihi hikmah pensyariatan berjamaah yang berupa kesatuan hati dan persatuan. Jamaah kedua yang dilakukan pada masjid dan waktu yang sama tentu akan memecah belah persatuan dan kesatuan hati kaum muslimin.
    3. Mengganggu dan memecah konsentrasi dan kekhusyuan orang yang sholat.
    4. Tidak dapat melakukan taswiyatus Shufuf (merapatkan dan meluruskan shof). Ini tentunya menyelisihi anjuran dan ajaran Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam .
    5. Terdapat penghinaan dan celaan kepada iman rawatib. Padahal para imam madzhab khususnya madzhab syafi’iyah dan hambaliyah sangat menganjurkan penjagaan hak imam rawatib. Tidak boleh selainnya menegakkan jamaah bila ia tidak ada dimasjid kecuali dengan udzur, seperti tidak mungkin ia hadir dimasjid dan takut hilang waktu sholat.[5]
  4. Mengerjakan jamaah lebih dari sekali dimushola-mushola dipinggiran jalan dan pasar (pusat pembelanjaan). Hukum jamaah ini diperbolehkan walaupun jamaah ketiga keempat dan seterusnya, karena mushola-mushola ini tidak dapat diatur jamaahnya karena silih berganti datangnya.[6] Imam Syafi’I berkata: “Adapun masjid yang dibangun di pinggir jalan atau pojokannya yang tidak ada mu’adzin tetap dan juga tidak ada imam tetapnya, tempat sholat dan istirahat orang yang lalu lalang disana, maka aku tidak melarangnya”.[7]
  5. Imam mengulangi sholatnya berjamaah dua kali dengan mengimami satu sholat dua kali. Ini diharomkan, walaupun ia berniat sholat yang kedua mengqodha sholat yang terlewatkan. Apalagi sholat fardhu diwaktunya. Ini disepakati oleh para imam madzhab sebagai perkara yang harom.[8]
  6. Mengerjakan jamaah kedua dalam masjid yang ada imam rawatibnya setelah selesai jamaah pertama bersama imam rawatib. Pada masalah ini terdapat perbedaan      pendapat para ulama.
Pendapat pertama: Melarang secara tegas dan hendaklah orang yang ketinggalan jamaah pertama sholat sendirian. Ini pendapat imam Sufyan Ats Tsauriy, Abdullah bin Al mubaarak, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy Syafi’I, Laits bin Sa’ad, Al Auzaa’iy, Az Zuhriy, Utsman Al Bittiy, Rabi’ah, An Nu’maan bin Tsabit Abu Hanifah, Ya’qub bin Ibrohim Abu Yusuf Al Qaadhiy, Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibaaniy, Al Qaasim, Yahya bin Sa’id, Saalim bin Abdillah, Abu Qilaabah, Abdurrazaaq Ash Shon’aniy, Ibnu ‘Aun, Ayub As Sakhtiyaaniy, Al Hasan Al bashriy, ‘Alqomah, Al Aswad bin Yazid, An Nakho’iy dan Abdillah bin Mas’ud.
Ulama-ulama ini mengambil dalil nash dan aqal. Adapun dari nash yang dinukil dari nabi dan para sahabatnya terdiri dari tiga sisi, Al Qur’an, Assunnah (Hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ) dan Atsar para sahabat.
1.Dalil Al Qur’an
Firman Allah Subhanahu Wata’ala :
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ لَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَآ إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Artinya: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang. orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah:”Kami tidak menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)” (Surat At Taubah. 9:107)
Dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala : وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ menunjukkan secara jelas larangan memecah belah kaum muslimin, sehingga wajib bagi mereka untuk bersatu kekauatannya. Hal ini tidak terjadi kecuali dengan berjamaah bersama imam rawatib.
Imam Al Qadhiy Abu Bakr Ibnul ‘Arabiy menjelaskan maksud ayat ini dalam pernyataan beliau: “Maknanya: Mereka berada pada satu jamaah di satu masjid, lalu kaum munafiq ingin memecah belah kesatuan mereka dalam ketaatan dan mengajak mereka kepada kekufuran dan maksiat. Ini menunjukkan bahwa tujuan terbesar dan jelas dalam penetapan jamaah adalah menyatukan hati dan persatuan dalam ketaatan, mengendalikan dan melarang melakukan perbuatan rendah sampai timbul rasa senang berkumpul serta membersihkan hati dari noda kedengkian dan iri hati. Imam Malik mengerti akan makna ini ketika menyatakan: “Tidak boleh ditegakkan sholat dua jamaah dalam satu masjid baik dengan dua imam atau satu imam”. Beliau menyelisihi ulama yang lainnya”.[9]

2. Hadits Nabi Shallallhu’alaihi Wasallam .
Mereka berdalil dengan hadits Abu bakroh z yang berbunyi:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَقْبَلَ مِنْ نَوَاحِيْ المَدِيْنَةِ يُرِيْدُ الصَّلاَةََ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا فَمَالَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ فَصَلَّى بِهِمْ
“Sesungguhnya Rasululloh datang dari pinggiran madinah ingin menunaikan sholat, lalu mendapati orang-orang telah selesai sholat berjamaah. Kemudian beliau pulang kerunahnya dan mengumpulkan keluarganya dan mengimami mereka sholat”.[10]
Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya jamaah kedua, karena seandainya diperbolehkan tentunya beliau n tidak meninggalkan keutamaan masjid nabawi.[11]
Ibnu ‘Abidin menyatakan dalam Hasyiyah Radul Mukhtar (1/553): “seandainya diperbolehkan jamaah kedua, tentunya Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memilih sholat dirumah dari berjamaah kedua dimasjid”.[12]
Demikian juga mereka berdalil dengan sabda Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Abu Hurairoh Radhiyallahu’anhu yang berbunyi:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
Sungguh Aku ingin memerintahkan seseorang mengimami sholat lalu ditegakkan (dilaksanakan). Kemudian aku pergi ke rumah orang-orang yang tidak mengikuti sholat lalu aku bakar rumah-rumah mereka tersebut“.[13]
Hadits ini menunjukkan ketidak bolehan jamaah kedua dalam satu masjid, karena seandainya diperbolehkan, maka ancaman pembakaran tersebut tidak ada artinya. Hal ini kerena mereka dapat mengambil udzur dari jamaah pertama dengan menyatakan kami akan melaksanakan jamaah kedua .
Pernyataan Rasululloh : “لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ ” bermakna sholat yang diperintahkan untuk ditegakkan atau dilaksanakan adalah sholat jamaah yang pertama, karena kata (الصَّلاَةَ) diberi tambahan huruf alif dan lam sehingga menunjukkan sholat jamaah yang pertama. hal ini menguatkan pendapat larangan jamaah kedua, karena seandainya diperbolehkan, tentu dikatakan
لاَ يَشْهَدُوْنَ صَلاَةً tanpa huruf alif dan lam.

3. Atsar Sahabat
Imam Syafi’I dalam kitab Al Umm (1/136) menyatakan: “Apabila seorang mendapatkan masjid yang dipakai berjamaah lalu tertinggal sholat jamaah. Seandainya ia mendatangi masjid lain untuk berjamaah, ini lebih saya sukai. Apabila ia tidak mencari masjid lain lalu sholat sendirian dimasjidnya tersebut maka itu baik. Apabila satu masjid memiliki imam rawatib (tetap) lalu seseorang atau sejumlah orang ketinggalan sholat berjamaah, maka mereka sholat sendiri-sendiri, saya tidak menyukai mereka sholat berjamaah padanya. Jika mereka melakukan sholat sendirian tersebut maka ia mendapat pahala berjamaah. Hal ini (berjamaah) dilarang bagi mereka karena itu bukan merupakan amalan para salaf sebelum kita, bahkan sebagian mereka mencelanya”.[14]
Imam Syafi’I menyatakan lagi: “Sungguh kami telah mengetahui secara pasti bahwa jika sejumlah sahabat ketinggalan jamaah sholat bersam Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam , mereka sholat sendiri-sendiri sepengetahuan beliau n . Padahal mereka mampu untuk berjamaah. Demikian juga kami ketahui sejumlah orang katinggalan jamaah sholat, lalu mendatangi masjid dan sholat sendiri-sendiri padahal mereka mampu melakukan jamaah kedua dimasjid tersebut, namun mereka sholat sendiri-sendiri. Mereka tidak menyukainya hanya agar tidak ada sholat jamaah dua kali pada satu masjid”.[15]
Pernyataan seorang mujtahid seperti ini tentu memiliki sumber rujukan dan diantara sumber rujukan beliau adalah pernyataan Al Hasan Al Bashriy : “Para sahabat Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam jika masuk masjid dan mendapatkan imam telah sholat maka mereka sholat sendiri-sendiri” [16]
Demikian juga atsar sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan Imam Abdirrazaq Ash Shon’aniy dari Ma’mar dari Hammaad bin Ibrohim bahwa Alqamah dan Al Aswad berangkat bersama Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhum ke masjid, lalu orang-orang menyongsong mereka dalam keadaan telah sholat. Lalu Ibnu Mas’ud pulang bersama keduanya ke rumah. Lalu salah seorang mereka berdiri disebelah kanan dan yang lain disebelah kirinya, lalu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu mengimami mereka sholat.[17]
Seandainya jamaah kedua diperbolehkan tentulah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu tidak berjamaah dirumah, apalagi berjamaah dimasjid jelas lebih utama. Demikian juga sahabat Rasulillah Shallallahu’alaihi Wasallamyang lainnya tidaklah sholat sendiri-sendiri padahal mampu untuk melakukan jamaah.
Hal ini dikuatkan lagi dengan riwayat Sahnuun dari Ibnul Qasim dari Malik dari Abdurrahman Al Mujabbar. Beliau berkata: “Aku masuk bersama Saalim bin Abdillah satu masjid jami’ dalam keadaan orang-orang telah selesai sholat. Lalu mereka berkata: mengapa tidak sholat berjamaah? Saalim bin Abdillah bin Umar menjawab: “Tidak boleh sholat berjamaah dalam satu sholat pada satu masjid dua kali”.[18]
Dalam pernyataan imam Saalim bin Abdillah bin Umar ini menunjukkan tidak bolehnya berjamaah lebih dari satu pada satu masjid. Hal ini juga disepakati oleh sejumlah Tabi’in diantaranya Ibnu Syihaab, Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id.
4. Dalil akal
Mereka menyatakan bahwa Jamaah kedua dapat menimbulkan perpecahan jamaah pertama yang disyari’atkan, karena orang jika mengetahui akan ketinggalan jamaah tentu akan bergegas, sehingga jamaahnya menjadi banyak. Jika mereka mengetahui tidak akan kehilangan jamaah dengan adanya jamaah kedua tentu mereka berleha-leha sehingga jumlah jamaah sholat sedikit. Padahal sedikitnya jumlah jamaah sholat dimakruhkan. Demikian pula mereka menyatakan bahwa jamaah-jamaah yang tertinggal (jamaah kedua dan seterusnya) dapat dikatakan sebagai jamaah orang yang malas. Lalu bagaimana mereka mendapatkan pahala jamaah padahal mereka ketinggalan jamaah pertama dan tidak memenuhi panggilan Allah tepat waktu?! Sungguh pembolehan jamaah kedua dan seterusnya ini dapat menghilangkan jamaah pertama dan mennyia-nyiakan hikmahnya. Padahal Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan:
إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَىَ اللهِ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا
Artinya: “Sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah adalah sholat tepat waktu“.[19]dan sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاء فَلَمْ يُجِبْ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
Artinya: “Barang siapa yang telah mendengar panggilan sholat lalu tidak memenuhinya maka tidak ada baginya sholat kecuali karena udzur“.[20]
Demikian juga mereka menyatakan bahwa dalam fatwa bolehnya mengadakan jamaah kedua akan mengecilkan makna sholat jamaah.
As Sarkhosiy menyatakan: “Sesungguhnya kita diperintahkan memperbanyak jumlah jamaah pertama dan pada pengulangan jamaah sholat disatu masjid akan menguranginya, karena manusia jika mengetahui akan kehilangan jamaah, maka mereka bersegera hadir sehingga jumlah anggota jamaahnya banyak. Apabila mereka tahu tidak akan kehilangan jamaah, maka mereka memperlambat. Lalu hal ini mengurangi jumlah jamaah”.[21]
Al Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabiy berkomentar setelah membawakan pendapat imam Malik: “Ini adalah makna yang dijaga dalam syari’at dari penyimpangan ahli bidah, agar mereka tidak meninggalkan jamaah kemudian datang dan sholat dipimpin imam yang lain. Dengan demikian akan hilang hikmah dan sunnah berjamaah”.[22]
Diantara dalil akal mereka juga utarakan bahwa jamaah kedua menimbulkan kemalasan dan peremehan jamaah pertama. sehingga sebab kemakruhan hukumnya makruh.
Pendapat ini dirojihkan Syeikh Al Albaniy dalam Tamamul Minnah dengan menyatakan: “Kesimpulannya, jumhur ulama memandang tidak boleh mengulang jamaah sholat di masjid satu dengan syarat terdahulu. Inilah yang benar dan pendapat ini tidak menentang hadits yang masyhur:
أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيْ مَعَهُ
Artinya: “Adakah orang yang bershodaqoh kepada orang ini lalu sholat bersamanya
Karena paling-paling hanya ada anjuran Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam kepada seseorang yang telah sholat bersama beliau n pada jamaah pertama untuk sholat sunah dibelakangnya. Maka ini adalah sholat sunnah dibelakang orang yang sholat wajib. Padahal pembahasan kita adalah sholat wajib dibelakang orang yang sholat wajib yang kehilangan jamaah pertama. sehingga tidak boleh dianalogikan dengan kisah tersebut, karena ini termasuk analog dengan adanya perbedaan (Qiyaas ma’al faariq). Hal ini dapat dilihat dari dua sisi:
1. Bentuk pertama (jamaah kedua dalam sholat wajib) belum pernah dinukil dari beliau n baik izin atau persetujuan, padahal itu ada dizamannya, sebagaimana ditunjukkan riwayat Al Hasan Al Bashriy.
2. Jamaah kedua ini menimbulkan perpecahan pada jamaah pertama yang disyari’atkan, karena manusai jika mengetahui akan kehilangan jamaah, mereka akan bersegera sehingga jumlah anggota jamaah pertama banyak. Jika mengetahui tidak kehilangan jamaah maka memperlambat hadir, sehingga mengurangi jumlah anggota jamaah pertama. padahal pengurangan jumlah jamaah dimakruhkan. Tidak ada sedikitpun dari hal yang dilarang ini ada pada bentuk yang Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam setujui. Sehingga terbukti perbedaannya. Kalau demikian tidak boleh mengambil dalil dari hadits tersebut dalam menyelisihi sesuatu yang sudah ditetapkan”.[23]
Demikianlah uraian singkat tentang pendapat pertama dan dalil mereka dalam permasalahan hokum jamaah kedua dalam satu masjid. Wallahu A’lam.
Pendapat kedua. Memperbolehkan hal tersebut, jika jamaah kedua terpisah dari jamaah pertama. ini pendapat imam Ibnu hazm, Ibnu Qudamah, Ibnul Mundzir, Daud adz dzohiriy, Asyhab, At Tirmidziy, Ahmad bin Hambal, Ishaaq bin Ibrohim bin Rahuyah, Ibnu Abi Syaibah, Abdurrahman bin Yazid bin Jaabir, ‘Atho’, ibrahim An Nakho’iy, Makhuul, Ayuub As Sakhtiyaniy, Tsabit Al Bunaniy, Qatadah, Alhasan Al Bashriy, Anas bin Maalik dan Ibnu Mas’ud. Namun terdapat riwayat yang berbeda dalam penisbatan pendapat ini kepada beberapa ulama, seperti Ibnu Mas’ud dan Anas bin Maalik,Al Hasan Al Bashriy, Ayuub As Sakhtiyaniy, Ahmad bin Hambal dan Ibrohim An Nakho’i. Yang rojih dari mereka adalah riwayat yang menyatakan mereka termasuk orang yang berpendapat dengan pendapat pertama, yaitu larangan membuat jamaah kedua dalam satu masjid yang memiliki imam tetap (rawatib).[24]
Mereka berdalil dengan dalil nash dan akal. Adapun dalil nash, mereka mengambil hadits dan atsar para sahabat, diantaranya:
1. Sabda Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam :
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Artinya: “Sholat Jamaah lebih baik dari sholat sendirian dua puluh tujuh derajat“.[ HR Bukhoriy] dalam riwayat lain:
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Artinya: “Sholat jamaah lebih baik dari sholat sendirian dua puluh lima derajat”. [HR Bukhoriy].
Hadits ini menunjukkan keumuman sholat Jamaah baik jamaah pertama atau kedua atau yang lainnya.[25]
1. Hadits Abu Sa’id Al Khudriy Radhiyallahu’anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ رَجُلًا يُصَلِّي وَحْدَهُ فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ
Artinya: “Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam melihat seorang sholat sendirian, lalu berkata: “adakah orang yang mau bershodaqoh kepada orang ini, lalu sholat bersamanya” “. HR Abu Daud dan Ahmad.
Dalam riwayat lainnya:
جَاءَ رَجُلٌ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَتَّجِرُ عَلَى هَذَا فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ
Artinya: “Datang seorang setelah Rasululloh selesai sholat, lalu Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “adakah orang yang ingin mengambil keuntungan darinya”. Lalu ada seorang yang bangkit dan sholat bersamanya” [HR At Tirmidziy dan Ahmad] [26]
Al Haakim menyatakan, Hadits ini adalah dasar bolehnya dilakukan dalam satu masjid dua kali jamaah.[27]
Hadits ini menunjukkan kebolehan mengerjakan jamaah kedua setelah selesai jamaah pertama, walaupun dimasjid yang memiliki imam rawatib (tetap). Sebab Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam waktu itu imam tetap dimasjid tersebut. Sehingga imam Al Baghawiy menyatakan, hadits ini menunjukkan kebolehan bagi orang yang berjamaah untuk mengerjakan jamaah kedua setelah yang pertama. juga menunjukkan bolehnya diadakan dua kali jamaah dalam satu masjid. Inilah pendapat banyak sahabat dan tabi’in. [28]
Demikian juga Imam Muhammad Adzimabaadiy, penulis kitab Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi daud menyatakan: “Hadits ini menunjukkan kebolehan mengerjakan sholat berjamaah pada masjid yang telah selesai sholat jamaah (pertama) nya”.[29]
Syeikh Sholeh AsSadlaan menjadikan hadits ini sebagai dalil dalam merojihkan pendapat ini, beliau nyatakan: “Pendapat yang rojih adalah pendapat kedua, yaitu kebolehannya secara mutlak, tanpa membedakan antara masjid tiga (Masjid Al Haram, Masjid Nabawi dan masjid Al Aqsha) dengan yang lainnya, karena keumuman sabda Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam: “Adakah orang yang mau bershodaqoh kepada orang ini, lalu sholat bersamanya” . jelaslah ini dilakukan di masjid Nabawi. Juga secara makna menunjukkan bahwa keutamaan sholat jamaah didapat padanya sebagaimana didapat pada yang lainnya”.[30]
1. Atsar dari Sahabat Anas bin Maalik Radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan imam Bukhori secara Muallaq[31] dalam shohihnya yang berbunyi:
جَاءَ أَنَسُ إِلَى مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيْهِ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى جمَاعَةً
Artinya: “Anas Datang ke satu masjid yang telah selesai sholat, lalu beliau adzan dan iqomat serta sholat berjamaah” [32] Atas ini diriwayatkan secara bersambung melalui jalan periwayatan imam Bukhoriy dalam kitab Taghliq Ta’liq karya Ibnu Hajar[33], lalu Al Haafidz Ibnu hajar menyatakan: “Sanadnya ini shohih namun mauquf [34] ”
Sedangkan dali akal, mereka menyatakan: “Orang yang mampu berjamaah disunnahkan berjamaah, sebagaimana ada dimasjid yang dijadikan sebagai tempat sholat orang yang lewat.[35]
Pendapat ini dirojihkan Syeikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, ketika beliau ditanya: “Bagaimana hukum mengerjakan jamaah kedua pada masjid yang terdapat imam tetapnya (imam Rawatib)? Beliau menjawab: “Mengerjakan jamaah kedua pada masjid yang memiliki imam rawatib (tetap), jika dilakukan terus menerus, maka ini satu kebidahan. Namun bila itu hanya terkadang, misalnya sekelompok orang datang kemasjid dan mendapati orang telah selesai sholat. Disini mereka boleh dan tidak mengapa mengerjakan sholat berjamaah (kedua). Sedangkan pendapat yang menyatakan, ini satu kebidahan, maka pendapat ini lemah, karena dahulu Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam duduk bersama para sahabatnya, lalu masuk seseorang yang belum sholat. Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ
Artinya: “Adakah orang yang mau bershodaqoh kepada orang ini, lalu sholat bersamanya? Lalu ada seorang yang bangkit dan sholat bersamanya.
Disini ditegakkan jamaah sholat setelah jamaah (pertama), padahal salah seorang dari keduanya sholat sunnah yang tidak wajib baginya. Apakah masuk akal Rasululloh n melarang dua orang yang ketinggalan sholat (jamaah pertama) mengerjakan sholat berjamaah dan memerintahkan seorang yang telah sholat lalu sholat berjamaah kembali bersama orang tersebut? Ini tidak masuk akal. Oleh karena itu salah fahamlah orang yang menganggap salah orang yang mengerjakan sholat berjamaah (kedua) dan menganggap sunnah orang yang melakukan sholat sendirian, jika ketinggalan jamaah (pertama).
Adapun atsar Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu , bahwa beliau masuk (masjid) lalu menjadapati orang telah selesai sholat berjamaah. Kemudian beliau pulang dan sholat dirumahnya. Atsar ini bertentangan dengan atsar yang disampaikan penulis kitab Al Mughniy dari Ibnu Mas’ud sendiri. Beliau menyatakan bolehnya menegakkan sholat jamaah kedua setelah selesai sholat jamaah pertama.
Jika atsar Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan dalam Al Mughniy benar, Maka beliau memiliki dua riwayat. Jika tidak benar, maka pendapat pertama (yaitu tidak bolehnya) adalah pendapat ibnu Mas’ud, namun ini semata satu kejadian saja. Ada kemungkinan pulangnya Ibnu Mas’ud kerumah untuk sholat berjamaah terjadi karena khawatir ditiru orang, sehingga mereka meremehkan masalah shoalt ini. Mungkin juga bisa menyakiti hati imam pertama tadi, lalu imam tersebut berkata: “Abdullah bin Mas’ud memperlambat sholat agar tidak sholat bersama saya….atau yang sejenisnya yang tidak kita ketahui, karena ini hanya semata satu kejadian.
Namun kita memiliki sunnah Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau memerintahkan seorang yang telah sholat untuk sholat sunnah mendampingi orang yang baru masuk masjid (ketinggalan jamaah) sholat berjamaah. Tentunya dua orang yang terkena kewajiban jamaah bila ketinggalan jamaah pertama lebih boleh dan lebih pantas.”.[36]
Bantahan pendapat kedua terhadap pendapat yang pertama.
Pendapat kedua berusaha memperkuat dalil dan hujjah mereka dengan membantah dalil pendapat pertama. bantahan mereka ini dapat diringkas menjadi beberapa hal, diantaranya:
1. Hadits Abu Bakroh Radhiyallahu’anhu memiliki seorang perawi yang dicela para ulama, yaitu Muawiyah bin Abi Yahya. Sebagaimana disampaikan oleh Al Kasymiiriy: “Pada sanadnya ada Mu’awiyah bin Abi yahya. Beliau termasuk perawi yang disebut dalam At Tahdziib dan beliau dipermasalahkan”.[37]
2. Apabila hadits inipun shohih, belum juga menunjukkan larangan mengerjakan jamaah kedua, karena masih ada kemungkinan beliau sholat berjamaah dimasjid. Sedangkan pulangnya beliau kerumah bertujuan mengumpulkan keluarganya, bukan bermaksud sholat berjamaah dirumahnya.
Seandainya kita terima bahwa Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam memang sholat berjamaah bersama keluarganya dirumah, tidak juga menunjukkan ketidak bolehan mengadakan jamaah kedua dalam satu masjid. Hal ini karena paling-paling hadits ini hanya menunjukkan kebolehan orang yang ketinggalan jamaah dengan imam tetap untuk tidak sholat dimasjid. Ia boleh keluar dan pulang kerumahnya, lalu berjamaah bersama keluarganya. Jadi hadits ini tidak sama sekali menunjukkan larangan melakukan jamaah kedua dalam satu masjid yang ada imam tetapnya.
Lagipula bila benar tidak sholatnya Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam dimasjid menjadi dalil larangan berjamaah, maka tentunya juga dilarang sholat sendirian dimasjid tersebut, karena beliau tidak sholat sendirian dan tidak pula berjamaah disana. Bahkan beliau pulang kerumahnya. Dan sholat dirumahnya.
Kesimpulannya berdalil dengan hadits Abu Bakroh tersebut untuk larangan dan sunahnya sholat sendirian tidak benar.
1. Adapun atsar Anas bin Maalik Radhiyallahu’anhu : “Para sahabat Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam jika masuk masjid dan mendapatkan imam telah sholat maka mereka sholat sendiri-sendiri” [38] bukanlah dalil yang kuat dalam larangan ini, karena Anas bin Maalik z sendiri menjelaskan hal itu karena takut dengan penguasa (sulthon). Hal ini dijelaskan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah[39] dan Abdurrozaaq Ash Shon’ani [40]dalam kitab Al Mushonnaf.[41]
Demikian bantahan pendapat kedua terhadap dalil pendapat pertama.
Bantahan Pendapat Pertama Terhadap Dalil Pendapat Kedua.
Ulama yang berpendapat dengan pendapat pertamapun tidak diam, mereka memberikan bantahan atas dalil dan argumentasi pendapat kedua. Bantahan ini dapat diringkas sebagai berikut:
1. Berdalil dengan hadits Abu Sa’id Radhiyallahu’anhu tersebut tidak benar, karena hanya menunjukkan berulangnya sholat jamaah, namun sekedar dalam bentuknya saja bukan sholat jamaah sesungguhnya. Hal ini karena orang yang beliau perintahkan untuk menemaninya telah melakukan sholat berjamaah fardhu, sehingga yang berjamaah kepada orang tersebut hanyalah sholat sunnah semata. Adapun jamaah yang hakiki adalah bila imam dan makmum sholat berjamaah fardhu. Sehingga analogi jamaah kedua sholat fardhu dengan bentuk jamaah dalam hadits ini adalah analogi yang tidak pas (Qiyas ma’al Faariq).[42]
2. Adapun atsar Anas bin Maalik Radhiyallahu’anhu yang digunakan sebagai dalil pendapat kedua, mereka bantah dengan menyatakan, Anas bin Maalik z tidak melakukannya di masjid tempat tinggalnya. Beliau mendatangi masjid Bani Tsa’labah atau bani Rifa’ah atau masjid Ashhabus Saaj atau masjid bani Zuraiq, lalu melakukan sholat berjamaah disana. Ini tentunya diluar permasalahan mengerjakan jamaah kedua yang dimaksud.
At Tahaawuniy berkata: “Ada kemungkinan masjid tersebut adalah masjid dipinggir jalan (tempat persinggahan orang) atau sejenisnya yang diperbolehkan melakukan jamaah kedua padanya. Kemungkinan ini dikuatkan dengan adanya pengulangan adzan dan iqomah yang tidak diperbolehkan oleh orang yang berpendapat bolehnya mengulang jamaah sholat”[43].
1. Semua keutamaan dan anjuran yang ada untuk sholat berjamaah hanya berlaku untuk jamaah pertama.
Sebab Khilaf Dan Pendapat Yang Rojih Dalam Permasalahan ini.
Setelah melihat dan meneliti perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini, dapat disimpulkan sebab perselisihan mereka ada dua:
1. Apakah anjuran dan pelipat gandaan pahala khusus untuk sholat jamaah dimasjid bersama imam tetap atau juuga meliputi lainnya?
2. Apakah berjamaah adalah syarat keabsahan sholat atau tidak?
Ulama yang berpendapat anjuran dan pelipat gandaan pahala hanya untuk sholat berjamaah dimasjid bersama imam tetap. Mereka melarang pengulangan jamaah dimasjid yang memiliki imam tetap. Sedangkan yang tidak demikian maka membolehkan pengulangan tersebut.[44]
Yang rojih adalah pendapat pertama jika sebab larangana tersebut ada, yaitu perpecahan atau timbul kemalasan untuk menghadiri jamaah pertama. hal ini tidak terjadi kecuali pada masjid yang memiliki imam dan muadzin tetap. Inilah yang dirojihkan oleh Syeikh Masyhur Hasan Alisalman[45] dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Melihat dalil pendapat pertama yang ada.
2. Tidak adanya perintah melakukan jamaah yang berulang-ulang dalam sholat Khouf, padahal sangat dibutuhkan. Demikian juga tidak ada dalil yang shohih adanya jamaah kedua setelah jamaah Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam yang pertama. Ditambah lagi dengan riwayat para sahabat dan tabiin jika ketinggalan sholat jamaah, mereka melakukan sholat secara sebdirian dimasjid atau berjamaah dirumah.
3. Sebab meninggalkan jamaah pertama adalah rasa malas ikut berjamaah dengan imam tetap. Ini tentunya dicela. Padahal sesuatu yang menyebabkan terjadinya perkara tercela adalah tercela.
4. Apa bila seorang ketinggalan berjamaah bersama imam tetap dengan udzur, maka ia memperoleh pahala jamaah tersebut, walaupun sholat secara sendirian.
Demikian lah sebagian dalil yang menguatkan pendapat pertama. inilah pendapat yang rojih Insya Allah Ta’ala.
Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Amiiin.
[1] Lihat pendapat Syeikh Sholih Sadlaan dalam Sholatul Jamaah, Hukmuha wa Ahkamuha hal 100.
[2] Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab 4/222.
[3] Lihat I’lamul ‘Aabid fi Hukmi Tikroril Jamaah fil Masjidil Wahid karya Syeikh Masyhur Salman hal11.
[4] Dinukil Syeikh Masyhur dalam I’lamul Aabid hal 12 dari kitab Fathul ‘Aliy Al malik Fil Fatawa ‘ala Madzhab Imam Malik 1/92-94.
[5] I’laamul ‘Aabid hal 13.
[6] Lihat Sholatul Jamaah Hukmuha wa Ahkamuha hal 102
[7] Al Umm 1/180.
[8] ibid
[9] I’lamul ‘Aabid hal 32-33
[10] Syeikh Al Albaniy menyatakan dalam Tamamul Minnah hal 155: “Hadits ini hasan. Imam Al Haitsamiy (2/45) menyatakan: “Hadits ini diriwayatkan At Thobraniy dalam AL kabiir dan Al Ausaath. Perawinya semua tsiqat”. Sedangkan Syeikh Masyhur hasan menambahkan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al Kaamil 6/2398. lihat I’lamul ‘Aabid hal 36.
[11] Lihat Al Mabsuuth 1/135 dan Tuhfatul Ahwadziy Syarah Jami’ At Tirmidziy 2/10.
[12] Dinukil dari I’lamul ‘Aabid hal 36-37.
[13] Diriwayatkan oleh imam Bukhori dalam Shohihnya, kitab Al Adzaan bab Wujub sholatil Jamaah no. 644 dan imam Muslim dalam Shohihnya, kitab Masaajid wa Mawaadhi’ush Sholat, bab Fadhlu Jamaah wa Tasydid Fi takhaluf Anha no.651
[14] dinukil Syeikh Al Albani dalam Tamaamul minnah hal 156.
[15] Al Umm 139.
[16] Diriwayatakan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 2/223 dan dinukil dari Tamamul minnah hal 157.
[17] Mushonnaf 2/409 no. 3883. Atsar ini dihasankan Syeikh Al Albaniy dalam Tamamul Minnah hal 155.
[18] Al Mudaawanah 1/89 dengan para perawi yang tsiqat.
[19] Diriwayatkan imam Bukhoriy dalam Shohihnya, kitab Mawaaqit Ash Sholat, Bab Fadhlu Ash Sholat Liwaktiha no. 527 dan Muslim dalam shohihnya kitab AL iman bab Bayaani Kaunil Iman billahi Afdholul A’mal 1/89.
[20] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya kiatab Al Masaajid wal Jamaah bab Taghklidz fit takholif Anil Jamaah 1/260 no.793. dan dishohihkan Al Albaniy dalam Irwa’ul Gholil 2/336-339 no. 551
[21] I’laamul ‘Aabid hal 45 menukil dari AL mabsuuth 1/135-136.
[22] Aridhotul Ahwadziy 2/21.
[23] Tamamul Minnah hal 158.
[24] Lihat tarjihnya dalam kitab I’lamul ‘Aabid fi Hukmi Tikroril Jamaah fil Masjidil Wahid karya Syeikh Masyhur Salman hal68-75.
[25] Lihat kitab Al Mughniy karya ibnu Qudamah 3/11.
[26] ibid
[27] Al Mustadrok karya beliau 1/209.
[28] Syarhu Sunnah 3/437.
[29] Aunul Ma’bud 1/225.
[30] Sholatul Jamaah Hukmuha wa Ahkamuha hal 101.
[31] Muallaq adalah hadits yang terputus sanadnya satu perawi atau lebih di awal sanad.
[32] Shohih Bukhori, kitab Al Adzaan, Bab Fadhlu Sholatil Jamaah, lihat Fathul Bariy 2/131.
[33] Taaghliq Atta’liq 2/276-277.
[34] Mauquuf adalah perkatan, perbuatan atau persetujuan yang disandarkan kepada para sahabat.
[35] Al Mughniy 3/11.
[36] I’lamul ‘Abid hal79-80 menukil dari kaset rekaman beliau berjudul Masaail tahumu Al Muslim.
[37] I’lamul ‘Abid hal 83-84, menukil dari Al Urfusy Syadziy ‘Ala Jami’ At Tirmidziy hal 118.
[38] Diriwayatakan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 2/223 dan dinukil dari Tamamul minnah hal 157. lihat dalil pendapat pertama dalam majalah Assunnah edisi 4/VII/1424 H/2003 M. hal 41
[39] Mushonnaf ibnu Abi Syaibah 2/322
[40] Mushannaf Abdirrozaaq 2/293 no. 3422
[41] Apabila ingin lebih panjang lagi silahkan melihat kepada kitab I’lamul Abid hal85-87.
[42] Lihat pernyataan Syeikh Al Albaniy dalam majalah As Sunnah edisi 4/ VII/1424 H/2003 M. hal 42.
[43] I’lamul Abid hal 91, menukil dari I’lamus Sunan 4/248.
[44] Hal ini disampaikan oleh Syeikh Masyhur Hasan Alisalman dalam.
[45] I’lamul Abid hal. 94.

Penulis: Kholid Syamhudi, Lc.