Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir
Mengkaji Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar
setelah mengkaji al-Qur’an adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena seorang muslim tidak bisa melepaskan diri
dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan sumber
hukum kedua dalam agama Islam di samping al-Qur’an.
Dan seseorang tidak akan pernah sampai kepada pemahaman Islam yang benar
bila dia mengesampingkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena Sunnah yang shahih adalah wahyu dari Allah seperti halnya al-Qur’an.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya.”
(An-Najm: 3-4)
Untuk anda yang bersemangat dalam menghidupkan Sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, hendaklah anda mengkaji Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan mengetahui kaidah-kaidah dalam rangka memahaminya, agar semangat
yang ada dituntun dengan praktek amalan yang benar berdasarkan kaidah-kaidah
yang diterangkan para ulama, karena bisa saja terjadi anda
mengamalkan hadits shahih yang anda tidak dibebankan untuk mengamalkannya, misalnya anda MENGAMALKAN
HADITS YANG MANSUKH (telah dihapus).
Setiap hadits yang diutarakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, itu ada maksudnya. Orang yang serampangan mengamalkan hadits tanpa
memahami maksudnya akan terjebak pada kesalahan dalam pengamalan ibadahnya.
Contoh:
Kasus yang dialami oleh ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu ketika turun
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam,
yaitu fajar ….” (Al-Baqarah: 187).
Dia (‘Adi bin Hatim
radhiyallahu ‘anhu) mengambil dua helai benang: yang satu berwarna putih, dan
yang satu lagi berwarna hitam. Kemudian, diletakkannya di bawah bantalnya.
Setelah itu, dia mulai melihat (mengamati) kedua benang itu dan tidak tampak
sesuatu. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yang dimaksud dengan dua benang tersebut adalah gelapnya malam dan cerahnya
waktu siang.” (HR. Bukhari, II/328 dan Muslim, II/766).
Di antara kaidah-kaidah penting yang sepantasnya dipelajari oleh seorang
muslim agar pemahaman dan pengambilannya (untuk diamalkan) terhadap Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat benar, adalah sebagai berikut:
1. Memahami Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur’an
As-Sunnah an-Nababiyyah adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an dalam
syariat Islam. As-Sunnah menerangkan dan merinci apa yang ada dalam Al-Qur’an.
Tidak ada pertentangan antara As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Jika terdapat
pertentangan, hal itu mungkin terjadi karena haditsnya tidak shahih atau kita
sendiri yang tidak bisa memahaminya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan:
“Kalau kiranya
Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.” (An-Nisaa’: 82).
Contoh yang paling jelas bahwa sunnah yang shahih tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an, justru yang bertentangan dengan Al-Qur’an adalah hadits-hadits
dha’if (lemah) dan maudhu (palsu), yaitu kisah gharaniq (sembahan atau
tuhan-tuhan) kaum musyrikin.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah membaca
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Maka apakah patut (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan
al-’Uzza dan Manat yang ketiga…” (An-Najm: 19-20). “Mereka itu adalah gharaniq
yang tinggi dan sungguh syafaatnya (pertolongannya) sangat diharapkan.”
Maha Tinggi Allah dari
apa yang mereka sifatkan dengan ketinggian-Nya yang agung. Kisah yang bathil
ini mustahil akan benar karena bertentangan dengan ayat itu sendiri (yang disebutkan).
Apakah masuk akal, jika Imam Tauhid dan pembawa bendera agama yang lurus
setelah Ibrahim ‘alaihissalam (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) memuji
tuhan-tuhan orang-orang musyrik? Maka, jelas hadits ini bathil sebagaimana yang
ditegaskan oleh Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah dimana
beliau berkata: “Ini (termasuk hadits) yang dipalsukan oleh orang-orang
zindiq.” (Nashbul Majaaniiq, hlm. 25).
2. Mengumpulkan Hadits-Hadits yang Satu
Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat
Imam Ahmad berkata, “Suatu hadits, kalau tidak engkau kumpulkan
jalan-jalannya (sanad-sanadnya), engkau tidak akan paham karena sebagian hadits menafsirkan sebagian yang lainnya.” (Al-Jaami’ (I/270).
Merupakan suatu keharusan untuk memahami sunnah dengan pemahaman yang
benar, yaitu mengumpulkan hadits-hadits shahih yang satu pembahasan supaya
hadits yang mutasyabih (yang memiliki banyak penafsiran) bisa dikembalikan ke
yang muhkam (maknanya jelas), yang muthlaq (tidak terikat) di bawa ke yang
muqayyad (terikat), dan yang ‘amm (maknanya umum) ditafsirkan oleh yang khashsh
(maknanya khusus).
Dengan cara ini, akan jelas maksud hadits tersebut, maka jangan
mempertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lainnya.
Apabila sanad-sanad suatu hadits yang satu pembahasan tidak dikumpulkan
pada suatu tempat, maka itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam
memahami hadits tersebut. Padahal, orang itu berdalil dengan hadits shahih,
akan tetapi dia tidak mengumpulkan hadits yang semisal dengannya sehingga menyebabkanpemahamannya terhadap hadits tersebut tidak sempurna. Bahkan, pemahaman dan
gambarannya menyimpang tentang masalah yang dia bahas itu.
Contoh:
Hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu ketika melihat alat pertanian, beliau
berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah (alat) ini
masuk ke rumah suatu kaum, kecuali Allah akan memasukkan padanya kehinaan’.”
(HR. Bukhari, Fathul Baari, V/4)).
Zhahir (lahiriah) hadits ini memberikan faedah tentang bencinya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pertanian, padahal kalau seseorang
mengumpulkan hadits-hadits yang lain tentang pertanian, maka dia akan
mendapatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru menganjurkan
untuk bertani dan menerangkan tentang bolehnya bertani, seperti sabda beliau
berikut:
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu burung
memakan dari tanaman itu, atau binatang ternak, melainkan yang demikian itu
sebagai sedekah (bagi yang menanam).” (HR. Bukhari, Fathul Baari X/438 dan
Muslim, VII/4241).
“Jika kiamat telah mendatangi salah seorang di antara kalian dan di
tangannya (masih) ada bibit kurma, maka hendaklah dia menanamnya.” (HR Ahmad,
III/183, 184).
Dari tiga hadits yang telah disebutkan ini ada satu hadits yang seolah-olah
bertentangan, yaitu hadits yang disebutkan pertama. Lalu, bagaimanakah cara
para ulama menyatukan antara hadits-hadits yang tampaknya bertentangan ini?
Bagaimana pula pemahaman yang benar setelah menyatukan hadits-hadits yang
berkaitan dengan masalah ini (bertani)?
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“Dan Imam Bukhari
telah memberikan isyarat dengan cara menjama’ (menyatukan) antara hadits Abu
Umamah dan hadits sebelumnya tentang keutamaan bertani dan bercocok tanam, dan
itu (dijama’) dengan salah satu dari dua cara, yaitu dengan membawa apa yang
bermakna celaan kepada akibat (buruk) dari pertanian, atau dibawa kepada
pemahaman jika bertani tidak melalaikannya, akan tetapi dia melampaui batas
dalam bertani…” (Fathul Baari, V/5)
Ada hadits yang mendukung pemahaman bahwa maksud larangan tersebut
ditujukan apabila seseorang disibukkan dengan bertani dari kewajiban-kewajiban,
seperti jihad di jalan Allah, apalagi bagi yang dekat tempatnya dengan
musuh-musuh Allah. Hadits tersebut adalah hadits marfu’ dari Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhu:
“Jika kalian
berjual-beli dengan (cara) ‘inah (salah satu bentuk riba), kalian dilalaikan
oleh ternak kalian, dan kalian suka (disibukkan) dengan bertani sehingga kalian
meninggalkan (kewajiban) jihad, niscaya Allah akan menimpakan atas kalian
kehinaan yang Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama
kalian.” (Hadits shahih riwayat Ahmad, XXII/84 dan Abu Dawud, II/246. Lihat
Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani, I/15 no. 11).
3. Menyatukan Hadits-Hadits yang Tampak
Bertentangan
Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara nash-nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang shahih. Seandainya terjadi suatu pertentangan, maka itu anggapan
kita semata, bukan hakikat dari nash-nash tersebut. Inilah keyakinan seorang
mukmin pada hadits-hadits yang dapat dipercaya (hadits-hadits yang shahih atau
hasan).
Firman Allah berikut harus selalu menjadi pedoman:
“Kalau kiranya
Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.” (An-Nisaa’: 82).
Contoh hadits-hadits yang tampaknya bertentangan adalah hadits-hadits yang
melarang seseorang menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kecil,
sementara ada hadits-hadits lain yang membolehkan hal tersebut. Cara jama’ yang
dipakai para ulama untuk menyatukan hadits-hadits yang tampak bertentangan
tersebut adalah dengan menyatakan bahwa hadits-hadits larangan dimaksudkan bila
dilakukan di tempat terbuka, sedangkan hadits-hadits yang membolehkan
dimaksudkan bila dilakukan di dalam suatu tempat yang ada pembatasnya (seperti
seseorang melakukannya di WC). (Ta-wiil Mukhtalafil Hadiits hlm. 90 dan Nailul
Authaar, I/98).
Kitab yang paling bermanfaat (dan bagus) yang bisa dijadikan rujukan untuk
mendapatkan mukhtalaful hadits (hadits yang tampaknya bertentangan dengan
hadits yang lain tetapi memungkinkan untuk dijamak/disatukan) adalah Musykilul
Aatsaar karya Ath-Thahawi dan Ta’wiil Mukhtalaf al-Hadiits karya Ibnu Qutaibah.
4. Mengetahui Nasikh dan Mansukh Suatu
Hadits
(Nasakh = Hadits yang Menghapus Hadits yang Lain; Mansukh = Hadits yang
Dihapus)
Nasakh (hukum yang lama diganti hukum yang baru) dalam hadits memang
terjadi. Seorang muslim yang mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kalau
hadits itu mansukh, berarti dia telah terjatuh ke dalam ilmu yang tidak
diperintahkan syara’ untuk mengamalkannya. Sebab, kita tidak diperintahkan
untuk mengamalkan hadits-hadits yang mansukh. Sementara nasakh adalah suatu
‘illat (penyebab) dilarangnya beramal dengan satu hadits (yang mansukh, ed.).
Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah berkata, ” Dan nasakh telah dimasukkan
oleh Imam at-Tirmidzi dalam kategori al-’ilal (cacat hadits). Namun, beliau
hanya mengkhususkannya dalam masalah pengalamannya saja (bukan status
haditsnya).” (Al-Alfiyah, hlm. 22).
Seseorang tidak boleh tergesa-gesa dalam masalah ini sehingga mengatakan
hadits ini mansukh, kecuali setelah mengetahui dalil-dalil dan qara-in
(tanda-tanda) yang menunjukkan adanya nasakh.
Kitab-kitab yang bisa membantu untuk mengetahui yang mansukh dari
hadits-hadits adalah:
- Ittihaaf Dzawiir Rusuukh karya Al-Ju’buri.
- An-Naasikh wal-Mansuukh karya Ibnul Jauzi.
- Al-I’tibaar fin Naasikh wal-Mansuukh minal Akbaar karya Al-Hazimi.
5. Mengetahui Asbabul Wuruud Hadits
Asbabul Wuruud = Sebab-Sebab Diriwayatkanya/Datangnya Suatu Hadits.
Mengetahui asbabul wurud suatu hadits sangat membantu dalam memahami maksud
hadits. Termasuk cara yang baik dalam memahami sunnah Nabi adalah meneliti
(melihat) sebab-sebab tertentu disabdakannya suatu hadits, atau kaitannya
dengan ‘illat (alasan atau sebab) tertentu yang ditegaskan langsung dari nash
(teks) hadits itu, atau dari istinbath/kesimpulan (maknanya), atau yang
dipahami (langsung) dari kondisi ketika hadits tersebut diucapkan (oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Untuk memahami suatu hadits dengan pemahaman yang benar dan mendalam, tidak
boleh tidak, kita harus mengetahui situasi dan kondisi yang menyebabkan hadits
itu diucapkan oleh Nabi. Biasanya, hadits datang sebagai penjelas terhadap
kejadian-kejadian tertentu dan sebagai terapi terhadap situasi dan kondisi
kejadian tersebut. Dengan begitu, maksud dari hadits itu dapat ditentukan
dengan jelas dan rinci. Tujuannya tidak lain agar hadits itu tidak menjadi
sasaran bagi dangkalnya perkiraan, atau kita mengikuti zhahir (lahiriah dari
hadits tersebut) yang tidak dimaksudkan (oleh maknanya). (Kaifa Nata’aamal
ma’as-Sunnah [hlm. 125]).
Contoh:
Ada sebuah hadits yang berbunyi (artinya), “Kalian lebih tahu urusan dunia
kalian.” (HR Muslim, Kitab Al-Manaaqib, no. 2363).
Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai alasan untuk lari dari
hukum-hukum syara’ (agama) yang berkaitan dengan masalah ekonomi, perdata,
politik, dan yang semisalnya dengan alasan–seperti anggapan mereka yang
salah–bahwa itu adalah urusan duniawi, dan kami lebih mengetahui tentang dunia,
dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyerahkannya kepada kami.
Apakah betul ini yang dimaksud oleh hadits tersebut? Sama sekali tidak!
Karena, di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat hal-hal yang mengatur urusan
muamalah: jual-beli, serikat dagang, pegadaian, sewa-menyewa, utang-piutang,
dan sebagainya. Bahkan, ayat terpanjang di dalam Al-Qur’an turun untuk membahas
aturan penulisan utang-piutang. “Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya dengan benar ….” (Al-Baqarah: 282).
Dengan demikian, hadits tersebut di atas ditafsirkan oleh sebab diucapkannya
hadits tersebut, yaitu kisah penyerbukan pohon kurma atas anjuran Rasulullah
berdasarkan pendapat beliau yang merupakan dugaan belaka dalam masalah
penyerbukan pohon kurma. Setelah itu para sahabat menjalankan saran Nabi
tersebut dengan penuh ketaatan, padahal ketika itu mereka tidak melakukan
penyerbukan, kemudian Rasulullah saw. bersabda dengan hadits tersebut.
Contoh yang lain:
Hadits: “Barang siapa melakukan sunnah yang baik dalam agama Islam ….” (HR
Muslim).
Sebagian orang memahami hadits ini dengan pemahaman yang salah. Sehingga,
mereka membuat bid’ah-bid’ah (amal yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya)
dalam agama dengan beranggapan bahwa mereka sedang mendekatkan diri kepada
Allah dan beramal dengan sunnah yang baik, yang masuk dalam kandungan makna
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Akan tetapi, kalau kita merujuk kepada sebab disabdakannya hadits ini, akan
kita dapatkan sebabnya, yaitu bahwa Nabi pada suatu hari menyuruh para sahabat
untuk bersedekah. Kemudian, datanglah seorang pria dengan membawa bungkusan
besar yang kedua tangannya hampir tidak mampu untuk membawanya, lalu ia
meletakkannya di tengah masjid. Setelah itu, orang-orang pun ikut berinfaq
sampai muka Rasulullah saw. berseri-seri (karena senang), seakan-akan wajah
beliau seperti sesuatu yang disepuh dengan emas, lalu beliau mengucapkan hadits
tersebut.
Maka dari itu, mengartikan hadits tersebut kepada perbuatan bid’ah
jelas-jelas secara meyakinkan bukan yang dimaksud. Bahkan, itu merupakan
kesesatan yang nyata. Dan, sebab-sebab disabdakannya hadits tersebut menjadi
bukti terkuat akan kesalahan cara pengambilan dalil yang ditempuh oleh mereka.
Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi mempunyai kitab berjudul Al-Bayaan wa at-Ta’riif
fii Ashaab Wuruud al-Hadiits asy-Syariif yang dicetak dalam tiga jilid. Kitab
itu termasuk yang paling lengkap dalam bidang ilmu ini (asbaabul wuruud
hadits).
6. Mengetahui Ghariibul Hadiits
(Ghariibul Hadiits = Kata-Kata yang Sulit Dipahami pada Teks Hadits)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling fasih
dalam mengucapkan “dhaadd” bahasa Arab dan beliau berbicara kepada para sahabat
dengan bahasa Arab yang jelas dan dikenal oleh mereka. Mereka tidak mengalami
kesulitan dalam memahami apa yang diinginkan dari lafazh yang diucapkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka adalah orang Arab asli,
yang tidak pernah dimasuki (dipengaruhi) oleh bahasa orang ‘Ajam (orang
non-Arab).
Tetapi, dengan berlalunya waktu dan berbaurnya sebagian orang dengan yang
lain, baik yang Arab maupun yang ‘Ajam, bahasa yang dipakai sebagian besar
orang Arab menjadi lemah. Selain itu, bahasa mereka bercampur dengan bahasa
orang ‘Ajam, serta mereka menjadi semakin jauh dari bahasa Arab yang fasih.
Sehingga, banyak orang yang menemukan kesulitan dalam memahami hadits-hadits
Nabi karena mereka tidak mengetahui arti kata-kata dalam hadits-hadits
tersebut.
Oleh sebab itulah, para ulama bangkit menyusun karangan semacam ini, yaitu
kitab-kitab ghaariibul hadiits. Mereka menyusun sebuah kitab untuk menerangkan
kata-kata yang sulit dipahami dalam suatu hadits beserta penjelasannya. Jika
seorang ulama, penuntut ilmu, dan seorang muslim secara umum ingin memahami
hadits yang baik, hendaklah dia merujuk kepada kitab-kitab ghariibul hadiits,
yang paling penting di antaranya adalah:
- Ghariibul Hadiits karya Al-Harawi.
- Ghariibul Hadiits karya Abu Ishaq al-Harbi.
- Ghariib ash-Shahiihain karya Al-Humaidi.
- An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits karya Ibnul Atsir.
Kitab yang terakhir (An-Nihaayah) adalah kitab terlengkap dan paling
bermanfaat daripada kitab-kitab ghariib lainnya.
7. Memahami Sunnah seperti yang Dipahami
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Kaidah ini termasuk yang paling penting supaya seorang muslim berpegang
dengan sunnah, seperti berpegangnya salafush shaleh, serta agar selamat dari
penambahan dan pengurangan.
Maka, yang paling utama dalam menerangkan As-Sunnah adalah hadits-hadits
Nabi sendiri, kemudian perkataan dan perbuatan para sahabat (al-aatsaar
as-salafiyah), karena para sahabat telah menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan
wahyu turun di hadapan mereka. Maka, jika terjadi pemahaman yang salah dari
salah seorang mereka terhadap Sunnah Nabi, niscaya Jibril akan turun kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meluruskan dan mengoreksi
pemahaman yang salah itu.
Oleh karena itu, para ulama hadits menggolongkan perkataan seorang sahabat:
“Kami berpendapat begini pada zaman Rasulullah,” sebagai perkataan yang
memiliki hukum marfu’ (yang bisa disandarkan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam). Apabila orang-orang berselisih tentang pemahaman suatu
hadits, maka pemahaman yang paling utama didahulukan adalah pemahaman sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh:
Hadits tentang menghadap ke kiblat atau membelakanginya ketika buang air
besar atau kecil. Ada atsar (perkataan sahabat) dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata:
“Sesungguhnya yang demikian itu (buang hajat) terlarang jika di tempat yang
terbuka, namun jika di antara kamu dan kiblat ada sesuatu yang menutupi
(menghalangi), maka tidak mengapa (hukumnya boleh).” (HR Abu Dawud, Kitab
Ath-Thaharah Bab “Karaahiyah Istiqbaali Qiblati ‘inda Qadhaa-il Haajah” [I/3]).
Kitab-kitab yang penyusunnya banyak menukil atsar-atsar salafiyyah
(orang-orang shalih terdahulu) dari sahabat dan tabi’in adalah:
- Mushannaf ‘Abdirrazzaq.
- Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
- Sunan Sa’id bin Manshur.
- Sunan ad-Darimi.
- As-Sunan al-Kubraa dan As-Sughaa karya Imam Al-Baihaqi.
8. Merujuk Kitab-Kitab Syarah Hadits
Yaitu kitab-kitab yang berisi penjelasan dan keterangan dari matan (teks
hadits).
Termasuk hal-hal yang penting dalam memahami hadits-hadits Nabi adalah
merujuk kitab-kitab syarah. Sebab, di dalamnya terdapat penjelasan tentang
gharib, nasikh-mansukh, fiqhul hadits, dan riwayat-riwayat yang tampaknya
bertentangan sehingga seseorang tidak mungkin meninggalkan kitab-kitab seperti
ini.
Para ulama hadits telah meninggalkan kitab-kitab syarah untuk kita yang
menjelaskan hadits-hadits Nabi saw. Para ulama adalah penerjemah hadits-hadits
Nabi untuk seluruh umat. Setiap seorang ulama yang lebih dahulu (lebih dekat
masa hidupnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka penjelasannya
akan lebih dekat kepada kebenaran dan lebih layak untuk diterima, biasanya.
Kitab syarah yang paling utama didahulukan setelah memperhatikan yang lebih
dahulu zaman penyusunnya adalah kitab yang penyusunnya memiliki perhatian
terhadap dalil-dalil dengan menerangkan makhaarijul ahaadiits (jalan periwayatan
hadits) yang bermacam-macam, serta menerangkan shahih dan dha’ifnya dalil
tersebut.
Demikian pula harus didahulukan kitab yang penyusunnya paling jauh dari
fanatik madzhab, yangmana suatu hadits bisa saja dipalingkan olehnya dari makna
yang sesungguhnya yang diinginkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tanpa disertai dalil yang rajih (kuat).
Di antara contoh kitab syarah hadits yang sesuai dengan pemahaman para
sahabat dan mu’tamad (yang bisa dipertanggungjawabkan) yaitu sebagai berikut.
- Syarhus Sunnah karya Imam Al-Baghawi.
- Fathul Baari karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
- Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani.
Sumber: Diringkas dari 8 Kaidah Memahami Sunnah, Pustaka Imam
Asy-Syafi’i; judul asli: Dhawaabith Muhimmah li Husni
Fahmis Sunnah, Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir, Dosen Pasca Sarjana Fakultas Hadits,
Universitas Islam Madinah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar