05 Maret 2010

TAUHID KEPADA ALLAH

TAUHID KEPADA ALLAH
Oleh Al Ustadz Al Fadhil Abu ‘Isa Abdullah bin Salam hafizhahullah
(Staf Pengajar Ma’had Ihya’ as Sunnah, Tasikmalaya, Jawa Barat)
Tauhid adalah sebuah ungkapan yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin. Pada umumnya, kita sebagai kaum muslimin pasti menginginkan atau bahkan telah mengaku sebagai orang yang bertauhid. Akan tetapi, pada kenyataannya bisa jadi masih banyak di antara kita yang belum memahami hakikat dan kedudukan tauhid ini. Bahkan orang-orang yang merasa dirinya telah bertauhid sekalipun, bisa jadi belum mengenal seluk beluk tauhid dengan jelas. Karena banyaknya kaum muslimin yang salah faham dalam memahami hakikat tauhid dan melupakan kedudukannya yang sangat agung, maka permasalahan ini menjadi sangat penting untuk dijelaskan dengan penjelasan yang gamblang. Sudah kita ketahui bahwa tauhid merupakan salah satu masalah agama. Oleh karena itu, penjelasannya tidak boleh lepas dari sumber ilmu agama, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan merujuk kepada penjelasan ahlinya, yaitu para ulama.
Pengertian Tauhid
Para ulama mendefinisikan tauhid sebagai berikut,”Tauhid adalah keyakinan tentang keesaan Allah dalam rububiyyah-Nya, mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya (dalam uluhiyyah-Nya, ed.), serta menetapkkan nama-nama dan sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya”. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tauhid terbagi menjadi 3 macam, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Kesimpulan ini diambil oleh para ulama setelah mereka meneliti dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang berkaitan dengan keesaan Allah Ta’ala. Untuk lebih jelasnya, masing-masing tauhid tersebut akan dijabarkan dalam pembahasan berikut ini.(Lihat ‘Aqidatu At-Tauhid, hal. 15-16.)
Macam-Macam Tauhid
A. Tauhid Rububiyyah
Tauhid Rububiyyah adalah keyakinan tentang keesaan Allah Ta’ala dalam perbuatan-perbuatanNya. Yaitu meyakini bahwa Allah Ta’ala sebagai satu-satunya:

- Pencipta seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman,
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Allah memelihara segala sesuatu”. (QS. Az-Zumar [39]: 62)
- Pemberi rizki seluruh manusia dan makhluk lain. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya …”. (QS. Hud [11]: 6)
- Penguasa dan Pengatur segala urusan alam, Yang memuliakan dan menghinakan, Yang menghidupkan dan mematikan, Yang menjalankan malam dan siang, serta Yang maha kuasa atas segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman,
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (26) تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Katakanlah,’Wahai Allah Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebijakan. Sesungguhnya Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu. Engkau Yang memasukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan engkau beri rizki siapa saja yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”. (QS. Ali ’Imraan [3]: 26 -27)[1]
Dengan demikian, tauhid rububiyyah mencakup keimanan kepada tiga hal, yaitu:
1. Beriman kepada perbuatan–perbuatan Allah Ta’ala secara umum, seperti menciptakan, memberikan rizki, menghidupkan, mematikan, dan lain-lain.
2. Beriman kepada qadha’ dan qadar Allah Ta’ala.
3. Beriman kepada keesaan Dzat-Nya.[2]
B. Tauhid Asma’ wa Shifat
Tauhid asma’ wa shifat adalah keyakinan tentang keesaan Allah Ta’ala dalam hal nama dan sifat-Nya yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai dengan mengimani makna-makna dan hukum-hukumnya (konsekuensi-konsekuensinya). Allah Ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah-lah asmaul husna (nama-nama yang terbaik), maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu”. (QS. Al-A’raaf [7]: 180)
وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى تِسْعَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ فَاسْأَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ إِذْ جَاءَهُمْ فَقَالَ لَهُ فِرْعَوْنُ إِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا مُوسَى مَسْحُورًا
“Katakanlah,’Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, seluruh asmaul husna (nama-nama yang terbaik) adalah miliknya”. (QS. Al Israa’ [17]: 101)
لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk. Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi”. (QS. An Nahl [16]: 60)
وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dan bagi-Nya-lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi”. (QS. Ar Rum [30]: 27)[3]
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam tauhid asma’ wa shifat adalah sebagai berikut.
1. Harus menetapkan semua nama dan sifat Allah Ta’ala, tidak menafikan (meniadakan) dan tidak pula menolaknya.
2. Tidak boleh melampaui batas dengan menamai atau mensifati Allah Ta’ala di luar nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3. Tidak menyerupakan nama dan sifat Allah Ta’ala dengan nama dan sifat para makhluk-Nya.
4. Tidak perlu (dan tidak memungkinkan) untuk mencari tahu hakikat (bentuk sebenarnya) dari sifat-sifat Allah tersebut.
5. Beribadah kepada Allah Ta’ala sesuai dengan konsekuensi nama dan sifat-Nya.[4]
Kedua macam tauhid di atas termasuk dalam satu pembahasan, yaitu tentang keyakinan atau pengenalan tentang Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kedua macam tauhid tersebut biasa disatukan dengan istilah tauhid ma’rifah wal itsbat (tauhid pengenalan dan penetapan).[5]
Pada dasarnya, fitrah manusia itu telah beriman dan bertauhid dalam hal ma’rifah dan itsbat. Oleh karena itu, orang-orang musyrik dan kafir yang dihadapi oleh para Rasul tidaklah mengingkari hal ini. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (88) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ (89)
“Katakanlah,‘Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang memiliki ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab,‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah,‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Sipakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah,’(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (QS. Al-Mu’minun [23]: 86-89)
Allah Ta’ala berfirman,
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Berkata rasul-rasul mereka,‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi?’” (QS. Ibrahim [14]: 10)
Kalaulah ada manusia yang mengingkari rububiyyah dan kesempurnaan nama dan sifat Allah Ta’ala, maka hal itu muncul hanyalah karena kesombongan lisannya. Padahal sesungguhnya hatinya mengingkari apa yang diucapkan oleh lisannya itu. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Fir’aun dan para pengikutnya. Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُورًا
“Musa menjawab,’Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mu’jizat-mu’jizat itu kecuali Rabb Yang maha memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata, dan sesungguhnya aku mengira kamu, wahai Fir’aun, seorang yang akan binasa”. (QS. Al-Israa’ [17]: 102)
Allah Ta’ala berfirman,
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka). Padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya”. (QS. An-Naml [27]: 14)
Demikian juga pengingkaran orang-orang komunis dewasa ini adalah karena kesombongan lahiriyyah semata. Walaupun sebenarnya hatinya mengakui bahwa tiada sesuatu yang ada kecuali ada yang mengadakan, dan tidak ada satu kejadian pun kecuali ada yang berbuat. Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ (35) أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوقِنُونَ
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah merekalah yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)”. (QS. At-Thur [52] : 35-36)[6]
C. Tauhid Uluhiyyah
Tauhid uluhiyyah adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam tujuan perbuatan-perbuatan hamba yang dilakukan dalam rangka taqarrub (pendekatan diri) dan beribadah, seperti berdo’a, bernadzar, menyembelih kurban, bertawakkal, bertaubat, dan lain-lain. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
“Dan sesembahanmu adalah sesembahan Yang Maha esa, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha pemurah lagi Maha penyayang”. (QS. Al Baqarah [2]: 163)
وَقَالَ اللَّهُ لَا تَتَّخِذُوا إِلَهَيْنِ اثْنَيْنِ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ
“Allah berfirman,’Janganlah kamu menyembah dua sesembahan. Sesungguhnya Dia-lah sesembahan Yang Maha esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut”. (QS. An Nahl [16]: 51)
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada sesuatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”. (QS. Al-Mu’minun [23]: 117)[7]
Tauhid inilah yang dituntut harus ditunaikan oleh setiap hamba sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala, sebagai konsekuensi dari pengakuan mereka tentang rububiyyah dan kesempurnaan nama dan sifat Allah Ta’ala. Kemurnian tauhid uluhiyyah akan didapatkan dengan mewujudkan dua hal mendasar, yaitu:
1. Seluruh ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah Ta’ala saja, bukan kepada yang lainnya.
2. Dalam pelaksanaan ibadah tersebut harus sesuai dengan syariat Allah Ta’ala.[8]
Ketiga macam tauhid di atas memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan.
Keimanan seseorang kepada Allah Ta’ala tidak akan utuh sehingga terkumpul pada dirinya ketiga macam tauhid tersebut. Tauhid rububiyyah seseorang tidak akan berguna sehingga dia ber-tauhid uluhiyyah. Sedangkan tauhid uluhiyyah seseorang tidak akan lurus sehingga dia ber-tauhid asma’ wa shifat. Singkatnya, mengenal Allah Ta’ala saja tidaklah cukup kecuali apabila seseorang benar-benar beribadah hanya kepada-Nya. Sedangkan beribadah kepada Allah Ta’ala tidaklah akan terwujud dengan benar tanpa mengenal Allah Ta’ala.[9]
Kedudukan Tauhid
Pada dasarnya manusia telah mengenal Allah Ta’ala, meskipun secara global. Oleh karena itu, para Rasul Allah tidaklah diutus untuk memperkenalkan Allah Ta’ala semata. Namun hakikatnya adalah untuk menuntut mereka agar beribadah hanya kepada-Nya. Dengan demikian, materi utama dakwah para rasul adalah tauhid uluhiyyah. Dengan demikian, ketika istilah tauhid disebutkan secara mutlak (tanpa ada keterangan tambahan), maka ia lebih mengacu kepada tauhid uluhiyyah.
Dalam kehidupan manusia, tauhid memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Kedudukan tauhid tersebut antara lain:
1. Hakikat tujuan penciptaan jin dan manusia.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa perintah untuk menyembah (beribadah) dalam firman Allah Ta’ala adalah perintah untuk bertauhid.
2. Hakikat tujuan pengutusan para rasul dan materi dakwah mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),’Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah) itu’”. (QS. An Nahl [16]: 36)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka hendaklah kalian hanya menyembah kepada-Ku”. (QS. Al-Anbiya’ [21]: 25)
3. Kewajiban pertama bagi manusia dewasa lagi berakal.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua (ibu dan bapak), karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu”. (QS. An-Nisa [4]: 36)
Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk bertauhid sebelum memerintahkan mereka untuk melakukan kebaikan yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Allah. Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan”. (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam ayat di atas Allah Ta’ala memerintahkan untuk bertauhid terlebih dahulu sebelum beramal.
4. Pelanggaran tauhid (syirik) adalah keharaman yang terbesar.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apakah yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Dia, dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua …’”. (QS.Al-An’am [6]: 151)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mendahulukan penyebutan keharaman syirik sebelum menyebutkan keharaman yang lainnya. Karena keharaman syirik adalah keharaman yang terbesar.
5. Materi dakwah yang pertama kali harus diserukan.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ke Yaman, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهِ وَ فِى رِوَايَةٍ : إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ .
“Sungguh kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah dakwah yang pertama kali kamu sampaikan kepada mereka adalah syahadat ‘laa ilaaha illallah’”. Dalam riwayat lain disebutkan,“Supaya mereka mentauhidkan Allah”.[10] [11]
Demikianlah sekilas tentang hakikat tauhid dan kedudukannya. Semoga ketika kita telah mengetahui besarnya kedudukan tauhid dalam kehidupan manusia, hal itu dapat menjadi pemacu bagi kita untuk mengetahui lebih jauh dan lebih rinci tentang tauhid. Hal ini agar tauhid tidak hanya sebagai pengakuan belaka namun betul-betul terpatri dalam diri kita, baik secara lahir maupun batin. Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita semua untuk menempuh jalan ini. Amin.
Yogyakarta, 6 Jumadil Ula 1426 H
3 Juni 2005 M
Yang senantiasa butuh ampunan Allah Ta’ala,
Penulis,
Abu ‘Isa Abdullah bin Salam

[1] Lihat ‘Aqidatu At-Tauhid, hal. 16-17.
[2] Lihat Al-Madkhal li Dirasatil’ Aqidah Islamiyyah, hal. 87.
[3] Lihat Mu’taqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhiidil Asma wa Shifat, hal. 31-34
[4] Lihat Mu’taqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhiidil Asma wa Shifat, hal. 40-41.
[5] Lihat Al-Madkhal li Dirasatil’ Aqidah Islamiyyah, hal. 93.
[6] Lihat ‘Aqidatu At-Tauhid, hal. 17-18.
[7] Lihat Fathul Majid, hal. 15 dan ‘Aqidatu At-Tauhid, hal. 36
[8] Lihat Al-Madkhal li Dirasatil’ Aqidah Islamiyyah, hal. 94.
[9] Lihat Mu’taqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhiidil Asma wa Shifat, hal. 47.
[10] HR. Al-Bukhari (Al-Fath: III/1458) dalam Kitabuz Zakat, Bab “Janganlah Mengambil Harta Manusia yang Paling Berharga untuk Shadaqah (Zakat)”, dalam Kitabul Maghazi (VII/4347) Bab “Diutusnya Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman sebelum Haji Wada”. Dan Muslim no. 19 di dalam Kitabul Iman, Bab “Dakwah kepada Dua Kalimat Syahadat dan Syari’at-Syari’at Islam”.
[11] Lihat Kitabu Tauhid, bab. I dan ‘Aqidatu At-Tauhid, hal. 36-37.

Tidak ada komentar: