http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
Abu Salma 1 dari 10 28/02/2007
FATWA-FATWA TENTANG MEMANDIKAN
DAN MENGKAFANI JENAZAH
Oleh :
Fadhilatusy Syaikh ’Abdullah bin Jibrin
Pertanyaan: Bagaimana cara memandikan jenazah itu? Dan
bagaimana cara mengkafaninya?
Jawab: Memandikan jenazah adalah fardhu kifayah. Dan yang paling
utama melakukannya, adalah seseorang yang sudah diwasiati oleh si mayit
untuk itu. Setelah itu kerabatnya yang terdekat, kemudian siapa saja yang
masih ada hubungan rahim dengannya.
Seorang lelaki boleh memandikan istrinya, dan seorang istri boleh
memandikan suaminya. Wanita juga boleh memandikan anak kecil lelaki yang
belum berumur tujuh tahun. Dan seorang lelaki boleh memandikan
perempuan kecil yang belum berumur tujuh tahun.
Tetapi seorang wanita tidak boleh memandikan lelaki, meski ia
mahramnya sendiri. Dan seorang lelaki tidak boleh memandikan wanita,
meski wanita itu adalah ibu atau putrinya, ia hanya boleh mentayamumi
mereka dengan debu.
Seorang muslim tidak boleh memandikan orang kafir, dan tidak pula
mempersiapkan apapun dalam kematiannya. Ia hanya boleh menimbunnya
ke dalam tanah jika tidak ada seorang kafirpun yang menguburnya.
Jika kita hendak memandikan jenazah, maka jenazah itu harus ditutup
auratnya jika berumur lebih dari tujuh tahun. Yang ditutupi adalah daerah
antara pusar hingga lutut. Kemudian ia melepaskan seluruh bajunya, dan
menutupinya dari pandangan orang lain. Yakni jenazah itu diletakkan di
dalam rumah yang beratap, atau jika memungkinkan, jenazah tersebut
dimandikan di dalam tenda.
Kemudian wajah sang mayit kita tutup. Tidak boleh ada orang lain
hadir dalam pemandian ini, selain seseorang yang membantu kita dalam
proses pemandian. Disini niat adalah syarat. Sedang mengucapkan basmalah
adalah suatu kewajiban. Setelah itu kita mengangkat kepalanya hingga
mendekati posisi duduk. Kita memijit perutnya pelan-pelan, pada saat ini kita
banyak-banyak menyiramkan air, juga perlu mengasapi ruangan dengan kayu
gaharu1 jika dikawatirkan ada sesuatu yang keluar dari perutnya.
Lalu kita membelitkan kain ke tangan kita untuk membersihkan jenazah
tadi dan menggosok-gosok kedua kemaluannya. kita tidak boleh menyentuh
aurat jenazah yang sudah berumur tujuh tahun keatas kecuali dengan
penghalang. Dan lebih utama jika tidak menyentuh seluruh anggota tubuh
1 Yaitu kayu yang harum baunya, yang dibakar di atas arang. Setelah terbakar asapnya akan
mengeluarkan keharuman yang semerbak kemana-mana.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
Abu Salma 2 dari 10 28/02/2007
lainnya kecuali dengan sarung tangan atau kain yang dibelitkan ke tangan
kita.
Setelah itu, kita membelitkan sepotong kain pada kedua jari untuk
membersihkan gigi-gigi, dan kedua lobang hidungnya, tanpa memasukkan air
ke dalam mulut atau hidung. Kemudian kita membasuhi seluruh anggota
wudhunya.
Kemudian kita menyiapkan air yang bercampur daun bidara atau
bercampur sabun pembersih. Lalu kita membersihkan kepala, serta
jenggotnya dengan busa air tersebut. Dan membasuh sekujur tubuhnya
dengan sisa air tadi. Kemudian kita membasuh bagian samping kanan, lalu
samping yang kiri, dimulai dari kulit lehernya. Kemudian bahu hingga akhir
telapak kakinya.
Lalu kita membalikkannya sembari membasuh tubuhnya. Kita
mengangkat sisi bagian kanannya sambil membasuh punggung dan
pantatnya. Lalu membasuh sisi bagian kiri juga seperti itu. Kita tidak boleh
menelungkupkan jenazah di atas wajahnya. Setelah itu kita menyiramkan air
ke sekujur tubuhnya.
Sedangkan yang sunnah adalah mengulang tiga kali cara mandi
seperti ini, memulai yang kanan dari setiap sisi tubuhnya, dan terus
mengurutkan tangan pada perutnya pada setiap pemandian. Jika tiga kali
pengurutan belum juga membersihkan perut, maka kita tambah hingga perut
itu benar-benar bersih, meski hal itu kita lakukan hingga tujuh kali. Dan
disunnahkan menghentikan pengurutan ini pada bilangan yang ganjil.
Saat memandikan, menggunakan air panas adalah sangat
dimakruhkan. Demikian pula dengan membersihkan sela-sela gigi dan
menggunakan air dingin, kecuali saat diperlukan.
Jika wanita, maka kita mengelabang rambutnya menjadi tiga kali dan
kita letakkan pada bagian belakang kepalanya. Pada pemandian yang
terakhir, kita mencampur airnya dengan kapur barus dan daun bidara. Kecuali
jika sang mayit dalam keadaan ihram dengan ibadah haji atau umrah, maka
hal itu tak perlu dilakukan.
Lalu kita cukur kumisnya, dan kita potong kukunya jika panjangpanjang.
Kemudian kita handuki. Jika masih keluar sesuatu dari perut,
padahal kita sudah mengurut perutnya sebanyak tujuh kali, maka tempat
keluar kotoran itu kita tutup dengan kapas. Jika kapas tidak mempan, maka
kita menggunakan tanah yang panas. Setelah itu tempat keluarnya kotoran itu
kita bersihkan dan kita wudhui lagi jenazahnya.
Jika jenazah yang kita mandikan adalah seseorang yang sedang
ihram, maka kita memandikannya tanpa minyak wangi dan tanpa harumharuman.
Tubuhnya dibersihkan dengan sabun dan daun bidara jika perlu
saja. Dan kepalanya tetap dibiarkan terbuka.
Anak yang gugur (lahir dalam keadaan mati) jika sudah berumur empat
bulan, juga orang-orang yang sulit dimandikan seperti yang mati terbakar dan
yang hancur lebur, maka ia hanya ditayammumi. Sedang orang yang
memandikan, ia wajib menutupi bagian tubuhnya yang buruk.
Mengkafani jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah. Untuk kain
kafan, kita mengutamakan membelinya terlebih dahulu dari harta pribadinya,
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
Abu Salma 3 dari 10 28/02/2007
sebelum kita gunakan untuk melunasi hutang dan tanggungannya yang lain.
Jika si mayit tidak memiliki harta, maka kita mengambil uang untuk membeli
kain kafan itu dari orang yang wajib menafkahinya, yaitu pada saat tak ada
seorangpun yang berderma untuk membelikan kain kafan buat si mayit.
Jenazah seorang lelaki, dikafani dengan tiga lembar kain putih dari
katun atau semisalnya. Lalu sebagian kain itu dibentangkan atas sebagian
yang lain. Dan sebelumnya kain-kain itu sudah disemprot dengan air,
kemudian diasapi dengan semisal kayu gaharu.
Bagian paling atas sendiri, kita taruh kain yang terbaik. Lalu kita
menebar harum-haruman diantara kain yang atas ini, dan memberi parfum
pada setiap lembar kain-kain tersebut2. Setelah itu si mayit diletakkan di
atasnya, kita mengambil sedikit harum-haruman lalu ditaruh pada kapas dan
diletakkan diantara kedua pantatnya. Kemudian kita mengikatnya dari atas
dengan kain yang terbelah ujungnya, seperti bentuk celana dalam, yang bisa
mengikat erat antara dua pantat dan kandung kemihnya.
Kemudian harum-haruman yang masih tersisa kita letakkan pada
setiap lobang yang ada pada wajah dan anggota-anggota wudhunya. Jika kita
mengharumi seluruh tubuhnya, maka itu lebih baik.
Setelah itu kain paling atas, yang ada di sebelah kanan mayit,
ditutupkan pada bagian kirinya. Dan kain yang disebelah kiri ditutupkan pada
bagian kanannya. Kemudian seperti itu pula kita lakukan pada kain kedua dan
ketiga. Dan kita menjadikan kain yang banyak lebihnya ada di bagian kepala.
Lalu bagian tengah setiap kain itu kita ikat. Ikatan itu baru dibuka kembali saat
jenazah dimasukkan dalam kuburan. Kita juga dibolehkan, jika mengkafani
jenazah lelaki dengan baju, sarung dan selembar kain.
Adapun yang disunnahkan pada jenazah seorang wanita, ia harus
dikafani dalam lima kain. Sarung untuk menutupi aurat, kerudung untuk
menutup kepala, baju gamis yang dilobangi tengahnya untuk memasukkan
kepala dari lobang tersebut, kemudian dua lembar kain yang ukurannya
seperti kain kafan jenazah lelaki.
Sedangkan yang wajib untuk kafan jenazah laki-laki dan perempuan,
adalah satu lembar kain yang bisa menutupi seluruh tubuhnya.
******
Pertanyaan: Siapa sajakah yang diwajibkan untuk mengurusi
jenazah?
Jawab: Kepengurusan jenazah diwajibkan atas sanak kerabatnya.
Adapun biaya kepengurusannya, seperti kain kafan, wangi-wangian, upah
penggalian kubur, upah penggotongan jenazah –jika yang menggotongnya
2 Maksudnya kain-kain yang dibawahnya juga diberi parfum. Allahu a`lam.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
Abu Salma 4 dari 10 28/02/2007
perlu dibayari-, demikian pula dengan upah orang yang memandikan, maka
ini semua diambil dari harta pribadi sang mayit. Ini lebih didahulukan
ketimbang membayar hutang dan membayar tanggungan lainnya.
Jika si mayit tidak memiliki harta, maka wajib bagi orang yang
diharuskan menafkahinya untuk membayar semua biaya di atas. Tetapi jika
ada seseorang yang menyumbang untuk biaya kepengurusan jenazah
tersebut, maka hal ini dibolehkan, meski seandainya si mayit meninggalkan
banyak harta yang melimpah.
Jika sanak kerabat saling berselisih, setiap orang ingin menanggung
kepengurusan, pemandian, dan pengkafanan, maka didahulukan seseorang
yang paling dekat hubungan rahim terhadap sang mayit. Hal ini jika si mayit
tidak meninggalkan wasiyat kepada siapapun.
Tapi, seandainya si mayit berwasiyat kepada seseorang tertentu, dia
berkata misalnya, "Tidak boleh memandikanku kecuali si fulan." Maka si fulan
yang diberi wasiyat itulah yang berkewajiban memandikannya.
Namun, jika si mayit tidak memberi wasiyat seperti yang diterangkan di
atas, maka lebih diutamakan yang paling dekat, dari ayahnya, kemudian
putranya, kemudian yang paling dekat, dan yang paling dekat. Allahu a`lam.
******
Pertanyaan: Lelaki dan wanita manakah dari kerabat jenazah yang
berhak memandikan jenazah, baik jenazah itu laki-laki ataupun perempuan?
Karena kami melihat beberapa lelaki masuk ke tempat pemandian jenazah,
tak peduli apakah itu jenazah lelaki, perempuan, sanak kerabat, ataupun
jenazah orang asing. Apakah tindakan seperti ini dibenarkan?3
Jawab: Jenazah lelaki hanya dimandikan oleh kaum lelaki. Tetapi
boleh bagi wanita untuk memandikan suaminya. Sedangkan jenazah wanita,
hanya dimandikan oleh kaum wanita. Tetapi boleh bagi seorang lelaki untuk
memandikan istrinya. Sebab dua orang suami istri, masing-masing dari
mereka boleh memandikan yang lainnya. Karena Ali bin Abi Thalib
Radhiyallohu ‘anhu telah memandikan istrinya, yaitu Fatimah binti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam4. Demikian pula dengan Asma` binti Umais
Radhiyallohu ‘anha, ia telah memandikan suaminya, yaitu Abu Bakar Ash-
Shiddiq Radhiyallohu ‘anhu.5
Adapun selain suami istri, maka tidak boleh bagi para wanita untuk
memandikan kaum lelaki, dan tidak boleh pula bagi kaum lelaki untuk
memandikan kaum perempuan. Setiap jenis kelamin hanya memandikan
yang sama dengan jenisnya. Dan masing-masing dari dua jenis ini tidak boleh
3 Shalih Al-Fauzan, Al-Muntaqa, 1/78
4 Lihat, Al-Mushannaf fi Al-Ahaadits wa Al-Aatsaar karya Ibnu Abi Syaibah, 2/455, 456; juga
Al-Mushannaf karya Abdurrazzaq Ash-Shan`ani, 3/408-411. hadits ini dihukumi hasan oleh
Al-Albani. Lihat pula, Irwa` Al-Ghalil, 3/162
5 Lihat, Al-Mushannaf fi Al-Ahaadits wa Al-Aatsaar karya Ibnu Abi Syaibah, 2/455, 456; juga
Al-Mushannaf karya Abdurrazzaq Ash-Shan`ani, 3/408-411.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
Abu Salma 5 dari 10 28/02/2007
melihat aurat yang lain. Kecuali anak kecil yang belum tamyiz6, maka tidak
mengapa untuk memandikannya, baik yang memandikan itu kaum lelaki dan
perempuan. Karena anak kecil itu tidak ada aurat baginya.
******
Pertanyaan: Apakah benar jika seorang wanita mengurus pemandian
anak kecil lelaki di bawah umur tujuh tahun?
Jawab: Hal ini dibolehkan, karena anak kecil lelaki tidak mempunyai
aurat. Sebagaimana seorang ibu boleh mengurus kebersihannya di waktu
kecil. Sang ibu mencebokinya dan langsung menyentuh kemaluannya
padahal anak kecil itu hidup. Karena hal itu memang diperlukan. Juga karena
Ibrahim putra Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ia dimandikan oleh para
wanita, seperti disebutkan para ulama fiqih dalam kitab Al-Ahkam
(pembahasan mengenai hukum-hukum)7.
Para ulama fiqih juga menyebutkan bahwa perempuan kecil di bawah
umur tujuh tahun, kaum lelaki boleh mengurus pemandiannya. Boleh
menyentuh auratnya dan langsung melihat kemaluannya. Meski lebih
diutamakan jika yang memandikannya adalah kaum wanita. Tetapi kebutuhan
mendesak, kadang-kadang mengharuskan kaum lelaki untuk melakukannya.
Allahu a`lam.
******
Pertanyaan: Apakah perhiasan seorang wanita yang meninggal,
wajib dilepaskan sebelum ia dikuburkan?
Jawab: Benar! Hal itu adalah wajib. Karena melepas perhiasan
tidaklah merusak badan sang wanita dan tidak pula berpengaruh padanya.
Maka untuk perhiasan yang ada di tangan, tidak ada pengaruh ketika
melepasnya. Demikian pula dengan perhiasan yang ada di lengan, telinga,
dan hidung. Semua perhiasan ini jika dilepas, tidaklah berpengaruh terhadap
wanita yang meninggal ini.
Karena itu maka wajib melepas semua perhiasan itu darinya dan tidak
dibiarkan terkubur bersamanya. Sebab membiarkan perhiasan itu terkubur
bersamanya, berarti kita sama dengan menghancurkan harta. Padahal orang
yang hidup lebih membutuhkan perhiasan-perhiasan itu, seharusnya orang
hidup itulah yang menjadi pemiliknya.
******
6 Di bawah umur tujuh tahun, belum baligh dan belum bisa membedakan mana yang benar
dan mana yang buruk.
7 Lihat, Manar As-Sabiil, 1/166
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
Abu Salma 6 dari 10 28/02/2007
Pertanyaan: Jika seorang jenazah dalam mulutnya terdapat gigi
emas, apakah gigi itu diambil sebelum ia dikubur, atau dibiarkan saja?
Jawab: Jika mencabutnya memang mudah, karena si mayit sewaktu
hidup biasa mencabut gigi tersebut, juga dengan mencabutnya ini tidak bakal
merusak mulut atau berpengaruh padanya, maka harus dilakukan adalah
mencabut gigi emas itu darinya. Sebab gigi emas itu mempunyai nilai, dan
orang yang hidup lebih berhak untuk memilikinya.
Tetapi jika dikawatirkan, seandainya gigi itu dicabut maka mulutnya
terus terbuka, atau membuat pemandangannya semakin menakutkan, maka
yang paling baik adalah menghindari pencabutan. Karena yang kita
perhatikan, banyak dari para jenazah, yang seandainya orang-orang yang
memandikan itu membuka langit-langit mulutnya, mereka tidak bisa
menutupnya kembali, dan mulut itu tetap menganga.
Dan yang serupa dengan mulut adalah mata. Karena sering kita
perhatikan, jika mata si mayit terbuka dan terus dibiarkan terbuka hingga
meninggal dunia, maka mata itu akan terus terbuka dan tidak bisa ditutup.
Berdasarkan hal ini, maka sangat diharuskan bagi siapapun yang
menghadiri saat-saat sekarat seseorang, untuk segera memejamkan kedua
matanya sebelum ia meninggal dunia, atau saat meninggal dunia. Demikian
pula ia harus menutup mulutnya, sehingga mulut itu terus tertutup dan mata
terus terpejam. Allahu a`lam.
******
Pertanyaan: Saat memandikan jenazah, apakah kita disyariatkan
untuk membersihkan kumis, bulu ketiak, bulu kemaluan dan kuku-kukunya,
ataukah kita membiarkannya begitu saja?
Jawab: Saat memandikan jenazah, kita disyariatkan membersihkan
kumis, demikian pula dengan bulu ketiak, dan kuku-kuku. Adapun rambut
kemaluan, maka pendapat yang sahih, bahwa rambut itu dibiarkan saja tidak
diutak-atik karena ia adalah aurat. Dan aurat itu tidak boleh disentuh setelah
pemiliknya meninggal dunia. Bahkan tidak halal bagi kita untuk menyentuh
auratnya baik ia hidup atau mati.
******
Pertanyaan: Apa yang kita lakukan terhadap bulu kumis, bulu ketiak,
dan kuku yang diambil dari orang mati?
Jawab: Rambut dan kuku-kuku, dibungkus bersama si mayit dalam
sebuah tas kecil, atau bungkusan lainnya, kemudian dikubur bersama si
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
Abu Salma 7 dari 10 28/02/2007
mayit. Dan boleh pula membuangnya di tanah bersama sampah-sampah
yang lain, sama seperti rambut orang hidup tanpa ada rasa jijik dan lain
sebagainya.
******
Pertanyaan: Ada seorang lelaki meninggal dunia karena kecelakaan
lalu lintas. Badannya terluka sangat parah, seandainya dimandikan, air akan
merusak seluruh tubuhnya. Maka apa yang harus kami lakukan?
Jawab: Jenazah ini dimandikan semampunya saja. Jika air bisa
disiramkan ke sekujur tubuh dan tidak berpengaruh padanya, maka kita harus
menyiramkan air ke tubuhnya tanpa menggosok-gosok. Tetapi jika sang
jenazah keluar otaknya, ususnya terburai, atau potongan dagingnya kocarkocir,
maka disini kita hanya memandikan bagian tubuh yang bisa
dimandikan, sedang yang lain cukup diusap saja.
******
Pertanyaan: Saat memandikan anak kecil, apakah kita wajib
menutup auratnya atau tidak?
Jawab: Anak kecil yang berumur di bawah tujuh tahun, ia tidak
memiliki aurat baik laki-laki atau perempuan. Karena itu kita tidak wajib
menutupi sesuatupun dari anggota tubuhnya saat memandikan. Tetapi jika
jenazah itu lebih dari tujuh tahun, maka kita wajib menutupi anggotanya yang
diantara pusar hingga lutut.
******
Pertanyaan: Bolehkah kita mengkafani mayit dengan selain kain
putih?
Jawab: Boleh, tetapi yang lebih baik adalah mengkafaninya dengan
kain putih. Karena disebutkan dalam sunan Abi Dawud bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
Abu Salma 8 dari 10 28/02/2007
((اِْلب سوا مِ ن ثِيابِ ُ ك م اْلبيا ض َفإِن ها مِ ن خيرِ ثِيابِ ُ ك م و َ كفِّنوا فِي ها م وتا ُ ك م)) 8
"Pakailah untuk baju kalian kain-kain yang putih, karena kain putih adalah
sebaik-baik baju kalian, dan kafanilah dengannya orang-orang yang mati dari
kalian."
******
Pertanyaan: Berapakah jumlah tali yang kita ikatkan pada kafan sang
mayit?
Jawab: Yang disebutkan dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam sebanyak tujuh ikatan. Sudah masuk padanya ikatan pada kepala dan
ikatan pada kedua kaki. Tetapi ikatan ini boleh lebih dari itu sesuai dengan
kebutuhan.
******
Pertanyaan: Ada seorang muslim yang membunuh muslim lainnya,
kemudian sang muslim pembunuh ini diberi hukuman bunuh juga. Pertanyaan
kami, apakah muslim yang pembunuh ini jika sudah dibunuh, ia harus
dimandikan dan dishalati?
Jawab: Benar, ia harus dimandikan dan dishalati. Sebab ia tidak keluar
dari lingkaran agama Islam.
******
Pertanyaan: Apakah seseorang yang bunuh diri harus dimandikan
dan dishalati?9
Jawab: Seseorang yang bunuh diri, ia tetap dimandikan, dishalati, dan
dikubur di pekuburan kaum muslimin. Karena ia hanya berbuat maksiat dan
tidak kafir. Sebab bunuh diri hanyalah sebuah kemaksiatan bukan suatu
kekafiran. Maka, jika ada seseorang yang melakukan bunuh diri –mudahmudahan
Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari perbuatan ini-, ia
tetap dimandikan, dishalati, dan dikafani.
Tetapi wajib bagi pemimpin tertinggi, dan orang-orang yang
mempunyai jabatan penting, untuk tidak menyalatinya. Karena ini sebagai
8 HR. Abu Dawud, 2/176 dan At-Tirmidzi, 2/132
9 Syaikh Abdullah bin Baaz, Fatawa Islamiyyah, 2/62
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
Abu Salma 9 dari 10 28/02/2007
bentuk pengingkaran dari mereka, sehingga tidak ada seorangpun yang
menduga bahwa para petinggi itu meridhai perbuatan bunuh diri tersebut.
Jadi! Seorang pemimpin Negara, sultan, hakim, gubernur, atau bupati,
jika mereka tidak menyalati pelaku bunuh diri, sebagai bentuk pengingkaran
dan pemberitahuan kepada para manusia bahwa ini adalah perbuatan yang
salah, maka ini baik sekali. Tetapi kaum muslimin lainnya tetap harus
menyalati pelaku bunuh diri itu.
******
Pertanyaan: Saya telah memandikan jenazah, tetapi saya tidak
mandi setalah itu. Kemudian saya mengerjakan banyak shalat. Apakah saya
berdosa dalam hal ini?
Jawab: Mengenai memandikan jenazah, ada sebuah hadits dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan sanad yang sahih, yaitu sabda beliau
yang berbunyi,
((م ن َ غ س َ ل ميتًا َفْلي غتسِ ْ ل وم ن ح مَله َفْليت و ضْأ)) 10
"Barangsiapa memandikan orang mati, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan
siapapun yang menggotongnya maka hendaknya ia berwudhu."
Hadits ini didhaifkan oleh kebanyakan para ulama`. Sedangkan ulama
lainnya mensahihkannya, dan sebagian ulama yang lain memilih berhenti
(tawaqquf) pada matannya.
Para ulama yang memilih tawaqquf ini berkata, "Apa yang membuat
kita harus mandi, karena orang yang memandikan jenazah tidak melakukan
perbuatan apapun yang mengharuskannya mandi." Sebab itulah mereka
memilih untuk tawaqquf pada matannya.
Adapun para ulama yang mensahihkan hadits ini mereka meyakini
bahwa mandi disini adalah hal yang mustahab. Jadi mereka mengatakan,
"Sesungguhnya mandi adalah mustahab bagi orang yang memandikan
mayit."
Sedangkan sebagian ulama yang lain, mewajibkan berwudhu bagi
orang yang memandikan, jika ternyata ia tidak mandi. Maka mereka berkata,
"Mandi hanyalah sunnah muakkadah, tetapi jika tidak mandi maka ia wajib
berwudhu, wudhu inilah kewajiban yang paling sedikit atasnya."
******
10 HR. Abu Dawud, 2/62-63; At-Tirmidzi, 2/132, beliau menghukuminya hasan. Juga
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ath-Thayalisi, dan Imam Ahmad, 2/80, 433, 454, 472. Hadits
ini dihukumi sahih oleh Al-Albani.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
Abu Salma 10 dari 10 28/02/2007
Pertanyaan: Jika saya membawa jenazah, apakah saya wajib
berwudhu atau tidak?
Jawab: Mengenai berwudhu bagi seseorang yang membawa mayit,
ada sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((م ن َ غ س َ ل ميتًا َفْلي غتسِ ْ ل وم ن ح مَله َفْليت و ضْأ)) 11
"Barangsiapa memandikan orang mati, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan
siapapun yang menggotongnya maka hendaknya ia berwudhu."
Barangkali maksud hadits di atas, khusus buat orang yang
mendekapnya bukan orang yang membawa jenazah dalam keranda.
Sehingga, ketika Abdullah bin Abbas Radhiyallohu ‘anha dan Abdullah bin
Umar Radhiyallohu ‘anha membawa jenazah dalam keranda, kemudian
dikatakan kepada mereka, "Berwudhulah!", keduanya menjawab,
((ما َأت و ضُأ مِ ن ح ملِ خ شبةٍ))
"Saya tidak perlu berwudhu hanya karena membawa kayu."
Maksudnya, mereka tidak membawa apapun selain hanya kayu, dan
tidak menyentuh apapun selain kayu belaka. Adapun seseorang yang
mendekap jenazah yang sudah meninggal, yang bisa jadi dalam keadaan
tanpa busana, atau mirip tanpa busana, maka hendaklah ia berwudhu
berdasarkan pada hadits di atas.
Dinukil dari al-Muqorrib li Ahkaamil Jana`iz : 148 Fatawa fil Jana`iz, penyusun :
‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad al-‘Arifi, dimuroja’ah oleh : ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman
al-Jibrin, Penerbit : Dar ath-Thayibah, Riyadh, 1418 H/1997 M.
11 HR. Abu Dawud, 2/62-63; At-Tirmidzi, 2/132, beliau menghukuminya hasan. Juga
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ath-Thayalisi, dan Imam Ahmad, 2/80, 433, 454, 472. Hadits
ini dihukumi sahih oleh Al-Albani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar