27 Januari 2011

Hukum Menonton Sinetron,Televisi dan video dll

Hukum Menonton Sinetron di Televisi

Oleh: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Soal:
Apakah hukum menonton acara sinetron berseri yang disiarkan di televisi?
Jawab:
Wajib bagi seorang muslim untuk menjaga waktunya dengan menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya, karena dia bertanggung jawab dengan waktu yang dia habiskan. Bagaimana dia habiskan waktu tersebut?
Allah ta’ala berfirman,

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ
Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir (Faatir: 37)
Dan di dalam hadits (riwayat At Tirmidzi), seseorang akan ditanya tentang kehidupannya dan waktu yang dia habiskan.
Menonton sinetron menghabiskan waktu, sehingga tidak sepantasnya seorang muslim menyibukkan diri menontonnya.
Apabila di dalam sinetron tersebut terdapat perkara-perkara yang haram, maka menontonnya pun haram seperti: wanita yang berhias dan bertabarruj (tidak berhijab, menampakkan kecantikannya di hadapan selain mahram –pent), musik dan nyanyian, dan juga sinetron yang mengandung ajaran/pemikiran yang rusak, yang jauh dari tuntunan agama dan akhlak yang mulia. Begitu juga sinetron yang menampilkan perilaku yang tidak tahu malu dan merusak akhlak. Sinetron semacam ini tidak boleh ditonton.
(Diterjemahkan dari Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Fauzan, juz 3 nomor 516 untuk blog http://ulamasunnah.wordpress.com)

Hukum Menonton Televisi di Rumah

Oleh: Ummu ‘Abdillah bintu Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iyyah
Soal:
Jika seorang wanita berkunjung ke sebuah rumah yang di dalamnya ada televisi, bolehkah dia melihat ataukah tidak?
Jawab:
Pada asalnya, tidak boleh melihat televisi jika siarannya memperdengarkan alat-alat hiburan dan musik. Juga jika penyiarnya laki-laki, karena dengan demikian dia akan melihat laki-laki tersebut. Padahal kita telah diperintahkan untuk menundukkan pandangan dari kaum laki-laki.
Sedangkan jika siarannya tidak memperdengarkan musik dan penyiarnya bukan laki-laki, maka tetap diperintahkan untuk menjauhinya/meninggalkannya karena melihat televisi itu akan membuka pintu-pintu kejelekan, Namun perlu diketahui bahwa meninggalkannya itu lebih baik. Dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat adalah kewajiban kita.
Televisi mengandung beberapa kerusakan, di antaranya adalah gambar (makhluk yang bernyawa). Sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
لاَ تَدْخُلُ المَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ
“Malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar (makhluk yang bernyawa).” (Mutaffaqun ’alaih dari hadits Abu Thalhah)
Bagaimanapun juga, dampak negatif televisi sangatlah banyak.
(Dinukil dari نصيحتي للنساء (Nasehatku Untuk Kaum Wanita) karya Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah, hal. 325, soal ke-10, penerjemah: Al-Ustadz Muhaimin, penerbit: Pustaka Ar-Rayyan Solo, untuk http://almuslimah.co.nr dengan tambahan teks Arab dari penerbit Darul Atsar Yaman, hal. 281-282)

Hukum Televisi, Video, Kamera, Fotografi, Gambar dan Lukisan Makhluk Bernyawa


Oleh: Asy-Syaikh Muqbil bin Hâdî Al-Wâdi’î rahimahullâh
Yang perlu diperhatikan adalah apabila gambar binatang yang tidak ada kepalanya seperti bintang laut, maka bagaimana cara menghapus gambar tersebut? Penghapusannya adalah dengan kamu potong sehingga menjadi seperti pohon. Adapun menggambar binatang-binatang, maka hukumnya adalah harâm karena binatang termasuk yang mempunyai nyawa, walaupun asalnya memang tidak mempunyai kepala (seperti bintang laut, -pent).
Adapun pendapat yang membolehkan menggambar (memotret) penjahat (pelaku kriminal) adalah tidak ada landasan dalîl sama sekali, bahkan dengan ditegakkan hukuman had adalah sudah cukup untuk memperingatkan pelaku kriminal tersebut, karena Allâh dan Rasûl-Nya tidak mengatakan, “Apabila ada penjahat maka penjahat tersebut digambar!”
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Dan Sungguh Rabbmu tidak pernah lupa.” (Maryam: 64)
Bahkan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ telah berfirman,
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِاْئَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh, jika kalian beriman kepada Allâh, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (An-Nûr: 2)
Allâh Ta’âlâ juga berfirman,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allâh. Dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Mâ’idah: 38)
Allâh Ta’âlâ juga berfirman,
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan menyilang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.” (Al-Mâ’idah: 33)
Kemudian (yang lebih parah lagi, -pent) mereka para pemerintah tidak cukup dengan menggambar pelaku kriminal saja, bahkan mereka juga menggambar (memotret) para dai-dai yang berdakwah kepada Allâh karena menurut pemerintah mereka adalah para penjahat. Sungguh cukup bagi kami Allâh, sebaik-baik Yang Diserahi Urusan, sebaik-baik Pembantu dan sebaik-baik Penolong.
Dan pendapat yang mengatakan bolehnya menggambar untuk pengajaran adalah tidak berlandaskan dengan dalîl, bahkan hadîts-hadîts tentang dilaknatnya tukang gambar yang telah lalu mencakup semuanya. Dan juga dalam permasalahan ini, akan berakibat peremehan terhadap kemaksiatan menggambar yang muncul di kalangan para pelajar, yang berarti mereka bersiap-siap untuk mendapat laknat dari Allâh apabila mereka belum bâligh dan akan dilaknat apabila para pelajar tersebut telah bâligh, dibantu untuk melakukan kemaksiatan bahkan dijerumuskan ke dalamnya. Maka, di manakah tanggung jawab, sedangkan Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم telah bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban pada apa-apa yang dia pimpin.”
Dan sabdanya pula,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً ثُمَّ لَمْ يَحُطْهَا بِنُصْحِهِ إلا لَمْ يَجِـدْ رَائِحَةَ الْجَنّةَ
“Tidak ada seorang pemimpin pun yang Allâh jadikan dia memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak memimpin dengan penuh bimbingan, kecuali dia tidak akan mendapatkan (mencium) wanginya surga.”
Sungguh Nabi صلى الله عليه وسلم telah memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak dengan pendidikan yang agamis, setiap anak yang dilahirkan di atas fithrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahûdî, Nashrânî, atau Majûsî. Beliauصلى الله عليه وسلم telah bersabda,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak yang terlahir itu dilahirkan di atas fithrah, maka orangtuanyalah yang menjadikan mereka Yahûdî, Nashrânî, atau Majûsî.”
Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda dengan apa yang beliau riwayatkan dari Rabb beliau (hadîts qudsî),
إِنِّى خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَاجْتَالَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ
“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-Ku dalam keadaan betul dan lurus, kemudian syaitân-syaitân itulah yang menggelincirkannya.”
Maka, harâm bagi pengajar dan bagi pemerintah (pemimpin-pemimpin) untuk mengajarkan senirupa kapada pelajar.
Al-Imâm An-Nawawî rahimahullâh berkata dalam Syarah Shahîh Muslim juz 14 hal 81,
“Pengikut madzhab kami (madzhab Asy-Syâfi’iyah,-pent) dan para ulamâ selain mereka berkata, “Menggambar makhluk yang bernyawa hukumnya harâm dengan keharâman yang keras dan termasuk dosa besar, karena diancam dengan ancaman yang keras sebagaimana tersebut dalam hadîts-hadîts, baik orang yang membuat gambar itu bertujuan merendahkannya ataupun selainnya, perbuatannya tetap saja dihukumi harâm, apapun keadaannya. Karena perbuatan ini menandingi ciptaan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, baik gambar itu dibuat pada pakaian, permadani, dirham atau dinâr, uang, bejana, dinding, dan selainnya.
Adapun menggambar pohon, pelana unta, dan selainnya yang tidak mengandung gambar makhluk bernyawa, tidaklah diharâmkan. Ini ditinjau dari hukum menggambar itu sendiri. Adapun mengambil gambar makhluk bernyawa untuk digantung di dinding, pada pakaian yang dipakai, atau pada sorban dan semisalnya yang tidak terhitung untuk direndahkan, maka hukumnya harâm. Bila gambar itu ada pada hamparan yang diinjak, pada bantalan dan semisalnya yang direndahkan, maka tidaklah harâm.”
Akan tetapi, apakah hal yang demikian itu dapat mencegah masuknya malaikat rahmah untuk masuk ke dalam rumah (yang ada gambar makhluk bernyawa)? Hal ini akan saya paparkan dalam waktu dekat, Insyâ’ Allâh. Dan tidak ada bedanya dalam hal ini antara gambar yang mempunyai bayangan (tiga dimensi) ataupun yang tidak mempunyai bayangan.
Ini adalah kesimpulan madzhab kami dalam permasalahan ini. Demikian pula yang semakna dengan pendapat ini, pendapat jumhur ulamâ dari para sahabat Rasûlullâh radhiyallâhu ‘anhum dan para tabi’in dan orang-orang setelah mereka serta madzhabnya Al-Imâm Ats-Tsaurî dan Al-Imâm Mâlik dan Al-Imâm Abû Hanîfah dan selain mereka. Dan sebagian salaf telah mengatakan, “Sesungguhnya yang dilarang di sini adalah kalau gambar tersebut berbentuk tiga dimensi, akan tetapi tidak mengapa jika gambar tersebut tidak mempunyai bayangan (tidak berdimensi).” Ini adalah madzhab yang batil karena tirainya ‘Âisyah yang telah diingkari oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam adalah gambar makhluk yang bernyawa yang ada padanya. Tidak seorang pun ragu bahwa tirai tersebut tercela, padahal gambar yang ada padanya bukan gambar yang mempunyai bayangan (tiga dimensi) dan juga pendapat (madzhab) ini batil berdasarkan hadîts-hadîts yang memutlakkan untuk setiap gambar.”
Az-Zuhrî rahimahullâh menyatakan bahwa larangan pada gambar ini umum, demikian pula penggunaan barang-barang yang terdapat gambar, dan masuk rumah yang ada gambarnya, baik gambar itu yang berada pada kain, atau gambar yang berbentuk patung (tiga dimensi), sama saja apakah di tembok, di pakaian, permadani/tikar yang dihinakan atau tidak dihinakan. Sebagai pengamalan zhahir hadîts-hadîts, terlebih lagi hadîts namruqah (tirai), yang disebutkan Al-Imâm Muslim. Dan ini adalah madzhab yang kuat, dan orang-orang lain mengatakan bolehnya menggunakan gambar itu ketika berbentuk gambar pada kain (bukan tiga dimensi), baik direndahkan atau tidak, dan sama saja apakah gambar-gambar itu tergantung di dinding-dinding ataupun tidak, dan mereka (ulamâ tsb.) membenci gambar-gambar yang mempunyai bayangan yang digantungkan di dinding-dinding dan selainnya, sama saja baik gambar-gambar itu berbentuk gambar (dua dimensi) atau tidak, dan mereka berhujjah dengan sabda beliau pada sebagian hadîts dalam bab ini (kecuali jika gambar tersebut berupa lukisan di baju), dan ini adalah madzhabnya Qâsim bin Muhammad, dan mereka telah sepakat tentang terlarangnya gambar makhluk bernyawa jika mempunyai bayangan dan wajibnya merubah gambar tiga dimensi tersebut.
Al-Qâdhî mengatakan bahwa terkecuali jika digunakan untuk bermain-main, pada permainan anak-anak perempuan yang masih kecil, maka yang demikian itu ada keringanan, akan tetapi Imâm Mâlik membencinya jika ada seorang laki-laki membeli mainan tersebut untuk anak-anak perempuannya, dan sebagian ulamâ mengatakan bahwa bolehnya (gambar makhluk bernyawa) untuk permainan anak-anak perempuan ini telah dimansukh (dihapus) dengan hadîts-hadîts ini. Wallâhu a’lam.
Ibnu Hajar di dalam kitabnya (Fathul Bârî) juz 10 halaman 391 telah menukilkan perkataan Ibnul ‘Arabi: Kesimpulan dari apa-apa yang dijelaskan tentang gambar makhluk bernyawa; jika berbentuk tubuh (tiga dimensi), maka hukumnya harâm menurut ijma’. Tetapi jika gambar itu berbentuk lukisan, maka di sini ada 4 pendapat,
1. Boleh secara mutlak dengan bersandar pada zhâhir dari sabda Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم pada hadîts bab ini, ‘Kecuali jika gambar itu berupa lukisan di baju.”
2. Larangan secara mutlak walapun gambar tersebut berupa lukisan.
3. Jika gambar tersebut telah berbentuk dengan sempurna maka hukumnya harâm, tetapi jika telah dipotong kepalanya atau terpisah-pisah bagian tubuhnya, maka hal ini tidak mengapa. Dan inilah pendapat yang paling baik dan benar.
4. Jika gambar-gambar tersebut termasuk yang dihinakan maka hukumnya boleh, tetapi jika untuk digantungkan pada dinding-dinding, maka hukumnya tidak boleh. Saya katakan (Syaikh Muqbil), “Dan pada pendapat yang akhir ini tidak ada dalil sama sekali.”
Gambar-gambar Makhluk Bernyawa yang Bersifat Darurat
Jika seseorang itu terpaksa harus menggunakan paspor, sama saja apakah untuk kepentingan haji atau selainnya di antara safar-safar yang harus dilakukan, atau KTP atau SIM atau Surat Keterangan Kerja atau uang kertas, maka yang demikian itu dosanya dibebankan kepada pemerintah yang telah memaksamu kepada ini semua.
Batasan darurat di sini adalah hilangnya kemashlahatan (kebaikan) yang wajib kamu lakukan apabila kamu tinggalkan gambar. Adapun gambar yang diminta dari para pelajar atau dari kemiliteran, hal ini bukan merupakan darurat, karena memungkinkan seorang pelajar untuk tidak menuntut ilmu di sekolah-sekolah dan bisa menuntut ilmu secara langsung dengan para ulamâ di masjid-masjid. Dan memungkinkan pula para tentara itu berpaling dan meninggalkan profesi kemiliterannya.
Di antara kemungkaran yang ada bahwasanya kita melihat gambar para ulamâ di koran-koran dan majalah-majalah. Dan yang lebih mungkar lagi dari ini adalah gambar-gambar yang terdapat pada kartu pemilihan umum yang dijadikan sarana untuk mendukung sistem demokrasi thâghût, dan yang lebih mungkar lagi adalah gambar-gambar perempuan pada acara pemilu itu. Dan bentuk kemungkaran yang besar pula ketika seseorang telah mengumpulkan manusia di masjid-masjid sementara itu fotografer atau kamerawan membidikkan kamera ke arahnya dan demikian pula foto-foto jamâ’ah haji di Mina dan ‘Arafah. Dan peralatan kamera diletakkan di Masjid ‘Uranah dan Masjidil Harâm dan yang selainnya termasuk pukulan terhadap syiar-syiar agama yang agung ini.
Dan alat-alat penayangan langsung itu adalah termasuk alat yang diharâmkan karena dianggap sebagai gambar makhluk bernyawa, dan manusia juga menamakannya sebagai gambar (makhluk bernyawa) sehingga hukumnya adalah harâm sebagaimana peletakan gambar-gambar pada pintu masuk atau penempelan di tembok.

(Dinukil dari حكم تصوير ذوات الأرواة (Hukum Menggambar Makhluk Bernyawa, Pandangan Syarî’at tentang Lukisan, Fotografi, dan Televisi); Bab: Harâmnya Tontonan yang Bergerak yang Berwujud Makhluk-makhluk Bernyawa, baik itu Televisi, Video, Bioskop, HP Berkamera, Kamera Pengawas Online dalam Lapangan Pertandingan, Gedung Pertemuan-pertemuan Umum, atau Tempat-tempat Penjagaan dengan Alat-alat Monitor, dan Gambar-gambar Makhluk Bernyawa yang Bersifat Darurat, karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hâdî Al-Wâdi’î rahimahullâh, hal. 38-44 dan 88-89, Penerjemah: Abû Muhammad Farhân Al-Bantulî, Muraja’ah: Al-Ustâdz ‘Alî Basuki Lc., Penerbit: Penerbit Al-Ilmu Yogyakarta, cet. ke-1 Syawwal 1428H/November 2007, )
Sumber Penukilan:
http://akhwat.web.id/

Tidak ada komentar: