Semakin banyak ilmu maka seorang muslim akan semakin dekat dengan rasul, sedang semakin dekat dengan rasulullah maka secara ilmu fawaid akan semakin banyak mendapat “warisan” dari rasulullah sehingga akan memperbesar peluang untuk hidup dekat disamping rasulullah saat disurga.
IKHLASH
Syaikh Imam al Thusari mengatakan aku sangat bersemangat untuk mempelajari masalah masalah yang membatalkan keikhlasan dalam beribadah dengan tujuan BUKAN untuk melakukan dan mengamalkan hal tersebut. Melainkan agar aku terhindar dari yang demikian. Karena orang yang tidak paham terhadap masalah ini maka akan rentan sekali terjatuh dalam perkara ini.Dengan demikian sangat penting untuk mengulang materi ini dalam kajian‐kajian karena :
- Mengulang materi yang berkaitan dengan ilmu syar’i adalah sangat besar manfaatnya (lihat Qs. Ad Dzariyat 55 : Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang‐orang yang beriman.
- Orang yang malas untuk mempelajari masalah ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak memahami urgensi masalah keikhlasan dalam kehidupan sehari‐hari sehingga terjatuh kedalam ancaman rasul dalam hadist yang diriwayatkan bukhari‐muslim sbb: ʺSesungguhnya orang yang paling pertama diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid, ia didatangkan dan ditanyakan niʹmat‐niʹmatnya, lalu ia mengakuinya. Dia berfirman : ʺApakah yang kamu amalkan di dunia ? ʺ.Ia menjawab : ʺSaya berperang sampai mati syahidʺ. Dia berfirman : ʺKamu berdusta, tetapi kamu berperang agar dikatakan sebagai pemberani dan itu telah dikatakanʺ. Kemudian ia diperintahkan, lalu wajahnya ditarik sehingga ia dilemparkan kedalam neraka. Seorang yang memperlajari Ilmu, mengajarkannya dan Membaca Al Qurʹan didatangkan. Nikmat‐nikmatnya, ditanyakan dan ia mengakuinya. Dia berfirman : ʺApakah yang kamu kerjakan di dunia ?ʺ. Ia menjawab : ʺSaya mempelajari Ilmu, mengajarkannya, dan saya membaca Qurʹan karena‐Muʺ. Dia berfirman : ʺKamu berdusta, karena kamu mempelajari Ilmu agar dikatakan pandai dan kamu membaca Al Qurʹan agar dikatakan sebagai qariʹ, dan itu semua telah diucapkanʺ. Kemudian diperintahkan, lalu wajahnya ditarik sampai dicampakkan kedalam neraka. Dan seorang yang diberi kelapangan oleh Allah dan diberi berbagai macam seluruh harta didatangkan dan ditanyakan niʹmat‐niʹmatnya lalu ia mengakuinya. Dia berfirman : ʺApakah yang kamu kerjakan di dunia ?ʺ. Ia menjawab : ʺSaya tidak meninggalkan jalan yang mana engkau senang untuk di infakkannya (harta) melainkan saya menginfakkannya karena‐Muʺ. Dia berfirman : ʺKamuberdusta, tetapi kamu kerjakan agar dikatakan sebagai dermawan, dan itu telah dikatakanʺ. Ia diperintahkan, lalu ditarik wajahnya kemudian dilemparkan kedalam nerakaʺ. Sebagaimana yang dapat dilihat, semua amalan tertolak tanpa keikhlasan. Orang‐orang yang beramal untuk (tujuan) selain Allah akan menjadi orang yang paling pertama dibakar dalam api neraka sebagaimana ketiga kasus yang disebutkan dalam hadits di atas.
DEFINISI IKHLASH
Secara etimologi ( bahasa) ikhlash adalah murni sebagimana dalam qs an nahl 66 : “Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.”
- Ayat ini menggambarkan bahwa penjelasan tidak langsung tipisnya jarak ikhlash dengan noda-noda keikhlasan laksana jarak saluran susu dengan darah kotor
- Ayat ini juga menggambarkan sebanyak apapun amal yang dilakukan tetapi tidak ikhlash maka tidak ada manfaatnya laksana susu sapi yang masih murni bercampur dengan darah dan kotoran, lihat qs azzumar ayat 3 : “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah‐lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang‐orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ʺKami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat‐ dekatnyaʺ. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang‐orang yang pendusta dan sangat ingkar.”
Secara Terminologi
- mengesakan Allah dengan niat ketika melaksanakan ketaatan (mengharap ridha Allah, takut akan api neraka). Letak ikhlash adalah amalan hati bukan amalan lisan.
- Ikhlas kepada Allah ‐subhanahu wa taʹala‐ maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‐subhanahu wa taʹala‐ dan mendapatkan keridhaanNya. ( Syaikh Ibnu Utsaimin)
POLUSI PEMBATAL KEIKHLASAN
1. PENYAKIT RIYA’
artinya Riya‐ro’a‐raya‐ yua yu roi = lihat dan memperlihatkan, menampilkan sebuah amalan dengan niat orang lain melihat sehingga orang memuji orang tersebut (Ibnu Hajar Asqolani)
Bentuk‐bentuk riya’ menurut Imam Qodamah Al Maghdisy dalam “Kitab Al Mukhtasyar”
(1) Riya’ Anggota Tubuh : begadangan biar dianggap ahli shalat malam
(2) Riya’ Dalam Berpenampilan dan Berbusana : Berpakaian ala ulama biar dipanggil pak ustadz/kyai/ulama.
(3) Riya’ Dalam Ucapan : seorang da’i dengan retorika yang bagus dengan tujuan untuk mendapat pujian yang hadir dengan mengabaikan terserah yang hadir mendapat hidayah dari Allah atau tidak. Atau seorang ustadz yang membawa tasbih atau tidak tetapi menggerak‐gerakkan tangan biar dikira dzikir.
(4) Riya’ Dengan Perbuatan : orang yang selalu datang ke masjid agar disebut ahlul masjid atau orang berpergian menunaikan ibadah haji biar dipanggil pak haji.
(5) Riya’ dalam Pergaulan : orang yang berusaha dekat‐dekat dengan ulama agar disegani oleh masyarakat. Syaikh Rabbi Al Madkali menjelaskan sumber fitnah ahlul sunnah adalah dekat dengan ulama tetapi berperilaku mengadu antar ulama yang satu dengan yang lain.
Latar belakang yang menumbuhkan riya’ menurut Imam Qodamah Al Maghdisy dalam “Kitab Al mukhtasyar”
1) Cinta Kedudukan dan Kekuasaan
2) Mencari kelezatan sebuah pujian, karena ada sebagian manusia lebih menikmati pujian dari pada harta
3) Lari dari pahitnya celaan (orang riya tidak mau dicela oleh manusia lain)
4) Tamak dengan apa yang dimiliki oleh manusia
“ Berkaitan dengan hal ini rasulullah pernah ditanya seorang sahabat tentang mana yang lebih baik. Berperang karena keberanian, berperang karena fanatisme kelompok atau berperang karena memperlihatkan orang lain agar dipuji oleh orang lain? Rasulullah menjawab barangsiapa berjuang agar kalimat Allah tegak diatas maka ini yang diesbut jihad fisabilillah”.
Nah dari sini sangat jelas “Berperang karena keberanian” (ingin mendapat pujian manusia), “karena fanatisme kelompok” ( menghindar dari celaan manusia), berperang karena memperlihatkan orang lain agar dipuji oleh orang lain (mendapat fasilitas dari orang lain).
Gambaran diatas menjelaskan bahwa perjuangan yang hanya bertujuan untuk mencari ridha manusia bukan ridha Allah pasti akan gagal dalam perjuangannya. Imam syafii menjelaskan barang siapa berjuang mencari ridha manusia maka cita‐cita yang demikian tidak akan terwujud. Dan tiada jalan yang menuju kerah yang demikian. Jika kondisinya demikian, maka yang lebih utama dalah mengerjakan apa saja amalan yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat dengan tujuan mencari ridha Allah. Rasulullah saja tidak mampu melakukan sesuatu yang bias membuat manusia semua ridha padahal beliau dari golongan yang terhormat yaitu keturunan bangsa quraish dari Ibrahim, didukung oleh mu’jiyat yang langsung dilihat oleh masyarakatnya dan memiliki akhlak yang mulia.
Hukum Riya’
(a) Syirik Akbar : riya’ murni : segala amalan yang bersifat riya’ yang diamalkan oleh munafiq dan orang kafir. Lihat Qs : Anissa : 142 : “ Sesungguhnya orang‐orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka[364]. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas.
Mereka bermaksud riya[365] (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali[366].”
(b) Syirik Asqor : syirik dalam sebuah ibadah. Missal: shalat dilakukan secara ikhlash dan bersedekah secara riya’. HR Imam Ahmad :”Yang aku khawatirkan dari kamu sekalian adalah syirik asqor yaitu riya’ ”
Kondisi‐Kondisi Saat Terkena Riya’ Dan Hukumnya
a. Riya’ muncul sebelum memulai dan memulai dengan riya’niat shalat untuk siapa dan apa yang diinginkan
dari ibadah shalat. Amalan yang bercampur syirik akan menghancurkan amal.
b. Riya’ muncul pada pertengahan ibadah, maka apabila dilakukan :
Pertama ;dia lakukan sehingga bertahan dan konsentrasi dan ditutup dengan niat baik maka ibadahnya sah,
Kedua; Menikmati riya’ hingga akhir ibadahnya sehingga tidak ikhlash, maka ibadahnya tidak sah;
Ketiga: Riya’ pada akhir ibadah, maka terjadi perselisihan pendapat ulama. Namum Menurut Syaikh
Ruhaily : amal dinilai dari awal hingga akhir. Jika demikian, maka ada indikasi ibadah tidak ikhlash seratus
persen. Salah satu bentuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang sama, bentukbalasan kejahatan adalah
terjatuh dalam kejahatan tersebut, kecuali diperlukan pemutus yaitu istighfar.
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: ʺHai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?ʺ Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka[1473]; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (Asshaff : 5).
Apabila kemungkaran itu dapat bicara maka akan mengajak saudaranya untuk berkumpul. Sebaliknya kabaikan akan mengajak pelakunya menuju ke surge, dan jika pelakunya punya komitmen maka akan mendapatkan as shidiq.
2. PENYAKIT SUM’AH
Sum’ah adalah saudaranya riya’, yaitu memperdengarkan amalan kepada orang lain agar dipuji orang. HR. Muslim : “Barangsiapa memperdengarkan amalan kepada orang lain, maka diakhirat nanti akan ditunjukkan kepada semua orang di akhirat nanti”. Dengan demikian pelaku sum’ah ini ibaratnya bunuh diri.
3. PENYAKIT SALAB
Salab adalah harta yang dimiliki oleh orang lain yang kita kalahkan maka hukumnya bias diambil. Ini berbeda dengan ghonimah atau rampasan perang.
• Hukum Amalan Dalam Kaitan Riya’
Syaikh Ibnu Utsaimin ‐rohimahullah‐ pernah ditanyai tentang apa makna ʹal‐Ikhlasʹ?
Dan, bila seorang hamba menginginkan melalui ibadah‐nya sesuatu yang lain, apa
hukumnya ? (Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz 1, hal. 98‐100.
Disalin dari buku Fatwa‐Fatwa Terkini Jilid 1, hal. 155‐158, Penerbit Darul Haq)
Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka di sini
perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi‐klasifikasi berikut:
Pertama, dia memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini
dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini
menggugurkan amalan dan termasuk syirik.
Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah ‐rodhiallahuʹanhu‐ bahwasanya Nabi ‐
sholallaahu alaihi wa salam‐ bersabda, ʺAllah ‐subhanahu wa taʹala‐ berfirman,
ʺAku adalah Dzat Yang Paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu;
barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukanKu
dengan sesuatu selainKu, maka Aku akan meninggalkannya beserta kesyirikan yang
diperbuatnya.ʺ (Shahih Muslim, kitab az‐Zuhud (2985).
Kedua, dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duniawi seperti
kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub kepada Allah;
maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada
Allah ‐subhanahu wa taʹala‐.
Dalam hal ini, Allah ‐subhanahu wa taʹala‐ berfirman,
ʺBarangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka itu di
dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang‐orang yang tidak memperoleh akhirat
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia
dan sia‐sialah apa yang telah mereka kerjakan.ʺ (Hud:15‐16)
Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama; bahwa dalam klasifikasi pertama,
orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah
kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya dipuji atas
ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas
pujian orang terhadap dirinya.
Ketiga, dia bermaksud untuk bertaqarrub kepada Allah ‐subhanahu wa taʹala‐, di
samping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut,
seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya ‐di samping niat beribadah
kepada Allah‐ untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel
padanya; dia berhaji ‐di samping niat beribadah kepada Allah‐ untuk menyaksikan lokasilokasi
syiar haji (al‐Masyaʹir) dan bertemu para jamaʹah haji; maka hal ini akan
mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya,
berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal
ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa.
Hal ini berdasarkan firman Allah ‐subhanahu wa taʹala‐ mengenai para jamaah haji,
ʺTidak ada dosa bagimu mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabbmu.ʺ (Al‐baqarah: 198)
Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala
akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Saya
khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang
semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih
kehidupan duniawi yang hina. Maka, dia tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di
dalam firmanNya,
ʺDan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika
mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak
diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.ʺ (At‐Taubah: 58)
Di dalam Sunan Abu Daud dari Abu Hurairah ‐rodliallaahuʹahnu‐ disebutkan bahwa ada
seorang laki‐laki berkata, ʹwahai Rasulullah, (bagaimana bila‐penj.) seorang laki‐laki ingin
berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?ʺ
Rasulullah ‐sholallaahu alaihi wa salam‐ bersabda, ʺDia tidak mendapatkan pahala.ʺ
Orang tadi mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi ‐sholallaahu alaihi
wa salam‐ tetap menjawab sama, ʺDia tidak mendapatkan pahala.ʺ (Sunan Abu Daud,
kitab al‐Jihad(2516); Musnad Ahmad, Juz II, hal. 290, 366 tetapi di dalam sanadnya
terdapat Yazid bin Mukriz, seorang yang tidak diketahui identitasnya (majhul); lihat
juga anotasi dari Syaikh Ahmad Syakir terhadap Musnad Ahmad, no. 7887.)
Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab ash‐Shahihain dari Umar bin al‐
Khaththab ‐rodliallahuʹanhu‐ bahwasanya Nabi ‐sholallahu alaihi wassallamʹ bersabda,
ʺBarangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk
mendapatkan wanita yang akan dinikahinya; maka hijrahnya hanya mendapatkan
tujuan dari hijrahnya tersebutʺ. (Shahih al‐Bukhari, kitab Badʹu al‐Wahyi (1); Shahih
Muslim, kitab al‐Imarah (1907).)
Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan
non ibadah; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang
lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga; tidak mendapatkan pahala
sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selainNya juga.
Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan
untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai
melalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan‐akan yang dia inginkan adalah
konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.
Jika ada yang mengatakan, ʺApa standarisasi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan
bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?ʺ
Jawabannya, standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka
baik hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih
dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.
Yang jelas, perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali.
Indikasinya, bisa jadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash‐
Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah
sekali.
Sebagian ulama Salaf berkata, ʺTidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi
perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas.ʺ
Kita memohon kepada Allah untuk kami dan anda semua agar dianugerahi niat yang
ikhlas dan lurus di dalam beramal.
KEUTAMAAN‐ KEUTAMAAN IKHLASH
Akan mengantarkan amalan shaleh yang dikerjakan sehingga diterima Allah ta’ala dan berbuah manis di sisi Allah Ta’ala
Amalan shaleh adalah amalan yang sesuai petunjuk rasul baik yang wajib maupun yang mustahab (sunnah dalam kacamata fiqih) , dalil QS Al Kahfi 110 :” Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ʺBahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esaʺ. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". Dalam menjelaskan ayat ini Ibnu Katsir menafsirkan : agar amal ibadah diterima Allah Ta’ala syaratnya harus ikhlas semata untuk Allah dan ittiba’ sesuai petunjuk rasulullah. QS Al Maidah 27 : “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): ʺAku pasti membunuhmu!ʺ. Berkata Habil: ʺSesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang orang yang bertakwaʺ.
Abu Darda’ berkata “Jika aku yakin Allah menerima 1 saja amalan, maka itu lebih aku sukai
dari dunia seisinya.”
Ikhlas dapat memperbanyak pahala yang dilakukan dan dapat mendongkrak pelakunya
dihadapan Allah Ta’ala meski amalan tersebut amat ringan dan dianggap sepele. Banyak amalan ibadah yang kecil dan sepele diperbanyak pahalanya karena diperbesarniatnya, atau banyak amalan besar yang disusutkan pahalanya karena niatnya. Dalil QS Albaqarah : 261 : “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang‐orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap‐tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia‐Nya) lagi Maha Mengetahui.”
HR Bukhari : “Janganlah kalian mencela sahabatku.Demi Allah, seandainya diantara kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung uhud tidak akan mampu menyamai sodaqohnya para sahabatku meski mereka hanya bersodaqoh sebesar 1 mud atau setengahnya”. Kuncinya adalah beramal dengan ikhlas.
Abdullah Ibnu Mas’ud : “Kalian wahai para muridku. Kalian mampu lebih banyak berpuasa, shalat disbanding sahabat nabi, tetapi anehnya sahabat nabi lebih baik dari kalian. Kenapa dapat demikian karena mereka lebih cinta akhirat daripada cinta dunia”
Ikhlash akan mampu mewujudkan cita‐cita
HR Imam Nasa’i : “Ketika orang arabi (Badui) dating ke rasul dan menyatakan keislaman setelah perang. Saat itu rasulullah sedang membagikan ghanimah perang. Badui ini ditawari ghanimah perang tetapi menolak dan malah bertanya : amalan apa yangt dapat mengantarkanku masuk surga.
Rasulullah menjawab seseorang yang sahid di medan perang dan terpanah di kepalanya. Orang badui berkata : aku ingin seperti orang itu. Lalu Rasulullah melanjutkan: Jika engkau jujur dengan perkataanmu maka Allah akan mewujudkan cita‐citamu”. Dan ternyata, orang Badui ini wafat sesuai cita‐citanya, yaitu syahid dengan panah menancap di kepalanya.
Ikhlas dapat Menyebabkan Allah menggugurkan dan Menghapus dosa‐dosa.
HR. Imam Bukhari : “Pada suatu hari ada seekor anjing yang thawaf mengelilingi sumur, hingga hamper mati kehausan. Hal itu dilihat oleh seorang yahudi yang pelacur. Lalu wanita ini mencopot sepatunya dan masuk kedalam sumur untuk mengambil air dengan ujung sepatunya, sehingga Allah memafkam mereka dan memasukkannya ke syurga” : Catatan : pelacur itu ikhlash dalam menolong, terjadi jaman israil bukan jaman nabi sehingga tidak ada saksi, bukan perkara yang mudah bagi wanita untuk masuk ke dalam sumur.
Ikhlas akan membentengi diri saat‐saat menghadapi fitnah godaan setan yang amat berat.
Qs. Ash Shadd : 82‐83 : “Iblis menjawab: ʺDemi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba‐hamba‐Mu yang mukhlis di antara mereka”
QS. Yusuf : 24: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya[750]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba‐hamba Kami yang terpilih.”
Ikhlas Menuntun kearah lembaran akhir qusnul khatimah.
HR Imam Bukhari : “barangsiapa yang berakhir baik maka kehidupannya baik pula”. “Demi allah yang jiwaku berada di gegammanNya. Sesungguhnya balasan seseorang dari kalian mengisi kehidupannya dengan amalan ahli surga hingga detik‐detik akhirnya mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tersungkur di neraka.” Catatan : sebab utama adalah orang ini mengerjakan amalan ahli surga tatkala dilihat manusia sehingga tatkala beramal sendirian tidak ikhlash.
AMALAN AMALAN YANG DIANGGAP RIYA’ PADAHAL SECARA SYAR’I BUKAN RIYA’ .
Pujian orang lain terhadap seseorang pada saat menjalankan ketaatan kepada Allah.
Hadist : “seseorang bertanya kepada rasulullah. Apa hukumnya seseorang yang mengerjakan kebaikan yang dicintai Allah dan dipuji oleh orang, apakah ini termasuk ketidak ikhlasan? Rasul menjawab ini kabar baik yang Allah segerakan di dunia sebelum nanti di akhirat.” Ketidak ikhlasan bersumber dari amalan hati pelaku dan tidak ada sangkut pautnya dengan pujian yang dilakukan orang lain. Amal shaleh adalah amal yang ikhlash untuk Allah semata dan mengikuti tatacara yang dicontohkan rasulullah, jika tujuannya bukan ikhlash kepada Allah bukan termasuk amal shaleh dan masuk kategori riya’.
Semangat beribadah ketika berada ditengah‐tengah orang shaleh (menurut Syaikh Husain al washash)
HR Abu Dawud:”Sesungguhnya yang akan dimakan oleh seekor srigala adalah kambing yang sendirian yang memisahkan diri dari gerombolannya” . Dalam menjelaskan hadist ini syaikh menafsirkan yang dimaksud srigala adalah syetan, dan yang dimaksud kambing adalah manusia, sehingga orang yang sendirian lebih mudah digoda setan dibandingkan saat bersama dengan orang salih.
Berpenampilan yang baik dan rapi.
HR Imam Muslim : “Tidak akan masuk syurga orang yang ada kesombongan walau sebesar biji zarrah. Lalu bagaimana dengan orang yang berpenampilan rapi? Apakah ini termasuk kesombongan? Rasulullah menjawab : sesungguhnya Allah maha Indah dan menyukai keindahan”. Dalam hal ini maka dapat di ambil pelajaran bahwa berpakaian indah dan rapi adalah konsekunsi untuk mengamalkan nama‐nama dan sifat Allah yang sangat indah.
Terkenalnya seorang hamba dihadapan manusia.
Namun demikian banyak ulama atau syaikh yang lebih suka menolak gelar, walaupun gelar itu berhak baginya. Karena menyembunyikan popularitas jauh lebih mulia daripada memamerkan popularitasnya yang dia tidak bias menolaknya. Hal ini di contohkan oleh Imam Nawawi yang mengatakan : aku tidak halalkan orang yang member gelar bagiku dengan sebutan “muhidin”. Syaikul Islam Ibnu Taimiyah : Aku membenci orang yang menggelari diriku “Tauqidin”. Demikian juga, Uweis al Qurniy adalah manusia di muka bumi yang nilai amalnya lebih baik dari setengah jumlah manusia di muka bumi dan doa’anya selalu dikabulkan oleh Allah ta’ala, tetapi setelah hidup dalam singgasana Umar bin Khatab, akhirnya meninggalkannya tanpa
diketahui oleh siapapun hingga air hayatnya.
Seseorang yang mengharap syurga dan takut azab neraka dalam beramal.
Banyak sekali pemikiran yang muncul dimasyarakat dalam memahami hadist imam Nawawi secara keliru dan sangat bertentangan dengan sunnah dan qur’an. Mereka memahami hadist : beribadah karena takut kepada Allah akan tertekan, Ibadah karena mengharapkan pahala laksana berdagang sehingga jika rugi maka tidak mau berdagang sehingga tidak murni lagi mencari ridha Allah. Coba kita simak bagaimana pandangan ini sangat bertentangan dengan contoh rasul dan dengan bertentangan dengan ketauhidan kepada Allah yang dapat mengantarkan pelakunya keluar dari Islam. Hadist tentang puasa jelas sekali menggambarkan bagaimana rasulullah memotivasi puasa untuk mencari pahala dari Allah, takut kepada neraka, Menganjurkan untuk memperbanyak ibadah dibulan puasa karena banyak limpahan pahala yang diturunkan pada bulan tersebut terutama malam lailatul qodar, Doa sapu jagat yang minta kebaikan dunia dan akhirat. Dan yang terpenting, dalam surat yang agung al fatehah, “iya kanna’ budu wa iyya kannas tangin’‐hanya kepadaMulah kami menyembah dan hanya kepadaMulah kami mohon pertolongan. Orang yang menafikkan ayat ini bukan lagi seorang yang jahil, tetapi orang yang berani menagatakan bahwa ayat qur’an harus dihilangkan dan ini dalah cirri orang yang keluar dari keyakinan Islam.
KIAT‐KIAT UNTUK MENCAPAI KEIHLASAN DALAM BERAMAL .
Mempelajari dan mengkaji Ilmu syar’i yang meliputi :
a. Ilmu yang berkaitan tentang ikhlash dan ketidak iklhasan . Ulama salaf mengatakan “aku mempelajari keburukan bukan untuk melakukan keburuka, tetapi aku belajar keburukan untuk mengetahui sehingga aku terhindar darinya. Barangsiapa yang tidak paham tentang ikhlas tentu akan jatuh dalam ketidak ikhlasan”;
b Mengetahui keutamaan dan ancaman Allah terhadap amalan yang tidak ikhlas. Dengan memahami keutamaan maka akan memotivasi untuk mengamalkan, sedang ketidakpahaman akan ancaman Allah akan menyebabkan ketidakpedulian dan meremehkannya.
c.Ilmu asma wa sifat Allah. Dengan mentadaburi asma wa sifat Allah akan membentengi kita dalam beramal dari sifat yang tercela.
Berusaha menyembunyikan amal shalih yang dikerjakan kecuali amal shaleh yang ada dalil yang mengharuskan untuk menampakkan amalan tersebut, yaitu amal sunnah (secara fiqih) seperti shalat terawih, shalat jenazah, shalat jum’at, shalat wajib. Ikhlash atau tidak dalam beramal tidak tergantung ditampilkan atau tidak, menyembunyikan jauh lebih afdhol, lebih berpahala, disbanding ditampilkan kecuali ada dalil untuk menampilkan dengan tujuan menjaga keikhlasan dalam beramal.
Bergaul dengan orang yang istiqomah dalam menjaga keikhlasan. Hal ini akan memotivasi dalam menjaga keikhlasan dalam beramal. “Sesungguhnya adasebagian orang yang membuka kunci‐kunci kebaikan dan menutup kebaikan”(Hadist)
Berdo’a kepada Allah ta’ala agar dijaga dari syirik dan ikhlash dalam ibadah. (lihat hisnul muslim , karya Syaikh Said al Qathani) .اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ - 203
“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu, agar tidak menyekutukan kepadaMu,
sedang aku mengetahuinya dan minta ampun terhadap apa yang tidak aku ketahui.” [224]
---------------------------------[224] HR. Ahmad dan imam yang lain 4/403, lihat Shahihul Jami’ 3/233, dan Shahihut
Targhrib wat Tarhib oleh Al-Albani 1/19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar