22 Desember 2011

Kaidah-Kaidah Memahami Fitnah

(Oleh: Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman[2]) Pembahasan seputar fitnah merupakan perkara yang sangat penting. Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam banyak memberikan perhatian yang nyata terhadap hal ini. Seorang muslim hendaklah memahami permasalahan ini secara benar, dengan menempatkan nash-nash pada tempatnya. Dia tidak boleh memahaminya dengan apa yang tidak dikehendaki oleh Rabb kita dan Nabi kita Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Ketika mendengar nash-nash tentang masalah ini (masalah fitnah), sepantasnya seorang muslim memahami kulliyyat (hal-hal prinsip) dan perkara-perkara mujmal (global). Hal itu tidak boleh lepas dari perhatiannya selama-lamanya. Tema yang akan kita bicarakan adalah tentang fitnah, bagaimana kita menjauhinya, dan apa saja hal-hal yang jika kita tempuh akan menjauhkan diri kita dan masyarakat kita dari fitnah. Sebelum kami sebutkan sebab-sebab (yang menjauhkan diri kita dan masyarakat kita dari fitnah), kami akan menerangkan sebagian perkara yang memiliki hubungan dengan sebab-sebab tersebut. Hal ini sebagai muqaddimah. PERKARA PERTAMA Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam memberikan perhatian (yang besar) terhadap masalah fitnah. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Hudzaifah: Suatu hari Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallamshalat subuh bersama kami, lalu beliau naik mimbar. Kemudian beliau berkhotbah, sampai waktu zhuhur tiba. Lalu beliau turun, kemudian shalat zhuhur bersama kami. Lalu beliau naik mimbar, kemudian beliau berkhotbah, sampai waktu ashar tiba.Lalu beliau turun, kemudian shalat. Lalu beliau naik mimbar, kemudian beliau berkhotbah, sampai matahari tenggelam.Tidaklah Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam meninggalkan sesuatupun (yang terjadi) sampai hari kiamat, kecuali beliau memberitakannya. Orang yang hafalpun hafal, dan orang yang lupapun lupa.[3] Dalam hadits di atas, Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam mengkhususkan satu hari penuh untuk membicarakan masalah fitnah. Beliau berkhutbah kepada sahabatnya mulai shalat fajar sampai matahari tenggelam, untuk membicarakan masalah fitnah. Dalam riwayat yang lain Abdullah bin Amr berkata di dalam hadits yang panjang, penting, dan pokok, tentang masalah fitnah. Terhadap hadits Abdullah bin Amr ini (akan disampaikan di bawah-pent) kita memiliki beberapa renungan. Tema yang kita bahas (fitnah) sangat luas dan untuk dapat meliputi pembahasan fitnah, kita membutuhkan ceramah-ceramah yang sangat panjang. Berhubung waktu (kita) terbatas saya akan memberikan perhatian terhadap perkara-perkara global, penting, dan kuliyyaat (hal-hal prinsip). Imam Muslim telah meriwayatkan hadits yang sanadnya sampai kepada Abdurrahman bin Abdurrabbil Ka’bah (seorang tabi’i yang agung), dari Abdullah bin Amr bin Ibnul Ash, dia berkata Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya tidak ada seorang Nabi pun sebelumku, kecuali merupakan kewajiban Nabi itu untuk menunjukkan umatnya, kebaikan yang dia ketahui untuk mereka, dan memperingatkan mereka dari keburukan yang dia ketahui untuk mereka. [4] Inilah syahidnya :[5] Dan sesungguhnya umat kamu ini, keselamatannya dijadikan pada awalnya.Tetapi akhir umat ini akan ditimpa oleh musibah dan perkara-perkara yang kamu ingkari.Sehingga fitnah akan datang, lalu sebagiannya akan mengecilkan sebagian yang lain.Kemudian fitnah akan datang, lalu seorang mukmin akan berkata: “Inilah kebinasaanku”. Lalu fitnah itu hilang. Kemudian akan datang fitnah, lalu seorang mukmin akan berkata: “Inilah, inilah” Kemudian Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam melanjutkan sabdanya tadi: Barangsiapa suka diselamatkan dari neraka dan masuk sorga,maka hendaklah kematiannya mendatanginya,sedangkan dia beriman kepada Allâh dan hari akhir. Dan hendaklah dia menyikapi manusia, dengan apa yang dia suka manusia menyikapinya.Barangsiapa membai’at seorang imam, dan dia telah memberikan tepukan tangannya (yakni perjanjiannya) dan buah hatinya, (maka hendaklah dia mentaatinya semampunya) [6] lalu datang orang lain untuk menentang imam itu, maka pukullah leher yang lain itu. Atau beliau bersabda: “Leher orang yang akhir.” Abdurrahman bin Abdurrabbil Ka’bah berkata kepada Abdullah bin Amr bin Ibnul Ash: “Demi Allâh, apakah anda mendengar dari Rasulullah?” Maka Abdullah menunjuk ke arah hatinya dan kedua telinganya, dan berkata: “Aku telah mendengarnya dengan kedua telingaku (dari Rasûlullâh), dan hatiku memahaminya.” Hadits ini merupakan penguat terhadap pernyataan yang telah kami sampaikan, bahwa Nabi memberikan perhatian yang besar terhadap masalah fitnah. Bahkan hal ini merupakan tugas seluruh para Nabi. Tidaklah Allâh mengutus seorang Nabi pun, kecuali merupakan kewajibannya untuk menunjukkan kepada umatnya kebaikan yang dia ketahui untuk mereka dan memperingatkan umat dari keburukan yang dia ketahui. Begitu pulalah keadaan para sahabat. Disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadits Hudzaifah, dia berkata: “Orang-orang biasa bertanya kepada Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam tentang kebaikan. Sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena khawatir terjerumus ke dalamnya.” Para sahabat biasa bertanya tentang fitnah (keburukan), beliau biasa menjawabnya, dan memerinci berita-berita (tentang fitnah). Para sahabat dan para pengikut mereka (yang datang) setelah mereka[7] biasa memberitakan, membicarakan, dan mendengar tentang fitnah. Sehingga mereka waspada terhadapnya dan memberikan peringatan darinya, agar tidak terfitnah, dan tetap di atas jalan yang lurus. Mereka bertanya dan mempelajari, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair: Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan, tetapi untuk menjaga diri darinya. Barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan dari kebaikan, niscaya dia terjerumus ke dalamnya. PERKARA KEDUA: Kita harus tahu, bahwa generasi terbaik umat ini ada pada generasi pertama. Fitnah bertambah keras dengan berlalunya waktu. Setiap lewat satu waktu, fitnah bertambah keras dan menjadikan seorang muslim di dalam ghurbah (keadaan asing). Perkara ini sepantasnya kita fahami dengan baik, dan sepantasnya kita mengetahui maksud Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam mengenai pemberitaan ini. Dalam hadits Abdullah bin Amr bin Ibnul Ash (di atas disebutkan): Dan sesungguhnya umat kamu ini, keselamatannya dijadikan pada awalnya. Tetapi akhir umat ini akan ditimpa oleh musibah dan perkara-perkara yang kamu ingkari. Keselamatan, kebaikan, berkah, agama, iman, ilmu, amal, ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih, dalam bentuk yang cukup dan sempurna ada pada generasi pertama umat ini. Oleh karena itulah ketika turun firman Allâh Ta’ala: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu. (QS Al-Maidah/5: 3) Umar menangis. Ketika dia ditanya penyebab tangisnya, dia menjawab: “Tidak ada setelah kesempurnaan, kecuali kekurangan.” Hakekat kedua ini sepantasnya kita ketahui, tetapi kita tempatkan sebagaimana dikehendaki oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Kita tidak memahaminya dengan akal sebagaimana yang kita inginkan dan kita kehendaki. Tetapi kita memahaminya dengan mengikuti para sahabat Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Mereka lebih mengetahui maksud Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam daripada kita. Hakekat ini benar berdasarkan banyak dalil, aku akan mencukupkan dengan sebagiannya. Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai Zubair bin Adi, seorang tabi’i yang agung, dia telah berkata: Kami mendatangi Anas bin Malik, kami mengadukan apa yang kami temui dari Al-Hajjaj. [8] Maka Anas berkata: “Sabarlah, karena sesungguhnya tidaklah satu zaman datang kepada kamu kecuali yang datang setelahnya lebih buruk (sampai kamu bertemu Rabb kamu) [9] Aku telah mendengarnya dari Nabi kamu Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam” Di dalam hadits Abdullah bin Amr bin Ibnul Ash disebutkan: “Dan sesungguhnya umat kamu ini, keselamatannya dijadikan pada awalnya. Tetapi akhir umat ini akan ditimpa oleh musibah dan perkara-perkara yang kamu ingkari, sehingga akan datang fitnah, lalu sebagiannya akan mengecilkan sebagian yang lain.” Apakah makna : “Sebagiannya akan mengecilkan sebagian yang lain?” Maknanya, fitnah hari ini akan menjadikan kecil fitnah kemarin. Dan fitnah besok akan menjadikan kecil fitnah hari ini. Fitnah lusa akan menjadikan kecil fitnah yang akan datang. Maka, fitnah datang pada setiap zaman berjalan, dan sebagiannya mengecilkan sebagian yang lain. Inilah yang difahami oleh Abdullah bin Mas’ud. Diriwayatkan oleh Thabarani dengan sanad yang jayyid (bagus) dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa suatu hari beliau berkata kepada istrinya: “Wahai Ummu Abdurrahman (istri Abdullah bin Mas’ud). Manakah yang lebih utama, hari ini atau kemarin?” Maka dia menjawab: “Wahai Abu Abdurrahman (panggilan Abdullah bin Mas’ud), demi Allâh aku tidak tahu.” Maka Abdullah bin Mas’ud berkata: “Demi Allâh, sesungguhnya aku tahu, bahwa kemarin lebih baik daripada hari ini. Dan hari ini lebih baik daripada besok.” Siapakah yang memberitahukan berita ghaib ini kepada Ibnu Mas’ud? Itu adalah sesuatu yang didengar dari Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Fitnah akan membesar dengan lewatnya waktu. Membesarnya fitnah telah diberitakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, untuk menguatkan kehendak/niat (untuk meniti al-haq, pent), agar tidak mengagetkan dan tidak menyerang kita, sedangkan kita tidak memiliki persiapan. Di saat fitnah, manusia membutuhkan kekuatan; kekuatan yang muncul dari dalam dirinya. Kadar kekuatan ini (haruslah) sekuat fitnah yang menyerang. Kekuatan itu didapatkan dengan cara mengumpulkan urusannya kepada Rabb-nya dan terus berpegang dengan (dan mengamalkan) perintah-perintah-Nya. Jika seseorang tidak memiliki kekuatan, maka dia lemah, sedangkan fitnah datang mendesak, maka fitnah akan membanting wajah dan mulutnya. Wajahnya diserbu fitnah. Ketika fitnah datang, seseorang harus mempersiapkan dirinya. Dia harus sadar, dan mengetahui, bahwa jika fitnah datang, dia harus tetap bangun. Imran bin Hushain berkata: “Kami diuji dengan kesenangan dan kesusahan. Kami dapat bersabar dengan kesenangan dan kesusahan, tetapi kami tidak dapat bersabar kesenangan.” Dikala dalam kesusahan, manusia akan mengumpulkan kekuatannya, dan berlindung/kembali kepada Allâh, merendah diri, memohon, dan terus waspada. Adapun di saat senang, dia terfitnah, dia jatuh, tetapi tidak merasa. Fitnah itu bukanlah kita lapar, tidak mendapatkan makanan atau minuman. Fitnah itu ada saat kita mendapatkan makanan, minuman, harta, dan dunia terbuka untuk kita. Kemudian kita berlomba meraih dunia, lalu dunia itu membinasakan kita, sebagaimana telah membinasakan orang-orang sebelum kita. Inilah fitnah itu. Tidakkah anda tahu, ketika seorang ayah menginginkan anaknya bersafar untuk belajar -contohnya- di negeri yang rusak, seperti Eropa atau Amerika? Karena sangat sayangnya, sang ayah tadi menasehati anaknya (dengan memberitahukan keburukan-keburukan): “Wahai anakku, engkau akan melihat ini, engkau akan menemui itu, engkau akan menjumpai itu”. Berita yang sampaikan sang ayah, apakah supaya anaknya melakukan keburukan itu, atau supaya anaknya mewaspadainya? Tentulah agar anaknya mewaspadainya. Nabi juga memberitakan supaya kita mewaspadainya, bahwa fitnah akan bertambah keras dengan berjalannya waktu. Agar kita mengumpulkan kekuatan, dan mengumpulkan diri kita (untuk mohon perlindungan) kepada Allâh Ta’ala. Jika jiwa seseorang tidak memperhatikan hal tadi, maka sesungguhnya kebaikan akan terasa berat olehnya. Dahulu saya membaca satu ayat di dalam kitab Allâh (Al-Qur’an). Lama saya perhatikan ayat tersebut, dan saya merasa heran. Saya mendapatkan pertanyaan yang muncul dari ayat tersebut, yang mendorong agar saya memahami ayat ini (QS Al-Anfal/8: 6). Para sahabat yang paling utama, adalah yang ikut perang Badar. Nabi bersabda: “Sebaik-baik sahabatku adalah sahabat-sahabat yang ikut perang Badar. Dan sebaik-baik Malaikat yang ada di sisi Allâh adalah yang ikut perang Badar.” Para sahabat yang ikut perang Badar memiliki kedudukan yang tinggi. Mereka meninggalkan harta-benda dan kampung halaman. Mereka meninggalkan semuanya karena Allâh. Mereka meninggalkan yang mahal dan berharga. (Namun yang menjadikan saya bertanya) Rabb kita mensifati sahabat-sahabat yang ikut perang Badar, di dalam surat Al-Anfal (sebagai berikut): Seolah-olah mereka dihalau menuju kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu). (QS Al-Anfal/8: 6) Lihatlah orang yang akan berperang. Dalam peperangan itu seolah-olah dia digiring menuju kematian, dan dia membayangkan kematian! Apa yang terjadi padanya? Dia berkeluh kesah dan takut. Padahal ini tidaklah sesuai dengan sifat Ahlul Badar, bukankah demikian? Maka ketika itu dalam beberapa saat saya merasakan keanehan dengan ayat ini. Ahlul Badar tidaklah begini. Ahlul Badar adalah orang-orang yang suka berkorban, Ahlul Badar adalah orang-orang yang suka berjihad. Tetapi mengapa begini sifat mereka? Kemudian saya sadar dan faham. (Bahwa sebelumnya), Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam berkata kepada mereka agar memilih dua perkara: menyerang kafilah[10] (karena orang-orang kafir mengambil harta dan rumah kaum Muhajirin di kota Makkah), atau mengambil harta yang mereka bawa. Jika jiwa disuruh memilih (satu dari) dua perkara, maka jiwa itu akan condong kepada yang lebih ringan. Ketika (pilihan) terjadi pada yang lebih berat, jadilah yang lebih berat itu sangat berat! Keadaan ahlul Badar ketika pergi berperang, seolah-olah digiring menuju kematian, karena kekuatan dalam diri mereka tidak disiapkan untuk memerangi musuh. Tetapi mereka dikagetkan dengan datangnya jihad. Sedang diri mereka condong untuk mengambil harta lalu pulang kembali. Maka tatkala terjadi jihad, hal itu terasa berat bagi mereka. Oleh karena inilah Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam memberitakan kepada kita tentang fitnah yang akan bertambah keras dengan lewatnya waktu. Mengapa? Supaya kita waspada, kita bersedia, kita memiliki perhatian. Supaya fitnah itu tidak menjatuhkan kita, sedangkan kita tidak merasa. Sepantasnya kita memahami tentang “(berita) bertambah kerasnya fitnah” sebagaimana makna ini. Ini termasuk rahmat Nabi kita Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Hendaknya kita tahu makna “fitnah akan bertambah keras setiap lewat zaman”. Telah shahih dari hadits Abdullah bin Mas’ud dalam Shahih Bukhari, dia berkata: “Kiamat tidak akan terjadi kecuali kepada makhluk yang paling jahat.” Pada riwayat lain: Makhluk yang paling jahat adalah orang-orang yang kiamat mengenai mereka, (sedangkan mereka dalam keadaan hidup).” [11] Pada riwayat Muslim, Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Kiamat tidak akan terjadi hingga di bumi disebut: “Allâh-Allâh.[12] Orang-orang akan meninggalkan Madinah, sehingga anjing dan serigala akan datang, lalu kencing di atas mimbar Rasulullah.[13] Pada akhir zaman akan terjadi kehancuran di kota Madinah. Bangunan Madinah hancur di Baitul Maqdis, sedangkan bangunan Baitul Maqdis akan hancur di masjid ini. Fitnah akan terjadi dan akan bertambah keras, sampai seseorang akan menemui seorang fasiq berzina di tengah jalan! Sekarang, hal ini telah terjadi. Akan tetapi ada kemusykilan. Marilah kita perhatikan bersama tentang tanda yang besar hari kiamat, tentang Al-Mahdi, Dajjal, dan Isa ‘alaihissalam. Manakah yang lebih dahulu, Dajjal atau Isa? Dajjal mendahului Isa. Sedangkan Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tidak akan datang zaman kepada kamu, kecuali yang datang sesudahnya lebih buruk darinya.” Apakah yang dimaksudkan? Sedangkan Nabi Isa ‘alaihissalam lebih baik daripada Dajjal. Untuk menghilangkan kemusykilan ini, para ulama mengatakan: “Tanda-tanda besar hari kiamat memiliki urutan tersendiri”. Tetapi kita mendapatkan kemusykilan lain. Manakah yang lebih dahulu, Al-Hajjaj atau Umar bin Abdul Aziz? Mana yang lebih dahulu, mana yang terakhir? Anda tahu? Al-Hajjaj lebih dahulu, semua sepakat, karena ini merupakan sejarah. Tetapi siapakah yang lebih utama, Umar bin Abdul Aziz atau Al-Hajjaj? Umar bin Abdul Aziz lebih utama. Sedangkan Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda: Tidak akan datang zaman kepada kamu, kecuali yang datang sesudahnya lebih buruk darinya. Hadits ini di dalam Shahih Bukhari. Bagaimana kita memahami hadits shahih ini? Imam Adz-Dzahabi berkata di dalam kitabnya, Siyar A’lamin Nubala, tentang biografi Al-Hajjaj: “Kami membencinya, tidak mencintainya, kami memusuhinya, tidak membelanya, dia memiliki kebaikan-kebaikan yang tenggelam di dalam lautan kejahatannya yang sangat banyak.” Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Seandainya umat diminta oleh Allâh untuk menunjukkan orang yang paling jahat di antara mereka, dan kita membawa Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, niscaya kita mengalahkan mereka!” [14] Tentang Umar bin Abdul Aziz, apa yang dikatakan para ulama? Orang-orang Syi’ah mengatakan Umar bin Abdul Aziz adalah Khalifah ke lima, sehingga mereka punya alasan mencaci Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Tetapi kita mengatakan: “Beliau (Mu’awiyah bin Abi Sufyan) adalah khalifah yang zuhud, khalifah yang shalih, khalifah yang mencintai ilmu dan ulama”. Beliau seorang yang shalih. Maka bagaimana kita menghilangkan kemusykilan ini? Pertama kali yang perlu kita perhatikan sehingga kemusykilan ini hilang, bahwa di dalam pengutamaan, Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam tidak memaksudkan para penguasa dan para pemimpin. Jika beliau memaksudkan para penguasa dan para pemimpin, pastilah zaman Umar bin Abdul Aziz lebih baik daripada zaman Al-Hajjaj, sehingga ini menyelisih hadits. Tetapi Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam memaksudkan yang lain. Apakah timbangan kita untuk menilai manusia? Agama. Kita tidak menilai zaman berdasarkan penguasanya. Yang dikehendaki Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam adalah manhaj, pemahaman agama. Manhaj, yang dengannya kita memahami agama. Manakah yang lebih utama, manhaj untuk memahami agama yang ada di zaman Al-Hajjaj atau zaman Umar bin Abdul Aziz? Di zaman Al-Hajjaj ! Karena Al-Hajjaj ada di zaman sahabat. Manhaj sahabat lebih murni, lebih bersih, lebih utama, dan lebih baik daripada manhaj tabi’in. Dan zaman Umar bin Abdul Aziz adalah zaman tabi’in. Sedangkan sahabat lebih utama daripada tabi’in. Oleh karena inilah Abdullah bin Mas’ud berkata: “Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam tidak menghendaki banyaknya harta yang diraih oleh salah seorang di antara kamu, tetapi yang beliau kehendaki ilmu.” Ilmu di zaman Al-Hajjaj lebih utama daripada di zaman Umar bin Abdul Aziz. Karena di akhir zaman, ketika manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh, lalu para pemimpin itu ditanya, mereka menjawab dengan tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan. Kita mendekati datangnya hari kiamat. Hanya umat yang selalu bersama ulamanya, yang mampu membedakan fitnah, seorang ‘alim yang membedakan. Abu Nu’aim meriwayatkan di dalam Al-Hilyah dari Mak-hul Asy-Syami, (seorang tabi’i yang agung) dia berkata: “Jika fitnah datang dan menampakkan kepalanya, seorang ‘alim telah mengetahuinya dari kejauhan. Jika fitnah telah berpaling dan pergi, maka tiap-tiap orang jahil baru mengetahuinya”. Seorang ‘alim menimbang segala perkara dengan syari’at. Sebelum fitnah datang, dia telah mengetahuinya. Sedangkan orang jahil, kapan dia mengetahui fitnah? Ketika fitnah telah pergi dan telah selesai. Maka apakah faidah dia mengetahuinya? Laits bin Sa’ad, ahli fikih dari Mesir, berkata: “Jika kamu melihat seseorang berjalan di atas air, janganlah kamu mendengarkannya, sampai kamu teliti perbuatannya dengan Al-Kitab dan As-Sunnah”. Imam Syafi’i berkata: “Semoga Allâh merahmati Laits, karena dia telah bersikap kurang. Adapun aku mengatakan: ‘Jika kamu melihat seseorang berjalan di atas air, dan terbang di udara, janganlah kamu mendengarkannya, sampai kamu cek perbuatannya dengan Al-Kitab dan As-Sunnah’. Seorang ‘alim mengecek amalan manusia dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, sehingga dia mengetahui fitnah. Fitnah lebih dahsyat jika terjadi fitnah buta; Sesuatu yang paling dahsyat atas kaum muslimin yang mencintai kebaikan dan mendapati ulama’ diantara mereka. Maka jika terjadi fitnah, sepantasnya bagi thalibul ‘ilmi (penuntut ilmu) dan orang awam berdiri di belakang para ulama! Tidak mendahului mereka, dan tidak melewati batas terhadap mereka. Sikap seorang mukmin di saat fitnah hendaklah kokoh di atas agamanya. Ketika melihat fitnah yang bertambah keras, hendaklah dia memohon ketetapan di atas agama kepada Rabbnya, agar Dia mematikannya dengan tidak tertimpa fitnah. Dalam hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Akan datang fitnah, lalu sebagiannya akan mengecilkan sebagian yang lain. Kemudian akan datang fitnah, lalu seorang mukmin akan berkata: “Inilah kebinasaanku”. Lalu fitnah itu hilang. Kemudian akan datang fitnah, lalu seorang mukmin akan berkata: “Inilah, inilah”. Seorang mukmin menjauhkan fitnah dari dirinya dan dari anak-anak kaumnya (masyarakatnya). Dia tidak merubah atau mengganti (agamanya). Dia menyukai dan mengutamakan kematian daripada agamanya tertimpa fitnah. “Wahai Allâh, jika Engkau menghendaki fitnah menimpa kami, maka matikanlah kami dengan tidak terfitnah.” Inilah doa Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Ibnu Khuzaimah, dan yang lain, bahwa Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam berkata dan berdoa: “Wahai Allâh, aku mohon kepadaMu amalan-amalan yang baik, meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, mencintai orang-orang miskin, agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku. Jika Engkau menghendaki fitnah menimpaku dan kaumku, maka ambillah aku ke hadirat-Mu dengan tidak terfitnah.” Diantara penyebab selamat dari fitnah adalah doa. Seorang mukmin mengutamakan kematian daripada agamanya terfitnah. Apakah faidah kehidupan seorang mukmin (jika tertimpa fitnah)? Hidup hanyalah beberapa tahun, kemudian keluar dari dunia menuju neraka jahannam -kita mohon perlindungan kepada Allâh-. Seandainya dunia itu terbuat dari emas murni tetapi fana. Sedangkan akhirat terbuat dari tembikar, dari keramik tetapi kekal. Maka orang yang berakal akan mengutamakan tembikar yang kekal daripada emas yang fana. Lalu bagaimana jika akhirat terbuat dari emas murni, sedangkan dunia itu terbuat dari keramik ? Oleh karena inilah, Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat mohon perlindungan kepada Allâh dari fitnah. Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam berdoa yang artinya: “Wahai Allâh, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari fitnah yang menyesatkan. Wahai Allâh sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari malapetaka yang membahayakan dan dari fitnah yang menyesatkan.” Di dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas, suatu hari Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang artinya: “Bertanyalah kepadaku! Maka para sahabat pun bertanya kepada beliau, sehingga mereka mendesak dan memperbanyak pertanyaan. Sehingga seorang lelaki berdiri. Kebiasaan orang-orang jika berbantahan, mereka mencela nasab. Lelaki itu berkata: “Wahai Rasulullah, siapakah bapakku?” Beliau menjawab: “Bapakmu Hudzafah”. Mereka bertanya dan mendesak beliau dengan pertanyaan, sampai Rasulullah marah. Ketika Umar melihat kemarahan pada wajah beliau, dia berdiri dan berkata: “Kami ridha Allâh sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam sebagai Nabi dan Rasul. Wahai Allâh sesungguhnya kami berlindung kepadaMu dari fitnah.” Anas berkata: “Maka aku perhatikan sekelilingku, dan aku dapati setiap orang -yakni para sahabat Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam- meletakkan pakaiannya pada wajahnya, menangis.” Para sahabat mohon perlindungan kepada Allâh dari fitnah. Maka seorang mukmin hendaklah selalu mohon kepada Rabbnya, mati di atas iman. Termasuk doa yang paling banyak diucapkan oleh Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam adalah yang artinya: “Wahai Allâh Yang membolak-balikkan hati dan pandangan, tetapkanlah hatiku di atas agamaMu. Wahai Allâh Yang memalingkan hati, tetapkanlah hatiku di atas ketaatan kepadaMu.” [1] Pengantar penterjemah: Maksud fitnah dalam pembahasan ini adalah keburukan. Baik berupa kekafiran, kemaksiatan, dosa, musibah, kesusahan, pembunuhan, siksaan, dan perkara lainnya, yang tidak disukai. Ar-Raghib mengatakan: “Fitnah -dalam bahasa Arab- arti asalnya adalah memasukkan emas ke dalam api, untuk mengetahui yang baik dari yang jelek. Kemudian kata fitnah dipakai dengan arti: memasukkan manusia ke dalam neraka; siksaan; yang terjadi di saat siksaan; ujian; kesusahan atau kesenangan yang mengenai manusia, tetapi lebih sering digunakan dengan arti kesusahan. Fitnah bisa datang dari perbuatan Allâh, yang pasti mengandung hikmah. Juga bisa datang dari perbuatan manusia, tanpa perintah Allâh, dan ini tercela. Fitnah itu seperti: musibah, pembunuhan, siksaan, kemaksiatan, dan lainnya, yang merupakan perkara tidak disukai”. Orang lain mengatakan, bahwa asal arti fitnah adalah: ujian. Lalu dipakai dengan arti: perkara yang tidak disukai yang datang karena ujian. Kemudian dipakai dengan arti: segala perkara yang tidak disukai; atau yang membawa kepada perkara yang tidak disukai. Seperti: kekafiran, dosa, membakar, terbukanya aib, kejahatan, dan lainnya. (Lihat Fathul Bari, kitab Al-Fitan). Inilah maksud kata fitnah yang dibicarakan oleh Syeikh Masyhur bin Hasan Alu Salman dalam pembahasan beliau ini. Sehingga bukan arti fitnah dalam bahasa Indonesia. Syeikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, termasuk anggota redaksi majalah Al-Ashalah, Yordania. Majalah yang menyebarkan dakwah Salafiyah. Salah seorang murid menonjol Syeikh Al-Albani ini juga produktif menghasilkan karya-karya tulis. Baik tulisan sendiri, bersama orang lain, atau hasil tahqiq (penelitian) dan takhrij (penjelasan sumber pengambilan hadits dan derajatnya) terhadap kitab ulama Salaf. Di antara karya beliau adalah: Al-Qaulul Mubin Fii Akh-thail Mushallin (kitab yang membahas kesalahan seputar shalat); Kutub Hadzdzara Minha Al-Ulama (kitab yang membahas kitab-kitab yang perlu dijauhi oleh thalibul ‘ilmi); dan banyak lagi yang lainnya. Ceramah ini beliau sampaikan di Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya. Ceramah tersebut berjudul “Al-Fitan Wa Kaifa Yatajannabuha” (Fitnah-fitnah, Dan Bagaimana Cara Menjauhinya). Karena panjangnya ceramah, maka kami jadikan dua tulisan. Tulisan pertama berjudul: Kaidah-Kaidah Memahami Fitnah, sedangkan tulisan kedua berjudul: Kiat Selamat Dari Fitnah. [2] Diterjemahkan oleh Abu Isma’il Muslim Al-Atsari, dari ceramah Syeikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, pada hari Selasa, 5 Muharram 1422 / 19 Maret 2002, di Ma’had Al-Irsyad Surabaya) [3] Lafazh hadits yang disampaikan Syeikh, nampaknya dari dua matan hadits. Yaitu hadits Abu Zaid Amr bin Akhthab dan hadits Hudzaifah bin Al-Yaman, keduanya riwayat Muslim di dalam kitab: Fitan. Lafazh hadits Abu Zaid Amr bin Akhthab, dia berkata: “Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam shalat subuh bersama kami, lalu beliau naik mimbar. Kemudian beliau berkhotbah, sampai waktu zhuhur tiba. Lalu beliau turun, kemudian shalat. Lalu beliau naik mimbar, kemudian beliau berkhotbah sampai waktu ashar tiba. Lalu beliau turun, kemudian shalat. Lalu beliau naik mimbar, kemudian beliau berkhotbah, sampai matahari tenggelam. Beliau memberitakan kepada kami apa yang akan terjadi, maka orang yang paling tahu di antara kami adalah orang yang paling hafal di antara kami. Orang yang hafalpun hafal, dan orang yang lupapun lupa”. Adapun lafazh hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman adalah : “Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam berdiri di satu tempat di antara kami. Di tempat berdiri itu, beliau tidak meninggalkan sesuatupun yang akan terjadi sampai hari kiamat kecuali beliau memberitakannya. Orang yang hafalpun hafal, dan orang yang lupapun lupa.” (-pent) [4] Pada ceramah Syeikh dengan lafazh: “Tidaklah Allâh mengutus seorang Nabi pun, kecuali…”. Tetapi lafazh yang kami dapatkan dalam Shahih Muslim, apa yang kami tulis di atas -pent) [5] Yakni dalil yang mendukung untuk memberikan perhatian masalah fitnah/keburukan-pent) [6] Kalimat dalam kurung ini tertinggal dari perkataan Syeikh (-pent) [7] Kita mohon kepada Allâh agar kita termasuk mereka. [8] Sedangkan Hajjaj seorang yang zhalim dan lalim. [9] Teks di dalam kurung tidak ada dalam ceramah Syeikh. [10] Rombongan dagang suku Quraisy yang pulang dari kota Syam, dan tidak bersenjata [11] Dalam kurung ini ada dalam hadits, tidak dalam ceramah (-pent.) [12] Riwayat Muslim, kitab: Al-Iman, bab Hilangnya Iman Di Akhir Zaman, dengan lafazh: [13] Sebagimana dalam sebuah hadits riwayat Malik dalam Muwatha’ dengan lafazh: “Sesungguhnya Madinah akan ditinggalkan dalam sebaik-baik keadaan, sehingga anjing atau serigala akan masuk, lalu kencing pada sebagian tiang-tiang masjid atau di atas mimbar.” Lihat:Fathul Bari IV/90 (-pent.) [14] Yakni Al-Hajjaj adalah manusia yang paling jahat-pent. Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI

Tidak ada komentar: