Pada akhir bulan Mei himgga awal Juni 2012 ini,
penulis mendapatkan tugas untuk short course tentang Penilai Amdal di
Institut Pertanian Bogor. Sebagai pemberi materi adalah para pendekar ilmu lingkungan di
Indonesia seperti Dr.Agus Oriyono Kardono, Dr.Arief Yuwono, Dr.Enan M.Adiwilaga,
Prof.Dr.Ali Kodra, Dr.Hefni Effendi, Dr.I Wayan Nurjaya, Prof. Dr. Kukuh
Murtilaksono, Prof.Dr.Lilik Budi Prasetyo, Dr. Prastowo hingga Dr. Sony Keraf
(mantan Menteri Lingkungan Hidup pada masa Presiden Gus Dur). Ada hal menarik
dan mencengangkan peserta short course tersebut, yakni pernyataan Prof,
Dr, Ali Kodra - salah satu pakar ilmu lingkungan yang cukup berpengalaman di
tingkat nasional hingga internasional. Beliau adalah pakar lingkungan, semenjak
tahun 1975 hingga kini masih aktif dalam masalah-masalah lingkungan. Dengan
kepakarannya itu beliau dekat dengan menteri-menteri lingkungan hidup seperti
dengan Prof. Emil Salim hingga menteri lingkungan hidup saat ini. Dalam
kesempatan itu, Prof. Dr. Ali Kodra
menceritakan pengalamannya mengenai pengelolaan lingkungan pada masa orde baru
yang hanya berorientasi kepada kepentingan ekonomi, sosial budaya dan
lingkungan. Karena hanya menekankan ketiga unsur tersebut maka masalah
lingkungan di Indonesia dari tahun ke tahun bukanlah membaik, melainkan
sebaliknya semakin banyak kerusakan secara masif di seluruh kepulauan di
Indonesia. Begitu masifnya, menurut data yang ada setiap hari terjadi kerusakan
hutan sebesar 10 kali lapangan bola. Dan bisa di bayangkan berapa luas
kerusakan hutan sejak tahun 1980an hingga sekarang, sehingga amat wajar bila
sekarang apa yang diklaim oleh Departemen Kehutanan sebagai wilayah kawasan
hutan ternyata present land usenya
berupa kantor gubernur, kompleks perumahan, pasar, pertokoan, sawah, mall, dll.
Kesemuanya ini terjadi karena ketidak seimbangan antara pemenuhan faktor
ekonomi dengan pemeliharaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan yang demikian ini telah meresahkan
hati beliau dan teman-temannya sesama pakar lingkungan di IPB,bahwa ada hal
yang salah dalam paradigma pengelolaan lingkungan. Akhirnya, suatu saat beliau
ikut suatu konferensi lingkungan di Amerika Serikat dengan salah satu
pembicaranya adalah Senator Al Gore- yang belakangan ini diketahui menjagokan
diri sebagai calon Preseiden Amerika Serikat. Saat ada kesempatan untuk berbicara
langsung dengan Al Gore, beliau menjelaskan tentang masalah lingkungan di
Indonesia serta pengelolaannya yang ternyata dengan menerapkan kebijakan yang
ditawarkan dunia maju saat itu tidak memuaskan hasilnya. Berbagai kerusakan dan
degradasi lingkungan dari tahun ketahun bukanlah berkurang, melainkan malah
semain bertambah.Berbagai bencana susul menyusul terjadi, baik itu banjir,
tanah longsor, kekurangan air, iklim yang tidak teratur, kekeringan, hingga
gagal panen bagi petani. Beliau terperanjat saat Al Gore memberikan buku yang isinya mengenai peran spiritual dalam
pengelolaan lingkungan dan sekaligus menjawab pertanyaan tersebut.”Negara anda
terkenal dengan masyarakat yang sangat religius dan memegang nilai-nilai
spiritual, mengapa konsep pengelolaan lingkungan anda meninggalkan yang
demikian. Sebetulnya, nilai nilai religius dan spiritualitas adalah suatu
kekuatan baru untuk mengatasi persoalan lingkungan dan dapat diterapkan dalam
pengelolaan lingkungan di negara anda”. Demikian penjelasan Al Gore.
Prof. Dr.
Ali Kodra melanjutkan kisah yang menarik ini. Sepulang dari negara Paman Sam,
beliau melakukan suatu terobosan mengenai paradigma baru pengelolaan lingkungan
hidup . Menurutnya, Pengelolaan lingkungan hidup tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
nilai-nilai yang ada dalam agama. Karena mayoritas pemeluk agama di Indonesia
itu islam, dan beliau beserta beberapa jagoan lingkungan di IPB mayoritas
Islam, maka beliau merumuskan konsepsi pengelolaan lingkungan denga nilai-nilai
Islam. Paradigma pengelolaan lingkungan tidak lagi hanya berdimensi lingkungan,
sosial-budaya, dan ekonomi. Namun puncak dari kesemuanya itu harus diisi dengan
nilai-nailai agama yang diturunkan oleh Allah Ta’ala dan rasulNya. Konsep
tersebut digulirkan oleh para pakar lingkungan di IPB dalam setiap seminar
lokal, nasional hingga seminar internasional. Untuk memuluskan konsepsi baru
ini, tidak tanggung-tanggung dalam setiap perkuliahan, setiap short course,
setiap penerbitan majalah, jurnal, buku, media masa dan lain-lain, konsepsi
pengelolaan yang menempatkan nilai-nilai islam didengungkan. Tidak kalah
hebohnya, mereka merangkul dunia pondok pesantren untuk mendidik para
dosen/guru-guru pondok pesantren agar memahami konsep pengelolaan lingkungan
yang bernuansa nilai-nilai islami. Tidak ketinggalan, Prof.Dr. Ali Kodra
sendiri bergabung dengan ESQ WAY365 pimpinan Ary Ginandjar untuk menyebar
luaskan paradigma baru dalam pengelolaan lingkungan sekaligus belajar dari
ajaran ESQ. Demikian Prof. Dr. Ali Kodra menjawab pertanyaan dari penulis yang
menanyakan “ kisah perjalanan munculnya konsep nilai keagaamaan dalam ilmu
lingkungan di Indonesia pada era tahun 2000-an”.
Ada yang
manarik untuk dicermati mengenai paradigma baru dalam pengelolaan lingkungan
yang ada di Indonesia. Pertama : Munculnya konsepsi nilai agama
islam dalam dimensi pengelolaan lingkungan. Mengingat selama ini apabila berbicara nasalah
nilai-nilai agama dalam pelajaran-pelajaran ilmu umum di kampus-kampus dianggap
hal yang sangat tabu. Kedua, kemunculan inspirasi untuk
menempatkan nilai agama- terutama islam – dalam paradigma ilmu lingkungan hidup
justru dari negara non muslim dan oleh tokoh non muslim. Ketiga,
masuknya Prof. Dr. Ali Kodra kedalam ESQ. Beliau berkeyakinan ESQ adalah representasi
tokoh muslim yang ilmiah dan memahami
islam secara utuh, sehingga mampu mengambil referensi tentang dalil-dalil Al
qur’an dan sunnah mengenai lingkungan
dari orang-orang yang menjadi pegurus ESQ. Pada saat yang sama Prof. Dr. Ali
Kodra dapat menyebarkan idenya dalam pertemuan-pertemuan ESQ. Namun,dengan
alasan kesibukan, beliau akhirnya mengundurkan diri dari ESQ sekitar tahun
2007. Ada apa sebenarnya?
Sesungguhnya,
apabila para pakar lingkungan itu mau membuka diri dan mau belajar secara lebih
serius dengan tidak terkena inferiority complex dengan dunia barat, maka peristiwa yang
dialami oleh Prof. Dr. Ali Kodra dan kawan-kawannya tidak terjadi. Karena
mereka merasa ilmu-ilmu dari baratlah yang paling maju, paling mampu untuk
memberikan solusi masalah lingkungan terbaik, paling cepat teknologinya, maka
tidak mengherankan jika mereka lebih tertarik untuk mendalami ilmu lingkungan
tersebut di negara barat seperti Eropa dan Amerika. Mereka telah terjebak
dengan apa yang disebut westernisasi intelektual. Obsesi mereka adalah western
minded daripada eastern minded. Maka tidak mengherankan jika seluruh
kemampuannya sepenuhnya untuk menggali ilmu-ilmu yang berasal dari barat,
tinggal lama di negeri barat dan akibatnya pola pikir dan perilakunya mengikuti
budaya dan ala barat. Suatu hal yang tidak mengejutkan jika para pakar lingkungan Indonesia hampir semua mengacu pada madzhab-madhzab yang berasal dari
kaca mata pemikiran barat. Akibatnya, tatkala paradigma yang dari barat
tersebut diterapkan di negara asalnya akan banyak terjadi ketidaksesuaian,
pertentangan hingga penolakan. Dimana disadari atau tidak khasanah ilmu dari
timur termasuk lingkungan, kini mulai
menjadi perhatian dan sekaligus menggantikan pemikiran barat yang sudah mulai
banyak mengalami kegagalan. Bahkan, mereka akan terperanjat tatkala mengetahui
bahwa ilmu yang mereka pelajari tidak lain berasal dari negara timur yang semenjak
dulu lebih maju. Dan ilmu yang mereka pelajari di barat adalah hasil jerih
payah ulama-ulama dari negeri timur yang telah dicuri pada masa renaissance.
Ditinjau
dari perspektif kesejarahan, umat islam pernah mengalami kejayaan kekuasaan maupun ilmu pengetahuan. Sejak
rasulullah berkuasa kekuasaan umat islam meliputi daerah sekitar India Bagian
Timur, Rusia sebelah utara dan Dataran
Eropa sebelah barat. Pada saat itu ilmu pengetahuan maju dan berkembang pesat.
Muncullah sahabat-sahabat rasulullah sebagai pakar-pakar ilmu duniawiyah
seperti pakar ekonomi, kedokteran, fisika, kimia, matematika, falak, psikologi
dan lain-lain. Banyak ditulis kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu tersebut
sehingga jaman itu laksana jaman keemasan bagi khasanah ilmu pengetahuan.Tidak
saja ilmu ilmu umum, ilmu-ilmu agama jauh lebih berkembang pesat. Hapalan para
sahabat dan shabiyah luar biasa tentang al qur’an, tafsir, hadist, hukum dll.
Kejayaan ini mulai memudar dan pelan-pelan surut semenjak meninggalnya
rasulullah. Semenjak sahabat Abubakar Ash Shiddiq naik menjadi khalifah fitnah
muncul dimana-mana. Begitu juga jaman khalifah berikutnya yakni Umar bin
Khattab, lalu Ali bin Abi Thallib, dan Utsman bin Affan. Peperangan terjadi
dimana-mana dan orang-orang yang berilmu mulai banyak yang meninggal.
Penulis-penulis mulai berkurang dan produktivitasnya menurun. Puncak hancurnya
khasanah ilmu-ilmu dalam kekuasaan islam adalah tatkala tentara bar-bar
menyerang kekhalifan Islam sekitar abad VII H. Dilanjutkan pemberontakan bangsa
barat dari kerjaan Spanyol dan Yunani. Jaman itu terkenal dengan jaman yang
oleh orang barat disebut renaissance. Masa itu adalah musibah yang
sangat besar bagi ilmu pengetahuan. Banyak orang yang hapal al qur’an dan
hadist di bunuh. Tidak ketinggalan kitab-kitab pun dibakar dan di tenggelamkan
ke Sungai Nil dan Laut Merah. Buku-buku ilmu pengetahuan umum yang dimiliki umat
muslim dirampok dan dibawa ke negeri Eropa dan negeri Kaum bar-bar di sekitar
Cina. Karya-karya ulama islam dicuri dan diakui sebagai karya mereka (yakni bangsa
Bar-Bar Dan Eropa). Dari jaman itulah, bangsa-bangsa barat mulai mempelajari
kitab-kitab klasik ulama muslim di perpustakaan mereka. Perlu diketahui bahwa,
dari kitab-kitab klasik tersebut kemajuan ilmu pengetahuan abad ini dimulai dan
dilandasi.
Salah
satu buku yang sangat luar biasa dan agung yang ditulis ulama dari Timur Tengah
berkaitan dengan masalah lingkungan adalah Kitab Al Ahkam As Sulthaniyyah karya Imam Al
Mawardi. Dalam membahas
lingkungan, beliau menjelaskan bagaimana cara mengelola tanah yang mati atau
terlantar agar lebih produktif dan lebih besar kemanfaatannya.Dalam bab 15 halaman 293 menjelaskan bahwa : Pengertian “ Menghidupkan (membuka)
tanah yang mati (Ihyaul Mawat)” yaitu : memelihara dengan cara mengairi
tanah kalau keadaannya tidak berair, atau mengeringkan kalau keadaannya
tergenang air atau dengan cara menanaminya, atau mendirikan bangunan, atau
dengan cara apa saja yang membuat tanah itu dapat dipungut hasilnya serta dapat
diambil manfaatnya, yang asalnya menganggur tanpa faedah sama sekali” Imam
Al-Mawardi mengatakan : Pengertian menghidupkan atau membuka tanah yang mati
dikembalikan saja menurut yang biasa difahami orang banyak dalam mengartikan tujuan
itu, sebab Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjelaskannya
secara bebas, tidak terbatas. Jadi harus diartikan menurut pendapat umum yang
biasa berlaku. Oleh sebab itu kalau maksud membukanya itu untuk tempat tinggal
tentu dibuatkan bangunan dan diatapi diatasnya, sebab seperti itulah, jikalau
hendak dijadikan tempat tinggal. Adapun kalau yang dimaksudkan itu untuk
dijadikan sawah ladang, maka diperlukan tiga syarat yaitu :
Pertama :
menumpuk sekedar tanah yang merupakan batas (pematang), disekeliling tanah yang
hendak dibuka, untuk membatasi dengan yang belum dibuka.
Kedua
: mengalirkan air kalau tanah itu kering ataupun mengeringkannya kalau memang
basah atau tergenang air, sebab memang begitulah
cara membuka tanah itu. Jadi yang kering akan cukup air dan yang basah akan
menahan air, sehingga dapat digunakan untuk sawah ladang/bercocok tanam.
Ketiga
: membajaknya yakni membiarkan yang sudah rata, meratakan
yang masih agak tinggi tempatnya dan menimbun yang rendah.
Selain melakukan
pemberdayaan terhadap tanah, pengertian “ Menghidupkan (membuka) tanah yang
mati (Ihya’ul Mawat)” menyangkut pembuatan batas-batas terhadap tanah yang
telah diusahakan. Hal ini perlu dilakukan karena ini bukanlah perkara yang
sepele, karena ini berimplikasi pada hukum-hukum kepemilikan. Hal ini sebagai
mana tercantum dalam hadist dari Asmar bin Mudlris berkata : “maka
banyaklah orang bercepat-cepat meletakkan batas-batas ditanah” yakni
membatasi tanah yang nanti akan diusahakan dan berasal dari tanah yang mati
itu. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud).
Didalam hadits lain riwayat Abu Dawud,
Rasulullah berkata : “Siapa yang memagari diatas tanah (tandus), itu menjadi
miliknya”.
Bahkan dari Ibnu Tufail dari Ali bin Abu
Thalib, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda:” Allah Ta’ala melaknat orang yang melaknat
orang tuanya, menyembelih bukan karena Allah Ta’ala dan merubah batas tanah (HR.
Ahmad).
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘alau anhu,
juga pernah berkhutbah diatas mimbar dan beliau berkata :” Hai sekalian
manusia, barangsiapa yang membuka tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”.
Didalam hadits lain lagi yang diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dari ‘Aisyah r.a.: Rasulullah bersabda :’Iltamisuu
rizqa min khabayal ardhi, Galilah rejeki dari celah-celah (perut) bumi.
Ada hal yang wajib diperhatikan. Menurut islam orang yang
melakukan perubahan atau melakukan penggeseran terhadap tanah yang dimiliki
seseorang maka termasuk dosa besar. Pelakunya terancam masuk neraka.
Dalam
hadits marfu’ dari Abdullah bin Umar Radhiallahu'anhu disebutkan :
“Barang
siapa mengambil tanah (orang lain) meski sedikit dengan tanpa hak niscaya dia
akan ditenggelamkan dengannya pada hari kiamat sampai ke (dasar) tujuh lapis
bumi” (HR Al Bukhari, lihat fathul Bari : 5/103).
Ya’la bin
Murrah Radhiallahu’anhu berkata,
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Siapa yang menzhalimi (dengan mengambil) sejengkal dari tanah
(orang lain) niscaya Allah membebaninya dengan menggali tanah tersebut (dalam
riwayat Ath Thabrani : menghadirkannya) hingga akhir dari tujuh lapis bumi,
lalu Allah mengkalungkannya (di lehernya) pada hari kiamat sehingga seluruh
manusia diadili” (HR Ath Thabrani dalam Al Kabir, 22/270; shahihul jam’: 2719).
“Allah melaknat orang yang mengubah tanda-tanda (batasan) tanah”
(HR Muslim, syarah Nawawi,
13/141).
Selain Imam Al Mawardi, ulama-ulama besar seperti Imam Syafei, Imam Malik dan Imam
Abu Hanifah turut serta membahas masalah
lingkungan dalam beberapa kitabnya.
Selanjutnya jika
lahan mati tersebut diambil alih orang lain, kemudian dia menghidupkannya, maka
para fuqaha berbeda pendapat tentang hukumnya yaitu :
1)
Imam Syafi’i: Orang yang menghidupkannya lebih
berhak atas lahan tersebut daripada orang yang diberikan hak atas tanah oleh
Imam (Khalifah).
2)
Abu Hanifah: Jika lahan tersebut dihidupkan
sebelum tiga tahun, maka lahan tersebut menjadi milik orang yang diberi tanah
tersebut. Jika lahan tersebut dihidupkan setelah tiga tahun, maka menjadi milik
orang yang menghidupkannya.”
3)
Imam Malik: Jika seseorang menghidupkan lahan
tersebut dan mengetahui orang yang diberi tanah oleh Imam, maka tanah tersebut
menjadi pemilik yang diberi tanah. Jika ia menghidupkan tanpa mengetahui orang
yang diberi Imam, maka orang yang diberi tanah tersebut bebas memilih antara
mengambil lahan dengan mengganti rugi penggarapan kepada yang menghidupkan,
atau melepaskan kepada yang menghidupkan dengan ganti rugi seharga sebelum
dihidupkan”.
Adalah suatu kesalahan yang sangat fatal tatkala Prof. Dr. Ali Kodra mempunyai asumsi bahwa ESQnya Ary
Ginandjar adalah representasi dari tokoh muslim yang ilmiah dan paham Al Qur’an
dan Sunnah, sehingga beliau mengambil rujukan dari pemikiran ESQ dan ikut
berdakwah ESQ. Memang jika dilihat secara sepintas apa yang diajarkan oleh ESQ
sangat menarik bagi kalangan profesional dan intelektual karena mampu
mengkombinasikan logika dengan emosional sehingga mampu memberikan motivasi di
tengah-tengah kehausan kedamaian dan ketentraman bathin yang menghinggapi
banyak profesional dan intelektual saat ini. Namun, bagi para thalabul ilmi
yang terbiasa menghadiri majelis ilmu dengan selalu mengambil rujukan Al Qur’an dan
As Sunnnah dengan pemahaman sahabat, maka akan paham betapa jauh pemahaman ESQ
tersebut dari praktek rasul dan contoh-contoh dari sahabat. Metode-metode yang
dipergunakan dalam ESQ merupakan campuran metode Sufi, Hindu, Budha, Khong Hucu hingga mistis Kejawen.
Banyak hadist dhaif dan palsu yang diamalkan serta pemahaman yang menyimpang
dari pemahaman sahabat dalam menafsirkan ayat –ayat Al Qur’an. (Lihat tulisan
Majalah Tempo yang mengulas : Alasan Mufthi
besar negara Malaysia menolak ajaran ESQ masuk di Malaysia). Dilihat
dari latar belakang pendidikan, Ary Ginanjar bukanlah orang yang menguasai
bahasa arab, menguasai ratusan apalagi ribuan hadist, tidak pernah belajar ilmu
musthalah hadist, tidak pernah belajar hadist sahih dan palsu, tidak pernah
belajar tafsir Al Qur’an, bukan penghapal Al Qur’an, tidak pernah meluangkan
waktunya untuk mengambil ilmu agama secara khusus di universitas yang ada Mesir atau Medinah. Bagaimana mungkin
seorang Prof. Dr.Ali Kodra mau mengambil ilmu tentang Al Qur’an dan Sunnah dari
Ary Ginandjar beserta jaringan ESQnya. Apakah Prof. Dr.Ali Kodra sedang Salah Jalan atau Memang Ilmu Lingkungan
Indonesia berada dalam Persimpangan Jalan.........
Alhamdulillah Prof. Dr. Ali Kodra telah Allah berikan
kesibukan yang lain sehingga waktunya tidak lagi ada untuk berkumpul dengan orang-orang yang
tidak berilmu.
Jakarta, 17 November 2012
Abu Nada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar