Segala puji hanya untuk Allah, Rabb semesta alam, shalawat dan salam
semoga tercurah bagi Muhammad Rasulillah, para sahabat dan pengikutnya.
Kerap dalam beberapa diskusi religi, nyata maupun maya,
kita mendengar atau membaca dialog seperti ini:
A. Jadi akhi,
berdasarkan dalil-dalil tersebut, para Ulama menyimpulkan bahwa memelihara
jenggot hukumnya adalah wajib dan memangkasnya adakah haram. Begitu akh…
B. Tapi Ulama lain ada
yang membolehkan Akh… Syaikh Fulan pun potong jenggot…
C. Sudahlah, orang
kafir sudah sampai ke bulan, kita masih sibuk debat soal jenggot.
Dialog seperti ini kerap muncul dalam diskusi/debat
masalah keagamaan lainnya, seperti masalah hukum isbal[1] dan memelihara jenggot, jambang dan
rambut di wajah bagi laki-laki, hukum musik dan sebagainya yang memang masih
sering diperdebatkan oleh sebagian kalangan kaum muslimin. Yang menarik
perhatian dari dialog tersebut dan menjadi topik bahasan dalam tulisan ini
adalah perkataan pihak ketiga (C): “…sudahlah, orang
kafir sudah sampai ke bulan, kita masih sibuk debat soal jenggot (isbal, dst…)“.
Saudaraku sekalian yang dirahmati Allah, mari kita cermati
dengan baik perkataan di atas berdasarkan timbangan metodologi ilmiah dalam
Islam.
Ke Bulan, Kedudukannya dalam
Islam
Islam mendorong kita untuk menuntut ilmu-ilmu yang
bermanfaat. Para ulama[2] mengatakan, bahwa ilmu (yang Islam
memotivasi untuk mempelajarinya -pen), terbagi menjadi dua: (1) ilmu yang hukum
mempelajarinya adalah fardhu ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap individu muslim dan ia tidak boleh bodoh dalam ilmu ini –pen),
karena setiap muslimmemerlukan ilmu tersebut dalam
masalah agama, akhirat dan muamalahnya; (2) ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu tambahan yang faedah mempelajarinya dibutuhkan
orang banyak, walau tidak begitu mendesak bagi individu tertentu, sehingga jika
sudah ada sejumlah orang yang mempelajarinya dan jumlahnya telah mencukupi
kebutuhan, maka gugurlah kewajiban mempelajarinya bagi yang lainnya. Contoh
ilmu yang fardhu ‘ainantara lain: ilmu akidah dan tauhid,
juga ilmu tentang tata cara wudhu dan shalat yang benar. Setiap orang wajib
mempelajari hal-hal tersebut. Karena ia tidak akan bisa berwudhu dan
mengerjakan shalat dengan benar selain dengan mempelajari hal-hal mengenai hal
tersebut[3]. Contoh ilmu yang fardhu
kifayah antara lain: ilmu kedokteran, ilmu perekonomian, ilmu
pengelolaan air bersih dan energi (listrik, bahan bakar) dan sebagainya, yang
memang faedah mempelajarinya dibutuhkan untuk kemashlahatan orang banyak.
Berdasarkan pembahasan tentang dua ilmu di atas, yang
mempelajarinya memang diperintahkan dalam syari’at, lalu masuk dalam kategori
manakah ilmu tentang cara mendarat di bulan? Yang pasti bukan fardhu ‘ain karena ilmu ini bukan penunjang agama, akhirat dan
muamalah seorang muslim, bukan pula ilmu yang belajar dan pengamalannya akan
dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Kalau dikatakan fardhu kifayah, maka pendapat ini lemah dalam sisi urgensi, karena hidup
manusia dapat terus berlangsung walau tidak ada yang pernah ke bulan. Bahkan,
ke bulan dalam realitanya tidak lebih dari sekedar pertunjukkan kebanggaan
negara kafir untuk mengkerdilkan kita (kaum muslimin) dan membuat kita selalu
merasa ‘tertinggal’ atau ‘terbelakang’, lantas berupaya mengejar mereka hingga
akhirnya kita melupakan kewajiban menuntut ilmu agama.
Sementara, bagaimanakah kedudukan pembahasan masalah halal
haram atau wajib tidaknya sesuatu dalam Islam, seperti halal haram memotong
jenggot dan isbal untuk laki-laki, halal haram musik dan seterusnya, meskipun
dianggap remeh bagi sebagian kaum muslimin?
Merujuk pada definisi dua ilmu yang telah lewat, maka ilmu
tentang masalah-masalah di atas termasuk kategori ilmu yang fardhu ‘ain (walau tingkat kewajibannya bisa jadi berbeda antara
laki-laki dan perempuan). Hal ini dikarenakan masalah-masalah tersebut menjadi
bahasan penting bagi Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, para sahabat dan
para ulama (salafush sholih) setelah mereka. Benar salahnya penyikapan kita
terhadap masalah di atas akan menunjang baik dan tidaknya agama, akhirat dan
muamalah kita. Terlebih lagi, berbagai dalil Al-Qur’an dan hadits seputar
masalah haramnya memotong jenggot dan isbal bagi laki-laki, haramnya musik dan
sebagainya, kebanyakan mengandung ancaman neraka bagi pelanggarnya. Ini
menunjukkan bahwa Islam menganggap penting masalah yang oleh sebagian kita
dianggap tidak lebih penting daripada pencapaian orang kafir ke bulan. Yah,
kecuali dalil-dalil tersebut tidak lagi penting dalam kehidupan kita di dunia.
Kalau begitu, pantaskah “ke bulan” yang bukan ilmu yang
didorong Islam untuk mempelajarinya, dianggap lebih urgent daripada ilmu tentang jenggot, isbal, musik, yang merupakan ilmu
yang fardhu ‘ain? Seremeh itukah ancaman neraka pada berbagai dalil yang
Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebutkan tentang masalah-masalah
tersebut untuk, ya sudahlah, tidak usah kita bahas dan sebaiknya
ditinggalkan saja karena orang kafir sudah ke bulan, kita masih sibuk berdebat
masalah itu?
Ke Bulan, Kedudukannya Bagi Orang
Kafir
10 tahun lalu penulis pernah melihat di siaran salah satu
TV nasional, film sains dokumenter yang dibuat oleh ilmuwan akademisi di US,
yang membantah kebohongan klaim NASA bahwa mereka pernah mengirimkan manusia ke
bulan. Dengan berbagai eksperimen dan analisis, baik terhadap kondisi alam
untuk mencapai bulan, maupun terhadap video pendaratan ke bulan yang selama ini
diklaim oleh NASA, mereka menyimpulkan bahwa sampainya NASA ke bulan hanya
bohong belaka.
Kami melihat bahwa jargon “ke bulan” hanya sekedar
kebanggaan orang kafir untuk membuat kaum muslimin ‘minder’, hingga akhirnya
sibuk mengejar ‘prestasi ke bulan’ dan melupakan urgensi mempelajari agama
Islam?
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ
الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُم
“Orang-orang Yahudi
dan Nasrani sekali-kali tidak akan rela kepadamu hingga kamu mengikuti agama
mereka.” (QS. Al Baqarah:
120)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah
bersabda,
]لَتَتّبِعُنّ سَنَنَ الّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ. شِبْراً بِشِبْرٍ،
وَذِرَاعاً بِذِرَاعٍ. حَتّىَ لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبَ لاَتّبَعْتُمُوهُمْ”
قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللّهِ آلْيَهُودُ وَالنّصَارَىَ؟ قَالَ “فَمَنْ؟”[
"Sungguh kalian
benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb
(sejenis biawak padang pasir), niscaya kalian pun akan mengikuti mereka.” Kami
berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?”
Beliau menjawab: “Kalau bukan mereka lalu siapa lagi?” (HR. Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id
Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Teman, mari bertanya, apakah kita pernah merasakan faedah
nyata dari ‘orang kafir bisa ke bulan’? Apakah Anda yakin bahwa mereka yang
berhasil ke bulan –seandainya nyata– akan tanpa pamrih membagi manfaatnya pada
kita? Atau sebenarnya kita hanya dibuat merasa perlu mengejar jalan mereka?
Seandainya pun nyata, lebih berhargakah 'ke bulan'
daripada mempelajari tauhid, shalat, perhitungan dan pembagian zakat dan
warisan, puasa dan haji beserta masalah nawazilnya (masalah terkini), hukum seputar jual
beli, bentuk-bentuk riba, muamalat kontemporer, dan cabang ilmu agama lainnya,
seperti halal haram memotong jenggot dan isbal bagi laki-laki, halal haram
musik, hingga layak dikatakan, "…sudahlah,
itu tidak usah dibahas. Orang kafir sudah ke bulan, kita masih sibuk berdebat
masalah itu"?
Akhirnya kami perlu mengatakan, toh kebanggaan kaum kafir semuanya akan berakhir kala datang hari
kiamat.
Ke Bulan, Kedudukannya Bagi Si
Penengah
Kami bersangka baik, bahwa bisa jadi si penengah dalam
dialog yang kami ungkap di awal tulisan ini, hanya 'sekedar mencari contoh'
kemajuan orang kafir yang belum bisa dicapai umat Islam –artinya tidak terbatas
tentang ke bulan saja–, dan ia hanya 'sekedar ingin mengingatkan' agar kita tidak
sibuk membahas masalah agama hingga melupakan ketertinggalan mereka dari orang
kuffar.
Namun yang perlu disadari, syubhat yang timbul dari slogan "ke
bulan" ini, manakala terpatri di benak sebagian orang, membentuk mindset bahwa mempelajari ilmu duniawi, seperti membuat inovasi baru
dalam teknologi, di zaman ini lebih penting daripada mempelajari agama yang
toh, topiknya bagi sebagian orang remeh pula, seperti masalah jenggot, isbal
dan sebagainya.
Allahul musta'an, ini pun menjadi fenomena nyata di kalangan kita, kaum
muslimin. Banyak di antara kita yang menghabiskan umur untuk mempelajari sains
dan teknologi, namun 'kosong' dalam ilmu agama. Banyak dari kita yang bergelar
master, doktor, bahkan profesor, namun belum benar cara berwudhu dan shalatnya.
Cabang-cabang ilmu tentang aqidah, ibadah, muamalah, terlebih lagi ilmu
alatnya, seperti qawaid bahasa Arab, ilmu ushul fiqh, ilmu musthalah al-hadits, dan lainnya seakan hanya monopoli
orang-orang yang mau 'jadi ustadz' dan tidak untuk scientist (ilmuwan). Ya, mungkin karena sebagian kita memang sibuk
juga mengejar ‘sampai ke bulan’.
Beragama yang Ilmiah
Kebanyakan perkataan di atas kami temui pada kalangan kaum
muslimin yang belum mampu berargumentasi ilmiah yang ditunjang dengan ilmu yang
benar. Bisa jadi karena orangnya enggan mempelajarinya, dan bisa jadi karena
belajar dengan/dari manhaj (metodologi beragama) yang memang tidak menekankan
pemahaman terhadap ilmu-ilmu alat (bahasa Arab, qowa’id, ushul, dan lainnya)
sehingga tidak mampu berargumentasi dengan hujjah yang kuat. Akhirnya, ‘ke
bulan’ menjadi andalan untuk menghindari diskusi yang seharusnya bisa ilmiah.
Dari sini, kami menghimbau kepada seluruh kaum muslimin,
untuk bersungguh-sungguh menuntut ilmu agama dengan baik, dengan/dari manhaj
yang lurus. Manhaj yang lurus adalah yang membawa kepada pemahaman agama yang
benar ditunjang dengan ilmu-ilmu alatnya. Manhaj yang ketika berbicara suatu
masalah agama, tidak lepas dari nukilan nash Al-Qur’an dan hadits.
Terakhir, kami kutip perkataan yang baik, “Wahai para pemuda, jangan sia-siakan waktu Anda untuk terkesima
dengan beragama dengan cara haroki. Terkesan indah namun tidak asli. Terkesan
aktual dan popular namun tidak hakiki. Terkesan modern dan hebat namun tidak
lestari. Seperti mainan anak-anak kecil di masanya, akan lenyap dengan cepat
diganti oleh gaya dan trend yang lebih gokil dan terkini[4].”
Fawaid
1. Ilmu agama adalah
bekal kebahagiaan bagi manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Seremeh
apapun topiknya bagi sebagian orang, mempelajarinya tetaplah merupakan
kewajiban bagi umat Islam. Keutamaan dan pahala mempelajarinya tidak akan
setara dibandingkan dengan ‘sekedar ke bulan’ ataupun ilmu sains lainnya.
2. Jargon-jargon
kemajuan kaum kafir kebanyakan hanya untuk mengkerdilkan kaum muslimin.
Berusaha mengejar mereka dengan menghabiskan umur tanpa mempelajari agama
tidaklah mendatangkan kemuliaan di sisi Allah ‘azza wa
jalla.
3. Kebaikan kaum
muslimin tidaklah terletak pada kemajuan teknologi yang mampu mereka ciptakan.
Kebaikan mereka terletak pada ilmu agama dan penerapannya dalam kehidupan
hari-hari mereka, dengan mencontoh pengamalan generasi pendahulu mereka dalam
Islam. Imam Malik bin Anasrahimahullah berkata,
لا يَصْلُحُ
آخِرُ هَذِهِ اْلأمَّةِ إِلا بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا
”Yang bisa
memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini hanyalah hal yang telah berhasil
memperbaiki keadaan genarasi awalnya”.[5]
Semoga Allah menjadikan tulisan ini sebagai sarana dakwah
yang ikhlas untuk agama-Nya dan menjadi nasehat yang dapat diterima oleh
saudara-saudara kami yang membacanya.
Riyadh, Sabtu, 27 Dzulqo’dah 1433 H (13 Oktober
2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar