Bab II
Kedudukan Tinggi Penguasa Dalam Syariat
Penguasa
memiliki kedudukan tinggi dan posisi sangat terhormat yang diberikan Syar’i
kepadanya sesuai peran, tugas dan tanggung jawab mereka yang sangat besar.
Seusungguhnya
manusia hanya dapat diatur dengan kekuatan dan keteguhan seorang imam, Jika
syar’i tidak memberikan aturan, maka manusia akan meremehkan dan tidak
mentaatinya. Akibatnya malapetaka, anakisme terjadi dimana-mana, kemaslahatan
terlewat, urusan dunia kacau dan urusan agam menjadi terlantar.
Imam
Badrudiin bin Jamaah dalam Kitab Tahrir
al Ahkam fi Tadbir Ahl al-islam menjelaskan : “ Hak
keempat (berkaitan dengan penguasa) yaitu diketahui haknya yang besar, dan
kewajiban memuliakan kedudukannya. Ia diperlakukan dengan penghormatan
pemuliaan sebgaimana mestinya.” Para ulama berlaku demikian dan memenuhi
sruannya serta berzuhud dan tidak menginginkan apa yang dimiliki penguasa.
Adalah sikap bukan sunnah, apabila berlaku kurang sopan kepada penguasa.
Uman
bin Affan mengatakan : “Apa yang ditahan
oleh mimam itu lebih banyak daripada apa yang ditahan oleh al Qur’an”. Artinya apa yang ditahan
lewat jasa penguasa itu lebih banyak daripada yang yang ditahanNya lewat Al
Qur’an.
Lebih
lanjut Ibnu Manzhur dalam Kitab al Lisan menjelaskan : “Maksudnya bahwa orang
yang menahan diri dari melakukan dosa-dosa besar karena takut kepada penguasa
adalah lebih banyak daripada yang tertahan melakukan dosa-dosa besar karena
takut kepada Al Qur’an dan Allah. Jadi orang yang tertahan melakukan
kemaksiyatan karena penguasa itu lebih banyak daripada orang yang tertahan
karena Al Qur’an dengan perintah,
larangan dan peringatannya.”
Bentuk
Kedudukan Penguasa menurut syariat adalah sebagai berikut :
a.
Allah memerintahkan
untuk taat kepad para penguasa. Hal ini dikaitkan dengan taat kepada Allah dan
taat kepada Rasul Allah. Ini mencerminkan kedudukan yang sangat tinggi dan
besar kedudukan mereka. Al Qur’an Annisa
: 59 : “Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil
amri diantara kamu.” Bentuk ketaatan ini
terikat dengan syarat, yaitu tidak
menyuruh bermaksiyak kepada Allah Ta’ala.
b.
Hadist riwayat Abu
Hurairah menjelaskan rasulullah bersabda :”Barangsiapa memuliakan penguasa,
maka Allah akan memuliakannya. Sebaliknya, barangsiapa menghinakannya, maka Allah
menghinakannya”. Lebih lanjut penulis kitab menjelaskan, siapa yang lancing
terhadap penguasa lalu menghinakannya dengan ucapan dan perbuatan, berarti ia
telah melanggar ketentuan Allah dan
melakukan larangan yang keji. Sanksi hokum yang diterimanya adalah Allah akan
membalasnya dengan menghinakannya, dan balasanNya itu lebih besar dan lebih
dashyat. Sebaliknya orang yang memuliakan penguasa dengan memlihara hak-haknya
dan kewajibannya dan tidak keluar dari perintahnya dalam kebajikan maka ia
memperoleh balasan yang setimpal yakni Allah akan memuliakannya di dunia dengan
mengangkat derajatnya dan menundukkan hati manusia untuk memuliakannya, serta
memuliakannya di akhirat dengan masuk ke syurga. Hal ini sebagaimana sabda
rasulullah yang diriwiyatkan Abu Bakhrah dalam kitab As Sunnah (II/492)karya
Ibnu Abi Ashim, rasulullah bersabda : ”Barangsiapa memuliakan penguasa Allah,
maka Allah memuliakannya pada Hari Kiamat.”
c.
Penguasa adalah naungan
Allah Allah Ta’ala di muka bumi. Hal ini diucapkan oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah
seperti Ibnu Abi Zamanain dalam kitab Ushul as-Sunnah, as Sakhawi dalam
al-Maqashid al-Hasanah. Yang rajih adalah pendapat Ibnu Abi Ashim dalam as
Sunnah : ”Penguasa adalah naungan Allah di Muka Bumi. Barasngsiapa
memuliakannya, maka Allah memuliakannya, dan barangsiapa menghinakannya, maka
Allah menghinakannya.”
Makna penguasa adalah nauangan Allah dimuka bumi maknanya,
lewat penguasalah Allah menghilangkan gangguan dari manusia, seperti naungan
melindungi manusia dari terik matahari. Dalam redaksi lain dimaknai : untuk
member tahu kepada manusia bahwa itu adalah naungan yang tidak seperti nauangan
lainnya. Karena ia lebih bear, lebih tinggi dan lebih banyak manfaatnya.
d. Syar’i melarang mencaci
maki penguasa. Anas mengatakan : ”Para senior kami dari kalangan sahabat nabi
melarang kami. Mereka mengatakan : Janganlah mencaci maki para pemimpin
kalian.” Al Manawi dalam Kitab Faidh al Qadir :” Allah menjadikan penguasa
sebagai penolong makhlukNya, maka kedudukannya dipelihara agar tidak dicaci
maki dan dihina, agar penghormatan
kepadanya mnjadi sebab datangnya karunia
Allah dan berlangsungnya pertolongan bagi makhlukNya. Para Salaf telah
memperingatkan jangan sampai mendoakan keburukan kepada penguasa, karena itu
akan menambah keburukan dan bencana atas kaum muslimin.” Abu Utsman az Zahid
dalam Kitab Al Jami’ li Syua’ib al Iman, mengatakan : ”Berilah nasehat kepada
penguasa dan senantiasa mendoakan kebaikan untuknya dn lurus dalam ucapan,
perbuatan dan keputusannya. Sebab jika mereka baik, maka niscaya manusia
menjadi baik karena kebaikan mereka. Jangan sekali-kali kalian mengutuk mereka,
karena mereka akan semakin bertambah buruk dan malapetaka yang menimpa kaum
muslimin bertambah. Tapi doakanlah semoga mereka bertaubat lalu meninggalkan
kejahatan mereka, sehingga bencana akan lenyap dari orang-orang beriman..”
e. Badruddin bin Jamaah
mengutip ath-Thurthusi menjelaskan surat
Al Baqarah :251 :”Seandainya Allah tidak menolak keganasan manusia dengan
sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.” Makna dari kalimat ini adalah
Seandainya Allah tidak mengadakan penguasa di muka bumi yang dapat melindungi
yang lemah dari yang kuat, dan membela dari yang teraniaya dari yang
menganiaya, niscaya manusia akan menyerang satu sama lain. Hal ini membawa
akibat keadaan mereka tidak tertata, kehidupan mereka tidak aman, dan bumi
seisinya rusak. Saat menafsiri ayat “Namun Allah mempunyai karunia atas semesta
alam “.(Al Baqarah :251) Al Alusi dalam Asy Syuhab al Lami’ah menjelaskan bahwa
ayat ini menjelasakan tentang keutamaan penguasa, dan seandainya bukan
karenanya niscaya urusan dunia tidak akan stabil.
f. Satu hal yang disepakati
umat islam bahwa urusan agama dan urusan dunia mereka tidak akan dapat berjalan
dengan baik tanp adanya imamah atau kepeminpinan. Al Faqih Asy Syafi’I dalam
kitab Tahdzib ar Riyasah menjelaskan :” Urusan agama dan dunia menjadi teratur
adalah dambaan, dan hal itu tidak dapat terwujud tanpa adanya imam. Seandainya
kita tidak mewajibkan imamah, niscaya itu akan menyebabkan perselisihan dan
pertumpahan darah yang terus menerus sampai Kiamat datang. Kalau umat tidak mempunyai pemimpin yang mempunyai
otoritas, niscaya mihrab-mihrab dan mimbar-mimbar masjid kosong, jalan
terputus, pengadilan sepi, anak yatim terlantar dan Baitul Haram kosong karena
tidak ada yang naik haji. Seandainya tidak ada imam, hakim, penguasa dan
pejabat maka orang bujang tidak dinikahkan,, manusia akan anarkhis dan saling
memangsa.”
g. Penguasa adalah orang
yang paling besar pahalanya, jika berlaku adil. Al-Izz bin Abdussalam berkata :”Imam
atau penguasa yang adil adalah yang paling besar pahalanya disbanding manusia
yang lain, berdasar kesepakatan seluruh kaum
muslimin. Karena mereka berperan mendatangkan setiap kebajikan yang
sempurna dan menolak kemaksiyatan yang kompleks. Jika ia memerintahkan untuk
menarik kemashlahatan yang merata dan menolak kerusakan yang umum, maka ia
memperoleh pahala sesuai maslahat yang diserukan dan mafsadah yang dicegahnya,
walaupun dengan hanya menyerukan satu kalimat.” Rasulullah bersabda dalam HR
Bukhari-Muslim : ada tujuh golongan orang yang akan dinaungi Allah dalam
naunganNya pada hari yang tiada nanungan kecuali nauanganNya, yaitu imam yang
adil…” Al Hafiz dalam kitab Fathul Bahri menjelaskan: “Maksudnya pemimpin
tertinggi dan termasuk kategorinya, setiap orang yang menguasai urusan kaum
muslimin, lalu ia berlaku adil didalamnya…”. Lebih lanjut Abdusallam
menjelaskan :”mendahulukan pemimpin yang adil dalam hadist diatas, karena ia
yang paling utama diantara tujuh golongan dan yang paling tinggi derajatnya.
Sebab yang lainnya termasuk dalam naungannya. Juga manfaat amal yang dilakukan
lebih merata.”
h.
Kaum Muslimin sepakat
bahwa kekuasaan adalah sebaik-baik amal ketaatan sebagaimana dituturkan al-Izz
bin Abdussalam dalam al Quwaid. Dan ini merupakan kewajiban agama terbesar. Demikian
Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ al fatawa (XXVII-390)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar