08 Februari 2012

MU’AMALAT AL HUKKAM FI DHAU’ AL KITAB WA AS-SUNNAH (HUBUNGAN RAKYAT DAN PEMERINTAH MENURUT SYARIAT ISLAM) BAG-2.

KARYA : DR. ABDUSSALAM BIN BARJAS ALI ABDUL KARIM


Bab II
Kedudukan Tinggi  Penguasa Dalam Syariat

Penguasa memiliki kedudukan tinggi dan posisi sangat terhormat yang diberikan Syar’i kepadanya sesuai peran, tugas dan tanggung jawab mereka yang sangat besar.
Seusungguhnya manusia hanya dapat diatur dengan kekuatan dan keteguhan seorang imam, Jika syar’i tidak memberikan aturan, maka manusia akan meremehkan dan tidak mentaatinya. Akibatnya malapetaka, anakisme terjadi dimana-mana, kemaslahatan terlewat, urusan dunia kacau dan urusan agam menjadi terlantar.

Imam Badrudiin bin Jamaah dalam Kitab Tahrir al Ahkam fi Tadbir Ahl al-islam menjelaskan :  “ Hak keempat (berkaitan dengan penguasa) yaitu diketahui haknya yang besar, dan kewajiban memuliakan kedudukannya. Ia diperlakukan dengan penghormatan pemuliaan sebgaimana mestinya.” Para ulama berlaku demikian dan memenuhi sruannya serta berzuhud dan tidak menginginkan apa yang dimiliki penguasa. Adalah sikap bukan sunnah, apabila berlaku kurang sopan kepada penguasa.

Uman bin Affan mengatakan : “Apa yang ditahan oleh mimam itu lebih banyak daripada apa yang ditahan oleh  al Qur’an”. Artinya apa yang ditahan lewat jasa penguasa itu lebih banyak daripada yang yang ditahanNya lewat Al Qur’an.

Lebih lanjut Ibnu Manzhur dalam Kitab al Lisan menjelaskan : “Maksudnya bahwa orang yang menahan diri dari melakukan dosa-dosa besar karena takut kepada penguasa adalah lebih banyak daripada yang tertahan melakukan dosa-dosa besar karena takut kepada Al Qur’an dan Allah. Jadi orang yang tertahan melakukan kemaksiyatan karena penguasa itu lebih banyak daripada orang yang tertahan karena Al Qur’an dengan  perintah, larangan dan peringatannya.”

Bentuk Kedudukan Penguasa menurut syariat adalah sebagai berikut :

a.    Allah memerintahkan untuk taat kepad para penguasa. Hal ini dikaitkan dengan taat kepada Allah dan taat kepada Rasul Allah. Ini mencerminkan kedudukan yang sangat tinggi dan besar kedudukan mereka. Al Qur’an  Annisa : 59 : “Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri diantara kamu.” Bentuk ketaatan ini  terikat dengan syarat, yaitu tidak  menyuruh bermaksiyak kepada Allah Ta’ala.

b.      Hadist riwayat Abu Hurairah menjelaskan rasulullah bersabda :”Barangsiapa memuliakan penguasa, maka Allah akan memuliakannya. Sebaliknya, barangsiapa menghinakannya, maka Allah menghinakannya”. Lebih lanjut penulis kitab menjelaskan, siapa yang lancing terhadap penguasa lalu menghinakannya dengan ucapan dan perbuatan, berarti ia telah melanggar ketentuan Allah  dan melakukan larangan yang keji. Sanksi hokum yang diterimanya adalah Allah akan membalasnya dengan menghinakannya, dan balasanNya itu lebih besar dan lebih dashyat. Sebaliknya orang yang memuliakan penguasa dengan memlihara hak-haknya dan kewajibannya dan tidak keluar dari perintahnya dalam kebajikan maka ia memperoleh balasan yang setimpal yakni Allah akan memuliakannya di dunia dengan mengangkat derajatnya dan menundukkan hati manusia untuk memuliakannya, serta memuliakannya di akhirat dengan masuk ke syurga. Hal ini sebagaimana sabda rasulullah yang diriwiyatkan Abu Bakhrah dalam kitab As Sunnah (II/492)karya Ibnu Abi Ashim, rasulullah bersabda : ”Barangsiapa memuliakan penguasa Allah, maka Allah memuliakannya pada Hari Kiamat.”

c.      Penguasa adalah naungan Allah Allah Ta’ala di muka bumi.  Hal ini diucapkan oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah seperti Ibnu Abi Zamanain dalam kitab Ushul as-Sunnah, as Sakhawi dalam al-Maqashid al-Hasanah. Yang rajih adalah pendapat Ibnu Abi Ashim dalam as Sunnah : ”Penguasa adalah naungan Allah di Muka Bumi. Barasngsiapa memuliakannya, maka Allah memuliakannya, dan barangsiapa menghinakannya, maka Allah menghinakannya.”
Makna penguasa adalah nauangan Allah dimuka bumi maknanya, lewat penguasalah Allah menghilangkan gangguan dari manusia, seperti naungan melindungi manusia dari terik matahari. Dalam redaksi lain dimaknai : untuk member tahu kepada manusia bahwa itu adalah naungan yang tidak seperti nauangan lainnya. Karena ia lebih bear, lebih tinggi dan lebih banyak manfaatnya.

d.   Syar’i melarang mencaci maki penguasa. Anas mengatakan : ”Para senior kami dari kalangan sahabat nabi melarang kami. Mereka mengatakan : Janganlah mencaci maki para pemimpin kalian.” Al Manawi dalam Kitab Faidh al Qadir :” Allah menjadikan penguasa sebagai penolong makhlukNya, maka kedudukannya dipelihara agar tidak dicaci maki  dan dihina, agar penghormatan kepadanya  mnjadi sebab datangnya karunia Allah dan berlangsungnya pertolongan bagi makhlukNya. Para Salaf telah memperingatkan jangan sampai mendoakan keburukan kepada penguasa, karena itu akan menambah keburukan dan bencana atas kaum muslimin.” Abu Utsman az Zahid dalam Kitab Al Jami’ li Syua’ib al Iman, mengatakan : ”Berilah nasehat kepada penguasa dan senantiasa mendoakan kebaikan untuknya dn lurus dalam ucapan, perbuatan dan keputusannya. Sebab jika mereka baik, maka niscaya manusia menjadi baik karena kebaikan mereka. Jangan sekali-kali kalian mengutuk mereka, karena mereka akan semakin bertambah buruk dan malapetaka yang menimpa kaum muslimin bertambah. Tapi doakanlah semoga mereka bertaubat lalu meninggalkan kejahatan mereka, sehingga bencana akan lenyap dari orang-orang beriman..

e.  Badruddin bin Jamaah mengutip ath-Thurthusi menjelaskan  surat Al Baqarah :251 :”Seandainya Allah tidak menolak keganasan manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.” Makna dari kalimat ini adalah Seandainya Allah tidak mengadakan penguasa di muka bumi yang dapat melindungi yang lemah dari yang kuat, dan membela dari yang teraniaya dari yang menganiaya, niscaya manusia akan menyerang satu sama lain. Hal ini membawa akibat keadaan mereka tidak tertata, kehidupan mereka tidak aman, dan bumi seisinya rusak. Saat menafsiri ayat “Namun Allah mempunyai karunia atas semesta alam “.(Al Baqarah :251) Al Alusi dalam Asy Syuhab al Lami’ah menjelaskan bahwa ayat ini menjelasakan tentang keutamaan penguasa, dan seandainya bukan karenanya niscaya urusan dunia tidak akan stabil.

f.       Satu hal yang disepakati umat islam bahwa urusan agama dan urusan dunia mereka tidak akan dapat berjalan dengan baik tanp adanya imamah atau kepeminpinan. Al Faqih Asy Syafi’I dalam kitab Tahdzib ar Riyasah menjelaskan :” Urusan agama dan dunia menjadi teratur adalah dambaan, dan hal itu tidak dapat terwujud tanpa adanya imam. Seandainya kita tidak mewajibkan imamah, niscaya itu akan menyebabkan perselisihan dan pertumpahan darah yang terus menerus sampai Kiamat datang. Kalau  umat tidak mempunyai pemimpin yang mempunyai otoritas, niscaya mihrab-mihrab dan mimbar-mimbar masjid kosong, jalan terputus, pengadilan sepi, anak yatim terlantar dan Baitul Haram kosong karena tidak ada yang naik haji. Seandainya tidak ada imam, hakim, penguasa dan pejabat maka orang bujang tidak dinikahkan,, manusia akan anarkhis dan saling memangsa.”

g.  Penguasa adalah orang yang paling besar pahalanya, jika berlaku adil. Al-Izz bin Abdussalam berkata :”Imam atau penguasa yang adil adalah yang paling besar pahalanya disbanding manusia yang lain, berdasar kesepakatan seluruh kaum  muslimin. Karena mereka berperan mendatangkan setiap kebajikan yang sempurna dan menolak kemaksiyatan yang kompleks. Jika ia memerintahkan untuk menarik kemashlahatan yang merata dan menolak kerusakan yang umum, maka ia memperoleh pahala sesuai maslahat yang diserukan dan mafsadah yang dicegahnya, walaupun dengan hanya menyerukan satu kalimat.” Rasulullah bersabda dalam HR Bukhari-Muslim : ada tujuh golongan orang yang akan dinaungi Allah dalam naunganNya pada hari yang tiada nanungan kecuali nauanganNya, yaitu imam yang adil…” Al Hafiz dalam kitab Fathul Bahri menjelaskan: “Maksudnya pemimpin tertinggi dan termasuk kategorinya, setiap orang yang menguasai urusan kaum muslimin, lalu ia berlaku adil didalamnya…”. Lebih lanjut Abdusallam menjelaskan  :”mendahulukan pemimpin yang adil dalam hadist diatas, karena ia yang paling utama diantara tujuh golongan dan yang paling tinggi derajatnya. Sebab yang lainnya termasuk dalam naungannya. Juga manfaat amal yang dilakukan lebih merata.”

h.      Kaum Muslimin sepakat bahwa kekuasaan adalah sebaik-baik amal ketaatan sebagaimana dituturkan al-Izz bin Abdussalam dalam al Quwaid. Dan ini merupakan kewajiban agama terbesar. Demikian Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ al fatawa (XXVII-390)

Tidak ada komentar: