Awal hari memasuki
bulan Maret 2012. Masyarakat muslim Indonesia diberikan suatu tontonan yang
kata sebagian orang “sangat menarik dan memotivasi”. Suatu film yang berjudul “Negeri 5 Menara”.
Apalagi, konon kata penulis cerita ini ada kata-kata yang sangat islami man
jadda wajada dan man shabara zhafira. Hal ini telah menyihir masyarakat terutama kaum muslimin untuk
berbondong-bondong membeli novelnya dan beramai-ramai mendatangi berbagai
bioskop di seluruh tanah air. Menurut suatu sumber buku novel Negeri 5
Menara merupakan salah satu penjualan buku terbanyak yang terjual sebanyak
200.000 eksemplar dengan 12 kali dicetak, dan ini merupakan rekor terbanyak
yang diraih salah satu toko buku selama
37 tahun. Tentu dengan kepopuleran Novel ini, Film Negeri 5 Menara merupakan
salah satu film yang akan dinanti-nanti bagi penikmat buku novel. Demikian ghaza18.abatasa.com
menulis. Dibalik kabar yang demikian besar, sebagai seorang muslim tentu akan
megusik hati dan akal sehat. Apakah memang gambaran kebaikan dalam film
tersebut memang fakta atau sekedar gambaran yang penuh kedustaan dan tipu daya?
Apakah simbul-simbul keislaman seperti man jadda wajada dan man shabara zhafira
yang merupakanspenggalansebuah hadist sesuai makna yang dimaksud rasulullah dan
sahabat atau malah jauh menyimpang? Bagaimana seandainya menyampaikan kebaikan
tetapi dengan cara-cara yang melanggar
kaidah syar’i? Dan pertanyaan- pertanyaan panjang lainnya akan muncul, dan
tidak mungkin untuk dituliskan di ruang yang terbatas ini.
Agar kita bisa
memahami ada apa di balik film Negeri 5 Menara ini, ada baiknya kita baca
sinopsisnya, yang diambil dari lintaberita.com :
Inti dan Pesan utama
dari Sinopsis Film ini yaitu sebuah petualangan seorang anak bangsa yang
berlatar belakang sangat sederhana, namun karena keteguhan dan kerja keras, ia
bisa sukses bukan saja di negeri sendiri, namun di tingkat dunia.
Cerita Film Negeri 5
Menara ini bermula dari seseorang bernama Alif. Alif baru saja tamat dari
Pondok Madani. Dia selalu bermimpi, bahwa dirinya bisa menguasai bahasa Arab
dan Inggris, kemudian dia ingin belajar teknologi tinggi di Bandung seperti
Habibie, lalu merantau sampai ke Amerika.
Alif lahir di
pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah
Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan,
bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau
Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi
punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya
ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah
hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok.
Di kelas hari
pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man
jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dia terheran-heran
mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa
Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan
terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.
Dipersatukan oleh
hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari
Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di
bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib
sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia
mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing.
Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu
adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh
Maha Mendengar.
Masih dari Sinopsis
Film Negeri 5 Menara, Alif masih bermimpi bahwa dirinya bisa menguasai bahasa
Arab dan Inggris, kemudian dia ingin belajar teknologi tinggi di Bandung
seperti Habibie, lalu merantau sampai ke Amerika. Maka dari itu selesai dari
Pondok, dengan semangat besar dan menggelegar dia pulang ke Maninjau dan tak
sabar ingin segera kuliah. Namun sahabat karibnya, Randai, meragukan dia mampu
lulus UMPTN. Lalu dia sadar, ada satu hal penting yang dia tidak punya yaitu
ijazah SMA. Bagaimana mungkin mengejar semua cita-cita tinggi tadi tanpa
ijazah?
Terinspirasi
semangat tim dinamit negara Denmark, dia mencoba mendobrak rintangan berat.
Baru saja dia bisa tersenyum, badai masalah menggempurnya silih berganti tanpa
ampun. Alif letih dan mulai bertanya-tanya: “Sampai kapan aku harus teguh
bersabar menghadapi semua cobaan hidup ini?” Hampir saja dia menyerah.
Rupanya “mantra” man
jadda wajada saja tidak cukup sakti dalam memenangkan hidup. Alif teringat
“mantra” kedua yang diajarkan di Pondok Madani: man shabara zhafira. Siapa yang
bersabar akan beruntung. Berbekal kedua mantra itu dia songsong badai hidup
satu persatu. Dan akhirnya siapa mengira jika Fuadi yang anak kampung kini
sudah berhasil meraih impiannya untuk bersekolah dan bekerja di Amerika
Serikat?”
Dari sepenggal sinopsis
cerita Negeri 5 Menara ada beberapa point yang wajib untuk diberi
perhatian khusus.
·
Petualangan anak
yang sederhana, karena kesungguhan dalam usahanya sehingga dapat meraih
kesuksesan tingkat dunia;
·
Seorang santri yang
mempunyai semangat menuntut ilmu syar’i yang tinggi selama di pondok pesantren,
tetapi setelah lulus tingkat aliyah, merubah tujuan menuntut ilmunya di bidang
teknologi dan nanti saat lulus kuliah ingin mencari kerja di Negara amerika
yang kafir;
·
Suatu gambaran
Pondok Pesantren Gontor Jawa Timur yang membuka mata kita bahwa disana telah
menonton sepak bola lewat tv adalah menjadi kebiasaan santri ditengah-tengah
kegiatan rutin menuntut ilmu. Syair-syair sufi ala abunawas menjadi kabiasaan
bagi santri di Pesantern Gontor.
·
Suatu gambaran yang
dianggap ideal oleh sebagian masyarakat muslim, sebagian cendekiawan muslim,
sebagian ustadz, sebagian kyai apabila seorang manusia semenjak kecil telah
menguasai ilmu agama dan tidak ada kekhawatiran terhadap aqidah dan pemahaman
agama yang berkurang, sehingga setelah dewasa harus merelakan diri berhenti
belajar ilmu agama dan menggantikannya dengan ilmu teknologi dengan tujuan
mampu menguasai dunia dan pada akhirnya menguji dirinya bahwa dirinya tidak
akan ada masalah terhadap agamanya meski dirinya berada dinegara kufar seperti
amerika serikat.
Berdasar sinopsis ini telah jelas bahwa misi
yang dibawa oleh penulis cerita adalah sekedar keberhasilan masalah dunia.
Padahal Islam telah menjelaskan bahwa keberhasilan seseorang diukur bukan hanya
dari sisi materi di dunia, melainkan keberhasilan meraih nikmat qubur, selamat
dari hari perhitungan amal, selamat dari melewati shiratal mustaqim dan
terselamatkan dari masuk ke neraka.Kemampuan meraih kekayaan dunia tidak
sejalan dengan kesuksesan meraih keselamatan yang hakiki paska menjalani
kehidupan. Karena keberhasilan meraih harta didunia namun diperoleh dengan cara
yang tidak diridhai Allah maka akan menjadi penghalang untuk meraih
keberhasilan yang hakiki. Lihatlah betapa rasul menjelaskan bahwa harta dan anak
dapat menjadi fitnah untuk beribadah kepada Allah,manusia akan terbebani
terhadap masalah harta saat dihari perhitungan amal pada saat kiamat tiba.
Bahkan rasulullah menegaskan orang miskin masuk syurga lebih cepat 50.000 tahun
dibanding orang kaya akibat pertanyaan tentang harta yang dimiliki. Dengan
demikian suatu gambaran yang sangat fatal bahwa kesungguhan hanya
diorientasikan untuk meraih sesuatu yang bersifat duniawi, sementara urusan
yang yang lebih hakiki tidak lagi menjadi prioritas.Ibarat orang yang mau safar
dalam jangka panjang dan lama tentu persiapannya lebih matang, serius, lebih
banyak pertimbangan dibanding jika sekedar berpergian pendek dan singkat.
Adanya salah tujuan dalam menutut ilmu.
Sebagai seorang muslim dalam setiap ibadahnya tentu ditujukan untuk beribadah
semata mencari ridha Allah. Beribadah untuk mencapai ridha Allah hanya akan
tercapai apabila pelakunya paham tentang ibadah. Sedangkan kepahaman masalah
ibadah hanya diperoleh dengan kemauan dan lurusnya niat menuntut ilmu. Niat
menuntut ilmu yang salah maka tidak hanya merugikan pelakunya juga tidak
menjadi amalan ibadah dihadapan Allah. Maka Islam telah mewajibkan menuntut
ilmu dari sejak dalam kandungan hingga menuju liang lahat. Suatu pandangan yang
sangat salah apabila seorang penuntut ilmu membatasi dirinya hingga tingkat
aliah dan selanjutnya mengejar urusan dunia. Sikap mencukupkan diri, dan
mengakui bahwa sudah cukup ilmu yang didapat sehingga melakukan reorientasi ke
pendidikan non syar’I agar mampu mengikuti perkembangan dunia walau dengan
bekal keislaman dasar yang kuat sehingga tidak akan tergoyahkan oleh gemerlap
dunia adalah keslahan fatal seorang penuntut ilmu. Sebab yang ilmu Allah sangat
luas dan ilmu makhluk seperti manusia sangat sedikit seperti”ujung jarum yang
dicelupkan keair lalu diangkat dan air yang menempel pada ujung jarum itu ilmu
manusia. Padahal ilmu Allah laksana air di samudera yang luas”. Umur manusia
akan habis dan sangat tidak mudah dan tidak mungkin menggapai ilmu llah
tersebut. Alangkah naifnya orang yang berpikiran sudah cukup menggapai ilmu
syar’i maka saatnya untuk menggapai ilmu dunia. Al Ilmu adalah kalamullah dan
qala rasul.Demikian sahabat Umar bin Khatab berkata. Jadi menuntut ilmu inilah
yang akan menjadi ilmu bermanfaat yang akan mengalir pahalanya tatkala
pelakunya meninggal. Karena dengan ilmu ini maka ibadah semakin lurus, ketaatan
semakin baik, ketauhidan semakin kuat. Hal ini tidak akan berlaku pada ilmu
umum.
Kesalahan oreintasi untuk bekerja dan menetap
di negeri kafir seperti Amerika Serikat. Ulama seperti Syaikh Bin Baz telah
menegaskan bahwa menetap atau tinggal di negeri kafir dilarang. Karena banyak
kemudharatan yang timbul dibanding kemanfaatannya dari sisi aqidah maupun
muamalah. Aqidah yang kuatpun akan terkikis karena pengaruh lingkungan, apalagi
yang aqidahnya lemah. Dalam bidang muamalah akan tasyabuh, susah mencari barang
halal, mengikuti system riba dan sebagainya. Kebolehan tinggal di negeri kufar
dan tidak menetap selama hal yang mereka butuhkan didapat ada beberapa syarat
diantaranya : seorang muslim menunutut ilmu umum yang sangat dibutuhkan umat
muslim sementara diantara umat muslim belum ada yang menguasai. Jika seandainya
mencari nafkah, jika dinegeri muslim masih banyak peluang kerja yang oleh
seseorang bisa mencarinya maka dilarang mencari makan di Negara kafir. Dan
inilah yang, justru dalam film tersebut dinafikkan dan tidak dipahami oleh
penulis ceritanya sehingga hakekat muamalah yang sesuai sunnah rasul dibabat
tuntas dengan diganti bolehnya seorang muslim menetap di negeri kafir tanpa
mempertimbangkan aqidah dan muamalahnya. Dan inilah salah satau misi dari film
ini sebenarnya.
Suatu realita yang sangat mengerikan sekaligus
mengherankan. Suatu keanehan pondok pesantren menyediakan televisi bagi
santrinya dan santri leluasa menikmati acara sepakbola. Ulama berpendapat bahwa
acara televisi antara yang baik dengan yang jelek, acaranya Sembilan puluh lima
persen jelek, hanya 5 persen yang baik. Bagaimana suatu fasilitas keburukan
disediakan dalam suatu pondok pesantren yang seharusnya menghindarinya? Hm..
bagaimana jadinya pondok pesantren yang cukup besar jam 2.00 malam santrinya
ramai-ramai nonton bola, sementara amalan sholat lail- yang merupakan shalat
sunnah terbaik- mereka tinggalkan. Allah akan mndengar dan mengabulkan doa
hamba yang bermunajab di 2/3 malam terakhir, namun mereka asyik dengan teriakan
menonton bola.
Demikian juga banyak kitab-kitab ulama yang
seharusnya menjadi rujukan santri, ternyata telah mereka tinggalkan dengan
kitab-kitab ilmu kalam seperti ucapan-ucapan abunawas. Padahal ulama-ulama
menegaskan barang siapa yang mempelajari ilmi kalam maka ia telah sindiq. Ilmu
kalam yang dicampur ajaran sufi telah menggambarkan betapa rusaknya agama dan
pemahaman penghuni pondok pesantren tersebut. Berbagai pemahaman agama telah
mereka serap, takwil-takwil ayat mereka pelajari, pendapat-pendapat filosof
mereka kiblati. Sementara itu justru pendapat rasul dan sahabat telah mereka
tinggalkan. Jadi tidak mengherankan jika apa-apa yang seharusnya diamalakan
menjadi tidak diamalkan. Sebaliknya apa-apa yang tidak dicontohkan oleh rasul
dan sahabat malah mereka dengan sangat semangat diamalkan.
Perkara-Perkara
negatif yang berkaitan dengan menonton film Negeri 5 Menara
Apa-apa yang
dianggap baik oleh penulis dan masyarakat dalam film ini, ternyata jauh lebih
banyak mudharatnya. Jika kebaikannya hanya sekedar untuk memuaskan kebutuhan
syahwat, namum bahaya ysubhatnya jauh lebih besar. Dan ini justru yang sangat
berbahaya karena kita tidak menyadarinya bahwa ini adalah syubhat. Pikiran
anda, cara pandang anda dan sikap anda bahkan perilaku anda akan mengikuti yang
ditampilkan film ini. Akibatnya anda
akan menghilangkan kebaikan – kebaikan yang oleh Allah telah dianugerahkan,
namun anda akan mempertanggungjawabkan kelak di hari pembalasan. Hari dimana,
anak, saudara, harta dan benda tidak lagi mampu menolong.
Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم telah bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan
dimintai pertanggungjawaban pada apa-apa yang dia pimpin.”
Dan sabdanya pula,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً ثُمَّ لَمْ يَحُطْهَا
بِنُصْحِهِ إلا لَمْ يَجِـدْ رَائِحَةَ الْجَنّةَ
“Tidak ada seorang pemimpin pun yang Allâh jadikan dia memimpin
rakyatnya, kemudian ia tidak memimpin dengan penuh bimbingan, kecuali dia tidak
akan mendapatkan (mencium) wanginya surga.”
Beberapa hal negatif yang yang wajib kita
jauhi dari akibat nonton film adalah :
1.
Membuang waktu yang
Allah berikan secara percuma dan tidak melakukan amalan yang mendekatkan diri
kepada Allah
Menonton film adalah satu perbuatan membuang
waktu dengan sia-sia dan merupakan aktivitas yang mendekatkan diri kepada
Allah. Apabila orang yang mengatakan sekedar mencari hiburan dan ingin
mengurangi stress, pendapat ini pun sangat mudah dibantahkan. Menghilangkan
stress bukanlah dengan sesuatu yang bikin tambah stress dengan suara teriakan
dan music, melainkan dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan
cara-cara yang telah dicontohkan rasulullah. Syaikh Fauzan bin Al Fauzan saat
ditanya mengenai hukum menonton sinetron dan sejenisnya menjelaskan :
“Wajib bagi seorang muslim untuk menjaga
waktunya dengan menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat bagi dunia dan
akhiratnya, karena dia bertanggung jawab dengan waktu yang dia habiskan.
Bagaimana dia habiskan waktu tersebut?
Allah ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ
Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang
cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir (Faatir: 37)
Dan di dalam hadits (riwayat At Tirmidzi), seseorang akan
ditanya tentang kehidupannya dan waktu yang dia habiskan.
Menonton sinetron menghabiskan waktu, sehingga tidak
sepantasnya seorang muslim menyibukkan diri menontonnya.
Apabila di dalam sinetron tersebut terdapat
perkara-perkara yang haram, maka menontonnya pun haram seperti: wanita yang
berhias dan bertabarruj (tidak berhijab, menampakkan kecantikannya di hadapan
selain mahram –pent), musik dan nyanyian, dan juga sinetron yang mengandung
ajaran/pemikiran yang rusak, yang jauh dari tuntunan agama dan akhlak yang
mulia. Begitu juga sinetron yang menampilkan perilaku yang tidak tahu malu dan
merusak akhlak. Sinetron semacam ini tidak boleh ditonton.
(Diterjemahkan dari Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Fauzan,
juz 3 nomor 516 untuk blog http://ulamasunnah.wordpress.com)
2.
Membuang harta bukan
untuk kemaslahatan di jalan Allah, melainkan untuk memenuhi tuntutan hawa nafsu
Salah satu talbis iblis terhadap harta yang
dimiliki manusia adalah menggodanya untuk dimanfaatkan atau dibelanjakan bukan
untuk kepentingan jihad fi sabilillah melainkan untuk memenuhi tuntutan hawa
nafsu. Menonton film adalah salah satu bentuk pemborosan harta yang diberikan
oleh Allah Ta’ala, juga salah satu misi musuh-musuh islam agar muslimin
tersibukkan dengan kegiatan yang menjauhkan dari ajaran dan nilai islam. Dengan
nonton film, kegiatan kita shalat kadang ditinggalkan, kesempatan membaca al
qur’an dan hadist terbengkelai, membaca kitab-kitab ulama dan mendatangi
majelis ilmu semakin berat, serta uang terbuang untuk membeli tiket dan
transportasi ke bioskop.
Allah berfirman :
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا
إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS.
Al Isro’ [17]: 26-27). Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah
menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)
3.
Bercampurnya
laki-laki perempuan
Tidak dipungkiri lagi bahwa saat menonton
bioskop antara laki-laki dan perempuan duduk campur baur jadi satu. Bahkan bagi
sebagian orang pacaran dijadikan tempat pacaran atau bentuk zina lainnya.
Demikian juga dengan pemain filmnya. Meski membawa judul-judul agama islam
sekalipun, pemain laki-laki dan perempuan bertemu dan bersentuhan, ngobrol
bareng dan sebagainya. Padahal jelas sekali islam melarang hal yang demikian.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an Surat An Nur 30 :“ Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya: yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS An Nur:30). Allah Juga
memerintahkan agar menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan,meninggalkan
perkara-perkara keji dan kotor yang nampak maupun yang tersembunyi adalah
bersih dan suci. Sementara itu larangan bersentuhan anggota badan laki-laki dan
perempuan bukan mahrom(khalwat) dilarangoleh Rasulullah _ dalam hadits
berikut,“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali
bersama mahramnya.”(Muttafaq alaih).Dan dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad
yang shahih dari Ibnu Umar _ , Rasulullah _ bersabda,“Janganlah seorang
laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah syaitan.”Dan
Rasulullah _ juga bersabda, “Janganlah kalian masuk (mendatangi) kepada para
wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
4.
Menonton
kemaksiyatan yaitu laki-laki menonton artis perempuan dan sebaliknya
Tidak syak lagi bahwa dalam film pasti menampilkan pemain
laki-laki dan perempuan. Pakaian yang dikenakanpun sangat jauh dari apa-a[a
yang telah digariskan syar’i. Keadaan yang demikian tentu saja banyak
menimbulkan berbagai kemaksiyatan. Maka Al alim Syaikh Fauzan dalam Kitabnya al
Muntaqa min fatawa menjelaskan : Apabila di dalam sinetron tersebut terdapat
perkara-perkara yang haram, maka menontonnya pun haram seperti: wanita yang
berhias dan bertabarruj (tidak berhijab, menampakkan kecantikannya di hadapan
selain mahram –pent), musik dan nyanyian, dan juga sinetron yang mengandung
ajaran/pemikiran yang rusak, yang jauh dari tuntunan agama dan akhlak yang
mulia. Begitu juga sinetron yang menampilkan perilaku yang tidak tahu malu dan
merusak akhlak. Sinetron semacam ini tidak boleh ditonton.(Diterjemahkan dari Al Muntaqa
min Fatawa Syaikh Fauzan, juz 3 nomor 516 untuk blog
http://ulamasunnah.wordpress.com)
5.
Melupakan pelakunya
untuk mengerjakan perintah Allah seperti shalat berjamaah
Banyak film-film yang sengaja diputar pada waktu-waktu
kaum muslimin sedang menunaikan shalat wajib seperti waktu shalat dzuhur, waktu
shalat ashar, waktu shalat maghrib dan waktu shalat isya’. Padahal orang muslim
yang dengan sengaja tanpa ada uzur lalu meninggalkan shalat wajib maka akan
Allah akan memberikan azab yang pedih di hari akhir.. Rasulullah bersabda”“Siapa
yang mendengarkan seruan adzan tetapi tidak memenuhinya maka tidak ada shalat
baginya, kecuali karena udzur.” (Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad kuat). Allah
berfirman, “Dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (Al-Baqarah:43), Rasulullah
bersabda: “Kemudian aku mengutus (utusan) kepada orang-orang yang tidak shalat
berjamaah, sehingga aku bakar rumah-rumah mereka.” (Muttafaq Alaih)
6.
Keluar rumah tidak
menutup aurat
Banyak ditemui saat orang
mendatangi bioskop mereka menemui wanita dengan pakaian yang tidak menutup
aurat. Padahal ini jelas-jelas dilarang oleh Allah Ta’ala. Rasulullah bersabda
: “Ada dua golongan penduduk neraka yang sekarang saya belum melihat keduanya,
yaitu: wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok
dan memiringkan kepalanya seperti punuk unta, dimana mereka tidak akan masuk
surga, bahkan mencium baunya pun tidak bisa” (HR Muslim dan Ahmad).
7.
Keluar rumah dengan
tabbaruj(menggunakan wewangian)
Selain wanita yang tidak
menggunakan pakaian yang menutup aurat, pengunjung bioskop bisa dipastikan
memakai wewangian agar menjadi perhatian orang lain. Apalagi di bioskop yang
kelas menengah ketas mereka berlomba memakai perhiasan dan wewangian yang
harganya ratusan ribu hingga jutaan. Padahal rasulullah telah menjelaskan
hukuman wanita yang bertabarujj saat
keluar rumah. Rasulullah bersabda : ”Perempuan yang memakai wewangian, lalu dia
lewat di hadapan laki-laki agar mereka mencium baunya, maka dia adalah pezina.”
pezina.” (Dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahih al-Jami no.
2701).“…janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu” (QS Al-Ahzab [33] : 33).
8.
Mendengarkan suara
musik
Tidak disangkal lagi bahwa tatkala menonton film,
otomatis suara music akan mewarnai adegan film tersebut. Ibarat uang antara
music dan film bagaikan dua sisi yang saling mendukung, sehingga tidak dapat
dihindari telinga penonton akan dimasuki oleh “suara seruling setan” ini.
Padahal ajaran islam telah jelas melarang yang perkara yang satu ini,
sebagaimana yang telah difatwakan oleh ulama khibar sekelas Syaikh Muhamamd bin
Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh DR Shalih
bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Saatdi Tanya mengenai Hukum Mendengarkan Musik
Dan Lagu Serta Mengikuti Sinetron
Pertanyaan
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum mendengarkan musik dan lagu ? Apa hukum menyaksikan sinetron yang di dalamnya terdapat para wanita pesolek ?
Jawaban
Mendengarkan musik dan nyanyian haram dan tidak disangsikan keharamannya. Telah diriwayatkan oleh para sahabat dan salaf shalih bahwa lagu bisa menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam hati. Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan".[Luqman : 6]
Ibnu Mas'ud dalam menafsirkan ayat ini berkata : "Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, yang dimaksudkan adalah lagu".
Penafsiran seorang sahabat merupakan hujjah dan penafsirannya berada di tingkat tiga dalam tafsir, karena pada dasarnya tafsir itu ada tiga. Penafsiran Al-Qur'an dengan ayat Al-Qur'an, Penafsiran Al-Qur'an dengan hadits dan ketiga Penafsiran Al-Qur'an dengan penjelasan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa penafsiran sahabat mempunyai hukum rafa' (dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Namun yang benar adalah bahwa penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa', tetapi memang merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.
Mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan kepada suatu yang diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya.
"Artinya : Akan ada suatu kaum dari umatku menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik".
Maksudnya, menghalalkan zina, khamr, sutera padahal ia adalah lelaki yang tidak boleh menggunakan sutera, dan menghalalkan alat-alat musik. [Hadits Riwayat Bukhari dari hadits Abu Malik Al-Asy'ari atau Abu Amir Al-Asy'ari]
Berdasarkan hal ini saya menyampaikan nasehat kepada para saudaraku sesama muslim agar menghindari mendengarkan musik dan janganlah sampai tertipu oleh beberapa pendapat yang menyatakan halalnya lagu dan alat-alat musik, karena dalil-dalil yang menyebutkan tentang haramnya musik sangat jelas dan pasti. Sedangkan menyaksikan sinetron yang ada wanitanya adalah haram karena bisa menyebabkan fitnah dan terpikat kepada perempuan. Rata-rata setiap sinetron membahayakan, meski tidak ada wanitanya atau wanita tidak melihat kepada pria, karena pada umumnya sinetron adalah membahayakan masyarakat, baik dari sisi prilakunya dan akhlaknya.
Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menjaga kaum muslimin dari keburukannya dan agar memperbaiki pemerintah kaum muslimin, karena kebaikan mereka akan memperbaiki kaum muslimin. Wallahu a'lam.
[Fatawal Mar'ah 1/106]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan Penerbitan Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum mendengarkan musik dan lagu ? Apa hukum menyaksikan sinetron yang di dalamnya terdapat para wanita pesolek ?
Jawaban
Mendengarkan musik dan nyanyian haram dan tidak disangsikan keharamannya. Telah diriwayatkan oleh para sahabat dan salaf shalih bahwa lagu bisa menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam hati. Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan".[Luqman : 6]
Ibnu Mas'ud dalam menafsirkan ayat ini berkata : "Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, yang dimaksudkan adalah lagu".
Penafsiran seorang sahabat merupakan hujjah dan penafsirannya berada di tingkat tiga dalam tafsir, karena pada dasarnya tafsir itu ada tiga. Penafsiran Al-Qur'an dengan ayat Al-Qur'an, Penafsiran Al-Qur'an dengan hadits dan ketiga Penafsiran Al-Qur'an dengan penjelasan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa penafsiran sahabat mempunyai hukum rafa' (dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Namun yang benar adalah bahwa penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa', tetapi memang merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.
Mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan kepada suatu yang diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya.
"Artinya : Akan ada suatu kaum dari umatku menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik".
Maksudnya, menghalalkan zina, khamr, sutera padahal ia adalah lelaki yang tidak boleh menggunakan sutera, dan menghalalkan alat-alat musik. [Hadits Riwayat Bukhari dari hadits Abu Malik Al-Asy'ari atau Abu Amir Al-Asy'ari]
Berdasarkan hal ini saya menyampaikan nasehat kepada para saudaraku sesama muslim agar menghindari mendengarkan musik dan janganlah sampai tertipu oleh beberapa pendapat yang menyatakan halalnya lagu dan alat-alat musik, karena dalil-dalil yang menyebutkan tentang haramnya musik sangat jelas dan pasti. Sedangkan menyaksikan sinetron yang ada wanitanya adalah haram karena bisa menyebabkan fitnah dan terpikat kepada perempuan. Rata-rata setiap sinetron membahayakan, meski tidak ada wanitanya atau wanita tidak melihat kepada pria, karena pada umumnya sinetron adalah membahayakan masyarakat, baik dari sisi prilakunya dan akhlaknya.
Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menjaga kaum muslimin dari keburukannya dan agar memperbaiki pemerintah kaum muslimin, karena kebaikan mereka akan memperbaiki kaum muslimin. Wallahu a'lam.
[Fatawal Mar'ah 1/106]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan Penerbitan Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]
Pertanyaan.
Syaikh DR Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Apa hukum sandiwara Islami, dan nasyid-nasyid yang dinamakn nasyid Islami, yang hal ini dilakukan oleh sebagian pemuda di pusat-pusat hiburan selama musim panas ?
Jawaban
Sandiwara [1], saya katakan tidak boleh karena.
Pertama: Di dalamnya melalaikan orang yang hadir [2] sebab mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang (tertawa) [3]. Sandiwara itu biasanya dimaksudkan untuk hiburan, sehingga melalaikan orang yang menyaksikan. Ini dari satu sisi.
Kedua: Individu-individu yang ditiru, kadang-kadang berasal dari tokoh Islam, seperti sahabat. Hal ini dianggap sebagai sikap meremehkan mereka[4] , baik si pemain merasa atau tidak. Contoh: anak kecil atau seseorang yang sangat tidak pantas, menirukan ulama atau sahabat. Ini tidak boleh. Kalau ada seseorang datang menirukan kamu, berjalan seperti jalanmu, apakah engkau ridha dengan hal ini? Bukankah sikap ini digolongkan sebagai sikap merendahkan terhadap kamu? Walaupun orang yang meniru tersebut bermaksud baik menurut sangkaannya. Tetapi setiap individu tidak akan rela terhadap seseorang yang merendahkan dirinya.
Ketiga: Yang ini sangat berbahaya, sebagian mereka menirukan pribadi kafir seperti Abu Jahal atau Fir'aun dan selain mereka. Dia berbicara dengan pembicaraan yang kufur yang menurut dugaannya dia hendak membantah kekufurannya, atau ingin menjelaskan bagaimana keadaan jahiliyah. Ini adalah tasyabuh (meniru). Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam melarang tasyabuh dengan orang-orang musyrik dan kufur [5] baik meniru (menyerupai) kepribadian maupun perkataannya. Dakwah dengan cara ini dilarang karena tidak ada petunjuk Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam serta bukan dari salafu ash shalih maupun petunjuk kaum muslimin. Model-model sandiwara ini tidak dikenal kecuali dari luar Islam. Masuk kepada kita dengan nama dakwah Islam, dan dianggap sebagai sarana-sarana dakwah. Ini tidak benar karena sarana dakwah adalah tauqifiyah (ittiba'). Cukup dengan yang dibawa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak butuh jalan seperti ini.[6]. Bahwasanya dakwah akan tetap menang dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Tanpa adanya model-model sandiwara ini. Tatkala cara ini (sandiwara) datang tidaklah menampakkan kebaikan kepada manusia sedikitpun, dan tidak bisa mempengaruhinya. Hal itu menunjukkan bahwa cara ini (sandiwara) adalah perkara negatif dan tidak ada faedahnya sedikitpun. Bahkan di dalamnya terdapat hal-hal yang membahayakan.
Lalu jika ada orang yang berkata,'Sesungguhnya Malaikat itu menyerupai bentuk anak Adam.
Kami jawab, 'Malaikat-malaikat itu datang dalam bentuk anak Adam, karena manusia tidak mampu melihat dalam bentuknya yang asli. Ini merupakan kebaikan bagi manusia. Sebab jika malaikat datang dengan bentuk mereka yang sebenarnya, maka manusia tidak akan mampu berbicara dengan mereka dan tidak bisa melihat kepada mereka.[7] Para malaikat tatkala menyerupai bentuk manusia tidak bermaksud bermain sandiwara sebagaimana yang mereka inginkan. Malaikat itu menyerupai manusia dalam rangka memperbaiki. Karena malaikat mempunyai bentuk sendiri yang berbeda dari manusia. Adapun manusia maka bagaimana bentuk seseorang itu berubah kepada bentuk manusia yang lain. Apa yang mendorong kepada perubahan ini?
[Disalin dari kitab Al-Ajwibatu Al-Mufidah An-As’illah Al-Manahij Al-Jadidah, Edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, Pengumpul Risalah Abu Abdillah Jamal bin Farihah Al-Haritsi, Penerbit Yayasan Al-Madinah, Penerjemah Muhaimin]
__________
Foote Note
[1]. Syaikh Bakar Abu Zaid berkata dalam kitabnya At-Tamtsil,'Keberadaan sandiwara awalnya adalah bentuk peribadahan non-Islam. Sebagian ahlu ilmi menguatkan, bahwa inti sandiwara itu adalah bagian dari syiar-syiar peribadahan penyembah berhala di Yunani.(Hal 18).
Syaikh Al-Islam berkata dalam kitabnya Iqtidha Sirath Al-Mustaqim (191/ cet. Darul Hadits) tentang apa yang dikerjakan kaum Nashara pada hari raya mereka yang disebut ’Hari rayanya orang-orang yang berkepala udang” (id asy-Sya’anin): ”Mereka keluar pada hari raya dengan membawa daun zaitun dan sejenisnya, dan mereka menyangka sikapdemikian itu menyerupai apa yang ada pada Al-Masih ’Alaiahis Sallam. Hal ini telah dinukil oleh Syaikh Bakar Abu Zaid dalam At-Tamtsil. Syaikh Bakar mengisyaratkan tentang hal itu dalam
9.
Film adalah
bentuk-bentuk perbuatan bohong baik dari pemainnya, sekenarionya, jalan
ceritanya, propertinya , dll.
Tidak diragukan lagi bahwa
gambaran singkat dari suatu kisah panjang merupakan bentuk-bentuk manipulasi.
Manipulasi dalam suatu film antara lain dari peristiwanya, pemainnya, jalan
ceritanya hingga property yang dipakai. Peristiwa singkat tidaklah bisa
mewakili peristiwa yang panjang. Pemeran filan tidak mampu mewakili sifat
pelaku aslinya, jalan cerita pandek tidak mampu mewakili jalan cerita panjang.
Realita fakta di lapangan tidak bisa diwakili dengan property buatan atau
pengganti. Dari sinilah muncul berbagi manipulasi yang ada unsur dusta atau
bohong.
Allah berfirman dalam Qs.
Adz_Dzaaruyaat:10 “Terkutuklah orang yang banyak berdusta”, Qs. Ali Imran 161:
“Kemudian marilah kita bermuhasabah agar laknat Allah ditimpakan kepada
orang-orang yang dusta.” Rasulullah bersabda :”Sesungguhnya kedustaan
menjerumuskan kepada Kejahatan, kejahatan itu akan menjerumuskan kepada neraka,
Seorang yang biasa berdusta maka disisi Allah ia akan dicap sebagai
pendusta”(mutafaqun alaih). Rasulullah bersabda :”Orang yang pura-pura merasa
punya sesuatu yang tidak ia punya, seperti orang yang mengenakan dua pakaian
dusta.”(HR. Muslim).
10. Mempengaruhi hati menjadi sakit dan mati
Karena dalam sebuah film mengandung berbagai kemaksiyatan
baik yang berupa syahwat maupun syubhat, maka tak ayal lagi hati kita akan
semakin terkotori. Akibatnya, hati kita semakin susah untuk menerima kebenaran,
diajak berbuat kebaikan dan mengerjakan berbagai amalan shalih. Jika sudah
demikian, maka yang terjadi hati kita condong kepada kemaksiyatan dan doa kita
akan terhalang untuk dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Padahal, manusia yang
selamat adalah manusia yang hatinya sehat. Dan Allah Ta’ala hanya akan menerima
orang-orang yang mempunyai hati yang sehat, sebagaimana firmanNya “Artinya
: Adalah hari yang mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang
yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat." [Asy-Syu'ara : 88-89]
Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat, keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dari setiap syubhat, ketidakjelasan yang menyeleweng dari kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . Ubudiyahnya murni kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala . Iradahnya, mahabbahnya, inabahnya, ikhbatnya, khasyyahnya, roja'nya, dan amalnya, semuanya lillah, karenaNya. Jika ia mencintai, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ini saja tidak dirasa cukup. Sehingga ia benar-benar terbebas dari sikap tunduk dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hatinya telah terikat kepadanya dengan ikatan yang kuat untuk menjadikannya sebagai satu-satunya panutan, dalam perkataan dan perbuatan. Ia tidak akan berani bersikap lancang, mendahuluinya dalam hal aqidah, perkataan atau pun perbuatan. ["Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf", Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, Imam Ghazali. Pentahqiq: Dr. Ahmad Farid. Penerjemah: Imtihan Asy-Syafi'i. Editor: Abu Fatiah Al Adnani . Penerbit: Pustaka Arafah, Solo. Cetakan Pertama: Februari 2001/Dzul Qa'dah 1421 H, hal.22-24]
Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat, keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dari setiap syubhat, ketidakjelasan yang menyeleweng dari kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . Ubudiyahnya murni kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala . Iradahnya, mahabbahnya, inabahnya, ikhbatnya, khasyyahnya, roja'nya, dan amalnya, semuanya lillah, karenaNya. Jika ia mencintai, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ini saja tidak dirasa cukup. Sehingga ia benar-benar terbebas dari sikap tunduk dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hatinya telah terikat kepadanya dengan ikatan yang kuat untuk menjadikannya sebagai satu-satunya panutan, dalam perkataan dan perbuatan. Ia tidak akan berani bersikap lancang, mendahuluinya dalam hal aqidah, perkataan atau pun perbuatan. ["Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf", Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, Imam Ghazali. Pentahqiq: Dr. Ahmad Farid. Penerjemah: Imtihan Asy-Syafi'i. Editor: Abu Fatiah Al Adnani . Penerbit: Pustaka Arafah, Solo. Cetakan Pertama: Februari 2001/Dzul Qa'dah 1421 H, hal.22-24]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar