25 Mei 2010

AL WALLA’ WAL BARRA’ *)


KARYA : SYAIKH BIN BAZ

1. Al Walla’ Wal Barra’ adalah Kecintaan orang mu’min kepada orang mu’min lainnya dan membenci (sikap tegas kepada orang kafir) serta pelepasan diri kepada agama orang kafir.
Dalil Al Qur’an dalam Surat Al Fatehah pada kalimat “La Illa ha Ila Llah” adalah bentuk pensikapan yang loyal kepada Allah Ta’ala. Sifat yang demikian ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahin yang berlepas diri dari sesembahan bapaknya.”Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaummnya.”Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah, tetapi aku beribadah kepada Dzat yang telah menciptakanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” (Qs. Az Zukhruf : 26-27)
2. Sikap tegas kepada kaum kufar bukan berarti bersikap tegas dengan cara mendhzalimi secara berlebihan, apalagi mereka tidak memusuhi kepada orang islam, Mereka dibenci karena kekafirannya dan dijadikan mereka sebagai sahabat karib. Mesti hati kita membenci tetapi tidak boleh menyakiti, memudharatkan, terlebih mendhzalimi. “Janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab dengan cara yang kurang baik kecuali yang mendhzalimi kamu.” (QS. Al Ankabuut:46)
3. Orang Islam dengan orang kufar terikat dengan perjanjian-perjanjian. Salah satu adalah visa bagi orang kufar luar negeri yang datang ke Indonesia. Mereka tidak boleh di ganggu, di lecehkan atau di dhzalimi di Indonesia. Jika berdebat dengan mereka dilarang seorang mu’min melecehkan agama mereka. Berdebat dengan akhlak yang mulia dengan mengajak ke jalan Allah, semoga Allah memberikan jalan kepada mereka kepada jalan orang yang benar. Maka tiada halangan bagi mereka untuk berbuat baik agar masuk Islam . “Allah tiada melarang kamu berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Seseungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS. Al Muntaha :8). Jadi dalam berhubungan dengan kaum kufar, seorang mu’min harus adil, baik dan jujur. Tidak boleh menipu, mengurangi timbangan, dicuri hartanya, dan dimusuhi fisiknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah memerintahkan kepada Asma’ Bin Abu Hakim untuk menyambung silaturahmi kepada ibunya yang masih kafir, dan diperintahkan untuk mendoakan (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim)
4. Sikap Barra’ kepada orang kafir bagi seorang muslim, dilarang secara berlebihan lembutnya sehingga tanpa disadari mengikuti gerakan mereka (tasyabuh) seperti mengikuti acara pada hari besar mereka, acara tahun baru masehi, gaya hidup (seperti ulang tahun kelahiran). Kesemuanya itu didasari dalil toleransi, saling menghormati, hingga ucapan semua agama baik. Allah berfirman : “Akan dijadikan hina dan kerdil siapa yang menyerupai suatu kaum, maka akan digiring menuju neraka dan dimasukkan ke dalam neraka bersama kaum yang diserupai”. Bentuk penyerupaan (tasyabuh) meliputi : a) mengikuti acara mereka (natalan,paskah, kuningan, dll), b) Menyerupai dengan agama sendiri : Ada tahun baru masehi, maka ada tahun baru islam, ada lagu-lagu gereja ada lagu-lagu nasyid.
Ibnu Hajar Asqolani dalam Kitab fathul Barii menjelaskan bahwa seorang mu’mim disamakan dengan kaum kafir adalah dimatikan, dibangkitkan, digiring menuju neraka dan dimasukkan kedalam neraka bersama-sama dengan orang yang ditasyabuhi. Bagi orang mu’min karena ada nialai tauhidnya maka akan diangkat ke syurga, sedang orang yang kafir karena tidak ada tauhidnya maka akan kekal di neraka.
Berkaitan dengan hari raya ini, cukup menarik untuk mengambil pelajaran tentang turunnya Surat Al Maidah ayat 3. Seorang Yahudi menghadap Umar Ibnu Khattab sambil berkata :”Seandainya aku tahu turunnya ayat tersebut maka akan aku jadikan hari itu sebagai hari raya Yahudi.” Umar Ibnu Khattab menjawab : ” Aku lebih paham kapan dan bagaimana ayat ini turun.” Dan Umarpun tidak menjadikan hari trunnya ayat tersebut sebagai hari raya. Umar tidak mau tasyabuh terhadap Yahudi.
Dalam hadist yang sahih baik yang tercantum dalam Bukhari atau Muslim menunjukkan bahwa hari raya umat Islam hanya ada 3 waktu yaitu : Hari Jum’at, Hari Raya Iedul Fithri, Harai Raya Iedul Adha. Jadi sangat aneh bagi muslim di Indonesia yang menisbatkan diri pada pengikut Mazhad Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa Hari Kelahiran Rasulullah yang dikenal dengan Maulid termasuk hari raya umat Islam. Padahal tiada satupun dalam kitab-kitab Imam Syafi’i yang membolehkan adanya peringatan Maulid.
Salah satu bentuk kesempurnaan ketauhidan seorang muslim adalah kejelasan walla’ wa barra’. Pemahaman dan pengamalan ini harus ditanamamkan semenjak dini pada anak, istri, suami dalam keluarga. Fakta telah menunjukkan bahwa pemahaman walla’ dan barra’ ini telah salah di dunia pendidikan kita, termasuk yang berlabel sekolah islam. Suatu renungan bagi orang tua : pernahkah kita tanyakan kepada anak kita berapa jumlah hari raya umat Islam? Jawabannya hampir semuanya banyak. Ada maulid nabi, tahun baru islam, isra’ mi’roj, nuzulul qur’an, nifsu sya’ban. Padah Hadist sdhahih Cuma ada 3. Masihkah kita membiarkan kejahilan pemahaman tersebut kepada anak kita?
Hasil dari pendidikan di negeri ini adalah generasi plinplan yang tidak punya kejelasan sikap walla’ wal barra’.
Imam ada 73 cabang, paling tinggi adalah mengucapkan kalimat “laa illa ha illa llah.” Paling rendah menghilangkan penghalang di jalan. Nah ini merupakan hadist yang sahih. Tetapi perlu menjadi perenungan yang serius bagi seorang muslim, mengapa suatu kegiatan yang tasyabuh kepada kaum kafir harus melanggar sunnah rasul yang mulia ini, sebagaimana acara peringatan-peringatan yang tiada dituntunkan rasulullah dan sahabat, pernikahan dengan dangdutan dll, harus dilaksanakan dengan menutup jalan sehingga mengurangi akses untuk jalan seseorang.
Malu adalah bagian dari Imam. (HR Bukhari-Muslim). Rasa malu kini telah hilang disebagian kaum muslim. Fakta menunjukkan bagaimana banyak diantara sesama muslim sendiri yang begitu mesra- jauh lebih mesra dibanding istrinya sendiri- dan berihthilat bukan dengan mahromnya. “Jika hilang rasa malumu, berbuatlah sesuka hatimu.” (HR Muslim)
Demikian juga dengan syubhat pemikiran bahwa mengapa kita berjuang tidak dengan siyasah dan jihad. Jawabannya : cabang imam yang paling rendah saja belum dipahami, mengapa harus berjuang yang terlalu tinggi. Jihad adalah perjuangan yang agung dan perlu strategi yang tinggi. Pengalaman shabat dulu dapat jadi ibrah. Bagimana peperangan antara sahabat Ali dengan Muawiyah, Ali dengan ‘Aisyah, dimana mereka itu ahlul hadistpun terkena fitnah. Nah, bagaimana dengan kita yang kurang paham akan hadist mengatasnamakan yang demikian? Siyasah adalah masalah yang besar dan perlu pemahaman yang mendalam.

*)Disampaikan dalam kajian ilmiyah tematik oleh Ustadz Abdurrahman Ayyub, Di Mushola Al Muhlisin Perum Arinda II Pondok Aren, 19-05-2010

Diringkas : Abu Nada Syifa’ untuk : Rausanulqalbu.blogspot.com

Tidak ada komentar: