Berapa umur kita sekarang? Berapa usia kita ketika mulai kena beban syariat? Mungkin sudah belasan tahun bahkan puluhan tahun kita mengenal Islam dan melaksanakan ajarannya. Tetapi pernahkah kita berfikir, apakah ibadah kita ini sudah benar sesuai dengan contoh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah cara kita ber-Islam sudah sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya? Sudahkah kita ber-Islam dengan tata cara dan urutan yang benar ?
Apa yang kita tahu tentang Islam? Terkadang, di antara kaum muslimin, ketika di tanya apa itu Islam mereka kebingungan menjawab. Ya…Islam ya… kayak itu lah. Islam itu agama yang paling benar, agama yang paling di ridhai Allah, di bawa oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, dan jawaban-jawaban lainnya. Ada juga yang menyebutkan rukun Islam ketika ditanya apa itu Islam. Ya, mereka tidak sepenuhnya salah, tapi yang dimaksud si penanya dengan Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepada-Nya dengan segala ketaatan/ kepatuhan, serta melepaskan diri dari segala bentuk syirik dan pelaku syirik. Ketika di beri tahu mengenai hal ini malah yang ditanya kebingungan, kok dia tidak pernah mendengar mengenai hal ini.
Ada juga, ketika salah seorang muslim sujud dalam shalatnya dengan menghamparkan tangannya kelantai (tangan sampai siku menempel di lantai), ia ditegur temannya dan memberi tahu bahwa hal itu tidak boleh; dia malah kebingungan. Bahkan tidak percaya, karena shalat selama puluhan tahun baru sekarang ini ada yang menegur dan mengatakan perbuatan itu dilarang.
Banyak contoh yang dapat dikemukan, tapi kita mencukupkan itu saja. Sebagian kaum muslimin di dalam beribadah terkadang tidak membekali dirinya dengan ilmu mengenai ibadah tersebut terlebih dahulu. Selain merasa tidak penting, mereka juga beranggapan bahwa belajar hanya akan membuang waktu dan tenaga. Ngapain belajar segala, kalau mau sholat lihat saja orang yang sedang sholat, kemudian kita contoh. Beres, selesai, simple kan? Tidak usah belajar, makan waktu, tenaga dan biaya.
Hal ini sangat memprihatinkan. Terkadang kita tahu ilmu tentang sesuatu sampai sedetil-detilnya, tapi untuk permasalahan agama yang hubungannya dengan akhirat kita tidak tahu sama sekali, walaupun hal itu kita lakukan setiap hari!! Kita ambil contoh, ada orang yang bisa mempelajari masalah komputer sampai sedetil-detilnya, tapi tidak tahu bagaimana cara wudhu yang benar. Padahal setiap sholat harus berwudhu, lalu bagaimana dengan sholat-nya?
Saudaraku, Ilmu sebelum beramal sangat penting. Kita harus mengilmui apa yang kita amalkan. Karena kalau tidak, salah-salah kita akan terjerumus kepada bid’ah ataupun kesyirikan. Bid’ah lebih disenangi syetan ketimbang maksiat, karena orang yang berbuat maksiat sadar/merasa dirinya berbuat maksiat dan ada harapan untuk bertaubat, sedangkan pelaku bid’ah merasa bahwa dirinya sedang beribadah kepada Allah, jadi harapan untuk bertaubat dari bid’ahnya sangat kecil, sebab ia tidak merasa berbuat salah. Adapun syirik merupakan dosa besar yang paling besar yang pelakunya tidak akan diampuni kalau mati dengan membawa dosa syirik tersebut (pelakunya mati sebelum bertobat). Dan dia akan kekal di dalam neraka. Na’udzubillah.
Saking pentingnya mengenai ilmu ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk menuntut ilmu :
“Menuntut Ilmu adalah wajib atas setiap muslim’. (HR.Bukhari)
Imam Ahmad –rahimahullah- pernah mengungkapakn :
“Manusia amat membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan dalam sehari satu atau dua kali , sedang ilmu di butuhkan setiap saat.”
Imam Bukhari-rahimahullah- dalam kitab shahihnya menulis:
“Bab Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan”.
Dalilnya adalah firman Allah:
“Artinya : Maka ketahuilah bahwa tidak ada illah yang berhak di sembah kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu”. (QS. Muhammad : 19)
Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin-rahimahullah-menjelaskan bahwa : “Imam Bukhari berdalil dengan ayat ini untuk menunjukan wajibnya mempunyai ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Ini dalil yang tepat menunjukan bahwa manusia hendaknya mengetahui terlebih dahulu , baru kemudian mengamalkannya.
Ada juga dalil aqli yang menunjukkan hal serupa, yaitu bahwa amal dan ucapan tidak akan benar dan diterima sehingga sesuai dengan syariat. Seseorang tidak akan tahu apakah amalnya sesuai dengan syariat atau tidak kecuali dengan ilmu. Tetapi ada beberapa hal yang manusia bisa mengetahuinya secara fitrah, seperti pengetahuan bahwa Allah adalah satu-satunya sesembahan, sebab yang demikian itu sudah menjadi fitrah manusia, karena itulah tidak perlu bersusah payah untuk mempelajari bahwa Allah itu Esa. Adapun masalah-masalah juz’iyah yang beragam perlu untuk di pelajari dan memerlukan usaha keras”.
Secara akal sehat, pernyataan Imam Bukhari tersebut memang benar dan logis. Kita ambil contoh, misalnya dalam ilmu dunia, bagaimana seseorang dapat menulis kalau ia belum pernah belajar menulis. Demikian juga untuk permasalahaan akhirat, bagaimana mungkin seseorang dapat menegakan sholat dengan benar, padahal ia belum belajar bagaimana tata cara sholat yang benar yang sesuai tuntunan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana bisa bewudhu dengan benar, sedang dia tidak pernah mau belajar berwudhu yang benar. Bukankah orang yang mau belajar pasti lebih tahu dan lebih benar tata caranya daripada orang yang tidak pernah belajar?
Keutamaan Ilmu :
Keutamaan menuntut ilmu sangat banyak sekali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “Buah Ilmu” menyampaikan kepada kita sampai 129 sisi keutamaan ilmu!! Tentunya sangat tidak mungkin kalau ditulis semuanya disini. Di antara keutamaan menuntut ilmu adalah :
”Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar : 9)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS.Al-Mujadilah : 11)
“Barangsiapa berjalan di satu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalan menuju Jannah. Dan sesungguhnya malaikat meletakan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu tanda ridha dengan yang dia perbuat. (Dari Hadist yang panjang riwayat Muslim).
“Barangsiapa keluar dalam rangka thalabul ilmu (mencari ilmu), maka dia berada dalam sabilillah hingga kembali.” (HR. Tirmidzi, hasan)
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu , maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah akan pahamkan dia dalam (masalah) dien (agama).” (HR.Bukhari)
Ilmu yang dipelajari
Apakah yang dimaksud dengan ilmu pada ayat dan hadist diatas? Apakah seluruh ilmu? Yang dimaksud di situ adalah ilmu nafi’, yaitu ilmu yang bermanfaat, yang akan mewariskan kebaikan dan berkah kepada penuntutnya, baik di dunia ataupun di akhirat. Karenanya itu yang patut dituntut dan di usahakan untuk meraih adalah ilmu syar’i yang dengannya amal akan menjadi baik dan benar.
Ilmu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ijma sahabat.
Apakah kita harus mempelajari semua ilmu yang ada? Tentunya tidak. Semua orang di lahirkan dengan kemudahaan yang berbeda-beda. Kalau semuanya akan dituntut, sampai akhir hayatpun tidak semuanya dapat dipelajari, karena ilmu adalah samudera yang maha luas.
Apa yang mesti kita pelajari terlebih dahulu?
Pertama, Kitabullah
Ilmu yang pertama serta utama sekaligus sebagai dasar, sumber dan pedoman yang agung bagi ilmu-ilmu lain adalah Al-Qur’an. Marilah Al-Qur’an kita baca, kita pelajari isinya dan kita amalkan apa yang terkandung di dalamnya.
Kedua, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Yaitu setiap apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasSallam apakah itu ucapan, perbuatan, atau persetujuan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita pelajari dan kita laksanakan perintah-perintahnya dan kita tinggalkan larangan-larangannya. Kita juga berkewajiban mencontoh Nabi, karena beliau adalah suri tauladan yang terbaik bagi kita.
Terkadang ayat-ayat Al-Qur’an belum dapat dipahami secara langsung, dan hanya bisa dipahami dan diamalkan dengan petunjuk dari Sunnah nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya perintah sholat, di Al-Qur’an tidak ada penjelasan bagaimana tata cara sholat, dengan mempelajari Sunnahnya kita dapat mengetahui tata cara sholat yang diperintahkan.
Ketiga, Aqidah atau Ilmu tauhid
Ilmu ini memiliki kedudukan yang tinggi. Kebutuhan kita yang paling mendesak saat ini adalah mempelajari aqidah islamiyah. Jadikanlah mempelajari aqidah sebagai prioritas utama. Karena sekarang ini syirik merajalela, dimana-mana, hampir tidak pernah sunyi dari kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya. Pelajarilah dengan sebenar-benarnya, agar diri kita tidak terkena noda syirik. Bukankah syarat pertama diterimanya amal adalah bertauhid kepada Allah, tidak melakukan kesyirikan?
Keempat, ilmu tafsir
Dengan ilmu tafsir, kita dapat memahami ayat-ayat yang sulit, yang belum kita pahami secara langsung dari Al-Qur’an. Dalam kitab tafsir dijelaskan tafsir ayat dengan ayat, tafsir ayat dengan hadist. Namun perlu diperhatikan, pelajarilah kitab tafsir yang penulisnya memiliki aqidah yang shahihah dan komitmen terhadap hadist-hadist yang shahih.
Kelima, ilmu fiqh
Ilmu ini berhubungan erat dengan pelaksanaan ibadah, syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Sungguh-sungguhlah menuntut ilmu ini, karena apabila tidak dipelajari secara benar, maka ibadah yang kita lakukan sia-sia. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui tata cara peribadatan. Tentunya tidak harus semua kita tahu, bagi kita minimal mengetahui apa-apa yang selalu kita kerjakan sehari-hari, seperti thaharah (bersuci), shalat, puasa dan yang lainnya. Pelajarilah ilmu-ilmu tersebut sesuai kemampuan kita. Prioritaskanlah yang harus di prioritaskan. Dahulukan mana yang harus di dahulukan. Pelajarilah yang merupakan wajib a’in bagi kita.
Metode menuntut ilmu :
Menuntut ilmu dapat dengan berbagai metode, asal saja hal tersebut tidak dilarang oleh syariat. Di antara metode yang dapat di gunakan adalah :
(a) Hadir dalam majelis-majelis ilmu/taklim
Tentunya kita harus memperhatikan apa yang dikaji dan siapa pematerinya (yang memberi kajian) karena mungkin yang di ajarkannya hal yang tidak berguna bagi kita, bahkan dapat merusak diri dan dien (agama) kita. Apakah yang diajarkannya memang diperlukan oleh kita dan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist yang shahih. Siapa pengajarnya ? Apakah orang tersebut sudah terkenal konsisten dengan agama yang benar bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah yang shahih berdasarkan pemahaman salafush shalih (orang-orang terdahulu/sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) Jangan sampai kita belajar kepada ahli bid’ah dan pelaku syirik. Karena bukan ilmu yang akan kita dapat, namun kebinasaan yang akan kita peroleh.
(b) Membaca kitab-kitab/buku yang bermanfaat
Apabila kita bisa berbahasa arab, kita baca kitab-kitab para ulama. Namun apabila tidak, kita dapat membaca buku terjemahan yang bagus. Namun jangan semua buku dibaca, kita juga harus selektif. Siapa penulisnya dan bagaimana keadaan penerjemahnya, apakah ia amanah dalam menerjemahkan atau tidak. Jangan semua buku kita baca, hanya buku yang shahih saja yang kita konsumsi.
(c) Mendengarkan kaset-kaset ceramah
Alhamdulillah, telah beredar di kalangan kita kaset-kaset yang berisi pelajaran-pelajaran yang bermanfaat. Kita dapat mengambil ilmu dengan mendengarkan kaset tersebut. Tentu saja kita harus selektif juga dalam memilih kaset-kaset ceramah yang kita dengarkan.
(d) Meminta fatwa
Kita dapat meminta fatwa kepada ulama atau ustadz yang terpercaya mengenai permasalahan yang kita hadapi. Bisa lewat telpon, email, atau datang langsung.
(e) Dan metode-metode lain yang tidak bertentangan dengan syariat.
Prinsip-prinsip dalam pengambilan ilmu :
Dalam mengambil ilmu kita perlu memperhatikan kaidah-kaidah pengambilan ilmu, diantaranya (sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Nasr Abdul Karim Al-‘Aql) :
1. Sumber ilmu adalah kitab Allah (Al-Qur’an), sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dan ijma’ para salaf yang shaleh.
2. Setiap sunnah shahih yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib di terima, sekalipun tidak mutawatir atau ahad (hadist yang di riwayatkan oleh seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya bukan dalam jumlah yang terhitung).
3. Yang menjadi rujukan dalam memahami Kitab dan Sunnah adalah nash-nash (teks Al-Qur’an atau hadist) yang menjelaskannya, pemahaman para salaf yang shaleh dan para imam yang mengikuti jejak mereka serta di lihat arti yang benar dari bahasa Arab. Namun jika hal tersebut sudah benar maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang hanya berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.
4. Prinsip-prinsip utama dalam agama (ushuluddin) semua telah dijelaskan oleh nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapapun tidak berhak mengadakan hal baru, yang tidak ada sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut termasuk bagian dari agama.
5. Berserah diri dan patuh hanya kepada Allah dan Rasul-Nya lahir dan batin. Tidak menolak sesuatu dari kitab atau Sunnah yang shahih, baik dengan analogi, perasaan, kasf (illuminasi, atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang syeikh ataupun imam-imam dan lain-lainnya.
6. Dalil akli yang benar akan sesuai dengan dalil nakli (nash) yang shahih. Sesuatu yang qath’i (pasti) dari kedua dalil itu tidak akan bertentangan. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara kedua dalil itu, maka dalil nakli (nash) harus di dahulukan.
7. Wajib untuk senantiasa menggunakan bahasa agama dalam aqidah dan menjauhi bahasa bid’ah (yang bertentangan dengan sunnah). Bahasa umum yang mengandung pengertian yang salah dan yang benar perlu di pertanyakan lebih lanjut mengenai pengertian yang dimaksud. Apabila yang dimaksud adalah pengertian yang benar maka perlu disebutkan dengan menggunakan bahasa agama (syar’i). Tetapi bila yang dimaksud adalah pengertian yang salah maka harus ditolak.
8. Rasulullah hallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ma’sum (dipelihara Allah dari kesalahan), dan umat Islam secara keseluruhan dijauhkan Allah dari kesepakatan atas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorangpun dari kita yang ma’sum. Jika ada perbedaan pendapat diantara para imam atau yang selain mereka maka perkara tersebut di kembalikan ke Kitab dan Sunnah, dengan memaafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa dia adalah orang yang berijtihad. Serta tanda baik dari Allah, asal dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat dan tidak menjadi sumber aqidah maupun hukum.
9. Berdebat untuk menimbulkan keraguan dalam agama adalah perbuatan tercela. Tetapi berdebat dengan cara yang baik untuk mencari kebenaran disyariatkan. Perkara yang dilarang oleh nash untuk mendalaminya wajib diterima dan wajib menahan diri untuk mendalami sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh seorang muslim. Seorang muslim harus menyerahkan pengetahuan tersebut kepada Yang Maha Mengetahui, yakni Allah Subhanahu Wata’ala.
10. Kaum muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) Al Qur’an dan Sunnah dalam menyampaikan sanggahan, dalam aqidah dan dalam menjelaskan suatu masalah. Karena itu bid’ah tidak boleh dibalas dengan bid’ah lagi, kekurangan di lawan dengan berlebih-lebihan, atau sebaliknya.
11. Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya dalam agama adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan dalam neraka.
Penutup
Marilah kita mulai sekarang untuk memperbaharui cara kita beragama, memperbaharui amalan-amalan kita dengan mengilmui dahulu baru kemudian mengamalkan. Tidak asal dalam beribadah, karena nantinya hanya capek dan lelah yang kita dapatkan. Beribadah ada cara dan tuntunannya, dan itu hanya bisa diketahui dengan berilmu dahulu. Jangan sampai kita terkena hadist :
“Artinya : Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang mengada-adakan dalam urusan kami yang bukan dari-Nya maka tertolak.”
Dalam riwayat lain :
“Artinya : Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada padanya urusan kami maka tertolak.”
Marilah kita jadikan “Ilmu sebelum berucap dan beramal” sebagai slogan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar