POKOK-POKOK SEGALA KEBAIKAN DUNIA
15 Februari 2010
Oleh Syaikh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim
Saudaraku tercinta…
Pokok-pokok segala kebaikan adalah engkau mengetahui bahwa apa saja yang dikehendaki oleh Allah, niscaya akan terwujud dan apa saja yang tidak dikehendaki oleh-Nya, niscaya tidak akan pernah terwujud, sehingga yakinlah pada saat ini bahwa segala kebaikan adalah karunia dari-Nya, maka kita dapat mensyukuri-Nya dan tunduk kepada-Nya dengan harapan semoga kebaikan tersebut tidak pernah terhenti darimu. Adapun kejelekan adalah siksaan dari-Nya, maka berdo’alah agar engkau terhalang darinya dan berdo’alah agar Allah tidak menyerahkanmu kepada dirimu sendiri dalam melakukan kebaikan dan juga meninggalkan kejelekan.[1]
Ketika Ibrahim bin Ad-ham ditanya, “Bagaimana keadaanmu?” Beliau menjawab:
Kita menambal dunia kita dengan menyobek-nyobek agama,
akhirnya agama tidak tersisa dan tidak ada dunia yang tertambal.
Kebahagiaanlah bagi orang yang lebih menghadap Allah sebagai Rabb-nya,
dan berderma dengan dunia untuk hari yang akan datang.
Sesungguhnya di antara tanda-tanda cinta kepada dunia adalah mencintai ahli dunia (orang kaya), menjilat mereka, saling mencintai, dan tidak mengingkari terhadap kemunkaran mereka. Sufyan ats-Tsauri memperkuat ungkapan tersebut dengan perkataan-nya, “Sungguh aku mengetahui seseorang mencintai dunia dari penyerahan dirinya kepada penduduk dunia.”[2]
Lihatlah seorang fakir yang shalih dan selalu menjaga kehormatannya… orang yang mencintai dunia sama sekali tidak mau berbicara dengannya. Bahkan jika mengucapkan salam pun, dia mengucapkannya dengan salam yang penuh dengan rasa takut bahwa kefakirannya akan menular kepadanya… sebuah salam yang hanya diucapkan dengan ujung jari dan pertanyaan akan keadaannya pun diucapkan dengan muka yang masam tanpa adab.
Wahai saudaraku! Lihatlah ke sebelah kanan bagaimana mereka semua berdiri? Mereka semua menyambut siapa yang datang? Ternyata yang datang adalah penduduk dunia, orang kaya, yaitu orang-orang yang penuh dengan dinar dan dirham… walaupun kenyataannya mereka sama sekali tidak shalat.
Bahkan mungkin saja telinga mereka tuli, hidung mereka tersumbat, dan perbuatan mereka sangat buruk. Akan tetapi lihatlah perbedaan antara orang yang jika bersumpah kepada Allah, maka keinginannya itu akan dikabulkan, kenapa mereka tidak menanyakannya jika dia tidak ada atau sebaliknya? Bandingkanlah ia dengan seseorang yang sama sekali tidak sebanding dengan satu sayap lalat pun disisi Allah, bagaimana mereka semua menyambutnya? Itulah dunia….
Ketahuilah sesungguhnya dunia itu tidak kekal dan manusia hanyalah berita bagi mereka yang hidup setelahnya.
‘Abdullah bin ‘Aun berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kita menyempatkan kehidupannya untuk dunia dengan sisa hidupnya untuk akhirat, sedangkan kalian menyempatkan kehidupan kalian untuk akhirat dengan sisa hidup kalian untuk dunia.”[3]
Saudaraku sesama muslim!
Sesungguhnya umur dunia itu sangatlah pendek dan orang yang paling kaya di dalamnya adalah orang yang fakir. Aku melihatmu seakan-akan berada di halaman kematian, bau pengasingan telah kucium sebelum engkau melakukan perjalanan. Aku melihat tanda keyatiman pada diri seorang anak sebelum ayahnya meninggal, karena itu bangunlah dari lingkaran kelalaian! Berhati-hatilah dari sikap mabuk terhadap dunia dan hilangkanlah kecintaan akan dunia pada dirimu, karena seorang hamba jika me-mejamkan matanya dan pergi, maka dia akan mengharapkan untuk kembali. Lalu dikatakan kepadanya, “Sama sekali tidak mungkin.”[4]
Suatu hari dalam kehidupan manusia dunia itu akan pergi, sedangkan akhirat akan datang… sesuatu yang sebelumnya jauh akan menjadi dekat… dan sesuatu yang engkau lihat dari orang-orang yang telah pergi meninggalkan dunia akan dilihat pula oleh orang yang hidup dalam dirimu sendiri… kematian yang tiba-tiba atau penyakit yang menyerang… atau engkau berada di atas tempat tidur, dan tak lama kemudian engkau dalam kelalaian dibawa ke kuburan… semuanya adalah pelajaran yang dapat disaksikan, sedangkan kita tertidur.
Celakalah bagi orang yang mencari dunia fana,
padahal apa yang dia lakukan seakan-akan hanyalah mimpi.
Yang jernih darinya keruh, yang indah darinya mencelakakan,
yang aman darinya adalah tipuan dan cahayanya adalah kegelapan.
Masa mudanya adalah tua, kesenangannya adalah sebuah kesengsaraan,
kenikmatannya adalah sebuah kesengsaraan dan adanya adalah sebuah ketiadaan.
Ahli dunia tidak akan sadar dari kekerasannya,
walaupun dia memiliki apa yang dikumpulkan oleh Iram (suatu bangsa).
Tinggalkanlah ia dan janganlah engkau condong kepada kemegahannya,
karena sesungguhnya ia adalah sebuah kenikmatan di balik kesengsaraan.
Dan bekerjalah engkau untuk sebuah alam kenik-matan yang tidak ada akhir,
tidak akan ada mati dan masa tua yang ditakuti di dalamnya.[5]
Abu Hazim berkata, “Barangsiapa yang mengenal dunia, niscaya dia tidak akan senang dengan kemegahan yang ada di dalamnya dan tidak akan bersedih dengan bencana yang ada di dalamnya.”
‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Siapa yang menyatukan enam hal dalam dirinya, berarti dia tidak meninggalkan satu jalan pun menuju Surga dan satu pintu pun untuk lari dari Neraka.
(1) Orang yang mengenal Allah dan mentaati-Nya,
(2) Orang yang mengenal syaitan dan menjauhinya,
(3) Orang yang mengenal kebenaran dan mengikutinya,
(4) Orang yang mengenal kebathilan dan menjaga diri darinya,
(5) Orang yang mengenal dunia dan menolaknya, dan
(6) Orang yang mengenal akhirat dan mencarinya.”[6]
Berbaik sangka terhadap hari-hari adalah sesuatu yang melemahkan,
maka berburuk sangkalah kepadanya dan tumbuhkanlah rasa takut.
Hal ini -saudaraku yang mulia- sebagaimana yang diungkapkan oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, beliau berkata, “Masuk ke dalam dunia sangatlah mudah sedangkan keluar darinya sangatlah dahsyat (sulit).” [7]
Keluar dari dunia adalah sebuah hembusan nafas yang dapat terhenti… beberapa saat yang sangat sulit… pada waktu itu ruh dicabut dengan satu kali cabutan, walaupun untuk sebagian orang keluarnya (ruh) itu mudah, maka sesungguhnya lari di belakang dunia dan terengah-engah di belakang kehidupan yang materialitis akan menimbulkan hati yang tercabik-cabik dan menjadikan hati tersebut dipenuhi dengan kegalauan juga kegoncangan jiwa.
Aku melihat dunia di tangan orang-orang yang mendapatkannya,
semakin banyak dunia itu, maka semakin banyak pula kecemasannya.
Ia menghinakan orang yang memuliakannya dengan nilai nol,
dan memuliakan orang yang menghinakannya.
Jika engkau tidak membutuhkan sesuatu, maka ting-galkanlah ia,
dan ambillah sebanyak yang engkau butuhkan.[8]
Saudaraku tercinta…
Jadilah kalian termasuk anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak-anak dunia (tamak terhadapnya), karena sesungguhnya anak akan selalu mengikuti ke mana ibunya pergi. Sedangkan dunia sama sekali tidak sebanding dengan ayunan langkahmu sedikit pun, maka bagaimana engkau bisa berlari di belakangnya?[9]
Gibaskanlah tanganmu dari dunia dan penghuninya
karena bumi telah digali dan banyak orang yang telah mati.[10]
Isteri Hubaib bin Muhammad berkata, “Dia (Hubaib) berkata, ‘Jika aku mati hari ini, maka bawalah aku kepada si fulan agar dia yang memandikanku, lakukanlah hal ini dan buatlah ini.’” Lalu isterinya ditanya, “Apakah hal tersebut merupakan mimpi?” Dia menjawab, “Itu adalah perkataannya setiap hari.”[11]
Saudaraku… . Jika semua orang selalu membutuhkan dunia, maka engkau harus merasa butuh kepada Allah. Jika mereka berbahagia dengan dunia, maka engkau harus berbahagia dengan beribadah kepada Allah. Jika mereka merasa senang dengan orang yang mereka cintai, maka engkau harus merasa senang bersama Allah. Dan jika mereka selalu mendekati raja-raja dan para pembesar mereka serta mendekat kepada mereka agar mendapatkan kedudukan dan kemuliaan, maka kenalilah dan mendekatlah engkau kepada Allah, niscaya engkau akan mendapatkan puncak dari kemuliaan dan kedudukan.[12]
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah di dalam khutbahnya berkata, “Setiap perjalanan membutuhkan bekal, maka bekalilah diri kalian dengan ketakwaan untuk perjalanan dari dunia menuju akhirat. Jadilah seperti orang yang benar-benar diancam dengan siksa Allah sehingga kalian merasa takut dan berharap. Dan janganlah merasakan tenggang waktu yang masih panjang sehingga hati menjadi keras dan akhirnya kalian tunduk kepada musuh, karena sesungguhnya panjang angan-angan diperuntukkan bagi orang yang tidak tahu bahwa dia tidak akan menemukan waktu sore ketika dia berada di waktu pagi, dan bagi orang yang tidak tahu bahwa dia tidak akan menemukan waktu pagi ketika dia ada di waktu sore, padahal kematian sebenarnya telah ditetapkan baginya waktu itu. Ketenangan hanyalah didapatkan oleh orang yang meyakini bahwa dirinya akan selamat dari siksa Allah dan keadaan yang menakutkan pada hari Kiamat. Adapun orang yang tidak mengobati dirinya dari penyakit dunia, maka setiap kali dia tertimpa sesuatu bencana, niscaya dia akan mendapatkan luka dari arah lainnya. Jika demikian, bagaimana dia bisa tenang? Aku berlindung kepada Allah dari sikap memerintahkan kalian dengan sesuatu yang dilarang kepada diriku sendiri yang akhirnya diriku akan merugi dan tampaklah kemiskinan diri ini pada suatu hari, yang tidak berharga pada hari itu kecuali kebenaran dan kejujuran.”[13]
Wahai yang lalai akan kematian dan yang telah tertipu dengan angan-angan,
engkau akan meninggalkan sesuatu yang sedikit.
Engkau ingin menyusul mereka tanpa bekal yang engkau persembahkan,
sesungguhnya orang-orang fakir ketika mereka bersiap siaga akan sampai kepada yang diinginkannya.
Janganlah engkau condong kepada dunia dan kemegahannya,
karena sesungguhnya engkau akan meninggalkan dunia yang fana.
Engkau berharap besok akan tiba kemudian setelah besok,
dan banyak sekali orang yang memiliki dasar dikhianati oleh angan-angan.
Inilah masa mudamu yang keindahannya telah pergi,
tidak ada lagi setelah masa mudamu, tidak ada per-mainan dan juga perdebatan.
Bagaimana kamu berhujjah dengan dunia sedang-kan dia telah menebarkan kesehatan, bagi penghuninya sedangkan di dalamnya adalah penyakit.[14]
Muhammad bin Abi ‘Imran berkata, “Aku mendengar Hatim al-‘Asham ditanya oleh seseorang, ‘Atas dasar apa Anda bertawakkal dalam masalah ini?’ beliau menjawab, ‘Atas empat hal: aku tahu bahwa rizkiku tidak akan dimakan oleh seseorang, karena itu hatiku tenang. Aku tahu bahwa amalku tidak akan pernah dilakukan oleh seseorang, karena itu aku sibuk dengannya. Aku tahu bahwa kematian akan datang dengan tiba-tiba, karena itu aku mempersiapkannya. Dan aku tahu bahwa aku selalu ada di dalam pengawasan Allah, karena itu aku malu kepada-Nya.’”
Orang yang pergi ke timur dan barat menyangka bahwa orang asing,
walaupun mereka mulia sebenarnya mereka adalah hina.
Lalu aku menjawab mereka, sesungguhnya orang asing jika bertakwa,
bagaikan penunggang yang pergi dengan mulia.[15]
‘Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Wahai manusia! Persiapkanlah diri kalian untuk kehidupan akhirat, taatilah Allah sesuai dengan kebutuhanmu kepada-Nya, dan bencilah Allah sesuai dengan kesabaranmu di dalam Neraka. ”
Mahasuci Engkau ya Allah, Rabb kami, aku sama sekali tidak dapat menghitung pujian untuk-Mu, Engkau sesuai dengan yang Engkau puji atas diri-Mu, kami berbuat maksiat karena kebodohan kami dan Engkau memaafkan kami dengan kasih sayang-Mu.
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menggambarkan kehidupan seorang mukmin di dunia ini dengan ungkapannya, “Seorang mukmin di dunia berada dalam keadaan cemas dan sedih… yang ada dalam benaknya hanyalah bekal di perjalanan. Siapa saja yang berada di dunia dengan hati seperti itu, maka tidak ada yang menyibukkannya kecuali menyiapkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya ketika kembali ke negeri asalnya. Dia tidak akan pernah ingin berlomba dengan penduduk asli yang asing baginya dalam mendapatkan kedudukan (kemuliaan), tidak pula merasa takut dengan kedudukan yang rendah di hadapan mereka.”[16]
Sesungguhnya dunia adalah alam yang fana,
sama sekali tidak akan kekal.
Sesungguhnya dunia itu hanya bagaikan rumah,
yang dianyam oleh laba-laba.[17]
Wahib bin al-Ward rahimahullah berkata, “Jagalah dirimu dari sikap mencela iblis secara terang-terangan di hadapan orang lain, sedangkan engkau adalah temannya ketika menyendiri.”
Inilah iblis dan jiwa yang selalu memerintahkan keburukan dan hawa nafsu, semuanya telah melabuhkan kapal-kapalnya untuk menghalangi seorang muslim dari agamanya dan menghiasinya dengan kesulitan, mereka semua bekerja di dunia ini hanya untuk menghalangi seorang muslim dari kebenaran dan menghiasinya dengan kemaksiatan.
[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir] Disalin ulang dari http://www.almanhaj.or.id/content/2530/slash/0
__________
Footnotes
[1]. Al-Fawaa-id, hal. 127.
[2]. Hilyatul Auliyaa’ (VII/37).
[3]. Shifatush Shafwah (III/101).
[4]. ‘Iddatush Shaabiriin, hal. 329
[5]. Mukaasyafatul Quluub, hal. 329.
[6]. Al-Ihyaa’ (III/221).
[7]. Ibid (III/224).
[8]. Ibid (II/344).
[9]. Al-Fawaa-id, hal. 68.
[10]. Syadzaraatudz Dzahab (III/388).
[11]. Shifatush Shafwah (III/320).
[12]. Al-Fawaa-id, hal. 152.
[13]. Al-Bidaayah wan Nihaayah (IX/283).
[14]. At-Tabshirah (I/49).
[15]. Syadzaraatudz Dzahab (VI/349).
[16]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, hal. 379.
[17]. Asy-Syaafi’i, hal. 54.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar