27 April 2010

Cinta Rasul; Hakikat dan Konsekuensinya

Cinta Rasul; Hakikat dan Konsekuensinya
Oleh Ustadz Afifi Abdul Wadud
Hukum Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632)
Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah- atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.
Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.
Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb,sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah a ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).
Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).
Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pahala Bagi Orang yang Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan suatu ibadah yang amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan dia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara dalil-dalil tersebut:
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hari kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385]).
Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya di surga kelak?
Hakikat Cinta pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ragam Manusia di Dalamnya
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beberapa potret cinta para sahabat kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ada perkara yang amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu: bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?, bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wasallam? Apa saja yang harus direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah mencintai Nabi n? Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.
Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
1. Golongan tengah, yaitu ahlussunnah
2. Golongan yang meremehkan
3. Golongan yang berlebih-lebihan (ghuluw)
1. Golongan Tengah
Yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, karena salafush shalih adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533])
Mereka adalah generasi yang tahu bagaimana mewujudka cinta yang benar dan bagaimana menunaikan hak-hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallamsubhanahu wa ta’ala sesudah kematian, dan diberikan hidayah sesudah kesesatan. Semua hati berada di dalam kegelapan, kecuali hati yang disinari oleh cahaya risalah dan kenabian beliau. memiliki hak yang sangat besar atas umatnya. Karena beliau adalah sebab kita dihidupkan Allah
Pertama adalah meyakini bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala, dan beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan
Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).
Sehingga wajib membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
Dan wajib pula baginya beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).
Dan Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setingkat dengan syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)
Kedua setelah meyakini kenabian beliau adalah mencintai beliau, cinta yang benar-benar tumbuh dari hati yang suci
Bahkan wajib hukumnya untuk mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi cinta kita kepada orang tua, anak, istri, bahkan seluruh manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sehingga dia mencintaiku melebihi daripada cintanya kepada orang tua, anak, bahkan manusia seluruhnya”. (HR. Bukhari bab Hubbur rasuul shallallahu ‘alaihi wasallam minal iimaan)
Di antara tanda kebenaran cinta seseorang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keinginan mereka untuk dapat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti sabda beliau di dalam shahih Muslim:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ {مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِي لِي حُبًّا نَاسٌ يَكُونُونَ بَعْدِي يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِي بِأَهْلِهِ وَمَالِه}
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang paling cinta kepadaku di antara umatku adalah orang-orang yang hidup sesudahku, di mana salah seorang di antara mereka ingin melihatku walau harus mengorbankan keluarga dan harta benda.” (HR. Muslim bab Fii man yawaddu ru’yatan nabiyyi shallallahu ‘alaihi wasallam)
Kalau kita mau merenungkan sejenak, bagaimana kecintaan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada beliau, niscaya akan kita dapatkan suatu kenyataan yang sangat mengagumkan sekali, di mana salah seorang di antara mereka tidak dapat tidur nyenyak hanya untuk menunggu waktu shalat subuh sehingga dia dapat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Suatu contoh yang lain, di mana salah seorang di antara mereka rela mengorbankan jiwa dan raganya, menghadapi kilatan pedang dan tombak, hanya untuk melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, salah seorang di antara mereka berkata:
“Wahai Rasulullah! Dadaku adalah tameng bagi dadamu, begitu juga leherku adalah tameng bagi lehermu.” (HR. Bukhari 3811, Muslim 1811)
Di dalam shahih Bukhari terdapat kisah Khubaib bin Abdillah Al-Anshary yang ditawan oleh kaum musyrikin, ketika hendak membunuhnya, mereka berkata:
“Bagaimana menurutmu, apabila engkau bebas dan berada di antara harta dan keluargamu, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada pada posisimu saat ini? Maka dia pun berkata: lebih baik saya mati, daripada harus melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertusuk walau oleh sebuah duri.” (HR. Bukhari 3045, Thobroni di dalam Al-Mu’jamul Kabir)
Beginilah cinta sejati kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beginilah para salaf mencintai Rasulullah. Salah seorang di antara mereka, apabila teringat Rasulullah maka mata mereka akan berlinang air mata. Di antara mereka ada yang berwudu’ sebelum menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan ada yang memerintahkan untuk diam ketika dibacakan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana mereka diam ketika mendengarkan ayat-ayat Allah.
Ketiga adalah meyakini bahwa tidak ada kebahagiaan dan tidak ada kebaikan, melainkan hanya dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Semua jalan menuju Allah tertutup, kecuali jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wahai hamba Allah! Apakah engkau menginginkan hidayah? Sesungguhnya engkau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan ikutilah dia (Rasulullah) agar kalian mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-A’raaf: 158)
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
“Dan apabila kalian mengikutinya (Muhammad) maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” (An-Nur: 54)
Apakah engkau menginginkan cinta dan ampunan Allah subhanahu wa ta’ala? Maka simaklah firman Allah berikut ini:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31)
Apakah engkau menginginkan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala? Renungkanlah firman Allah berikut ini:
وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ( آل عمران :32)
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad) agar kalian diberikan rahmat.” (QS. Ali ‘Imran: 132)
Apakah engkau menginginkan kehidupan yang hakiki? Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberikan kehidupan kepadamu.” (QS. Al-Anfaal: 24)
Jadi, pada hakikatnya setiap mausia adalah mati, kecuali apabila Allah azza wa jalla menghidupkanmu dengan mengikuti Rasulullah.
Keempat adalah bersegera memenuhi seruan beliau, dan langsung mentaati perintahnya
Allah berfirman di dalam al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberikan kehidupan kepadamu.” (QS. Al-Anfaal: 24)
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ “Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman, apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka hanyalah ‘Kami mendengar, dan kami taat’.” (QS. An-Nur: 51)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Apakah engkau benar-benar cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Apakah engkau benar-benar yakin bahwa hidayah hanya akan engkau dapatkan dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Kalau begitu, buktikan kebenaran tersebut dengan perbuatanmu. Apabila engkau mendengar perintah atau larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka katakanlah “Kami dengar dan kami taati wahai Rasulullah.” Kalau ada yang mengatakan kepadamu: “Demi Allah saya mencintaimu”, dan dia selalu mengulangi perkataan tersebut siang malam, akan tetapi ketika engkau membutuhkan bantuannya, sedikit pun dia tidak mau membantu, apakah engkau akan katakan bahwa dia sungguh-sungguh di dalam ucapannya atau justru engkau akan mengatakan orang ini pembohong? Tidak diragukan lagi kamu pasti akan mengatakan dia seorang pembohong.
Mari kita berkelana sejenak untuk melihat bagaimana ketaatan para salafus shalih terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat, kemudian beliau berdiri di atas mimbar dan berkata kepada para sahabat: “duduklah kalian.” Pada waktu itu Abdullah bin Mas’ud datang terlambat ke masjid, namun ketika beliau hendak masuk ke dalam masjid beliau mendengar perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, lantas beliau pun duduk di luar masjid dan tidak melangkah masuk ke dalam masjid. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat beliau, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata: “Majulah wahai Abdullah, semoga Allah azza wa jalla menambahkan ketaatanmu kepada Allah dan kepada Rasul.” HR. Abu Daud bab “Al-Imam yukallimur rajula fii khuthbatihi” Di dalam shahih Muslim disebutkan:
Dari Abu Hurairah beliau berkata: “Pada hari Khaibar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan bendera kepada Ali bin Abi Thalib, dan beliau pun berkata kepadanya: “Berjalanlah engkau sampai Allah azza wa jalla memberikan kemenangan atasmu, dan janganlah engkau memalingkan mukamu.”
Maka ketika beliau ingin menanyakan suatu pertanyaan yang sangat penting sekali, beliau pun berteriak dengan suara yang lantang, tanpa berpaling ke belakang:
Maka beliau pun berdiri dan berteriak tanpa berpaling, wahai Rasulullah! Atas dasar apa aku memerangi mereka? Maka dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “perangilah mereka sampai mereka bersaksi tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah azza wa jalla, dan bahwa aku adalah utusan Allah azza wa jalla.” (HR. Muslim 2405)
Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat Abdullah bin Amr bin ‘Ash mengenakan pakaian yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau belum mengetahui larangan tersebut, akan tetapi beliau melihat ketidaksukaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari raut wajah beliau, maka dia pun segera menuju rumah dan menanggalkan pakaian tersebut lantas membakarnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat Abdullah bin Umar memakai pakaian yang melebihi mata kaki (isbal), maka beliau pun berkata: “Angkatlah sarungmu.” HR. Muslim bab “Tahrim jarris staubi khuyala’” Maka beliau pun langsung mengangkat sarungnya tanpa menunda-nunda sedikit pun.
Cobalah engkau bayangkan seakan-akan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadamu: “Wahai fulan bin fulan, lakukanlah pekerjaan ini, atau tinggalkanlah perbuatan ini.” Apakah engkau akan langsung mematuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Atau engkau justru berkata: “Tidak ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, saya tidak bisa, karena ini sudah tidak sesuai dengan zaman, saya minta maaf.”
Dan tidak ketinggalan, para shahabiyyat pun mempunyai bagian yang tak kalah besarnya di dalam ketaatan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah duduk di antara para sahabat yang terbunuh dan terluka pada waktu perang Uhud, beliau melihat seorang wanita berlari menuju sahabat yang terbunuh, maka beliau pun berkata: “Cegahlah wanita itu, cegahlah wanita itu.” Maka berkatalah Zubair bin ‘Awwam: “Ketika itu, terbetiklah di dalam pikiranku bahwa wanita itu adalah ibuku Shafiyyah binti Abdil Muththalib, maka aku pun berusaha mencegahnya, akan tetapi dia memukulku dan menyingkirkanku, maka aku pun berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarangmu untuk pergi.” Maka dia pun berhenti dan memberikan kain kafan seraya berkata: “Pergilah engkau, dan kafanilah Hamzah.” (HR. Ahmad). Coba kita lihat bagaimana seorang wanita patuh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, walau pun dia merasakan kesedihan yang sangat dalam ketika kehilangan saudara laki-lakinya. Saudaraku! Beginilah kondisi para salafus shalih di dalam ketaatan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan begini pulalah seharusnya kita bersikap terhadap perintah dan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Dan sudah dijadikan kehinaan dan kerendahan atas mereka yang menyelisihiku.” (HR. Bukhari di dalam bab “Maa qiila fi ar-rimaah“)
Berapa banyak kita menyaksikan manusia hidup dengan kondisi yang sangat buruk, dan sangat memprihatinkan, mereka berusaha mencari pekerjaan tapi tidak berhasil, masalah selalu timbul di dalam keluarganya, segala sesuatu selalu dia rasakan sangat sulit, dan dia pun berkata: “Ya Rabb! Kenapa aku selalu mendapatkan cobaan ini?” Cobalah engkau mengoreksi dirimu, mungkin cobaan ini datang karena engkau selalu menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah azza wa jalla berfirman:
(وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلا ً
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit kedua tangan mereka, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul.” (QS. Al-Furqon: 27)
Manusia apabila menyesali apa yang telah terjadi terkadang dia akan menggigit jarinya, di dalam ayat ini Allah azza wa jalla tidak mengatakan mereka menggigit satu jari, tidak juga satu tangan akan tetapi mereka menggigit kedua tangan mereka, kenapa? Karena dahulu mereka tidak menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tuntunan, karena mereka tidak mau mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi sungguh penyesalan mereka tiada bermanfaat.
Bukan itu saja, sesungguhnya mereka yang menyelisihi sunnah, atau sengaja menyelisihi sunnah, mereka terancam akan mendapatkan hukuman, tidak hanya di akhirat tetapi mereka pun terancam mendapatkan hukuman di dunia sebelum hukuman di akhirat. Diriwayatkan di dalam shahih Muslim bahwa seorang laki-laki makan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tangan kirinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menegurnya seraya berkata: “makanlah dengan tangan kanan.” Orang tersebut berkata: “Saya tidak bisa.” Maka Rasulullah pun berkata seraya mendoakan atas orang tersebut:
“Semoga kamu tidak bisa (mengangkat tanganmu lagi), tidak ada yang menghalangimu melainkan sikap sombong.” Perawi hadits ini mengatakan: “Maka setelah itu, dia tidak bisa lagi mengangkat tangan ke mulutnya.” (HR. Muslim 2021)
Allah azza wa jalla memberikan hukuman kepada orang tersebut hanya karena dia berpaling dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wahai saudaraku! Sesungguhnya permasalahannya bukanlah mobil, harta, bangunan yang apabila engkau suka dapat engkau ambil, akan tetapi permasalahannya adalah antara surga dan neraka. Ini adalah permasalahan yang sangat berbahaya sekali. Kalau engkau menginginkan surga, maka jalan menuju surga terbuka lebar, jalan menuju surga adalah dengan mengikuti sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan memenuhi secara sempurna semua perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, apabila engkau justru memilih jalan lain, jalan menuju neraka, maka semua terserah kepadamu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Mereka bertanya: “siapa yang enggan wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Siapa yang taat kepadaku, akan masuk surga, dan siapa yang tidak taat kepadaku, akan masuk neraka.” (HR. Bukhari 7280)
Kelima adalah merasa cukup dengan sunnah yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa menambahkan sesuatu (yang tidak diajarkan) ke dalamnya
Siapa yang benar-benar mengikuti Nabi, sesungguhnya dia pasti akan meyakini bahwa tidak ada satu pun jalan yang dapat mendekatkan kita kepada Allah, melainkan telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kenapa kita harus menambah-nambah? Kenapa kita harus berbuat bid’ah? Coba kita renungkan kisah berikut ini! Pada suatu hari Said bin Musayyib (seorang tokoh dari kalangan tabi’in) -sesudah adzan subuh- melihat seorang laki-laki shalat dua rakaat kemudian salam, lalu dia kembali mengulangi shalat dua rakaat kemudian salam, dan begitu seterusnya, maka Said bin Musayyib pun berkata kepadanya: “Jangan engkau lakukan hal yang demikian!” Maka orang tersebut pun berkata: “Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah azza wa jalla akan mengazabku karena aku shalat?” Ketika kita menegur seseorang ketika ia melakukan suatu perkara bid’ah, seperti dzikir berjamaah, dan maulid Nabi, mereka justru berkata: “Apakah Allah azza wa jalla akan mengazabku karena ibadah ini?” Coba kita renungkan jawaban Said bin Musayyib yang menggambarkan kesungguhan di dalam mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: “Tidak, Allah tidak akan mengazabmu karena shalat, akan tetapi engkau akan mendapatkan azab karena engkau menyelisihi sunnah.” Demi Allah, sesungguhnya perbuatan bid’ah tidak akan menjadikan engkau melainkan akan semakin jauh dari Allah azza wa jalla. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Amma ba’du: sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk, adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang tidak mempunyai landasan syar’i, karena setiap perkara tersebut adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)
Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Keenam adalah termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya
Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah [III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, [2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-361]).
2. Golongan yang Meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Adalah orang-orang yang lalai dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah disebutkan di atas.
Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallamshallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari. sudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau .
Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallamshallallahu ‘alaihi wasallam adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10). dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad
Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa diterapkan di segala zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru, yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wasallamshallallahu ‘alaihi wasallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien. adalah ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah
Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam mengukur kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3. Golongan yang Berlebih-lebihan (Ghuluw)
Yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam.Mereka tidak mengindahkan larangan Allah k dan larangan Rasulnya.
“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” (an-Nisa: 171) لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

“Jauhilah sikap berlebih-lebihan,karena yg telah menghancurkan umat-umat sebelum kalian adalah sikap berlebih-lebihan”
Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajat sebagai hamba dan Rasul Allah, menisbatkan kepadanya sebahagian dan sifat-sifat ilahiyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ubudiyah kepada selain Allah.Dan yang dimaksudkan dengan ithra dalam hak Nabi beliau telah melarang hal tersebut dengan sabdanya, “Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (‘Isa,) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Abdullah wa Rasuluh (hamba Allah dan Rasul-Nya)’.” (Muttafaq ‘alaih).
Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara batil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Nashrani terhadap Isa ‘alaihissalam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat ilahiyah. Dengan itu, sifatilah aku sebagaimana Rabbku memberi sifat kepadaku. Maka katakanlah, hamba Allah dan Rasul-Nya.Ketika sebagian sahabat berkata kepada beliau, ‘Engkau adalah sayyid (penghulu) kami!” Spontan Nabi menjawab, “Sayyid (penghulu) kita adalah Allah subhanahu wa ta’ala.” (Hadis Riwayat Abu Daud)Demikian pula ketika mereka mengatakan, “Dan engkau adalah orang yang palirg utama dan paling agung kebaikannya!” Serta merta beliau mengatakan,“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa kalian katakan, atau seperti ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaifan.” (Hadis Riwayat Abu Daud dengan sanad jayyid).
Sebagian orang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah! Wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid (penghulu) kami dan putera penghulu kami!” Maka seketika Nabi bersabda,“Wahai manusia, ucapkanlah dengan ucapan (yang biasa) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh setan! Aku (tak lebih) adalah Muhammad bin Abdullah, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak menyukai kalian menyanjungku di atas darjat yang Allah berikan kepadaku.” (Hadis Riwayat Ahmad dan an-Nasa’i). Beliau membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti, ‘Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.’ Padahal sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak.
Meskipun demikian, beliau melarang mereka dan agar mereka menjauhkan diri dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan darjat paling tiriggi bagi hamba, di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan akidah. Dua sifat itu adalah Abdullah wa Rasuluh (hamba Allah dan Rasul-Nya). Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak suka disanjung lebih dari apa yang Allah berikan dan Allah ridhai.
Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tersebut, sehingga mereka berdoa kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. hal itu sebagaimana dilakukan ketika peringatan maulid Nabi dalam qasidah atau nasyid (nyanyian-nyanyian, di mana mereka tidak membezakan antara hak Allah dengan hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Allamah Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam kasidah nuniyahnya berkata,“Allah inemiliki hak yang tidak dimiliki oleh selain-Nya dan bagi hamba juga ada haknya, ia adalah dua hak (yang berbeda). Maka jangan jadikan dua hak itu sebagai satu hak, tanpa memisahkan dan membezakannya.”
Diantara sikap berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ العَمِمِ …
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)!
Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar…
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,
dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”
(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).
La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Allah semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Di antara amalan yang sering pula dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamadalah merayakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut menyukseskannya.
Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau n? Apakah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it-Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini.
Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.
Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka telah melakukan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka, serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi mengadakan acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ditambah dengan maulid-maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama abad kelima dan abad keenam., kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan taqlid buta.
Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).
Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lainnya? Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka?
Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?
Semoga risalah singkat ini dapat memberikan manfaat bagi kita di dunia dan akhirat, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita orang-orang yang terdepan di dalam mengikuti sunnah dan selalu istiqomah di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Artikel ini merupakan makalah Kajian Umum Cinta Rasul, Hakikat dan Konsekuensinya yang diadakan pada Ahad, 11 Januari 2009 di Masjid An-Nur SMA Negeri 1 Gemolong, Sragen.
Sumber : salafyunpad.orid

Tidak ada komentar: