Hukum Meninggalkan Shalat dengan Sengaja
|
Ulama : Syaikh Ibnu Baz Kategori : Shalat
|
Pertanyaan:
|
Kakak saya tidak melaksanakan shalat, apakah saya
boleh berhubungan dengannya atau tidak? Perlu diketahui bahwa ia hanyalah
kakak saya seayah.
|
Jawaban:
|
Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja
hukumnya kafir, ini berarti ia telah melakukan kekufuran yang besar menurut
pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, yang demikian ini
jika orang tersebut mengakui kewajiban tersebut. Jika ia tidak mengakui
kewajiban tersebut, maka ia kafir menurut seluruh ahlul ilmi, demikian
berdasarkan beberapa sabda Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam-:
|
"Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya
adalah shalat dan puncaknya adalah jihad." (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/231), at-Tirmidzi,
kitab al-Imam (2616), Ibnu Majah, kitab al-Fitan (3973) dengan isnad shahih).
|
"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang
dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya,
kitab al-Iman (82).
|
"Perjanjiang (pembatas) antara kita dengan
mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah
kafir." (Dikeluarkan oleh Imam
Ahmad (5/346) dan para penyusun kitab Sunan dengan isnad shahih, at-Tirmidzi,
kitab al-Iman (2621), An-Nasa'i, kitab ash-Shalah (1/232), Ibnu Majah, kitab
Iqamatus Shalah (1079)).
|
Karena orang yang mengingkari kewajiban shalat
berarti ia mendustakan Allah dan RasulNya serta ijma' ahlul ilmi wal iman,
maka kekufurannya lebih besar daripada yang meninggalkannya karena
meremehkan. Untuk kedua kondisi tersebut, wajib atas para penguasa kaum
Muslimin untuk menyuruh bertaubat kepada orang yang meninggalkan shalat, jika
enggan maka harus dibunuh, hal ini berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan
hal ini. Lain dari itu, selama masa diperintahkan untuk bertaubat, harus
mengasingkan orang yang meninggalkan shalat dan tidak berhubungan dengannya
serta tidak memenuhi undangannya sampai ia bertaubat kepada Allah dari
perbuatannya, namun di samping itu harus tetap menasehatinya dan mengajaknya
kepada kebenaran serta memperingatkannya terhadap akibat-akibat buruk karena
meninggalkan shalat baik dia dunia maupun diakhirat kelak, dengan demikian
diharapkan ia mau bertaubat sehingga Allah menerima taubatnya.
|
Rujukan:
|
Kitab ad-Da'wah, halman 93. Ibnu Baz. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid
1, hal 185-186, penerbit Darul Haq.
|
Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
|
Ulama : Syaikh Ibnu Utsaimin Kategori : Shalat
|
Pertanyaan:
|
Apa yang harus dilakukan oleh seseorang, apabila ia
telah menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat namun mereka tidak
memperdulikannya, apa ia tetap tinggal bersama mereka dan bergaul dengan
mereka atau keluar dari rumah tersebut?
|
Jawaban:
|
Jika keluarganya tidak mau melaksanakan shalat
selamanya, berarti mereka kafir, murtad, keluar dari Islam, maka ia tidak
boleh tinggal bersama mereka. Namun demikian ia wajib mendakwahi mereka dan
terus menerus mengajak mereka, mudah-mudahan Allah memberi mereka petunjuk,
karena orang yang meninggalkan shalat hukumnya kafir berdasarkan dalil dari
al-Kitab dan as-Sunnah serta pendapat para sahabat dan pandangan yang benar.
|
Dalil dari al-Qur'an adalah firman Allah tentang
orang-orang musyrik, "Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan
menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama."
(At-Taubah: 11).
|
Artinya, jika mereka tidak melakukan itu, berarti
mereka bukan-lah saudara-saudara kita. Memang persaudaraan agama tidak gugur
karena perbuatan-perbuatan maksiat walaupun besar, namun persaudaraan itu
akan gugur ketika keluar dari Islam.
|
Dalil dari as-Sunnah adalah sabda Nabi
–shollallaahu’alaihi wasallam-,
|
ا لصَّالَِ
ِتَرُْ ُوَالْكُفِْ ِالشِّرِْ ِوَبَيَْ َالرَّجُِ ِبَيَْ َإَِّ
.
|
"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang
dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR.
Muslim, kitab al-Iman (82)).
|
Disebutkan pula dalam Shahih Muslim sabda
beliau dalam hadits Buraidah dan kitab-kitab Sunan,
|
"Perjanjian (pembatas) antara kita dengan
mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah
kafir." (HR. Ahmad (5/346), at-Tirmidzi, kitab al-Iman (2641),
an-Nasa'i (1/232), Ibnu Majah (1079)).
|
Ucapan para sahabat: Amirul Mukminin Umar
–rodliallaahu’anhu- berkata, "Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang
yang meninggalkan shalat." (HR. Malik, kitab ath-Thaharah (84)).
Maksudnya, tidak ada bagian baik sedikit maupun banyak. Abdullah bin Syaqiq
mengatakan, "Para sahabat Nabi –shollallaahu’alaihi wassalam- tidak
memandang suatu amal pun yang apabila ditinggalkan akan menyebabkan
kekafiran, selain shalat."
|
Adapun berdasarkan pandangan yang benar, dikatakan,
apakah masuk akal bahwa seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan sebesar
biji sawi, ia mengetahui agungnya shalat dan pemeliharaan Allah terhadapnya,
namun ia malah senantiasa meninggalkannya? Tentu saja ini tidak masuk akal.
Jika diperhatikan alasan-alasan orang yang mengatakan bahwa
|
آَفََ َفَقَْ
ْتَرَآَهَ افَمَْ ْا لصَّالَةُ ،وَبَيْنَهُُ ُبَيْنَنَ اا.لذِْ ْاَلْعَهْدُ
|
meninggalkan shalat tidak menyebabkan kekufuran,
maka akan ditemukan alasan-alasan itu tidak keluar dari lima hal:
|
|
1. Karena tidak ada dasar dalilnya;
|
2. Atau, hal itu terkait dengan
suatu kondisi atau sifat yang menghalanginya sehingga meninggalkan shalat;
|
3. Atau, hal itu terkait dengan
kondisi yang diterima uzurnya untuk meninggalkan shalat;
|
4. Atau,
hal itu bersifat umum kemudian dikhususkan dengan hadits-hadits yang
mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat;
|
5. Atau, hal itu lemah sehingga
tidak bisa dijadikan alasan.
|
Setelah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat
itu kafir, maka berlaku padanya hukum-hukum orang murtad. Lagi pula, tidak
disebutkan dalam nash-nash bahwa orang yang meninggalkan shalat itu Mukmin,
atau masuk surga, atau selamat dari neraka, dan sebagainya, yang memalingkan
kita dari vonis kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat menjadi vonis kufur
nikmat atau kufur yang tidak menyebabkan kekafiran. Di antara hukum-hukum
murtad yang berlaku terhadap orang yang meninggalkan shalat:
|
Pertama:
Ia tidak sah menikah. Jika terjadi akad nikah maka nikahnya batal dan
isterinya tidak halal baginya. Hal ini berdasarkan firman Allah –subhanahu
wata’ala- tentang para wanita yang berhijrah,
|
"Maka jika kamu telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka." (AlMumta-hanah:
10).
|
Kedua:
Jika ia meninggalkan shalat setelah akad nikah, maka pernikahannya menjadi
gugur sehingga isterinya tidak lagi halal baginya. Hal ini juga berdasarkan
ayat yang telah disebutkan tadi. Dan menurut rincian para ahlul ilmi,
bahwa hukum ini berlaku baik setelah bercampur maupun belum.
|
Ketiga:
Orang yang tidak melaksanakan shalat, jika ia menyembelih hewan, maka daging
hewan sembelihannya tidak halal dimakan, karena daging itu menjadi haram.
Padahal, sembelihan orang Yahudi dan Nasrani dihalalkan bagi kita untuk
memakannya. Ini berarti na'udzu billah- sembelihan orang yang
tidak shalat itu lebih buruk daripada sembelihan orang Yahudi dan Nasrani.
|
Keempat:
Ia tidak boleh memasuki Makkah atau batas-batas kesuciannya berdasarkan
firman Allah –subhanahu wata’ala-,
|
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil
Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah
nanti akan memberi kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah:
28).
|
Kelima:
Jika ada kerabatnya yang meninggal, maka ia tidak boleh ikut serta dalam
warisan. Misalnya, ada seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang
anak yang tidak shalat. Orang yang meninggal itu seorang Muslim yang shalat,
sementara si anak itu tidak shalat, di samping itu ada juga sepupunya.
Siapakah yang berhak mewarisinya? Tentu saja sepupunya, adapun anaknya tidak
ikut mendapat warisan, hal ini berdasarkan sabda Nabi – shollallaahu’alaihi
wasallam- dalam hadits Usamah,
|
.الْمُسْلَِ
َالْكَافِرُوََ َالْكَافَِ َالْمُسْلُِ ُيَرُِ ُالَ
|
"Seorang Muslim tidak mewarisi yang kafir
dan seorang kafir tidak mewarisi orang Muslim." (Muttafaq 'Alaih;
al-Bukhari, kitab al-Fara'idh (6764), Muslim, kitab alFara'idh (1614)).
|
Juga berdasarkan sabda Nabi –shollallaahu’alaihi
wasallam-,
|
.ذَآٍَ
ٍرَجٍُ ٍألَوْلَ ىفَهَُ َبَقَِ َفَمَ ابِأَهْلِهَ االْفَرَاِ َِ َاَلْحِقُوا
|
"Bagikan harta warisan kepada para ahlinya,
adapun sisanya adalah untuk laki-laki yang
|
paling berhak." (Al-Bukhari,
kitab al-Fara'idh (6732), Muslim, kitab al-Fara'idh (1615)). Hal ini pun
berlaku untuk semua warisan.
|
Keenam:
Jika ia meninggal, maka mayatnya tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak
dishalatkan dan tidak dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Lalu, apa yang
harus kita lakukan? Kita keluarkan mayatnya ke padang pasir, lalu dibuatkan
lobang, kemudian kita kubur langsung dengan pakaiannya, karena mayat itu
tidak ter-hormat. Berdasarkan ini, tidak boleh seseorang yang ditinggal mati
oleh orang yang ia ketahui tidak shalat, untuk mempersilahkan kaum Muslimin
menyalatinya.
|
Ketujuh:
Bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dikumpulkan bersama Firaun, Haman,
Qarun, Ubay bin Khalaf dan para pemimpin kaum kafir -na'udzu billah-,
dan ia tidak akan masuk surga. Kemudian, tidak boleh keluarganya untuk
memohonkan rahmat dan ampunan baginya, karena ia seorang kafir yang tidak
berhak mendapatkan itu, hal ini berdasarkan firman Allah –subhanahu
wata’ala-,
|
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah
jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
Jahannam." (At-Taubah: 113).
|
Jadi, saudara-saudaraku, masalah ini sangat
berbahaya, namun sayangnya, masih ada orang yang menganggap remeh masalah
ini, di antaranya ialah dengan menempatkan orang yang tidak shalat di
rumahnya, padahal itu tidak boleh. Wallahu a'lam. Semoga
shalawat dan salam senantisa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
dan para sahabatnya.
|
Rujukan:
|
Risalah Shifat Shalatin Nabi, hal. 29-30, Ibnu
Utsaimin. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, hal.186-189,
penerbit Darul Haq.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar