25 Januari 2012

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT


Hukum Meninggalkan Shalat dengan Sengaja
Ulama : Syaikh Ibnu Baz Kategori : Shalat
Pertanyaan:
Kakak saya tidak melaksanakan shalat, apakah saya boleh berhubungan dengannya atau tidak? Perlu diketahui bahwa ia hanyalah kakak saya seayah.

Jawaban:
Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya kafir, ini berarti ia telah melakukan kekufuran yang besar menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, yang demikian ini jika orang tersebut mengakui kewajiban tersebut. Jika ia tidak mengakui kewajiban tersebut, maka ia kafir menurut seluruh ahlul ilmi, demikian berdasarkan beberapa sabda Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam-: 
"Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad." (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/231), at-Tirmidzi, kitab al-Imam (2616), Ibnu Majah, kitab al-Fitan (3973) dengan isnad shahih).
"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab al-Iman (82).
"Perjanjiang (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir." (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/346) dan para penyusun kitab Sunan dengan isnad shahih, at-Tirmidzi, kitab al-Iman (2621), An-Nasa'i, kitab ash-Shalah (1/232), Ibnu Majah, kitab Iqamatus Shalah (1079)).
Karena orang yang mengingkari kewajiban shalat berarti ia mendustakan Allah dan RasulNya serta ijma' ahlul ilmi wal iman, maka kekufurannya lebih besar daripada yang meninggalkannya karena meremehkan. Untuk kedua kondisi tersebut, wajib atas para penguasa kaum Muslimin untuk menyuruh bertaubat kepada orang yang meninggalkan shalat, jika enggan maka harus dibunuh, hal ini berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan hal ini. Lain dari itu, selama masa diperintahkan untuk bertaubat, harus mengasingkan orang yang meninggalkan shalat dan tidak berhubungan dengannya serta tidak memenuhi undangannya sampai ia bertaubat kepada Allah dari perbuatannya, namun di samping itu harus tetap menasehatinya dan mengajaknya kepada kebenaran serta memperingatkannya terhadap akibat-akibat buruk karena meninggalkan shalat baik dia dunia maupun diakhirat kelak, dengan demikian diharapkan ia mau bertaubat sehingga Allah menerima taubatnya.

Rujukan:
Kitab ad-Da'wah, halman 93. Ibnu Baz.  Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, hal 185-186, penerbit Darul Haq. 


Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Ulama : Syaikh Ibnu Utsaimin Kategori : Shalat
Pertanyaan:
Apa yang harus dilakukan oleh seseorang, apabila ia telah menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat namun mereka tidak memperdulikannya, apa ia tetap tinggal bersama mereka dan bergaul dengan mereka atau keluar dari rumah tersebut?

Jawaban:
Jika keluarganya tidak mau melaksanakan shalat selamanya, berarti mereka kafir, murtad, keluar dari Islam, maka ia tidak boleh tinggal bersama mereka. Namun demikian ia wajib mendakwahi mereka dan terus menerus mengajak mereka, mudah-mudahan Allah memberi mereka petunjuk, karena orang yang meninggalkan shalat hukumnya kafir berdasarkan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah serta pendapat para sahabat dan pandangan yang benar.
Dalil dari al-Qur'an adalah firman Allah tentang orang-orang musyrik, "Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama." (At-Taubah: 11).
Artinya, jika mereka tidak melakukan itu, berarti mereka bukan-lah saudara-saudara kita. Memang persaudaraan agama tidak gugur karena perbuatan-perbuatan maksiat walaupun besar, namun persaudaraan itu akan gugur ketika keluar dari Islam.
Dalil dari as-Sunnah adalah sabda Nabi –shollallaahu’alaihi wasallam-,
ا لصَّالَِ ِتَرُْ ُوَالْكُفِْ ِالشِّرِْ ِوَبَيَْ َالرَّجُِ ِبَيَْ َإَِّ .
"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim, kitab al-Iman (82)).
Disebutkan pula dalam Shahih Muslim sabda beliau dalam hadits Buraidah dan kitab-kitab Sunan,
"Perjanjian (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir." (HR. Ahmad (5/346), at-Tirmidzi, kitab al-Iman (2641), an-Nasa'i (1/232), Ibnu Majah (1079)).
Ucapan para sahabat: Amirul Mukminin Umar –rodliallaahu’anhu- berkata, "Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat." (HR. Malik, kitab ath-Thaharah (84)). Maksudnya, tidak ada bagian baik sedikit maupun banyak. Abdullah bin Syaqiq mengatakan, "Para sahabat Nabi –shollallaahu’alaihi wassalam- tidak memandang suatu amal pun yang apabila ditinggalkan akan menyebabkan kekafiran, selain shalat."
Adapun berdasarkan pandangan yang benar, dikatakan, apakah masuk akal bahwa seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan sebesar biji sawi, ia mengetahui agungnya shalat dan pemeliharaan Allah terhadapnya, namun ia malah senantiasa meninggalkannya? Tentu saja ini tidak masuk akal. Jika diperhatikan alasan-alasan orang yang mengatakan bahwa
آَفََ َفَقَْ ْتَرَآَهَ افَمَْ ْا لصَّالَةُ ،وَبَيْنَهُُ ُبَيْنَنَ اا.لذِْ ْاَلْعَهْدُ
meninggalkan shalat tidak menyebabkan kekufuran, maka akan ditemukan alasan-alasan itu tidak keluar dari lima hal:

1. Karena tidak ada dasar dalilnya;

2. Atau, hal itu terkait dengan suatu kondisi atau sifat yang menghalanginya sehingga meninggalkan shalat;

3. Atau, hal itu terkait dengan kondisi yang diterima uzurnya untuk meninggalkan shalat;

4.         Atau, hal itu bersifat umum kemudian dikhususkan dengan hadits-hadits yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat;

5. Atau, hal itu lemah sehingga tidak bisa dijadikan alasan.

Setelah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, maka berlaku padanya hukum-hukum orang murtad. Lagi pula, tidak disebutkan dalam nash-nash bahwa orang yang meninggalkan shalat itu Mukmin, atau masuk surga, atau selamat dari neraka, dan sebagainya, yang memalingkan kita dari vonis kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat menjadi vonis kufur nikmat atau kufur yang tidak menyebabkan kekafiran. Di antara hukum-hukum murtad yang berlaku terhadap orang yang meninggalkan shalat:
Pertama: Ia tidak sah menikah. Jika terjadi akad nikah maka nikahnya batal dan isterinya tidak halal baginya. Hal ini berdasarkan firman Allah –subhanahu wata’ala- tentang para wanita yang berhijrah,
"Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka." (Al­Mumta-hanah: 10).
Kedua: Jika ia meninggalkan shalat setelah akad nikah, maka pernikahannya menjadi gugur sehingga isterinya tidak lagi halal baginya. Hal ini juga berdasarkan ayat yang telah disebutkan tadi. Dan menurut rincian para ahlul ilmi, bahwa hukum ini berlaku baik setelah bercampur maupun belum.
Ketiga: Orang yang tidak melaksanakan shalat, jika ia menyembelih hewan, maka daging hewan sembelihannya tidak halal dimakan, karena daging itu menjadi haram. Padahal, sembelihan orang Yahudi dan Nasrani dihalalkan bagi kita untuk memakannya. Ini berarti ­na'udzu billah- sembelihan orang yang tidak shalat itu lebih buruk daripada sembelihan orang Yahudi dan Nasrani.
Keempat: Ia tidak boleh memasuki Makkah atau batas-batas kesuciannya berdasarkan firman Allah –subhanahu wata’ala-,
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 28).
Kelima: Jika ada kerabatnya yang meninggal, maka ia tidak boleh ikut serta dalam warisan. Misalnya, ada seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak yang tidak shalat. Orang yang meninggal itu seorang Muslim yang shalat, sementara si anak itu tidak shalat, di samping itu ada juga sepupunya. Siapakah yang berhak mewarisinya? Tentu saja sepupunya, adapun anaknya tidak ikut mendapat warisan, hal ini berdasarkan sabda Nabi – shollallaahu’alaihi wasallam- dalam hadits Usamah,
.الْمُسْلَِ َالْكَافِرُوََ َالْكَافَِ َالْمُسْلُِ ُيَرُِ ُالَ
"Seorang Muslim tidak mewarisi yang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi orang Muslim." (Muttafaq 'Alaih; al-Bukhari, kitab al-Fara'idh (6764), Muslim, kitab al­Fara'idh (1614)).
Juga berdasarkan sabda Nabi –shollallaahu’alaihi wasallam-,
.ذَآٍَ ٍرَجٍُ ٍألَوْلَ ىفَهَُ َبَقَِ َفَمَ ابِأَهْلِهَ االْفَرَاِ َِ َاَلْحِقُوا
"Bagikan harta warisan kepada para ahlinya, adapun sisanya adalah untuk laki-laki yang
paling berhak." (Al-Bukhari, kitab al-Fara'idh (6732), Muslim, kitab al-Fara'idh (1615)). Hal ini pun berlaku untuk semua warisan.
Keenam: Jika ia meninggal, maka mayatnya tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan dan tidak dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kita keluarkan mayatnya ke padang pasir, lalu dibuatkan lobang, kemudian kita kubur langsung dengan pakaiannya, karena mayat itu tidak ter-hormat. Berdasarkan ini, tidak boleh seseorang yang ditinggal mati oleh orang yang ia ketahui tidak shalat, untuk mempersilahkan kaum Muslimin menyalatinya.
Ketujuh: Bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dikumpulkan bersama Firaun, Haman, Qarun, Ubay bin Khalaf dan para pemimpin kaum kafir -na'udzu billah-, dan ia tidak akan masuk surga. Kemudian, tidak boleh keluarganya untuk memohonkan rahmat dan ampunan baginya, karena ia seorang kafir yang tidak berhak mendapatkan itu, hal ini berdasarkan firman Allah –subhanahu wata’ala-,
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam." (At-Taubah: 113).
Jadi, saudara-saudaraku, masalah ini sangat berbahaya, namun sayangnya, masih ada orang yang menganggap remeh masalah ini, di antaranya ialah dengan menempatkan orang yang tidak shalat di rumahnya, padahal itu tidak boleh. Wallahu a'lam. Semoga shalawat dan salam senantisa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Rujukan:
Risalah Shifat Shalatin Nabi, hal. 29-30, Ibnu Utsaimin. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, hal.186-189, penerbit Darul Haq.

Tidak ada komentar: