A.
PEGUASAAN
TANAH DALAM KAIDAH SUNNAH
D
|
alam
mengatur penguasaan tanah, Islam mengajarkan beberapa prinsip, baik prinsip
dasar maupun prinsip alih kepemilikan, dan kewajiban yang harus dikeluarkan
terhadap pemilik tanah serta hukum-hukum
yang menyangkut tanah. Prinsip-prinsip dalam penguasaan tanah meliputi :
1. Dalam pandangan Islam, secara absolut segala
sesuatu yang ada dimuka bumi termasuk tanah pada hakekatnya milik hakikatnya milik Allah Ta’ala semata.
Hal ini sebagaimana tercantum
dalam firman Allah Ta’ala :
“Dan kepunyaanAllahlah kerajaan langit dan
bumi dan kepada Allahlah kembali segala sesuatu (makhluk) “(QS:24:42)
Demikian juga
dalam QS 57 Ayat 7 menegaskan kekuasaanNya atas segala sesuatu yang dimilikiNya
yang diantaranya mengatur kehidupan dan mematikan makhlukNya.
”Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi,
Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.(QS:57:2)
Secara khusus Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menjelaskna
tentang konsep kepemilikan ini dalam kaitannya dengan tauhid. Menurutnya
secara makna tauhid rububiyah ialah mengesakan Allah
Ta’ala dalam hal penciptaan, kepemilikan, dan pengurusan. Pengesaan Allah
Ta’ala dalam hal kepemilikan artinya kita yakin bahwa tidak ada yang memiliki
makhluk kecuali yang menciptakan mereka, sebagaimana firman-Nya:
“Dan hanya kepunyaan Allahlah kerajaan
langit dan bumi” (QS. Al-Jatsiyah: 27)
“Katakanlah, Siapakah yang di Tangan-Nya
berada kekuasaan atas segala sesuatu?” (QS. Al- Mu’minun: 88)
Allah Subhanawata ‘ala adalah satu-satunya
Dzat yang memiliki semua kerajaan dan penetapan bahwa kerajaan juga dimiliki
para makhluk, seperti firman-Nya:
“…di
rumah yang kamu miliki kuncinya …” (QS. An-Nur: 61)
Dan dalam firman-Nya :
“ kecuali terhadap istri-istri mereka atau
budak yang mereka miliki …” (QS. Al-Muminun: 6)
Tentang disebutkannya penetapan kepemilikan
bagi selain Allah Ta’ala tersebut, merupakan kepemilikan yang terbatas, jika
ditilik dari sifatnya manusia hanya bisa memiliki apa yang ada di bawah
tangannya, dia tidak berhak memiliki apa yang ada ditangan orang lain. Manusia
tidak bisa memiliki apa yang ada ditangannya secara sempurna, sehingga dia
tidak boleh menggunakannya kecuali menurut cara yang diijinkan baginya menurut
syari’at. SedangkanAllah Ta’ala Subhanahu Wa Ta’ala memiliki
segalanya dengan kepemilikan yang sempurna dan menyeluruh. (Syaikh Muhammad
Al-Utsaimin: Syarah Kitab Tauhid Buku I, bagian Tauhid Rububiyah, hal xix).
Dengan demikian
sangat jelas bahwa kepemilikan apapun yang ada di langit dan di bumi adalah
absolut milik Allah Ta’ala, sedangkan kepemilikan manusia sifatnya hanya terbatas
terhadap apa yang ada ditangannya dan penggunaan terhadap kepemilikan tersebut
tidak boleh menyimpang aturan syar’iyyah.
Lalu bagaimana
keterkaitan kepemilikan tanah sebagai khalifah fil ard dengan kepemilikan tanah
mutlak milikAllah Ta’ala?
Kewenangan manusia
terhadap tanah bukanlah memiliki melainkan hanya sekedar mengelola tanah. Dan
Pengelolaan tanah tidak mutlak sesuai kemauan hawa nafsu dan keinginan hatinya,
melainkan harus mengikuti hukum-hukum yang telah Allah Ta’ala tetapkan.Allah Ta’ala
telah tetapkan manusia sebagai makhluk yang diberi kuasa (istikhlaf)
untuk mengelola bumi. Hal ini sebagaimana termaktub dalam al Quran surat 57
ayat 7:
”Dan nafkahkanlah sebagian hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”.
Lebih lanjut, Imam
Al Qurthubi menafsirkan ayat ini sebagai dalil bahwa asal-usul kepemilikan (Ashulul
Milki) adalah milik Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dan
bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (Tasharruf) dengan
cara yang diridhai Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
Perlu ditekankan kepada pemahaman bahwa kepemilikan tanah secara
absolut adalah milik Allah Ta’ala. Kewenangan manusia menguasai adalah
untuk mengelola tanah agar
memberi mashlahat kepada makhluk yang ada di bumi. Pengelolaan tanah mewajibkan pelakunya untuk memperhatikan dan menerapkan hukum-hukum yang ditetapkan Allah
Ta’ala. Suatu hal yang sangat
dilarang apabila dalam
pengelolaan tanah dilakukan sekehandak
hati tanpa memperhatikan aturan Allah Ta’ala. Terlebih lagi pemanfaatannya
dengan menyimpang aturan Allah Ta’ala atau dengan tujuan untuk kemudharatan, kemaksiyatan
atau untuk hal-hal yang diharamkan secara syar’i. Yang sangat dianjurkan
sebagaimana Rasulullah Shalallaih ‘Alaihi
Wassalam ajarkan
adalah untuk memakmurkan dan memelihara tanah dengan
cara menanami dengan tanaman yang bermanfaat bagi manusia. Dengan menanami
tanaman yang bermanfaat maka akan diperoleh kemanfaatan yang menopang
keberlangsungan hidup manusia di muka bumi sehingga mampu mewujudkan bentuk
pengabdiannya.
Kemudian Rasulullah Shalallahi ‘Alaihi
Wassalam, memerintahkan kepada kita untuk memakmurkan dan memelihara bumi
dengan cara membuka tanah yang mati (Ihyatul Mawat) dengan
mengolahnya, menanaminya dengan tanaman-tanaman yang bermanfaat bagi manusia,
yang semuanya itu dengan tujuan untuk meneruskan kelangsungan hidup manusia
dimuka bumi serta bentuk pengabdiannya kepada Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alau
‘Alaihi
Wassalam bersabda :
“Barangsiapa
membuka tanah yang mati, maka tanah itu adalah miliknya dan hasil apa saja yang
dimakan oleh binatang atau orang dari tanah itu, adalah sebagai sedekahnya” (Diriwayatkan
oleh Ahmad, Nasa’i dan
Ibnu Hibban).
Kemudian dalam riwayat lain dari Bukhari dan
Ahmad disebutkan bahwa :
“Man’amara ardhan laisat li’ahadin
fahuwa ahaqqu biha/Barangsiapa membuka tanah yang bukan milik seseorangpun,
maka dialah yang lebih berhak untuk memilikinya” serta
dari Asmar bin Mudliris, katanya : Saya datang kepada Nabi ShalAllahualau ‘Alaihi
Wassalam, lalu saya membai’atnya,
kemudian beliau bersabda : “Barangsiapa lebih dahulu membuka
tanah yang belum didahului oleh orang Muslim lain (dalam mengusahakannya), maka
tanah itu adalah miliknya”
Dari
hadist tersebut secara gamblang menegaskan bahwa tanah yang ada tetapi tidak
diusahakan maka hak kepemilikan berada pada yang mengusahakan. Nah salah kaprah
yang ada dan berkembang pada masa kini banyak tanah-tanah timbul yang ada di
suatu daerah perbatasan menjadi rebutan. Klaim masing masing adalah tanah itu
muncul dengan sendirinya. Padahal jika lihat sabda rasul diatas menjadi jelas
siapa yang sebenarnya berhak mengusahakan dan mimiliki yaitu yang lebih dulu
mengusahakan atau memperdayakan tanah tersebut sehingga lebih bermanfaat.
Dari
Hadist tersebut juga menjelaskan asal-usul perolehan hak atas tanah yaitu membuka tanah yang
mati (Ihya’ul Mawat). Disamping itu perolehan
tanah berasal dari proses jual beli,waris, hibah, tahjir atau membuat batas pada tanah mati dan Iqtha’ atau pemberian hak atas tanah dari negara
Ulama
fiqh menjelaskan, kepemilikan tanah pribadi, ditetapkan syarat kepemilikan yang
tidak bertentangan dengan kemaslahatan masyarakat, karena kemaslahatan individu
selamanya tidak dapat dilepaskan dengan kemaslahatan masyarakat. Islam
menetapkan pemilikan dilakukan dengan pengukuhan dari Pembuat Syari’at yang
diserahi tugas mengurus masyarakat, sehingga pada hakekatnya Pembuat Syari’at
itulah yang memberikan harta milik kepada manusia dengan pengaturan melalui
syari’at
Hal
menarik untuk digarisbawahi mengenai kepemilikan tanah oleh seseorang. Ada beberapa cara seseorang
memperoleh tanah yaitu :
a.
Tanah yang diperoleh dari mengusahakan tanah yang terlantar dan
tidak produktif
Tanah
yang telah dimiliki oleh seseorang dilarang untuk dibiarkan dan tidak dimanfaat
sehingga menjadi tanah terlantar yang tidak mendatangkan kemaslahatan bagi
manusia. Islam menegaskan bahwa tenggang waktu yang diberikan manusia terhadap
tanah yang tidak diusahakan adalah selama 3 tahun. Jika melebihi waktu tiga
tahun, orang yang mengusahakan tanah tidak mampu untuk mendayakan tanahnya maka
hak kepemilikannya hilang dan kembali menjadi tanah milik masyarakat. Hal ini
didasarkan dari hadist yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dalam
kitab al-Kharaj dari Laits dari Thawus bahwa : Tanah Umum adalah milikAllah
Ta’ala Subhanahu wa taala dan Rasul-Nya, setelah itu milik kamu semua, maka
barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan
seorang yang mengklaim tanah tidak punya hak setelah tiga tahun karena tidak
mengusahakannya/menelantarkan”. Dengan demikian, maka Islam
melarang orang menelantarkan tanah yang dikuasai atau dimiliki sehingga tidak
mempunyai nilai produktif. Tenggang waktu yang diperbolehkan untuk tidak
menjadikan tanahnya produktif hanya sekitar 3 tahun.
Sewaktu Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam, sudah menetap di Madinah dan mulai menyusun segala urusan
yang bersangkutan dengan kepentingan-kepentingan negara Islam yang
didirikannya, maka pertama-tama yang dijadikan perhatiannya adalah bagaimana
mengusahakan tanah-tanah yang mati yang tidak bertuan. Sehingga diumumkanlah
suatu peraturan bahwa barangsiapa membuka tanah mati, maka tanah itu menjadi
miliknya. Dengan diumumkannya peraturan tersebut, maka berbondong-bondong
orang-orang mendatanginya, untuk meminta supaya diberi sebagian tanah yang mati
tadi, untuk dibuka/diusahakan agar mengeluarkan hasilnya, didiami dan lain-lain
keperluan. Beliau Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wassalam, mengabulkan
permintaan orang-orang itu dan inilah yang mula-mula di sebut iqtha’ (Pemberian hak atas tanah). Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah memberikan tanah-tanah yang mati untuk
diusahakan kepada antara lain kepada : Zubair bin ‘Awwam, Bilal bin Harits,
Wail bin Hujr, Umar bin Harits, Abdurahman bin ‘Auf, Umar bin Khathab dan lain-lain.
b. Tanah yang diperoleh dari
hasil rampasan perang (ghanimmah)
Selain
yang telah disebutkan diatas, perolehan tanah menurut Islam
adalah hasil dari penaklukan wilayah melalui perang yang dikenal dengan harta
hasil rampasan perang (ghanimmah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam Al
Qur’an
Surat Al Anfaal (8) : 41 :
“Dan
ketahuilah bahwa harta ghanimah yang kamu peroleh, seperlima adalah untuk Allah Ta’ala, Rasul dan
sanak kerabatnya, anak-anak yatim, orang miskin dan para musafir”
Setelah
Rasulullah, Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, meninggal dunia (wafat),
timbullah peperangan-peperangan dengan kerajaan Romawi dan kerajaan Parsi, yang
berakhir dengan kemenangan tentara Islam, sehingga banyak daerah-daerah yang
dibebaskan oleh tentara Islam yang menjadi terlantar, sehingga meninggalkan
tanah-tanah yang berasal dari :
a. Tanah yang dahulunya milik musuh
yang gugur dalam pertempuran;
b. Tanah yang dimiliki raja Parsi dan
Romawi serta tanah milik pembesar/menterinya;
c. Tanah yang sejak dahulu sebagai
tanah yang belum diusahakan (tanah mati).
Didalam kurun waktu ini, Umar bin
Khaththab radhiyaallahu’anhu. telah mengambil
alih harta kaisar Parsi dan harta/tanah-tanah keluarga kerajaan serta
tanah-tanah yang ditinggalkan lari oleh pemiliknya.
Berangkat dari sebuah hadits Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wassalam dari Abu „Ubaid Qasim bin Salam bahwa : Peninggalan
tanah (oleh orang purbakala) adalah milik Allah dan Rasul-Nya, kemudian untukmu
semua”, sehingga status tanah tersebut jatuh ketangan pemimpin negara.
Selanjutnya perlakuan terhadap tanah tersebut yaitu untuk tanah yang mati akan
dibagikan untuk diusahakan serta yang lain dikelola dalam rangka menambah
pemasukan keuangan negara serta untuk menyehatkan perekonomian negara. Inilah
dalam sejarah tercatat sebagai asal muasal HUKUM IQTHA’ dalam sejarah pemerintahan Islam.
Imam Qurthubi mengatakan : pertanian termasuk fardhu kifayah, oleh
karena itu wajib bagi imam/negara memaksakan manusia kearah itu dan apa saja
yang termasuk pengertiannya dalam bentuk menanami dengan pepohonan. Didalam
sebuah hadits dari Siti „Aisyah radhiyaallahu‟anhu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam berkata : Iltamisuu rizqa min khabayal ardhi, Galilah
rejeki dari celah-celah (perut) bumi. (Hadits Riwayat at-Tirmidzi).
Pengertian Bagi Hasil Tanah adalah : Transaksi pengolahan bumi
dengan (upah) sebagian hasil yang keluar daripadanya. Yang dimaksudkan disini
adalah pemberian hasil untuk orang yang mengolah/menanami tanah dari yang
dihasilkannya seperti, setengah, atau sepertiga, atau lebih rendah sesuai
dengan kesepakatan kedua belah pihak (petani dan pemilik tanah). Bagi hasil
merupakan jenis kerjasama antara pekerja (buruh tani) dan pemilik tanah. Hal
itu terjadi karena buruh tani mempunyai keahlian mengolah tanah, tetapi tidak
mempunyai tanah garapan, sedangkan sebaliknya pemilik tanah tidak mempunyai
keahlian untuk bercocok tanam. Berdasarkan hubungan timbal balik kepentingan
tersebut, Islam mensyari’atkan kerja sama sebagai bukti pertalian dua
belah pihak.
Perbuatan itu dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam dan dilakukan oleh para sahabat sesudah itu. Imam Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyaallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam. mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah sebagian dari bebijian
dan buah-buahan yang dapat ditumbuhkan oleh tanah Khaibar. Kemudian Muhammad Al
Baqir bin Ali bin Al Husain radhiyaallahu’anhu. Berkata : tak ada seorang Muhajirin
pun yang ada di Madinah, kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan
sepertiga atau seperempat. Dan Ali bin Abu Thalib radhiyaallahu’anhu, Said bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul ‘Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar,
keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, semua terjun ke dunia pertanian” (Hadist
Riwayat Al Bukhari). Didalam kitab Al Mughni dikatakan :”Hal ini
masyhur, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengerjakan sampai
dengan beliau kembali ke rahmatullah (wafat), kemudian dilakukan pula oleh para
khalifahnya sampai mereka meninggal dunia, kemudian keluarga mereka sesudah
mereka”. Kemudian di Madinah tak ada seorang penghuni rumahpun yang tidak
melakukan ini, termasuk istri-istri Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam,
yang terjun sesudah beliau, sehingga teladan (uswah) ini tidak boleh dihapuskan.
c. Perjanjian
Sewa Menyewa Tanah (Ijaratul Ardh)
Mengenai sewa tanah untuk bertani dengan uang, makanan dan
lain-lain yang dikategorikan harta, menurut suatu riwayat dari Hanzalah bin
Qais radhiyaallahu’anhu. Aku pernah
menanyakan Rafi’bin Khudaij tentang tanah, ia menjawab : “Rasulullah melarangnya”
lalu aku berkata : ”Dengan uang emas dan perak?. Ia lalu menjawab : Adapun
dengan uang emas dan perak itu tidak mengapa”. (Riwayat Al Khamasah,
kecuali At Tirmidzi).
Sebagian ulama berpendapat melarang menyewakan lahan pertanian
berdasarkan hadits riwayat Bukhari, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda
: “Barangsiapa mempunyai tanah pertanian, hendaklah ia mengolahnya atau
memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan (memberikan), maka tahanlah tanah
itu”. Kemudian didalam hadits yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam telah melarang upah (Ajrun) atau bagi hasil (Hazhun)
dari tanah.
d. Tanah yang diperoleh dari
pemberian Ulil Amri
Kepemilikan tanah seseorang
juga
diperoleh dari Ulil Amri. Tanah ini dapat
berasal dari tanah orang-orang musyrik yang tidak boleh diwarisi oleh
keluarganya yang muslim dan dan ahli warisnya adalah Kepala Negara yang
dimasukkan kedalam perbendaharaan Baitul Mal kaum muslimin atau yang
diambil dari tanah liar yang tak ada pemiliknya sama sekali. Nabi Shalallah
‘alau’Alaihi Wassalam telah memberikan tanah yang berstatus seperti ini
kepada Abu Bakar radhiyallah anhu dan Umar bin Khathab radhiyallah
‘alau anhu, sebagaimana dilakukan juga oleh Khalifah pengganti beliau,
sebagai penghargaan atas jasanya yang nyata dan pengabdiannya kepada Islam.
Ada beberapa pendapat mengenai peran pemimpin dalam memberikan tanahnya
kepada masyarakat. Sebagian ulama berpendapat bahwa masyarakat dalam menghidupkan
tanah tanah secara otomatis langsung memilikinya. Sebagian ulama berpendapat
sebaliknya yakni masyarakat dalam menghidupkan tanah tidak otomatis langsung
memilikinya tetapi harus mendapat izin dari pimpinan negara.
Pendapat Jumhur alim
ulama bahwa untuk dapat mememiliki secara sah tanah yang mati tersebut,
tidak perlu ijin dari Imam atau negara. Melainkan siapa yang lebih dahulu
membuka tanah itu, kemudian merawatnya dan memanfaatkan sebagaimana mestinya,
maka dialah yang berhak.
Pendapat Abu Hanifah bahwa
Ijin Imam atau negara memang diperlukan, sebab kalau tidak demikian, maka
banyak orang yang memperebutkan tanah itu, sehingga menimbulkan pertengkaran
diantara yang memperebutkan tanah itu.
Sebagian ulama lagi mengatakan : apabila tanah yang dimaksudkan
untuk dibuka itu, tidak ada orang lain yang menyukainya, maka tidak perlu ijin
imam/negara, sebaliknya kalau banyak yang menginginkan, maka perlu ijin negara.
Bersandarkan pendapat ulama
tersebut, maka pada dasarnya semua tanah itu dikuasai negara, sehingga
pemanfaatannya maupun kepemilikannya diatur oleh imam/negara, untuk menghindari
kekacauan (Chaos), baik kekacauan dalam kepemilikan maupun kekacauan
dalam pemanfaatannya. (.Mustafa
Husni Assiba’i, Dalam bukunya Kehidupan Sosial Menurut Islam, Bab. 4, hal.
166-167)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar