26 Januari 2012

PENGELOLAAN PERTANAHAN DALAM BINGKAI SUNNAH (bagian_2)


A.     PEGUASAAN TANAH DALAM KAIDAH SUNNAH
D
alam mengatur penguasaan tanah, Islam mengajarkan beberapa prinsip, baik prinsip dasar maupun prinsip alih kepemilikan, dan kewajiban yang harus dikeluarkan terhadap  pemilik tanah serta hukum-hukum yang menyangkut tanah. Prinsip-prinsip dalam penguasaan tanah meliputi :
1.  Dalam pandangan Islam, secara absolut segala sesuatu yang ada dimuka bumi termasuk tanah pada hakekatnya milik hakikatnya milik Allah Ta’ala semata.

Hal ini sebagaimana tercantum dalam firman Allah Ta’ala :
“Dan kepunyaanAllahlah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allahlah kembali segala sesuatu (makhluk) “(QS:24:42)
Demikian juga dalam QS 57 Ayat 7 menegaskan kekuasaanNya atas segala sesuatu yang dimilikiNya yang diantaranya mengatur kehidupan dan mematikan makhlukNya.
”Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(QS:57:2)

Secara khusus Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menjelaskna tentang konsep kepemilikan ini dalam kaitannya dengan tauhid. Menurutnya secara makna tauhid rububiyah ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam hal penciptaan, kepemilikan, dan pengurusan. Pengesaan Allah Ta’ala dalam hal kepemilikan artinya kita yakin bahwa tidak ada yang memiliki makhluk kecuali yang menciptakan mereka, sebagaimana firman-Nya:
Dan hanya kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi” (QS. Al-Jatsiyah: 27)
“Katakanlah, Siapakah yang di Tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu?” (QS. Al- Mu’minun: 88)  

Allah Subhanawata ‘ala adalah satu-satunya Dzat yang memiliki semua kerajaan dan penetapan bahwa kerajaan juga dimiliki para makhluk, seperti firman-Nya:  
 “…di rumah yang kamu miliki kuncinya …” (QS. An-Nur: 61)

Dan dalam firman-Nya :

 “  kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki …” (QS. Al-Muminun: 6)

Tentang disebutkannya penetapan kepemilikan bagi selain Allah Ta’ala tersebut, merupakan kepemilikan yang terbatas, jika ditilik dari sifatnya manusia hanya bisa memiliki apa yang ada di bawah tangannya, dia tidak berhak memiliki apa yang ada ditangan orang lain. Manusia tidak bisa memiliki apa yang ada ditangannya secara sempurna, sehingga dia tidak boleh menggunakannya kecuali menurut cara yang diijinkan baginya menurut syari’at. SedangkanAllah Ta’ala Subhanahu Wa Taala memiliki segalanya dengan kepemilikan yang sempurna dan menyeluruh. (Syaikh Muhammad Al-Utsaimin: Syarah Kitab Tauhid Buku I, bagian Tauhid Rububiyah, hal xix).
Dengan demikian sangat jelas bahwa kepemilikan apapun yang ada di langit dan di bumi adalah absolut milik Allah Ta’ala, sedangkan kepemilikan manusia sifatnya hanya terbatas terhadap apa yang ada ditangannya dan penggunaan terhadap kepemilikan tersebut tidak boleh menyimpang aturan syar’iyyah.

Lalu bagaimana keterkaitan kepemilikan tanah sebagai khalifah fil ard dengan kepemilikan tanah mutlak milikAllah Ta’ala?

Kewenangan manusia terhadap tanah bukanlah memiliki melainkan hanya sekedar mengelola tanah. Dan Pengelolaan tanah tidak mutlak sesuai kemauan hawa nafsu dan keinginan hatinya, melainkan harus mengikuti hukum-hukum yang telah Allah Ta’ala tetapkan.Allah Ta’ala telah tetapkan manusia sebagai makhluk yang diberi kuasa  (istikhlaf) untuk mengelola bumi. Hal ini sebagaimana termaktub dalam al Quran surat 57 ayat 7:
”Dan nafkahkanlah sebagian hartamu yang Allah  telah menjadikan kamu menguasainya”.

Lebih lanjut, Imam Al Qurthubi menafsirkan ayat ini sebagai dalil bahwa asal-usul kepemilikan (Ashulul Milki) adalah milik Allah  Subhanahu Wa Taala dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (Tasharruf) dengan cara yang diridhai Allah  Subhanahu Wa Taala.

Perlu ditekankan kepada pemahaman bahwa kepemilikan tanah secara absolut adalah milik Allah Ta’ala. Kewenangan manusia menguasai adalah untuk mengelola tanah agar memberi mashlahat kepada makhluk yang ada di bumi. Pengelolaan tanah mewajibkan pelakunya untuk memperhatikan dan menerapkan  hukum-hukum yang ditetapkan Allah Ta’ala.  Suatu hal yang sangat dilarang apabila dalam pengelolaan tanah dilakukan sekehandak hati tanpa memperhatikan aturan Allah Ta’ala. Terlebih lagi pemanfaatannya dengan menyimpang aturan Allah Ta’ala atau dengan tujuan untuk kemudharatan, kemaksiyatan atau untuk hal-hal yang diharamkan secara syar’i. Yang sangat dianjurkan sebagaimana Rasulullah Shalallaih Alaihi Wassalam ajarkan adalah untuk memakmurkan dan memelihara tanah dengan cara menanami dengan tanaman yang bermanfaat bagi manusia. Dengan menanami tanaman yang bermanfaat maka akan diperoleh kemanfaatan yang menopang keberlangsungan hidup manusia di muka bumi sehingga mampu mewujudkan bentuk pengabdiannya.

Kemudian Rasulullah Shalallahi ‘Alaihi Wassalam, memerintahkan kepada kita untuk memakmurkan dan memelihara bumi dengan cara membuka tanah yang mati (Ihyatul Mawat) dengan mengolahnya, menanaminya dengan tanaman-tanaman yang bermanfaat bagi manusia, yang semuanya itu dengan tujuan untuk meneruskan kelangsungan hidup manusia dimuka bumi serta bentuk pengabdiannya kepada Allah Ta’ala. Hal ini  sebagaimana tercantum  dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alau Alaihi Wassalam bersabda :
 “Barangsiapa membuka tanah yang mati, maka tanah itu adalah miliknya dan hasil apa saja yang dimakan oleh binatang atau orang dari tanah itu, adalah sebagai sedekahnya” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai dan Ibnu Hibban).

Kemudian dalam riwayat lain dari Bukhari dan Ahmad disebutkan bahwa :

“Manamara ardhan laisat liahadin fahuwa ahaqqu biha/Barangsiapa membuka tanah yang bukan milik seseorangpun, maka dialah yang lebih berhak untuk memilikinya” serta dari Asmar bin Mudliris, katanya : Saya datang kepada Nabi ShalAllahualau Alaihi Wassalam, lalu saya membaiatnya, kemudian beliau bersabda : Barangsiapa lebih dahulu membuka tanah yang belum didahului oleh orang Muslim lain (dalam mengusahakannya), maka tanah itu adalah miliknya”

Dari hadist tersebut secara gamblang menegaskan bahwa tanah yang ada tetapi tidak diusahakan maka hak kepemilikan berada pada yang mengusahakan. Nah salah kaprah yang ada dan berkembang pada masa kini banyak tanah-tanah timbul yang ada di suatu daerah perbatasan menjadi rebutan. Klaim masing masing adalah tanah itu muncul dengan sendirinya. Padahal jika lihat sabda rasul diatas menjadi jelas siapa yang sebenarnya berhak mengusahakan dan mimiliki yaitu yang lebih dulu mengusahakan atau memperdayakan tanah tersebut sehingga lebih bermanfaat.

Dari Hadist tersebut juga menjelaskan asal-usul perolehan hak atas tanah yaitu membuka tanah yang mati (Ihyaul Mawat). Disamping itu perolehan tanah berasal dari proses jual beli,waris, hibah, tahjir atau membuat batas pada tanah mati dan Iqtha atau pemberian hak atas tanah dari negara

Ulama fiqh menjelaskan, kepemilikan tanah pribadi, ditetapkan syarat kepemilikan yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan masyarakat, karena kemaslahatan individu selamanya tidak dapat dilepaskan dengan kemaslahatan masyarakat. Islam menetapkan pemilikan dilakukan dengan pengukuhan dari Pembuat Syari’at yang diserahi tugas mengurus masyarakat, sehingga pada hakekatnya Pembuat Syari’at itulah yang memberikan harta milik kepada manusia dengan pengaturan melalui syari’at

Hal menarik untuk digarisbawahi mengenai kepemilikan tanah oleh seseorang. Ada beberapa cara seseorang memperoleh tanah yaitu :

a.      Tanah yang diperoleh dari mengusahakan tanah yang terlantar dan tidak produktif

Tanah yang telah dimiliki oleh seseorang dilarang untuk dibiarkan dan tidak dimanfaat sehingga menjadi tanah terlantar yang tidak mendatangkan kemaslahatan bagi manusia. Islam menegaskan bahwa tenggang waktu yang diberikan manusia terhadap tanah yang tidak diusahakan adalah selama 3 tahun. Jika melebihi waktu tiga tahun, orang yang mengusahakan tanah tidak mampu untuk mendayakan tanahnya maka hak kepemilikannya hilang dan kembali menjadi tanah milik masyarakat. Hal ini didasarkan dari hadist yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dalam kitab al-Kharaj dari Laits dari Thawus bahwa : Tanah Umum adalah milikAllah Ta’ala Subhanahu wa taala dan Rasul-Nya, setelah itu milik kamu semua, maka barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan seorang yang mengklaim tanah tidak punya hak setelah tiga tahun karena tidak mengusahakannya/menelantarkan”.  Dengan demikian, maka Islam melarang orang menelantarkan tanah yang dikuasai atau dimiliki sehingga tidak mempunyai nilai produktif. Tenggang waktu yang diperbolehkan untuk tidak menjadikan tanahnya produktif hanya sekitar 3 tahun.

Sewaktu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, sudah menetap di Madinah dan mulai menyusun segala urusan yang bersangkutan dengan kepentingan-kepentingan negara Islam yang didirikannya, maka pertama-tama yang dijadikan perhatiannya adalah bagaimana mengusahakan tanah-tanah yang mati yang tidak bertuan. Sehingga diumumkanlah suatu peraturan bahwa barangsiapa membuka tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dengan diumumkannya peraturan tersebut, maka berbondong-bondong orang-orang mendatanginya, untuk meminta supaya diberi sebagian tanah yang mati tadi, untuk dibuka/diusahakan agar mengeluarkan hasilnya, didiami dan lain-lain keperluan. Beliau Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wassalam, mengabulkan permintaan orang-orang itu dan inilah yang mula-mula di sebut iqtha (Pemberian hak atas tanah). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah memberikan tanah-tanah yang mati untuk diusahakan kepada antara lain kepada : Zubair bin ‘Awwam, Bilal bin Harits, Wail bin Hujr, Umar bin Harits, Abdurahman bin ‘Auf, Umar bin Khathab dan lain-lain.


b.      Tanah yang diperoleh dari hasil rampasan perang (ghanimmah)

Selain yang telah disebutkan diatas, perolehan tanah menurut Islam adalah hasil dari penaklukan wilayah melalui perang yang dikenal dengan harta hasil rampasan perang (ghanimmah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam Al Quran Surat Al Anfaal (8) : 41 :

 “Dan ketahuilah bahwa harta ghanimah yang kamu peroleh,  seperlima adalah untuk Allah Ta’ala, Rasul dan sanak kerabatnya, anak-anak yatim, orang miskin dan para musafir”

Setelah Rasulullah, Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, meninggal dunia (wafat), timbullah peperangan-peperangan dengan kerajaan Romawi dan kerajaan Parsi, yang berakhir dengan kemenangan tentara Islam, sehingga banyak daerah-daerah yang dibebaskan oleh tentara Islam yang menjadi terlantar, sehingga meninggalkan tanah-tanah yang berasal dari :
a. Tanah yang dahulunya milik musuh yang gugur dalam pertempuran;
b. Tanah yang dimiliki raja Parsi dan Romawi serta tanah milik pembesar/menterinya;
c. Tanah yang sejak dahulu sebagai tanah yang belum diusahakan (tanah mati).
Didalam kurun waktu ini, Umar bin Khaththab radhiyaallahuanhu. telah mengambil alih harta kaisar Parsi dan harta/tanah-tanah keluarga kerajaan serta tanah-tanah yang ditinggalkan lari oleh pemiliknya.
Berangkat dari sebuah hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari Abu „Ubaid Qasim bin Salam bahwa : Peninggalan tanah (oleh orang purbakala) adalah milik Allah dan Rasul-Nya, kemudian untukmu semua”, sehingga status tanah tersebut jatuh ketangan pemimpin negara. Selanjutnya perlakuan terhadap tanah tersebut yaitu untuk tanah yang mati akan dibagikan untuk diusahakan serta yang lain dikelola dalam rangka menambah pemasukan keuangan negara serta untuk menyehatkan perekonomian negara. Inilah dalam sejarah tercatat sebagai asal muasal HUKUM IQTHA dalam sejarah pemerintahan Islam.

Imam Qurthubi mengatakan : pertanian termasuk fardhu kifayah, oleh karena itu wajib bagi imam/negara memaksakan manusia kearah itu dan apa saja yang termasuk pengertiannya dalam bentuk menanami dengan pepohonan. Didalam sebuah hadits dari Siti „Aisyah radhiyaallahuanhu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata : Iltamisuu rizqa min khabayal ardhi, Galilah rejeki dari celah-celah (perut) bumi. (Hadits Riwayat at-Tirmidzi).

Pengertian Bagi Hasil Tanah adalah : Transaksi pengolahan bumi dengan (upah) sebagian hasil yang keluar daripadanya. Yang dimaksudkan disini adalah pemberian hasil untuk orang yang mengolah/menanami tanah dari yang dihasilkannya seperti, setengah, atau sepertiga, atau lebih rendah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (petani dan pemilik tanah). Bagi hasil merupakan jenis kerjasama antara pekerja (buruh tani) dan pemilik tanah. Hal itu terjadi karena buruh tani mempunyai keahlian mengolah tanah, tetapi tidak mempunyai tanah garapan, sedangkan sebaliknya pemilik tanah tidak mempunyai keahlian untuk bercocok tanam. Berdasarkan hubungan timbal balik kepentingan tersebut, Islam mensyariatkan kerja sama sebagai bukti pertalian dua belah pihak.

Perbuatan itu dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan dilakukan oleh para sahabat sesudah itu. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyaallahuanhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah sebagian dari bebijian dan buah-buahan yang dapat ditumbuhkan oleh tanah Khaibar. Kemudian Muhammad Al Baqir bin Ali bin Al Husain radhiyaallahuanhu. Berkata : tak ada seorang Muhajirin pun yang ada di Madinah, kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan sepertiga atau seperempat. Dan Ali bin Abu Thalib radhiyaallahuanhu, Said bin Malik, Abdullah bin Masud, Umar bin Abdul ‘Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, semua terjun ke dunia pertanian” (Hadist Riwayat Al Bukhari). Didalam kitab Al Mughni dikatakan :”Hal ini masyhur, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengerjakan sampai dengan beliau kembali ke rahmatullah (wafat), kemudian dilakukan pula oleh para khalifahnya sampai mereka meninggal dunia, kemudian keluarga mereka sesudah mereka”. Kemudian di Madinah tak ada seorang penghuni rumahpun yang tidak melakukan ini, termasuk istri-istri Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, yang terjun sesudah beliau, sehingga teladan (uswah) ini tidak boleh dihapuskan.



c.        Perjanjian Sewa Menyewa Tanah (Ijaratul Ardh)

Mengenai sewa tanah untuk bertani dengan uang, makanan dan lain-lain yang dikategorikan harta, menurut suatu riwayat dari Hanzalah bin Qais radhiyaallahuanhu. Aku pernah menanyakan Rafibin Khudaij tentang tanah, ia menjawab : “Rasulullah melarangnya” lalu aku berkata : ”Dengan uang emas dan perak?. Ia lalu menjawab : Adapun dengan uang emas dan perak itu tidak mengapa”. (Riwayat Al Khamasah, kecuali At Tirmidzi).
Sebagian ulama berpendapat melarang menyewakan lahan pertanian berdasarkan hadits riwayat Bukhari, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : “Barangsiapa mempunyai tanah pertanian, hendaklah ia mengolahnya atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan (memberikan), maka tahanlah tanah itu”. Kemudian didalam hadits yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah melarang upah (Ajrun) atau bagi hasil (Hazhun) dari tanah.

d.      Tanah yang diperoleh dari pemberian Ulil Amri

Kepemilikan tanah seseorang  juga diperoleh dari Ulil Amri. Tanah ini dapat berasal dari tanah orang-orang musyrik yang tidak boleh diwarisi oleh keluarganya yang muslim dan dan ahli warisnya adalah Kepala Negara yang dimasukkan kedalam perbendaharaan Baitul Mal kaum muslimin atau yang diambil dari tanah liar yang tak ada pemiliknya sama sekali. Nabi Shalallah ‘alau’Alaihi Wassalam telah memberikan tanah yang berstatus seperti ini kepada Abu Bakar radhiyallah anhu dan Umar bin Khathab radhiyallah ‘alau anhu, sebagaimana dilakukan juga oleh Khalifah pengganti beliau, sebagai penghargaan atas jasanya yang nyata dan pengabdiannya kepada Islam.
Ada beberapa pendapat mengenai peran pemimpin dalam memberikan tanahnya kepada masyarakat. Sebagian ulama berpendapat bahwa masyarakat dalam menghidupkan tanah tanah secara otomatis langsung memilikinya. Sebagian ulama berpendapat sebaliknya yakni masyarakat dalam menghidupkan tanah tidak otomatis langsung memilikinya tetapi harus mendapat izin dari pimpinan negara.
Pendapat Jumhur alim ulama bahwa untuk dapat mememiliki secara sah tanah yang mati tersebut, tidak perlu ijin dari Imam atau negara. Melainkan siapa yang lebih dahulu membuka tanah itu, kemudian merawatnya dan memanfaatkan sebagaimana mestinya, maka dialah yang berhak.

Pendapat Abu Hanifah bahwa Ijin Imam atau negara memang diperlukan, sebab kalau tidak demikian, maka banyak orang yang memperebutkan tanah itu, sehingga menimbulkan pertengkaran diantara yang memperebutkan tanah itu.

Sebagian ulama lagi mengatakan : apabila tanah yang dimaksudkan untuk dibuka itu, tidak ada orang lain yang menyukainya, maka tidak perlu ijin imam/negara, sebaliknya kalau banyak yang menginginkan, maka perlu ijin negara.
Bersandarkan pendapat ulama tersebut, maka pada dasarnya semua tanah itu dikuasai negara, sehingga pemanfaatannya maupun kepemilikannya diatur oleh imam/negara, untuk menghindari kekacauan (Chaos), baik kekacauan dalam kepemilikan maupun kekacauan dalam pemanfaatannya. (.Mustafa Husni Assibai, Dalam bukunya Kehidupan Sosial Menurut Islam, Bab. 4, hal. 166-167)

Tidak ada komentar: