A. PROSES PEMBERIAN HAK ATAS TANAH
(IQTHA’) OLEH ULIL AMRI PADA MASYARAKAT
P
|
emberian hak atas tanah oleh ulil amri
dinyatakan sah, jika tanah tersebut belum ada yang memilikinya dan tidak sah
jika ternyata sudah ada pemiliknya. Pemberian hak atas tanah ini dibagi
menjadi dua jenis hak yaitu : pemberian hak atas tanah dengan status hak
milik dan pemberian hak atas tanah dengan status Hak Pakai. (Al
Mawardi; Al Ahkam As-Sulthanniyah, Bab.17, hal 320-334)
1. Pemberian Hak atas tanah dengan
status Hak Milik
Pemberian hak atas tanah dengan status
hak milik ini dibagi menjadi tiga jenis yaitu : lahan mati, tanah garapan dan
lokasi pertambangan.
a.
Pemberian Hak Atas Tanah dengan Status
Hak Milik Pada Lahan Mati.
Untuk hal ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
Pertama, lahan yang statusnya lahan mati sepanjang jaman, belum pernah
digarap dan belum dimiliki siapapun. Lahan dengan status seperti ini boleh
diberikan Imam kepada orang yang siap menghidupkan dan menggarapnya. Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah memberi lahan seperti ini kepada
Zubeir bin Awwam atas tanah yang terletak di Naqi’ seluas lari kudanya, kemudian ia
menyuruh kudanya lari. Setelah itu ia melempar dengan talinya karena ingin
tanahnya bertambah. Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wassalam kemudian
bersabda,”Beri dia hingga akhir talinya.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud).
Kedua, tanah garapan yang tidak terurus hingga menjadi tanah yang tidak
produktif. Tanah jenis seperti ini dibagi menjadi dua bagian yaitu : pertama,
tanah yang tidak produktif sejak jaman jahiliyah, misalnya bumi ‘Ad dan Tsamud.
Tanah seperti ini boleh diberikan kepada seseorang, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam, bersabda, ”Bumi ‘Ad itu milik Allah dan Rasul-Nya, kemudian
menjadi milik kalian dariku”. Kedua, tanah yang tidak
produktif sejak jaman Islam. Perlakuan terhadap tanah seperti ini para fuqaha
berbeda pendapat yaitu : Imam Syafi’i, jika seseorang menghidupkan tanah
tersebut, tidak otomatis menjadi pemiliknya. Imam Malik, jika seseorang
menghidupkan tanah tersebut, dengan sendirinya menjadi pemiliknya serta Abu
Hanifah berpendapat, jika pemilik yang sebenarnya diketahui, ia tidak
otomatis menjadi pemiliknya. Sebaliknya jika pemilik tanah tidak diketahui,
maka ia otomatis menjadi pemiliknya.
Kemudian jika tanah tidak dihidupkan
karena tanpa udzur syar’i, Abu Hanifah berkata, “Tidak ada tindakan apapun
terhadapnya sebelum tiga tahun. Jika dalam waktu tiga tahun ia menghidupkan
tanahnya, maka lahan tersebut menjadi miliknya. Jika tidak memanfaatkan sesudah
tiga tahun, hak atas tanah tersebut dicabut, dengan dalil Umar bin Khaththab
Radhiyallahu ’Anhu menjadikan masa berlaku pemberian
hak atas tanah selama tiga tahun. Imam Syafi’i berpendapat bahwa : “Penundaan
waktu tidak diwajibkan dan yang menjadi ukurannya adalah kemampuan
menghidupkannya, maka dikatakan kepadanya jika engkau menghidupkannya, tanah
tersebut menjadi penguasaanmu, dan jika sebaliknya, engkau harus melepaskannya
agar tanah tersebut kembali semula sebelum diberikan kepadamu”.
Selanjutnya jika lahan mati tersebut
diambil alih orang lain, kemudian dia menghidupkannya, maka para fuqaha berbeda
pendapat tentang hukumnya yaitu :
1)
Imam Syafi’i: Orang yang menghidupkannya lebih berhak atas lahan tersebut
daripada orang yang diberikan hak atas tanah oleh Imam (Khalifah).
2)
Abu Hanifah: Jika lahan tersebut
dihidupkan sebelum tiga tahun, maka lahan tersebut menjadi milik orang yang
diberi tanah tersebut. Jika lahan tersebut dihidupkan setelah tiga tahun, maka
menjadi milik orang yang menghidupkannya.”
3)
Imam Malik: Jika seseorang
menghidupkan lahan tersebut dan mengetahui orang yang diberi tanah oleh Imam,
maka tanah tersebut menjadi pemilik yang diberi tanah. Jika ia menghidupkan
tanpa mengetahui orang yang diberi Imam, maka orang yang diberi tanah tersebut
bebas memilih antara mengambil lahan dengan mengganti rugi penggarapan kepada
yang menghidupkan, atau melepaskan kepada yang menghidupkan dengan ganti rugi
seharga sebelum dihidupkan”.
1.
Pemberian Lahan Garapan.
Pemberian lahan garapan dibagi menjadi
dua jenis yaitu :
Pertama, lahan yang sudah jelas pemiliknya. Terhadap lahan seperti ini,
Imam (Khalifah) tidak mempunyai wewenang kecuali terhadap Baitul Mal (Kas
Negara) yang terkait dengan lahan tersebut, jika terletak di negara Islam, baik
milik orang Islam maupun milik orang kafir dzimmi. Jika tanah tersebut
berada di negara kafir yang tidak dikuasai kaum muslimin, kemudian Imam ingin
memberikannya kepada seseorang jika suatu saat nanti dikuasai kaum muslimin,
maka diperbolehkan.
Tamim Ad-Dari pernah meminta kepada
Rasulullah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, memberikan mata air
di wilayah Syam sebelum ditaklukkan, kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam mengabulkannya. Kemudian Rasulullah Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam pernah diminta Abu Tsaalabah Al-Khusyani memberikan tanah yang ketika
itu masih dikuasai orang Romawi. Beliau merasa heran akan permintaan Abu Tsaalabah Al-Khusyani, kemudian Beliau
bersabda: Apakah kalian mendengar apa yang dikatakan Abu Tsa’labah Al-Khusyani? Abu Tsaalabah Al-Khusyani berkata,”demi Dzat yang mengutusmu dengan
membawa kebenaran, Allah pasti menaklukkan daerah tersebut untukmu.” Kemudian Rasulullah
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, mengirimkan surat untuk Abu Tsa’labah Al-Khusyani untuk menjelaskan kepadanya persetujuan beliau
akan permintaannya.
Kedua, lahan yang tidak jelas siapa pemiliknya, lahan seperti ini
dibagi menjadi tiga jenis yaitu :
1)
Lahan yang dipilih Imam (khalifah)
untuk Baitul Mal (Kas Negara). Umar bin Khaththab ra, pernah mengambil kekayaan
Kisra (Raja Parsi) dan kekayaan keluarganya didaerah As’ad, dan daerah-daerah
yangg ditinggalkan penduduk dan yang terbunuh, dengan jumlah kekayaan mencapai
senilai 900.000 dirham dan semuanya dialokasikan untuk kepentingan kaum
muslimin. Kemudian ketika Utsman bin Affan menjabat khalifah, maka harta
tersebut dibagi-bagikan dengan alasan lebih mendatangkan kemaslahatan, dengan
memberi syarat bagi penerima bagian dengan hak sewa bukan dengan hak milik.
Menurut suatu riwayat uang sewa yang terkumpul mencapai 50.000.000 dirham,
dimana lembaga serupa dilaksanakan oleh khalifah sesudahnya.
2)
Lahan pajak, lahan yang tidak boleh
diberikan Imam (Khalifah) kepada seseorang dengan status hak milik.
3)
Lahan yang ditinggal mati pemiliknya
yang tidak mempunyai ahli waris. Tanah tersebut berpindah tangan kepada Baitul
Mal (Kas Negara) sebagai warisan seluruh kaum muslimin. Terhadap status
tanah tersebut para fuqaha’ berpendapat sebagai berikut : Abu Hanifah berkata,”
Lahan tersebut menjadi harta waris orang yang tidak mendapatkan warisan dan
didistribusikan secara khusus kepada orang-orang fakir sebagai sedekah bagi si
mayit”. Sedangkan Imam Syafii, “lahan tersebut harus dialokasikan kepada
kepentingan umum kaum muslimin, karena berasal dari hak milik perorangan yang
telah menjadi hak milik umum karena telah berpindah tangan ke Baitul Mal (Kas
Negara).
2. Pemberian lahan dengan
status Hak Pakai.
Pemberian lahan dengan status hak
pakai dibagi menjadi dua jenis yaitu tanah zakat dan lahan pajak.
a) Tanah zakat, imam (khalifah) tidak boleh
diberikan kepada seseorang, karena lahan tersebut merupakan tanah zakat untuk
para penerimanya dan menjadi milik mereka jika telah diberikan.
b) Lahan pajak, hukum imam (khalifah) dapat memberikan
kepada seseorang, sangat terkait dengan kondisi penerima, yaitu ia tidak
termasuk penerima zakat, kedua ia tidak mempunyai sumber penghidupan dan ketiga
penerima fa’i yang menerima
gaji resmi dari negara, sebagai imbalan jasanya dalam melindungi wilayah negara
seperti tentara.
3.
Pemberian Lokasi Pertambangan.
Pemberian lokasi pertambangan dimana
didalamnya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala telah disediakan
barang-barang perhiasan dan lain-lain, dibagi menjadi dua bagian yaitu : bagian
yang terlihat dan bagian yang terpendam.
a)
Lokasi pertambangan yang terlihat,
seperti garam, minyak, air dan lain-lain tidak boleh diberikan secara
perorangan. Semua manusia mempunyai hak yang sama terhadapnya dengan
mengambilnya ketika berada di lokasi pertambangan tersebut. Dalam suatu riwayat
Tsabit bin Sa‟id meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya bahwa,” Al-Abyadz
bin Hammal meminta Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memberinya lokasi
garam di Ma’rab, kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memberikannya.
Al’Aqra bin Habis As-Sulami berkata,” Wahai Rasulullah sesungguhnya
aku ke lokasi garam tersebut pada masa jahiliyah. Garam tidak ditemukan selain
di lokasi tersebut. Barangsiapa datang ke lokasi garam tersebut maka dia berhak
mengambil garamnya. Garam tersebut seperti air yang mengalir terus menerus
(al-ma’u al iddi), disuatu daerah Al-Aqra meminta Al-Abyadz meminta
mengundurkan diri dari kepemilikan lokasi garam tersebut. Al-Abyadz
berkata,”Sungguh aku akan melepaskan kepemilikan atas garam tersebut, namun
engkau jadikan sebagai sedekah atas namaku”. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam bersabda : Garam tersebut adalah sedekah darimu. Lokasi garam tersebut
seperti air yang mengalir terus menerus, siapa datang kepadanya, ia berhak
mengambilnya”. (Diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Berdasarkan hadits diatas menurut Abu Ubaid, istilah Al-ma’u al iddi diartikan sebagai air yang terus
menerus mengalir sehingga melimpah ruah, maka penerima pemberian lokasi
pertambangan mempunyai hak yang sama dengan orang lain yang membutuhkan,dilarang
menghalang-halangi orang lain yang mengambilnya dan dilarang menambang secara
permanen sehingga tidak menjadi hak miliknya.
Pemberian lokasi pertambangan terdapat dua pendapat yaitu pertama
tidak boleh, karena semua orang mempunyai hak yang sama.
Kedua boleh, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Katsir bin
Abdullah bin Amr bin Auf Al-Muzani dari kakeknya, bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam , memberi Bilal bin Al Harits tambang kabilah;
tambang di al Jalsiyyu atau tambang di al-ghauriyyu, serta daerah di gunung
Najed yang bisa ditanami. Beliau tidak memberikan tanah tersebut berdasarkan
hak seorang muslim” (Diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad).
b) Menurut pendapat kedua, orang yang diberi lokasi pertambangan
lebih berhak atas lokasi tersebut dan berhak melarang orang yang mengambil
sesuatu di lokasi pertambangan itu. Terhadap masalah ini terdapat dua pendapat
yaitu : pertama, pemberian lokasi pertambangan tersebut dengan status
hak milik. Kedua, pemberian lokasi pertambangan tersebut dengan status
hak pakai, sehingga siapapun tidak boleh mengambil manfaat di lokasi
pertambangan tersebut selama masih diusahakan. Imam Al-Mawardi berpendapat,
jika seseorang dalam menghidupkan tanah yang mati, menemukan barang tambang
baik yang terlihat maupun yang terpendam, maka dia berhak atas hasil tambang
tersebut sebagaimana ia berhak memiliki mata air dan sumur yang ia gali.
Berdasarkan pendapat tersebut didalam ajaran Islam diakui hak bersama (komunal)
maupun hak milik (Individual), sehingga peran Imam (khalifah) yang adil
sangat dibutuhkan sehingga dapat dihindari kekacauan (chaos) dalam
kepemilikan maupun pemanfaatan barang tambang tersebut untuk kemakmuran
bersama.
B. LARANGAN MENGUBAH BATAS TANAH YANG
DIMILIKI ATAU DIKUASAI SESEORANG
D
|
alam islam penguasaan tanah mempunyai
kedudukan yang sangat mulia selama dipergunakan untuk kemaslahatan sesuai
tuntunan syar’i, sehingga orang merebut atau merubah batas-batas tanah yang dikuasai
seseorang akan mendapat kemudharatan di dunia hingga akhirat kelak. Berkaitan dengan larangan mengubah batas
tanah, dari hadist Ali r.a., dan juga dari Ibnu Abbas r.a . Rasulullah bersabda
:”Allah melaknat orang yang berkurban untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang merubah batas-batas
tanah, Allah melaknat orang yang membuat bingung orang buta dari jalannya,
Allah melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya dan Allah melaknat orang
yang melakukan perbuatan kaumnya nabi luth (homoeksual.”(HR. Abdul Aziz ad
Darawardi)
Dalam Kitab Syarah Al Kabair (Dosa-Dosa Yang
Membinasalan) Karya Imam Adz-Dzahabi, Syaikh Muhammad Bin Shaleh ‘Al
–Utsaimin hal 384 menjelaskan : ” Allah melaknat orang yang merubah
batas-batas tanah”. Maksudnya sebidang tanah. Jika seseorang bertetangga
dalam satu areal tanah , lalu memindahkan pembatas tanahnya sehingga sebagian
tanah tetangga terambil. Orang yang demikian terlaknat melalui lisan
rasulullah. Di akhirat kelak, tanah tetangga yang diserobotnya akan dikalungkan
dilehernya, sebagai mana Hadist riwayat ‘Aisyah, rasulullah bersabda :”Barangsiapa
mengambil tanah(milik orang lain) dengan cara dzalim walaupun hanya sejengkal,
maka di akhirat kelak akan dikalungkan dari tujuh lapis bumi.”
Dalam Kitab Syarah Al Kabair Karya Iman
Adz Dzahabi, hal 179-181, Syaikh
Utsaimin menegaskan bahwa hadist diatas menunjukkan sebuah bentuk kedzaliman.
Yaitu dzalim dalam bidang pertanahan. Kedzaliman dalam bidang pertanahan ini
termasuk dosa yang paling besar, karena rasulullah bersabda:”Dilaknat orang
yang merubah tanah orang lain.”
Para ulama berkata yang dimaksud adalah
mengubah batas tanah”. Jika ada seseorang yang mengubah batas tanah milik
seseorang seperti dengan memasukkan satu jengkal tanah seseorang kedalam batas
tanah orang lain, maka ia termasuk orang yang dilaknat dengan lisan rasulullah.
Maksud laknat dalam hadist ini adalah terusir dan dijauhkan dari rahmat Allah
Ta’ala.
Bentuk azab lain yang terkandung dalam hadist
ini adalah jika ada seseorang mengambil sejengkal tanah milik orang lain dengan
cara zalim, maka tanah tersebut di hari kiamat kelak akan dikalungkan dari
tujuh lapis bumi. Karena bumi terdiri dari tujuh lapis, sebagaimana dijelaskan
dalam sebuah hadist dan dalam Al Qur’an surat Ath Thalaq 12 : “Allahlah yang
menciptakan tujuh langit dan bumi seperti itu pula.”
Bentuk persamaan dalam ayat ini bukan
menyamakan bentuknya. Karena langit dan bumi sngat berbeda sebagaimana halnya
jarak antara keduanyapun sangat jauh dan langit jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan bumi, lebih luas dan lebih agung. Al qur’an Surat Ad
Dzariyat : 47 :” Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan
(Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”. Yakni
dengan kekuatan, Allah berfirman dalam Qs An Naba : 12 :” dan
Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh,”
Apabila seseorang menyerobot sejengkal tanah,
maka tanah tersebut akan dikalungkan dilehernya dari tujuh lapis bumi di hari
kiamat kelak. Allah akan menimpakan dipundaknya dan ia akan membawanya
dihadapan manusia dan dihadapan seluruh alam dan ia akan dihinakan di hari kiamat
kelak. Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa”sejengkal tanah” bukanlah
berarti membatasi hanya sejengkal, tetapi untuk melebih-lebihkan.Maksudnya jika
ia mengambil dibawah ukuran itu, maka tanah tersebut akan dikalungkan
kepadanya. Orang-orang arab biasa menyebut kata-kata semacam ini untuk
melebih-lebihkan. Maksudnya, walaupun ia mengambil sedikit saja, maka tanah
tersebut tetap akan dikalungkan dilehernya di hari kiamat kelak.
Lebih lanjut Syaikh Utsaimin bin Shalih Al
Utsaimin menjelaskan, dari hadist ini menegaskan bahwa tanah yang dimiliki
seseorang, berarti ia juga memiliki bagian bawahnya sampai lapisan paling
dalam, sampai lapisan tujuh. Maka tidak boleh orang lain untuk membuat
terowongan didalam tanahnya kecuali seizing pemilik tanah. Misalkan anda
memiliki tanah seluas tiga meter diatas tanah milik tetangga anda. Kemudian
tetanggamu menginginkan untuk membuat terowongan melewati kedua tanah tersebut
dan melewati bawah tanah anda. Maka tidak ada hak baginya (tetangga) untuk
melakukan hal tersebut, karena anda yang memiliki tanah dan apa yang berada
didalamnya sampai lapisan tanah yang ketujuh sebagaimana juga udara milikmu
sampai ke langit. Maka tidak boleh seorangpun membangun atap di atas tanahmu,
kecuali sizing anda.
Para Ulama berkata”Langit mengikuti tanah
dan tanah tersebut menghujam sampai kedalaman tujuh lapis bumi. Berarti orang
memiliki bagian atas dan bagian bawah tanah, tidak ada orang yang berlaku
semena-mena dalam hal ini.”
Para Ulama berkata : “Jika tetanggamu
memiliki pohon, kemudian dahannya menjulur ketanahmu, maka pemilik pohon harus
mengalihkannya dari tanahmu. Jika tidak dapat, maka dahan tersebut harus
ditebang. Kecuali dengan seizing dan pernyataan dari anda sendiri(anda
mengizinkan). Karena langit yang ada di atas tanah anda merupakan milik
anda(mengikuti tanahnya”
Lebih lanjut syaikh Utsaimin-dalam hal
3.86-menjelaskan “batas-batas tanah” maksudnya adalah tanda-tanda dan
garis-garis yang membatasi dua tetangga.Barangsiapa yang mengubahnya secara
dzalim, maka ia pantas menerima laknat. Betapa
banyak orang yang mengubah batas tanah ini, terutama saat harga tanah melambung
tinggi. Perkara ini tidak dapat dianggap sepele, karena orang yang telah
mengambil tanah dan mengubah batasnya, serta mengambil sesuatu yang tidak
pantas ia ambil, sebenarnya ia tidak mengetahui (kelanjutannya).. Karena bisa
saja ia akan memanfaatkan tanah hasil kezalimannya tersebut di dunia, terkadang
ia meninggal dunia sebelum menikmatinya dan terkadang ia terkena musibah yang
merenggut tanah yang telah diambilnya
C. PENERAPAN KONSEP IHYA’UL MAWAT
I
|
mam Al
Mawardi dalam Kitab Al Ahkam As Sulthaniyyah,
bab15 halam 293 menjelaskan bahwa : Pengertian “ Menghidupkan (membuka)
tanah yang mati (Ihyaul Mawat)” yaitu : memelihara dengan cara mengairi
tanah kalau keadaannya tidak berair, atau mengeringkan kalau keadaannya
tergenang air atau dengan cara menanaminya, atau mendirikan bangunan, atau
dengan cara apa saja yang membuat tanah itu dapat dipungut hasilnya serta dapat
diambil manfaatnya, yang asalnya menganggur tanpa faedah sama sekali” Imam
Al-Mawardi mengatakan : Pengertian menghidupkan atau membuka tanah yang mati
dikembalikan saja menurut yang biasa difahami orang banyak dalam mengartikan
tujuan itu, sebab Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjelaskannya secara
bebas, tidak terbatas. Jadi harus diartikan menurut pendapat umum yang biasa
berlaku. Oleh sebab itu kalau maksud membukanya itu untuk tempat tinggal tentu
dibuatkan bangunan dan diatapi diatasnya, sebab seperti itulah, jikalau hendak
dijadikan tempat tinggal. Adapun kalau yang dimaksudkan itu untuk
dijadikan sawah ladang, maka diperlukan tiga syarat yaitu :
Pertama : menumpuk sekedar tanah yang merupakan batas
(pematang), disekeliling tanah yang hendak dibuka, untuk membatasi dengan yang
belum dibuka.
Kedua : mengalirkan air
kalau tanah itu kering ataupun mengeringkannya kalau memang basah atau tergenang air, sebab memang begitulah
cara membuka tanah itu. Jadi yang kering akan cukup air dan yang basah akan
menahan air, sehingga dapat digunakan untuk sawah ladang/bercocok tanam.
Ketiga : membajaknya yakni membiarkan yang sudah rata,
meratakan yang masih agak tinggi tempatnya dan menimbun yang rendah.
Selain
melakukan pemberdayaan terhadap tanah, pengertian “ Menghidupkan (membuka) tanah yang
mati (Ihya’ul Mawat)” menyangkut pembuatan batas-batas terhadap tanah yang
telah diusahakan. Hal ini perlu dilakukan karena ini bukanlah perkara yang
sepele, karena ini berimplikasi pada hukum-hukum kepemilikan. Hal ini sebagai
mana tercantum dalam hadist dari Asmar bin Mudlris berkata :
“maka banyaklah orang bercepat-cepat meletakkan batas-batas ditanah”
yakni membatasi tanah yang nanti akan diusahakan dan berasal dari tanah yang
mati itu. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud).
Didalam hadits lain riwayat
Abu Dawud, Rasulullah berkata : “Siapa yang memagari diatas tanah (tandus),
itu menjadi miliknya”.
Bahkan dari Ibnu Tufail
dari Ali bin Abu Thalib, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda:” Allah Ta’ala melaknat
orang yang melaknat orang tuanya, menyembelih bukan karena Allah Ta’ala dan merubah
batas tanah (HR. Ahmad).
Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘alau anhu, juga pernah berkhutbah diatas mimbar dan beliau berkata :” Hai
sekalian manusia, barangsiapa yang membuka tanah mati, maka tanah itu menjadi
miliknya”.
Didalam hadits lain lagi
yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari ‘Aisyah r.a.: Rasulullah
bersabda :’Iltamisuu rizqa min khabayal ardhi, Galilah rejeki
dari celah-celah (perut) bumi.
Ada hal yang wajib diperhatikan. Menurut islam
orang yang melakukan perubahan atau melakukan penggeseran terhadap tanah yang
dimiliki seseorang maka termasuk dosa besar. Pelakunya terancam masuk neraka.
Dalam hadits marfu’ dari
Abdullah bin Umar Radhiallahu'anhu disebutkan :
“Barang siapa mengambil
tanah (orang lain) meski sedikit dengan tanpa hak niscaya dia akan
ditenggelamkan dengannya pada hari kiamat sampai ke (dasar) tujuh lapis bumi”
(HR Al Bukhari, lihat fathul Bari : 5/103).
Ya’la bin Murrah
Radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Siapa yang menzhalimi
(dengan mengambil) sejengkal dari tanah (orang lain) niscaya Allah membebaninya
dengan menggali tanah tersebut (dalam riwayat Ath Thabrani : menghadirkannya)
hingga akhir dari tujuh lapis bumi, lalu Allah mengkalungkannya (di lehernya)
pada hari kiamat sehingga seluruh manusia diadili” (HR Ath Thabrani dalam Al
Kabir, 22/270; shahihul jam’: 2719).
“Allah melaknat orang
yang mengubah tanda-tanda (batasan) tanah” (HR Muslim, syarah Nawawi, 13/141).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar