26 Januari 2012

PENGELOLAAN PERTANAHAN DALAM BINGKAI SUNNAH (Bagian_3)



A. PROSES PEMBERIAN HAK ATAS TANAH (IQTHA’) OLEH ULIL AMRI  PADA MASYARAKAT
 P

   emberian hak atas tanah oleh ulil amri dinyatakan sah, jika tanah tersebut belum ada yang memilikinya dan tidak sah jika ternyata sudah ada pemiliknya. Pemberian hak atas tanah ini dibagi menjadi dua jenis hak yaitu : pemberian hak atas tanah dengan status hak milik dan pemberian hak atas tanah dengan status Hak Pakai. (Al Mawardi; Al Ahkam As-Sulthanniyah, Bab.17, hal 320-334)

1. Pemberian Hak atas tanah dengan status Hak Milik

   Pemberian hak atas tanah dengan status hak milik ini dibagi menjadi tiga jenis yaitu : lahan mati, tanah garapan dan lokasi pertambangan.

           a.       Pemberian Hak Atas Tanah dengan Status Hak Milik Pada Lahan Mati.

                 Untuk hal ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

Pertama, lahan yang statusnya lahan mati sepanjang jaman, belum pernah digarap dan belum dimiliki siapapun. Lahan dengan status seperti ini boleh diberikan Imam kepada orang yang siap menghidupkan dan menggarapnya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah memberi lahan seperti ini kepada Zubeir bin Awwam atas tanah yang terletak di Naqi seluas lari kudanya, kemudian ia menyuruh kudanya lari. Setelah itu ia melempar dengan talinya karena ingin tanahnya bertambah. Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wassalam kemudian bersabda,”Beri dia hingga akhir talinya.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud).

Kedua, tanah garapan yang tidak terurus hingga menjadi tanah yang tidak produktif. Tanah jenis seperti ini dibagi menjadi dua bagian yaitu : pertama, tanah yang tidak produktif sejak jaman jahiliyah, misalnya bumi ‘Ad dan Tsamud. Tanah seperti ini boleh diberikan kepada seseorang, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, bersabda, ”Bumi ‘Ad itu milik Allah dan Rasul-Nya, kemudian menjadi milik kalian dariku”. Kedua, tanah yang tidak produktif sejak jaman Islam. Perlakuan terhadap tanah seperti ini para fuqaha berbeda pendapat yaitu : Imam Syafi’i, jika seseorang menghidupkan tanah tersebut, tidak otomatis menjadi pemiliknya. Imam Malik, jika seseorang menghidupkan tanah tersebut, dengan sendirinya menjadi pemiliknya serta Abu Hanifah berpendapat, jika pemilik yang sebenarnya diketahui, ia tidak otomatis menjadi pemiliknya. Sebaliknya jika pemilik tanah tidak diketahui, maka ia otomatis menjadi pemiliknya.

Kemudian jika tanah tidak dihidupkan karena tanpa udzur syar’i, Abu Hanifah berkata, “Tidak ada tindakan apapun terhadapnya sebelum tiga tahun. Jika dalam waktu tiga tahun ia menghidupkan tanahnya, maka lahan tersebut menjadi miliknya. Jika tidak memanfaatkan sesudah tiga tahun, hak atas tanah tersebut dicabut, dengan dalil Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu menjadikan masa berlaku pemberian hak atas tanah selama tiga tahun. Imam Syafii berpendapat bahwa : “Penundaan waktu tidak diwajibkan dan yang menjadi ukurannya adalah kemampuan menghidupkannya, maka dikatakan kepadanya jika engkau menghidupkannya, tanah tersebut menjadi penguasaanmu, dan jika sebaliknya, engkau harus melepaskannya agar tanah tersebut kembali semula sebelum diberikan kepadamu”.

Selanjutnya jika lahan mati tersebut diambil alih orang lain, kemudian dia menghidupkannya, maka para fuqaha berbeda pendapat tentang hukumnya yaitu :

1)     Imam Syafii: Orang yang menghidupkannya lebih berhak atas lahan tersebut daripada orang yang diberikan hak atas tanah oleh Imam (Khalifah).

2)     Abu Hanifah: Jika lahan tersebut dihidupkan sebelum tiga tahun, maka lahan tersebut menjadi milik orang yang diberi tanah tersebut. Jika lahan tersebut dihidupkan setelah tiga tahun, maka menjadi milik orang yang menghidupkannya.”

3)     Imam Malik: Jika seseorang menghidupkan lahan tersebut dan mengetahui orang yang diberi tanah oleh Imam, maka tanah tersebut menjadi pemilik yang diberi tanah. Jika ia menghidupkan tanpa mengetahui orang yang diberi Imam, maka orang yang diberi tanah tersebut bebas memilih antara mengambil lahan dengan mengganti rugi penggarapan kepada yang menghidupkan, atau melepaskan kepada yang menghidupkan dengan ganti rugi seharga sebelum dihidupkan”.


1.      Pemberian Lahan Garapan.

Pemberian lahan garapan dibagi menjadi dua jenis yaitu :

Pertama, lahan yang sudah jelas pemiliknya. Terhadap lahan seperti ini, Imam (Khalifah) tidak mempunyai wewenang kecuali terhadap Baitul Mal (Kas Negara) yang terkait dengan lahan tersebut, jika terletak di negara Islam, baik milik orang Islam maupun milik orang kafir dzimmi. Jika tanah tersebut berada di negara kafir yang tidak dikuasai kaum muslimin, kemudian Imam ingin memberikannya kepada seseorang jika suatu saat nanti dikuasai kaum muslimin, maka diperbolehkan.

Tamim Ad-Dari pernah meminta kepada Rasulullah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, memberikan mata air di wilayah Syam sebelum ditaklukkan, kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengabulkannya. Kemudian Rasulullah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah diminta Abu Tsaalabah Al-Khusyani memberikan tanah yang ketika itu masih dikuasai orang Romawi. Beliau merasa heran akan permintaan Abu Tsaalabah Al-Khusyani, kemudian Beliau bersabda: Apakah kalian mendengar apa yang dikatakan Abu Tsalabah Al-Khusyani? Abu Tsaalabah Al-Khusyani berkata,”demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, Allah pasti menaklukkan daerah tersebut untukmu.” Kemudian Rasulullah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, mengirimkan surat untuk Abu Tsalabah Al-Khusyani untuk menjelaskan kepadanya persetujuan beliau akan permintaannya.

Kedua, lahan yang tidak jelas siapa pemiliknya, lahan seperti ini dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

1)     Lahan yang dipilih Imam (khalifah) untuk Baitul Mal (Kas Negara). Umar bin Khaththab ra, pernah mengambil kekayaan Kisra (Raja Parsi) dan kekayaan keluarganya didaerah As’ad, dan daerah-daerah yangg ditinggalkan penduduk dan yang terbunuh, dengan jumlah kekayaan mencapai senilai 900.000 dirham dan semuanya dialokasikan untuk kepentingan kaum muslimin. Kemudian ketika Utsman bin Affan menjabat khalifah, maka harta tersebut dibagi-bagikan dengan alasan lebih mendatangkan kemaslahatan, dengan memberi syarat bagi penerima bagian dengan hak sewa bukan dengan hak milik. Menurut suatu riwayat uang sewa yang terkumpul mencapai 50.000.000 dirham, dimana lembaga serupa dilaksanakan oleh khalifah sesudahnya.

2)     Lahan pajak, lahan yang tidak boleh diberikan Imam (Khalifah) kepada seseorang dengan status hak milik.

3)     Lahan yang ditinggal mati pemiliknya yang tidak mempunyai ahli waris. Tanah tersebut berpindah tangan kepada Baitul Mal (Kas Negara) sebagai warisan seluruh kaum muslimin. Terhadap status tanah tersebut para fuqaha berpendapat sebagai berikut : Abu Hanifah berkata,” Lahan tersebut menjadi harta waris orang yang tidak mendapatkan warisan dan didistribusikan secara khusus kepada orang-orang fakir sebagai sedekah bagi si mayit”. Sedangkan Imam Syafii, “lahan tersebut harus dialokasikan kepada kepentingan umum kaum muslimin, karena berasal dari hak milik perorangan yang telah menjadi hak milik umum karena telah berpindah tangan ke Baitul Mal (Kas Negara).




2.       Pemberian lahan dengan status Hak Pakai.

Pemberian lahan dengan status hak pakai dibagi menjadi dua jenis yaitu tanah zakat dan lahan pajak.

a)      Tanah zakat, imam (khalifah) tidak boleh diberikan kepada seseorang, karena lahan tersebut merupakan tanah zakat untuk para penerimanya dan menjadi milik mereka jika telah diberikan.

b)     Lahan pajak, hukum imam (khalifah) dapat memberikan kepada seseorang, sangat terkait dengan kondisi penerima, yaitu ia tidak termasuk penerima zakat, kedua ia tidak mempunyai sumber penghidupan dan ketiga penerima fai yang menerima gaji resmi dari negara, sebagai imbalan jasanya dalam melindungi wilayah negara seperti tentara.

3.       Pemberian Lokasi Pertambangan.

Pemberian lokasi pertambangan dimana didalamnya oleh Allah Subhanahu wa taala telah disediakan barang-barang perhiasan dan lain-lain, dibagi menjadi dua bagian yaitu : bagian yang terlihat dan bagian yang terpendam.

a)     Lokasi pertambangan yang terlihat, seperti garam, minyak, air dan lain-lain tidak boleh diberikan secara perorangan. Semua manusia mempunyai hak yang sama terhadapnya dengan mengambilnya ketika berada di lokasi pertambangan tersebut. Dalam suatu riwayat Tsabit bin Said meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya bahwa,” Al-Abyadz bin Hammal meminta Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memberinya lokasi garam di Marab, kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memberikannya. AlAqra bin Habis As-Sulami berkata,” Wahai Rasulullah sesungguhnya aku ke lokasi garam tersebut pada masa jahiliyah. Garam tidak ditemukan selain di lokasi tersebut. Barangsiapa datang ke lokasi garam tersebut maka dia berhak mengambil garamnya. Garam tersebut seperti air yang mengalir terus menerus (al-mau al iddi), disuatu daerah Al-Aqra meminta Al-Abyadz meminta mengundurkan diri dari kepemilikan lokasi garam tersebut. Al-Abyadz berkata,”Sungguh aku akan melepaskan kepemilikan atas garam tersebut, namun engkau jadikan sebagai sedekah atas namaku”. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : Garam tersebut adalah sedekah darimu. Lokasi garam tersebut seperti air yang mengalir terus menerus, siapa datang kepadanya, ia berhak mengambilnya”. (Diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Berdasarkan hadits diatas menurut Abu Ubaid, istilah Al-mau al iddi diartikan sebagai air yang terus menerus mengalir sehingga melimpah ruah, maka penerima pemberian lokasi pertambangan mempunyai hak yang sama dengan orang lain yang membutuhkan,dilarang menghalang-halangi orang lain yang mengambilnya dan dilarang menambang secara permanen sehingga tidak menjadi hak miliknya.
Pemberian lokasi pertambangan terdapat dua pendapat yaitu pertama tidak boleh, karena semua orang mempunyai hak yang sama.

Kedua boleh, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Katsir bin Abdullah bin Amr bin Auf Al-Muzani dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam , memberi Bilal bin Al Harits tambang kabilah; tambang di al Jalsiyyu atau tambang di al-ghauriyyu, serta daerah di gunung Najed yang bisa ditanami. Beliau tidak memberikan tanah tersebut berdasarkan hak seorang muslim” (Diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad).

b)     Menurut pendapat kedua, orang yang diberi lokasi pertambangan lebih berhak atas lokasi tersebut dan berhak melarang orang yang mengambil sesuatu di lokasi pertambangan itu. Terhadap masalah ini terdapat dua pendapat yaitu : pertama, pemberian lokasi pertambangan tersebut dengan status hak milik. Kedua, pemberian lokasi pertambangan tersebut dengan status hak pakai, sehingga siapapun tidak boleh mengambil manfaat di lokasi pertambangan tersebut selama masih diusahakan. Imam Al-Mawardi berpendapat, jika seseorang dalam menghidupkan tanah yang mati, menemukan barang tambang baik yang terlihat maupun yang terpendam, maka dia berhak atas hasil tambang tersebut sebagaimana ia berhak memiliki mata air dan sumur yang ia gali. Berdasarkan pendapat tersebut didalam ajaran Islam diakui hak bersama (komunal) maupun hak milik (Individual), sehingga peran Imam (khalifah) yang adil sangat dibutuhkan sehingga dapat dihindari kekacauan (chaos) dalam kepemilikan maupun pemanfaatan barang tambang tersebut untuk kemakmuran bersama.


B. LARANGAN MENGUBAH BATAS TANAH YANG DIMILIKI ATAU DIKUASAI SESEORANG

  D
  alam islam penguasaan tanah mempunyai kedudukan yang sangat mulia selama dipergunakan untuk kemaslahatan sesuai tuntunan syar’i, sehingga orang merebut atau merubah batas-batas tanah yang dikuasai seseorang akan mendapat kemudharatan di dunia hingga akhirat kelak. Berkaitan dengan larangan mengubah batas tanah, dari hadist Ali r.a., dan juga dari Ibnu Abbas r.a . Rasulullah bersabda :”Allah melaknat orang yang berkurban untuk  selain Allah,  Allah melaknat orang yang merubah batas-batas tanah, Allah melaknat orang yang membuat bingung orang buta dari jalannya, Allah melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya dan Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaumnya nabi luth (homoeksual.”(HR. Abdul Aziz ad Darawardi)

       Dalam Kitab Syarah Al Kabair (Dosa-Dosa Yang Membinasalan) Karya Imam Adz-Dzahabi,  Syaikh Muhammad Bin Shaleh ‘Al –Utsaimin hal 384 menjelaskan : ” Allah melaknat orang yang merubah batas-batas tanah”. Maksudnya sebidang tanah. Jika seseorang bertetangga dalam satu areal tanah , lalu memindahkan pembatas tanahnya sehingga sebagian tanah tetangga terambil. Orang yang demikian terlaknat melalui lisan rasulullah. Di akhirat kelak, tanah tetangga yang diserobotnya akan dikalungkan dilehernya, sebagai mana Hadist riwayat ‘Aisyah,  rasulullah bersabda :”Barangsiapa mengambil tanah(milik orang lain) dengan cara dzalim walaupun hanya sejengkal, maka di akhirat kelak akan dikalungkan dari tujuh lapis bumi.”
      Dalam Kitab Syarah Al Kabair Karya Iman Adz Dzahabi,  hal 179-181, Syaikh Utsaimin menegaskan bahwa hadist diatas menunjukkan sebuah bentuk kedzaliman. Yaitu dzalim dalam bidang pertanahan. Kedzaliman dalam bidang pertanahan ini termasuk dosa yang paling besar, karena rasulullah bersabda:”Dilaknat orang yang merubah tanah orang lain.”
        Para ulama berkata yang dimaksud adalah mengubah batas tanah”. Jika ada seseorang yang mengubah batas tanah milik seseorang seperti dengan memasukkan satu jengkal tanah seseorang kedalam batas tanah orang lain, maka ia termasuk orang yang dilaknat dengan lisan rasulullah. Maksud laknat dalam hadist ini adalah terusir dan dijauhkan dari rahmat Allah Ta’ala.
      Bentuk azab lain yang terkandung dalam hadist ini adalah jika ada seseorang mengambil sejengkal tanah milik orang lain dengan cara zalim, maka tanah tersebut di hari kiamat kelak akan dikalungkan dari tujuh lapis bumi. Karena bumi terdiri dari tujuh lapis, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadist dan dalam Al Qur’an surat Ath Thalaq 12 : “Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan bumi seperti itu pula.”
         Bentuk persamaan dalam ayat ini bukan menyamakan bentuknya. Karena langit dan bumi sngat berbeda sebagaimana halnya jarak antara keduanyapun sangat jauh dan langit jauh lebih besar jika dibandingkan dengan bumi, lebih luas dan lebih agung. Al qur’an Surat Ad Dzariyat : 47 :” Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”. Yakni dengan kekuatan, Allah berfirman dalam Qs An Naba : 12 :” dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh,
       Apabila seseorang menyerobot sejengkal tanah, maka tanah tersebut akan dikalungkan dilehernya dari tujuh lapis bumi di hari kiamat kelak. Allah akan menimpakan dipundaknya dan ia akan membawanya dihadapan manusia dan dihadapan seluruh alam dan ia akan dihinakan di hari kiamat kelak. Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa”sejengkal tanah” bukanlah berarti membatasi hanya sejengkal, tetapi untuk melebih-lebihkan.Maksudnya jika ia mengambil dibawah ukuran itu, maka tanah tersebut akan dikalungkan kepadanya. Orang-orang arab biasa menyebut kata-kata semacam ini untuk melebih-lebihkan. Maksudnya, walaupun ia mengambil sedikit saja, maka tanah tersebut tetap akan dikalungkan dilehernya di hari kiamat kelak.
      Lebih lanjut Syaikh Utsaimin bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, dari hadist ini menegaskan bahwa tanah yang dimiliki seseorang, berarti ia juga memiliki bagian bawahnya sampai lapisan paling dalam, sampai lapisan tujuh. Maka tidak boleh orang lain untuk membuat terowongan didalam tanahnya kecuali seizing pemilik tanah. Misalkan anda memiliki tanah seluas tiga meter diatas tanah milik tetangga anda. Kemudian tetanggamu menginginkan untuk membuat terowongan melewati kedua tanah tersebut dan melewati bawah tanah anda. Maka tidak ada hak baginya (tetangga) untuk melakukan hal tersebut, karena anda yang memiliki tanah dan apa yang berada didalamnya sampai lapisan tanah yang ketujuh sebagaimana juga udara milikmu sampai ke langit. Maka tidak boleh seorangpun membangun atap di atas tanahmu, kecuali sizing anda.
        Para Ulama berkata”Langit mengikuti tanah dan tanah tersebut menghujam sampai kedalaman tujuh lapis bumi. Berarti orang memiliki bagian atas dan bagian bawah tanah, tidak ada orang yang berlaku semena-mena dalam hal ini.
         Para Ulama berkata : “Jika tetanggamu memiliki pohon, kemudian dahannya menjulur ketanahmu, maka pemilik pohon harus mengalihkannya dari tanahmu. Jika tidak dapat, maka dahan tersebut harus ditebang. Kecuali dengan seizing dan pernyataan dari anda sendiri(anda mengizinkan). Karena langit yang ada di atas tanah anda merupakan milik anda(mengikuti tanahnya”
        Lebih lanjut syaikh Utsaimin-dalam hal 3.86-menjelaskan “batas-batas tanah” maksudnya adalah tanda-tanda dan garis-garis yang membatasi dua tetangga.Barangsiapa yang mengubahnya secara dzalim, maka ia pantas menerima laknat. Betapa banyak orang yang mengubah batas tanah ini, terutama saat harga tanah melambung tinggi. Perkara ini tidak dapat dianggap sepele, karena orang yang telah mengambil tanah dan mengubah batasnya, serta mengambil sesuatu yang tidak pantas ia ambil, sebenarnya ia tidak mengetahui (kelanjutannya).. Karena bisa saja ia akan memanfaatkan tanah hasil kezalimannya tersebut di dunia, terkadang ia meninggal dunia sebelum menikmatinya dan terkadang ia terkena musibah yang merenggut tanah yang telah diambilnya

C.      PENERAPAN KONSEP IHYA’UL MAWAT
I

   mam Al Mawardi dalam Kitab Al Ahkam As Sulthaniyyah, bab15 halam 293 menjelaskan bahwa  : Pengertian “ Menghidupkan (membuka) tanah yang mati (Ihyaul Mawat)yaitu : memelihara dengan cara mengairi tanah kalau keadaannya tidak berair, atau mengeringkan kalau keadaannya tergenang air atau dengan cara menanaminya, atau mendirikan bangunan, atau dengan cara apa saja yang membuat tanah itu dapat dipungut hasilnya serta dapat diambil manfaatnya, yang asalnya menganggur tanpa faedah sama sekali” Imam Al-Mawardi mengatakan : Pengertian menghidupkan atau membuka tanah yang mati dikembalikan saja menurut yang biasa difahami orang banyak dalam mengartikan tujuan itu, sebab Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjelaskannya secara bebas, tidak terbatas. Jadi harus diartikan menurut pendapat umum yang biasa berlaku. Oleh sebab itu kalau maksud membukanya itu untuk tempat tinggal tentu dibuatkan bangunan dan diatapi diatasnya, sebab seperti itulah, jikalau hendak dijadikan tempat tinggal. Adapun kalau yang dimaksudkan itu untuk dijadikan sawah ladang, maka diperlukan tiga syarat yaitu :

    Pertama : menumpuk sekedar tanah yang merupakan batas (pematang), disekeliling tanah yang hendak dibuka, untuk membatasi dengan yang belum dibuka.

     Kedua : mengalirkan air kalau tanah itu kering ataupun mengeringkannya kalau memang basah atau tergenang air, sebab memang begitulah cara membuka tanah itu. Jadi yang kering akan cukup air dan yang basah akan menahan air, sehingga dapat digunakan untuk sawah ladang/bercocok tanam.

     Ketiga : membajaknya yakni membiarkan yang sudah rata, meratakan yang masih agak tinggi tempatnya dan menimbun yang rendah.

  Selain melakukan pemberdayaan terhadap tanah, pengertian Menghidupkan (membuka) tanah yang mati (Ihyaul Mawat)menyangkut pembuatan batas-batas terhadap tanah yang telah diusahakan. Hal ini perlu dilakukan karena ini bukanlah perkara yang sepele, karena ini berimplikasi pada hukum-hukum kepemilikan. Hal ini sebagai mana tercantum dalam hadist dari Asmar bin Mudlris berkata : “maka banyaklah orang bercepat-cepat meletakkan batas-batas ditanah” yakni membatasi tanah yang nanti akan diusahakan dan berasal dari tanah yang mati itu. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud).

    Didalam hadits lain riwayat Abu Dawud, Rasulullah berkata : “Siapa yang memagari diatas tanah (tandus), itu menjadi miliknya”.

    Bahkan dari Ibnu Tufail dari Ali bin Abu Thalib, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda:” Allah Ta’ala melaknat orang yang melaknat orang tuanya, menyembelih bukan karena Allah Ta’ala dan merubah batas tanah (HR. Ahmad).

    Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘alau anhu, juga pernah berkhutbah diatas mimbar dan beliau berkata :” Hai sekalian manusia, barangsiapa yang membuka tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”.

   Didalam hadits lain lagi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari ‘Aisyah r.a.: Rasulullah bersabda :Iltamisuu rizqa min khabayal ardhi, Galilah rejeki dari celah-celah (perut) bumi.

   Ada hal yang wajib diperhatikan. Menurut islam orang yang melakukan perubahan atau melakukan penggeseran terhadap tanah yang dimiliki seseorang maka termasuk dosa besar. Pelakunya terancam masuk neraka.

    Dalam hadits marfu’ dari Abdullah bin Umar Radhiallahu'anhu disebutkan :
    
  “Barang siapa mengambil tanah (orang lain) meski sedikit dengan tanpa hak niscaya dia akan ditenggelamkan dengannya pada hari kiamat sampai ke (dasar) tujuh lapis bumi” (HR Al Bukhari, lihat fathul Bari : 5/103).

   Ya’la bin Murrah Radhiallahu’anhu berkata,  Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
   “Siapa yang menzhalimi (dengan mengambil) sejengkal dari tanah (orang lain) niscaya Allah membebaninya dengan menggali tanah tersebut (dalam riwayat Ath Thabrani : menghadirkannya) hingga akhir dari tujuh lapis bumi, lalu Allah mengkalungkannya (di lehernya) pada hari kiamat sehingga seluruh manusia diadili” (HR Ath Thabrani dalam Al Kabir, 22/270; shahihul jam’: 2719).
  “Allah melaknat orang yang mengubah tanda-tanda (batasan) tanah” (HR Muslim, syarah Nawawi, 13/141).

Tidak ada komentar: