25 Januari 2012

PENGELOLAAN PERTANAHAN DALAM BINGKAI SUNNAH (bagian-1)


Ditulis oleh : Abu Nada

A.      MUQODIMAH

T

elah menjadi pengetahuan fitrah manusia bahwa, bumi  adalah tempat yang paling tepat untuk tempat  tinggal manusia. Segala kebutuhan yang berkaitan dengan hajat hidup manusia seperti kebutuhan  tumbuhan, hewan, air, bahan tambang, mineral dan  lainnya telah Allah Ta’ala ciptakan  dan sediakan di bumi. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surat  Al Baqarah ayat 36 :Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itudan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."  Dengan demikian, ayat ini menjelaskan bahwa Allah Ta’ala mengabarkan tempat yang paling cocok bagi kehidupan makhluk hidup termasuk manusia adalah bumi, bukan ditempat lain seperti di planet tata surya, bulan, matahari dan lainnya.

Dalam kaitannya dengan penciptaan makhluk manusia yang akan menempati bumi, telah terjadi dialog yang sangat panjang antara Allah Ta’ala dan makhlukNya yaitu  malaikat dan setan. Pada saat mereka ditanya oleh Allah Ta’ala tentang akan diciptakan makhluk bernama manusia yang akan menempati bumi, maka kedua makhluk Allah Ta’ala tersebut meyampaikan pandangannya bahwa penciptaan manusia akan menimbulkan kerusakan bumi. Padahal makhluk Allah Ta’ala yang telah ada sangat patuh kepada Allah Ta’ala. Namun demikian Allah Ta’ala telah menetapkan penciptaan manusia sebagai khalifahNya di muka bumi karena Allah Ta’ala telah memberikan banyak kelebihan terhadap manusia dibanding kedua makhluk  yang telah ada tersebut. Kelebihan pertama adalah tatkala awal diciptakan dari tanah lalu ditanya mengenai nama-nama benda yang ada dibumi maka, manusia diberi kelebihan ilmu olehAllah Ta’ala untuk mampu menjawab pertanyaan tersebut. Sementara malaikat dan setan  olehAllah Ta’ala tidak diberikan ilmu tersebut maka tidak mampu menjawabnya. Al Baqarah ayat 30
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat : “ Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”. Mereka berkata :”Mengapa Engkau hendak menciptakan khalifah di bumi itu orang yang hendak membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. Tuhan berfirman :”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.Sedang kelebihan lainnya yang dimiliki manusia disbanding malaikat, setan, gunung, langit dan bumi serta makhluk Allah lainnya adalah kesanggupan manusia untuk menerima amanah Allah sebagai khalifahan di muka bumi. Padahal makhluk yang lain menolaknya karena mereka mengetahui bahwa tugas kekhalifahan di muka bumi sangat berat karena banyak godaan yang bisa menyebabkan terjadinya pengkhianatan terhadap amanah yang dipikul dan akan menjadi beban yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Kesanggupan manusia untuk menerima amanah yang sangat berat ini telah menyebabkan manusia mendapat julukan makhluk yang dzalim lagi jahil. Lebih rinci firman Allah dalam  Surat Al Ahzab ayat 72 menjelaskan: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”
Begitu besar karunia Allah kepada makhlukNya di bumi, maka atas kesanggupan menerima amanah ini maka manusia diberikan kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk menjadikan dirinya sebagai ahsana taghwin (sebaik –baik makhluk) atau asfala syafilin (sejelek-jelek mahkhluk). Artinya apabila manusia mampu menunaikan amanah tersebut secara baik dan berjalan dalam ketaatan kepada Rabbnya maka akan menjadi makhluk yang paling baik diantara makhluk Allah yang lain termasuk malaikat sekalipun. Sebaliknya, apabila dalam memikul amanah tersebut manusia berkhianat dan tidak mampu bertaubat hingga akhir hayat dan Allah tidak berkehendak memberikan ampunan, maka manusia akan menjadi makhluk terburuk dimuka bumi dibandingkan hewan sekalipun.
Dari peristiwa inilah terjadi dua peristiwa yang luar biasa yang menyangkut kehidupan makhluk Allah Ta’ala disyurga kala itu. Pertama, makhluk Allah Ta’ala yang bernama malaikat tetap taat dan patuh kepada Allah Ta’ala sehingga sampai akhir zaman nanti mereka mendapat julukan sebagai makhluk yang paling taat dan patuh terhadap apa-apa yang diperintahkan Allah Ta’ala. Kedua, adalah terjadinya peristiwa pembangkangan pertama kali oleh makhluk kepada Allah Ta’ala yang dilakukan oleh setan. Padahal sebelum peristiwa perintah Allah untuk bersujud kepada Adam, Setan adalah makhluk Allah Ta’ala yang taat sehingga berhak untuk tinggal di syurga. Akan tetapi tatkala Allah Ta’ala memerintahkan  kedua makhluk tersebut untuk bersujud kepada Adam sebagai manusia pertama yang Allah Ta’ala ciptakan dari tanah di syurga melalui kedua tanganNya ,maka setan menolak untuk bersujud. Dengan nafsu yang berada dalam benak dan hatinya, setan merasa lebih mulia dari Adam. Setan  merasa diri mereka diciptakan dari api sementara adam tercipta dari tanah di surga. Oleh sebab inilah setan diusir olehAllah Ta’ala dari surga dan nanti akhir jaman akan dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Namun, setan  meminta kepada Allah Ta’ala untuk diberikan tangguh hukumanndan  siksanya hingga datangnya hari kiamat dengan maksud ingin menggoda anak cucu adam  pada saat saat hidup di didunia hingga datangnya hari kiamat. Dalam Al Qur’an Surat Al Hijr ayat 36-37: Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan, Allah berfirman: "(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh.
Dalam menjalani fungsi kekhalifahan di dunia dan mengelola bumi (tanah) manusia telah melakukan banyak kemaksiyatan, kerusakan dan melakukan kesombongan. Hal ini sebagai mana tercantum dalam firman Allah Ta’ala : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah Ta’ala menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(QS: Ar-Rum:41).
Dalam kesempatan yang lain dijelaskan Allah Ta’ala tidak menyukai hamba-hambnya yang berjalan di muka bumi dengan sombong. Ketiga hal tersebut merupakan perkara yang besar yang menyebabkan penyimpangan fungsi ke khalifahan manusia dimuka muka bumi, sehingga Allah Ta’ala memberikan azabnya yang luar biasa. Mari kita renungi bagaimana Allah mengabarkan kisah umat manusia yang Allah timpakan azabNya kepada kaum yang ingkar kepada utsan Allah dan suka berbuat kerusakan dan kemaksiyatan yakni Kaum Tsamud dan Kaum Sodom. Allah berfirman :  
Luth berdoa: "Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu." Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira[1150], mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom) ini; sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zalim." (Qs Al Ankabut 29-31)  “Dan sesungguhnya Kami tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal.” (Qs Al Ankabut 35)
Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. (Qs. Fushilat:17)
Adapun kaum Tsamud maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa (Qs Al Haaqqah :5)
Fenomena ini mengandung hikmah danh ibrah yang besar dan luar biasa bagi orang-orang yang mau berpikir dan mempunyai akal. Allah berfirman dalam Al Qur’an Surat Ali Imran 190 :  Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Perkara yang sangat penting untuk digarisbawahi dan diwaspadai oleh setiap manusia sebagai khalifah di muka bumi agar dapat menjaga diri dari pengkhianatan adalah tumbuhnya benih-benih kesombongan. Kesombongan adalah perkara yang mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala di muka bumi. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia (al hadist) Bahkan perkara kesombongan ini akan menyebabkan pelakunya tidak saja menderita selama hidup di dunia, melainkan apabila hingga akhir hidupnya dia masih mempunyai rasa sombong maka tidak akan memasukkan dirinya masuk ke surga. (al hadist)
Perlu digarisbawahi bahwa bentuk kerusakan manusia dimuka bumi paling dasyat adalah melakukan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Bentuk kesyirikan yang dilakukan tidaklah semata-mata berkaitan dengan rububiyyah alias membuat tandingan-tandingan sesembahan kepada selain Allah Ta’ala seperti sesembahan kepada makhluk, tetapi  berkaitan dengan uluhiyah seperti memohon, berharap, tawasul, berkurban, percaya semata-mata kepada makhluk Allah Ta’ala serta syirik secara Asma Wa Sifat Allah Ta’ala. Dan pada masa sekarang kesyirikan terjadi pada segala keadaan  baik senang dan susah (Kitab Kasyifus Syubhat, Muhammad Bin  Abdul Wahhab). Bentuk bentuk kesyirikan inilah yang akan mengundang murka Allah Ta’ala dimuka bumi ini.
Berbanding lurus  dengan munculnya  sifat kesombongan dan kemaksiyatan yang dilakukan oleh manusia terhadap Allah Ta’ala dan rasulNya, maka kerusakan-kerusakan dimuka  bumi mulai muncul.  Bumi yang Allah Ta’ala ciptakan dengan keseimbangan, keharmonisan, keindahan mulai mengalami degradasi akibat olah manusia. Hutan yang Allah Ta’ala ciptakan dengan berbagai sumberdaya alam telah mulai mengalami  kerusakan akibat tangan manusia. Alam yang harmonis sudah mengalami kerusakan yang luar biasa akibat penggalian bahan tambang, minyak bumi dan gas. Laut yang begitu luas juga mengalami kerusakan akibat berbagai polusi dan eksploitasi.  Demikian juga udara yang Allah Ta’ala sediakan dalam kondisi  bersih dan nyaman, kini telah mengalami banyak polusi sehingga  membahayakan banyak kehidupan.
Manusia dalam mengelola tanah dihadapkan  pada dua perkara yang unik dan menarik.  Perkara pertama adalah berkaitan dengan pemanfaatan dan penggunaan tanah.  Adanya perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah berbanding lurus terhadap perubahan eksisting penggunaan tanah yang Allah Ta’ala ciptakan. Artinya, manusia yang akan melakukan usaha diatas bumi atau tanah secara otomatis akan mempengaruhi  keadaan penggunaan tanah yang telah ada pada saat itu. Dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah ada yang bersifat besar dan kecil, ada yang bersifat luas atau sempit. Perubahan-perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah oleh manusia secara otomatis akan mempengaruhi terhadap apa-apa yang telah Allah Ta’ala ciptakan diatas bumi. Akibatnya terhadap bumi telah terjadi ketidakseimbangan, ketidak harmonisan, ketidakindahan dan kerusakan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam firman Allah dalam Surat As Sajadah ayat 7: “ Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.”
Perkara kedua yang berkaitan dengan tanah adalah perkara  penguasaan dan pemilikan tanah.  Ada hubungan positif antara  jumlah pemilikan dan penguasaan tanah dengan pertambahan jumlah manusia.  Semakin bertambah jumlah manusia semakin intensif pemilikian dan penguasaan tanah. Hal ini sejalan juga dengan semakin intensifnya konflik yang berkaitan dengan pertanahan akibat berbagai kepentingan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Hal inilah yang berujung kepada timbulnya ketimpangan kepemilikan tanah. Ada sebagian orang yang memiliki dan menguasai tanah yang luas, ada sebagian orang yang endless  terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah. Muara dari permasalahan ini adalah munculnya  konflik sosial di bidang pertanahan.
Islam sebagai agama yang lengkap dan sempurna  sudah pasti mengatur perkara-perkara yang sangat besar bagi kehidupan manusia termasuk pengelolaan pertanahan. Bagaimana Islam mengatur manusia dalam  masalah penggunaan dan pemanfaatan tanah di muka bumi? Bagaimana Islam mengatur juga hak-hak manusia terhadap penguasaan dan pemilikan tanah di muka bumi? Insya Allah , tulisan ini akan menguraikan secara jelas kedua permasalahan tersebut berdasarkan nash-nash al qur’an dan sunnah, serta fatwa dari ulama.
Hal yang perlu ditegaskan bahwa dalam pemanfaatan penggunaan dan penguasaan tanah Islam telah memberikan aturan yang jelas. Ketiga perkara tersebut bukan semata untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini, melainkan harus jauh memikirkan keberlangsungan untuk kebutuhan masa depan anak cucu. Bahkan Islam melarang dengan keras terhadap usaha penggunaan, pemanfaatan dan penguasaan tanah yang hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pada saat ini dengan mengabaikan kebutuhan mendatang, sebagaiamana di nukil oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Taqi ad-Din Ahmad Ibnu Taimiyah “Telah diketahui bahwa dalam makhluk-makhluk ini Allah menunjukkan maksud-maksud yang lain dari melayani manusia, dan lebih besar dari melayani manusia: Dia hanya menjelaskan kepada anak-cucu Adam apa manfaat yang ada padanya dan apa anugrah yang Allah Ta’ala berikan kepada ummat manusia.”.
Adanya penguasaan tanah yang berlebihan, islam melakukan pelarangan. Seorang muslim dilarang berlebihan dalam menguasai dan memiliki tanah. Pelarangan ini dikarenakan akan munculnya terhadap kecintaan terhadap dunia sehingga lupa memikirkan urusan akhirat. Hal ini sebagaimana termaktub dalam hadist riwayat Ibnu Abbas ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam al-Dhi'ah sehingga menjadikan kalian cenderung terhadap dunia."  Lebih lanjut Ahmad bin Mas'ud meriwayatkan secara marfu dengan lafadz:  "Rasulullah melarang berlebih-lebihan dalam keluarga dan harta."  Dan lebih khusus lagi  Syaikh Muhammad Nashirudin Al Bani dalam kitab Silsilah Hadist Sahih  1/18 menjelaskan :  Ketahuilah, bahwa berlebih-lebihan yang dapat memalingkan dari pelaksanaan kewajiban, di antaranya ; Jihad fi sabilillah adalah maksud dari at-Tahlukah (kebinasaan) dalam firmanAllah Ta’ala yang artinya : "Dan janganlah knmu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan: QS al-Baqarah 195, yang merupakan sebab dari turunnya ayat tersebut. Hal ini berbeda dengan apa yang diduga oleh kebanyakan orang.

B.     PENGGUNAAN TANAH BERDASAR KAIDAH SUNNAH
D
alam mengunakan dan memanfaatkan tanah untuk memenuhi kebutuhan manusia, Islam telah menggariskan beberapa kaidah sebagai berikut :


1.  Tanah yang dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak mempuyai nilai kemuliaan dan kemanfaatan yang lebih besar  dibandingkan untuk kepentingan pribadi.

Manusia  yang mempunya, menguasai dan mengolah tanahnya yang tujuannya untuk kepentingan orang lain akan mendapat kemuliaan disisi Allah Ta’ala dan penghargaan yang luar biasa dimata manusia lainnya. Bahkan lebih khusus lagi, seandainya manusia mengolah tanah dengan segala jerih payah, dana, waktu, tenaga, pikiran namun hasilnya tidak dapat dinikmati untuk dirinya, keluarganya atau orang lain tetapi yang menikmati adalah seekor burung atau jenis hewan lain, Allah Ta’ala akan memberikan nilai sedekah terhadap segala upaya yang dihabiskan untuk memanfaatkan tanah tersebut. Tidak ada usaha yang sia-sia apa yang dilakukan oleh manusia yang mengolah dan memberdayakan tanah. Jika dia mampu memperoleh hasil dan menikmatinya maka dia akan memperoleh 2 kenikmatan, yaitu kenikmati menikmati hasil jerih payahnya dan kenikmatan memperoleh nilai sedekah dari Allah terhada apa yang diusahakan. Jika gagal menikmati hasil jerih payahnya akibat bencana alam, dimakan pemangsa, dicuri orang dan sejenisnya, Allah tetap memberikan nilai sedekah. Hal ini sebagaimana tercantum dalam hadist riwayat Dari anas radhiallahu anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallah ‘alau ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seorang muslim yang menanam atau menabur benih, lalu ada sebagian yang dimakan oleh burung atau manusia, ataupun oleh binatang,niscaya semua itu akan menjadi sedekah baginya” (HR Imam Bukhari (2/67), Imam Muslim (5/28), Imam Ahmad (3/147),  M. Nashirudin Albani, Silsilah hadisth sahih (I/25)).
Dalam riwayat lain dengan redaksi berbeda rasulullah bersabda : oleh Jabir r.a. rasulullah bersabda : “Seorang muslim yang menanam suatu tanaman, niscaya apa yang termakan akan menjadi sedekah, apa yang terurai akan menjadi sedekah, apa yang termakan oleh  burung akan menjadi sedekah dan apapun yang diambil oleh seseorang dari tanaman itu akan menjadi sedekah pula bagi pemiliknya sampai hari kiamat datang” (HR Imam Ahmad 339)”

2.      Pemanfaatan tanah harus berorientasi ke masa depan dan melarang bersifat boros hanya untu kepentingan sesaat.

Pengelolaan dan pemanfaatan tanah tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan menimbulkan kerusakan sehingga kebutuhan yang sama dimasa mendatang sudah tidak ada lagi. Pengelolaan tanah harus memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga tetap lestari dan berkelanjutan untuk masa mendatang.Terlebih lagi mengelola tanah dengan menimbulkan kerusakan dengan berbagai macam polusinya. Islam mengajarkan meski umur manusia telah tua dimana harapan hidup hamper tidak ada atau ibarat dunia hampir kiamat dan kehisupanpun sudah hampir musnah, seandainya masih mengenggam tanaman yang masih bisa ditanam maka harus melakukan penanaman pohon. Padahal pelakunya tahu bahwa dia kemungkinan besar tidak akan menikmati hasil dari apa yang ditanam, tetapi dia punya kewajiban memberikan kemanfaatan kepada anak cucu atau orang lain atau binatang lain untuk menikmati jerih payahnya walau hanya dengan sebuah pohon. Perintah ini sebagaimana tercantum dalam hadist dari Anas r.a. dari rasulullah , beliau bersabda “Kendatipun hari kiamat akan terjadi, sementara itu di tangan salah seorang di antara kamu masih ada bibit pohon kurma, jika ia ingin hari kiamat tidak akan terjadi sebelum ia menanamnya, maka hendaklah ia menanamnya” (Imam Ahmad 3/183, 184,191, Ath Thayalisi )2078, Imam Bukhari – Adab Al Mufarrad 479), Ibnul Arabi kitab Al Mu’jam (i/21)
Islam melarang orang yang putus asa dan bersifat ananiyah dalam mengelola tanah. Keputusasaan tersebut bisa jadi disebabkan karena usia sudah tua atau karena mau meninggal. Tetapi sebaliknya dalam mengelola tanah manusia dianjurkan untuk selalu optimis dengan cara meninggalkan kebaikan untuk generasi penerus. Karena hal ini akan menjadi amal jariyah yang pahalanya akan selalu mengalir meski yang berbuat telah di alam kubur. Hal ini sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ammarah bin Khuzaimah bin Tsabit yang berkata : “Saya mendengar Umar bin Khatab berkata kepada Ayahku : “Apa yang menghalangimu menanami tanahmu?” Ayah saya menjawab: ”saya sudah tua dan besok akan mati”. Kemudian Umar berkata : “Aku benar-benar menghimbaumu agar engkau mau menanaminya’. Tidak lama kemudian saya benar-benar melihatnya (Umar bin Khathab) menanam sendiri bersama ayah saya” (Al Jami’aul Kabir, karya As Suyuthi 3/337/2)
Lebih lanjut  Syaikh Muhammad Nashirrudin Albani menjelaskan bahwa orang yang mengelola tanah dengan memperhatikan kepentingan masa depan termasuk amal jariyah. Dalam menjelaskan hadist diatas menjelaskan beliau menulis :  selain hadist tersebut tiada hadis lain yang menjelaskan anjuran  untuk menjadikan agar lebih produktif, terlebih hadist terakhir diatas menyiratkan pesan yang cukup dalam agar seseorang memanfaatkan masa hidupnya untuk menanam sesuatu yang dapat dinikmati oleh orang-orang sesudahnya, hingga pahalanya tetap mengalir di hari kiamat tiba . Hal ini sebagai amal sedekahnya atau sedekah jariyah.
Sejalan dengan pandangan  Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani, Imam Bukhari menjelaskan tetang apa-apa yang diusahakan manusia demi anak cucunya termasuk amal kebaikan. Imam Bukhari menerjemahkan hadist ini (Kitab Babu Ishthina’il Mal) dari  Hadist Riwayat Al Harits bin Laqith ia mengatakan “Ada seseorang yang diantara kami yang memiliki kuda yang telah beranak pinak, lalu disembelihnya kuda itu. Setelah itu ada surat dari Umar yang datang kepada kami, yang isinya : “Peliharalhah dengan baik rezeki yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala kepada kalian . Sebab dalam hal yang demikian itu tercatat kemudahan bagi pemiliknya.”

3.   Orang yang berusaha dalam mengelola tanah mendapat kemulian dihadapan Allah sebagai karyawan dari Allah Ta’ala.

Ini adalah kemuliaan yang sangat luar biasa yang dimiliki oleh seorang muslim yang bekerja pada bidang pertanian, perkebunan dan sejenisnya. Kerena orang yang bekerja di luar bidang ini seperti karyawan perkantoran, guru, pedagang, pekerja pabrik, dan sebagainya tidak memperoleh kedudukan yang mulia ini. Hal ini sebagaimana kisah sahabat berikut ini :

Sebagian sahabat menganggap bahwa orang yang bekerja untuk mengolah dan meanfaatkan lahannya adalah karyawan Allah Ta’ala.  Imam Bukhari dalam Kitab Al Adab Al Muffarad (448) dari Nafi’ bin Ashim,:  bahwa ia mendengar Abdullah Ibnu Amer berkata kepada salah seorang anak saudaranya yang keluar menuju tanah lapang (kebun : Apakah para karyawanmu sedang bekerja?” “Saya Tidak tahu “ : jawab anak saudaranya. Lalu Abdullah bin Amer menyambung: “Seandainya engkau orang yang terdidik, niscaya engkau akan tahu apa yang sedang dikerjakan oleh para karyawanmu.” Kemudian ia (Abdullah bin Amer) menoleh kepada kami seraya berkata;” Jika seorang bekerja bersama para karyawannya di rumahnya, maka ia termasuk karyawanAllah Ta’ala SWT.” Al wahthu berarti al bustan (kebun) yaitu tanah lapang yang luas milik Amer bin Ash yang berada di Thaif, sekitar 3 mill dari Wijj. Tanah tersebut telah diwariskan kepada anak-anaknya.  Ibnu Asakir dalam kitab At Tarikh (13/264/12) meriwayatkan dari Amer Bi Dinar, mengatakan “ Amer Bin Aash berjalan memasuki sebidang kebun miliknya yang ada di Thaif yang biasa dikenal Al Waththu. Di tanah itu terdapat satu juta kayu yang dipergunakan untuk menegakkan pohon anggur. Satu batangnya dibeli dengan harga satu dirham.

Berkaitan dengan orang yang berusaha dalam mengelola tanah adalah karyawan dari Allah Ta’ala, lalu bagaimana dengan hadist dari Abu umamah Al Bahili . Ia melihat sungkal bajak dan alat pertanian lainnya, lalu dia berkata: Saya mendengar rasulullah saw bersabda : ”Bila benda-benda itu masuk kedalam sebuah rumah, niscayaAllah Ta’ala juga akan memasukkan kehinaan” (Imam Bukhari - Kitab Sahih-, Syarah Fathul Bari 4/5). Al Kabair karya Ath Thabrani dari abu Umamah meriwayatkan “Para penghuni rumah yang pagi-pagi keluar dengan sepasang lembu untuk membajak, pasti akan ditimpa kehinaan”.

Ulama mengintegrasikan hadist tersebut :

a)   Yang dimaksud adz dzul adalah kewajiban ,(pajak) bumi yang diminta oleh Negara. Orang yang melibatkan diri didalamnya, berarti telah menceburkan atau menyodorkan dirinya ke dalam kehinaan. Lebih lanjut Al Manawi dalam kitab al Faidh menjelaskan: Hadist ini tidak mencela pekerjaan bercocok tanam, sebab pekerjaan ini terpuji, karena banyak yang membutuhkannya. Disampingitu kehinaan (karena melibatkan diri dalam urusan pajak) tidak menghalangi pahala sebagian orang yang bercocok tanam. Jadi keduanya tidak ada hubungannya (talazum)

b)  Karena itu Ibnu at Tin mengatakan :”Hadist ini merupakan salah satu berita Nabi Muhammad SAW tentang hal yang bersifat abstrak, karena dalam kenyataannya yang kita saksikan sekarang ini malah mayoritas orang yang teraniaya adalah para petani.”

c)   Hadist ini dimaksudkan bagi mereka yang terbengkalai urusan ibadahnya karena terlalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan itu, lebih-lebih untuk berperang yang saat itu dibutuhkan. Dengan dalil ini Imam Bukhari mengambil judul diatas “”Peringatan Keras terhadap Akibat yang ditimbulkan Karena terlalu Sibuk dengan Alat-alat Pertanian, yang Melebihi Batas yang Telah Ditentukan.”. Terlalu menyibukkan diri dengan urusan pekerjaan dapat membuat seseorang lupa diri dengan kewajibannya, rakus terhadap dunia, mau terus menerus bergulat dalam usaha pertanian bahkan nggan untuk berperang. Seperti banyak terlihat pada orang-orang kaya.

d)  Penggabungan kedua hadist ini dipertegas hadist ishaq abu abdurahmman, rasulullah bersabda : “Jika kalian berjaul beli dengan cara ‘inah (penjualan secara kredit dengan tambahan harga) dan mengambil ekor sapi, merasa lega dengan bertanam, dan meninggalkan jihad, mak aAllah Ta’ala akan menurunkan kerendahan bagi kalian. Dia sekali-kali tidak akan melepaskannya, kecuali jika kalian kembali ke agama kalian.” Jadi Kerendahan dimaksudkan di dalam hadist diiringi dengan kesibukan yang melalaikan perjuangan, sedang kewajiban bercocok tanam yang tidak menganggu kewajiban, justru merupakan maksud dari hadist yang menganjurkan bercocok tanam.

e)   Dari Ibnu Mas’ud, rasulullah bersabda :”Janganlah kalian membuat pekarangan, yang membuat kalian cinta kepada dunia.” (Imam Tirmidzi:4/264, Abu Al Syikh –Ath Thabaqat 298, Imam Ahmad 2598,4047, dll)

f)    Dari Ibnu Mas’ud : rasulullah Muhammad SAW “ melarang berlebih-lebihan dalam hal keluarga dan harta benda” (HR. Imam Ahmad 4118,41740). Dalam hal ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani menjelaskan bahwa berlebihan dalam bekerja dapat melalaikan kewajiban seperti jihad sebagaimana dalam firmanAllah Ta’ala QS. Al Baqoroh 195 :”Dan Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan.”


4.   Dalam mengelola tanah harus memperhatikan daya dukung agar menghasilkan produksi yang maksimal dan berkelanjutan.

Ibnu Chaldun menjelaskan bahwa manusia harus memanfaatkan kekayaan alam untuk kemaslahan manusia dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam menjaga kelestarian ini, maka setiap ketinggian, kemiringan, dan iklim tertentu mempunyai daya dukung untuk tumbuhnya tanaman tertentu pula. Dengan demikian tidaklah sama antara daerah datar, daerah berbukit, daerah bergelombang hingga daerah puncak bukit atau gunung jenis tanamannya maupun pemanfaatan tanahnya. Untuk daerah yang ada di dataran rendah dengan kondisi topografi datar maka jenis tanaman untuk produksi makanan pokok, tanaman komoditas, perikanan, penggembalaan dapat diusahakan. Namun untuk daerah bukit atau dengan kemiringan lereng yang terjal dan curam, maka tanaman yang ditanam adalah utnuk fungsi perlindungan, menjaga ketersediaan air, menjaga longsor dan menjaga habitat binatang.  Maka dalam jaman rasulullah dan sahabat dikenal dengan beberapa istilah sebagai berikut :
a)      Ihya al-mawat, menghidupkan lahan yang terlantar dengan cara reklamasi atau memfungsikan kawasan tersebut agar menjadi produktif
b)     Iqta, lahan yang diijinkan oleh negara untuk kepentingan pertanian sebagai lahan garap untuk pengembang atau investor.
c)      Ijarah, sewa tanah untuk pertanian.
d)     Harim, kawasan lindung.
e)      Hima, kawasan yang dilindungi untuk kemaslahatan umum dan pengawetan habitat alami.
f)       Waqaf, lahan yang dihibahkan untuk kepentingan publik (ummat).

                          -insya Allah bersambung bagian 2-

Tidak ada komentar: