Ditulis oleh : Abu Nada
A. MUQODIMAH
T
|
elah menjadi pengetahuan fitrah manusia bahwa, bumi adalah tempat yang paling tepat untuk tempat tinggal manusia. Segala kebutuhan yang
berkaitan dengan hajat hidup manusia seperti kebutuhan tumbuhan, hewan, air, bahan tambang, mineral
dan lainnya telah Allah Ta’ala ciptakan dan sediakan di bumi. Hal ini sebagaimana
firman Allah Ta’ala dalam Surat Al Baqarah ayat 36 : “Lalu keduanya digelincirkan oleh
syaitan dari surga itudan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman:
"Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu
ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."
Dengan
demikian, ayat ini menjelaskan bahwa Allah Ta’ala mengabarkan tempat yang
paling cocok bagi kehidupan makhluk hidup termasuk manusia adalah bumi, bukan
ditempat lain seperti di planet tata surya, bulan, matahari dan lainnya.
Dalam kaitannya dengan penciptaan makhluk manusia yang akan
menempati bumi, telah terjadi dialog yang sangat panjang antara Allah Ta’ala
dan makhlukNya yaitu malaikat dan setan.
Pada saat mereka ditanya oleh Allah Ta’ala tentang akan diciptakan makhluk
bernama manusia yang akan menempati bumi, maka kedua makhluk Allah Ta’ala
tersebut meyampaikan pandangannya bahwa penciptaan manusia akan menimbulkan
kerusakan bumi. Padahal makhluk Allah Ta’ala yang telah ada sangat patuh kepada
Allah Ta’ala. Namun demikian Allah Ta’ala telah menetapkan penciptaan manusia
sebagai khalifahNya di muka bumi karena Allah Ta’ala telah memberikan banyak
kelebihan terhadap manusia dibanding kedua makhluk yang telah ada tersebut. Kelebihan pertama
adalah tatkala awal diciptakan dari tanah lalu ditanya mengenai nama-nama benda
yang ada dibumi maka, manusia diberi kelebihan ilmu olehAllah Ta’ala untuk
mampu menjawab pertanyaan tersebut. Sementara malaikat dan setan olehAllah Ta’ala tidak diberikan ilmu
tersebut maka tidak mampu menjawabnya. Al Baqarah ayat 30
“ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat : “ Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”.
Mereka berkata :”Mengapa Engkau hendak menciptakan khalifah di bumi itu orang
yang hendak membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. Tuhan
berfirman :”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.Sedang kelebihan lainnya
yang dimiliki manusia disbanding malaikat, setan, gunung, langit dan bumi serta
makhluk Allah lainnya adalah kesanggupan manusia untuk menerima amanah Allah
sebagai khalifahan di muka bumi. Padahal makhluk yang lain menolaknya karena
mereka mengetahui bahwa tugas kekhalifahan di muka bumi sangat berat karena
banyak godaan yang bisa menyebabkan terjadinya pengkhianatan terhadap amanah
yang dipikul dan akan menjadi beban yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat
nanti. Kesanggupan manusia untuk menerima
amanah yang sangat berat ini telah menyebabkan manusia mendapat julukan
makhluk yang dzalim lagi jahil. Lebih rinci firman
Allah dalam Surat Al Ahzab ayat 72
menjelaskan: ”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”
Begitu besar karunia Allah kepada makhlukNya di bumi, maka
atas kesanggupan menerima amanah ini maka manusia diberikan kesempatan oleh Allah
Ta’ala untuk menjadikan dirinya sebagai ahsana taghwin (sebaik –baik
makhluk) atau asfala syafilin (sejelek-jelek mahkhluk). Artinya apabila
manusia mampu menunaikan amanah tersebut
secara baik dan berjalan dalam ketaatan kepada Rabbnya maka akan menjadi
makhluk yang paling baik diantara makhluk Allah yang lain termasuk malaikat
sekalipun. Sebaliknya, apabila dalam memikul amanah tersebut manusia berkhianat
dan tidak mampu bertaubat hingga akhir hayat dan Allah tidak berkehendak
memberikan ampunan, maka manusia akan menjadi makhluk terburuk dimuka bumi
dibandingkan hewan sekalipun.
Dari peristiwa inilah terjadi dua peristiwa yang luar
biasa yang menyangkut kehidupan makhluk Allah Ta’ala disyurga kala itu. Pertama,
makhluk Allah Ta’ala yang bernama malaikat tetap taat dan patuh kepada Allah
Ta’ala sehingga sampai akhir zaman nanti mereka mendapat julukan sebagai
makhluk yang paling taat dan patuh terhadap apa-apa yang diperintahkan Allah
Ta’ala. Kedua, adalah terjadinya peristiwa pembangkangan pertama kali
oleh makhluk kepada Allah Ta’ala yang dilakukan
oleh setan. Padahal sebelum peristiwa perintah Allah
untuk bersujud kepada Adam, Setan adalah makhluk Allah Ta’ala yang taat
sehingga berhak untuk tinggal di syurga. Akan tetapi tatkala Allah Ta’ala
memerintahkan kedua makhluk tersebut
untuk bersujud kepada Adam sebagai manusia pertama yang Allah Ta’ala ciptakan
dari tanah di syurga melalui kedua tanganNya ,maka setan menolak untuk bersujud.
Dengan nafsu yang berada dalam benak dan hatinya, setan merasa lebih mulia dari
Adam. Setan merasa diri mereka
diciptakan dari api sementara adam tercipta dari tanah di surga. Oleh sebab
inilah setan diusir olehAllah Ta’ala dari surga dan nanti akhir jaman akan
dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Namun, setan meminta kepada Allah Ta’ala untuk diberikan tangguh
hukumanndan siksanya hingga datangnya
hari kiamat dengan maksud ingin menggoda anak cucu adam pada saat saat hidup di didunia hingga
datangnya hari kiamat. Dalam Al Qur’an Surat Al Hijr ayat 36-37: Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri
tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan, Allah berfirman:
"(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi
tangguh.
Dalam menjalani
fungsi kekhalifahan di dunia dan mengelola bumi (tanah) manusia telah melakukan
banyak kemaksiyatan, kerusakan dan melakukan kesombongan. Hal ini sebagai mana
tercantum dalam firman Allah Ta’ala : ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, Allah Ta’ala menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(QS:
Ar-Rum:41).
Dalam
kesempatan yang lain dijelaskan Allah Ta’ala tidak menyukai hamba-hambnya yang
berjalan di muka bumi dengan sombong. Ketiga hal tersebut merupakan perkara
yang besar yang menyebabkan penyimpangan fungsi ke khalifahan manusia dimuka
muka bumi, sehingga Allah Ta’ala memberikan azabnya yang luar biasa. Mari kita
renungi bagaimana Allah mengabarkan kisah umat manusia yang Allah timpakan
azabNya kepada kaum yang ingkar kepada utsan Allah dan suka berbuat kerusakan
dan kemaksiyatan yakni Kaum Tsamud dan Kaum Sodom. Allah berfirman :
Luth berdoa: "Ya Tuhanku, tolonglah aku
(dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu." Dan tatkala utusan Kami
(para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira[1150],
mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk negeri
(Sodom) ini; sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zalim." (Qs
Al Ankabut 29-31) “Dan sesungguhnya Kami
tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal.”
(Qs Al Ankabut 35)
Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami
beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk,
maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah
mereka kerjakan. (Qs. Fushilat:17)
Adapun kaum Tsamud maka mereka telah
dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa (Qs Al Haaqqah :5)
Fenomena ini
mengandung hikmah danh ibrah yang besar dan luar biasa bagi orang-orang yang
mau berpikir dan mempunyai akal. Allah berfirman dalam Al Qur’an Surat Ali
Imran 190 : Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Perkara yang
sangat penting untuk digarisbawahi dan diwaspadai oleh setiap manusia sebagai
khalifah di muka bumi agar dapat menjaga diri dari pengkhianatan adalah
tumbuhnya benih-benih kesombongan. Kesombongan adalah perkara yang mendatangkan
kemurkaan Allah Ta’ala di muka bumi. Sombong adalah menolak kebenaran dan
merendahkan manusia (al hadist) Bahkan
perkara kesombongan ini akan menyebabkan pelakunya tidak saja menderita selama
hidup di dunia, melainkan apabila hingga akhir hidupnya dia masih mempunyai
rasa sombong maka tidak akan memasukkan dirinya masuk ke surga. (al hadist)
Perlu
digarisbawahi bahwa bentuk kerusakan manusia dimuka bumi paling dasyat adalah
melakukan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Bentuk kesyirikan yang dilakukan
tidaklah semata-mata berkaitan dengan rububiyyah alias membuat tandingan-tandingan
sesembahan kepada selain Allah Ta’ala seperti sesembahan kepada makhluk,
tetapi berkaitan dengan uluhiyah
seperti memohon, berharap, tawasul, berkurban, percaya semata-mata kepada
makhluk Allah Ta’ala serta syirik secara Asma Wa Sifat Allah Ta’ala. Dan
pada masa sekarang kesyirikan terjadi pada segala keadaan baik senang dan susah (Kitab Kasyifus Syubhat, Muhammad Bin
Abdul Wahhab). Bentuk bentuk kesyirikan inilah yang akan mengundang
murka Allah Ta’ala dimuka bumi ini.
Berbanding
lurus dengan munculnya sifat kesombongan dan kemaksiyatan yang
dilakukan oleh manusia terhadap Allah Ta’ala dan rasulNya, maka kerusakan-kerusakan
dimuka bumi mulai muncul. Bumi yang Allah Ta’ala ciptakan dengan
keseimbangan, keharmonisan, keindahan mulai mengalami degradasi akibat olah
manusia. Hutan yang Allah Ta’ala ciptakan dengan berbagai sumberdaya alam telah
mulai mengalami kerusakan akibat tangan
manusia. Alam yang harmonis sudah mengalami kerusakan yang luar biasa akibat
penggalian bahan tambang, minyak bumi dan gas. Laut yang begitu luas juga
mengalami kerusakan akibat berbagai polusi dan eksploitasi. Demikian juga udara yang Allah Ta’ala sediakan
dalam kondisi bersih dan nyaman, kini
telah mengalami banyak polusi sehingga
membahayakan banyak kehidupan.
Manusia
dalam mengelola tanah dihadapkan pada
dua perkara yang unik dan menarik. Perkara pertama adalah berkaitan dengan
pemanfaatan dan penggunaan tanah. Adanya
perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah berbanding lurus terhadap perubahan eksisting penggunaan tanah yang Allah
Ta’ala ciptakan. Artinya, manusia yang akan melakukan usaha diatas bumi atau
tanah secara otomatis akan mempengaruhi keadaan
penggunaan tanah yang telah ada pada saat itu. Dampak yang ditimbulkan akibat
kegiatan perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah ada yang bersifat besar dan
kecil, ada yang bersifat luas atau sempit. Perubahan-perubahan penggunaan dan
pemanfaatan tanah oleh manusia secara otomatis akan mempengaruhi terhadap
apa-apa yang telah Allah Ta’ala ciptakan diatas bumi. Akibatnya terhadap bumi
telah terjadi ketidakseimbangan, ketidak harmonisan, ketidakindahan dan
kerusakan. Hal ini sebagaimana
tercantum dalam firman Allah dalam Surat As Sajadah ayat 7: “ Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya
dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.”
Perkara
kedua yang berkaitan dengan tanah adalah perkara penguasaan dan pemilikan tanah. Ada hubungan positif antara jumlah pemilikan dan penguasaan tanah dengan
pertambahan jumlah manusia. Semakin
bertambah jumlah manusia semakin intensif pemilikian dan penguasaan tanah. Hal
ini sejalan juga dengan semakin intensifnya konflik yang berkaitan dengan
pertanahan akibat berbagai kepentingan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Hal
inilah yang berujung kepada timbulnya ketimpangan kepemilikan tanah. Ada
sebagian orang yang memiliki dan menguasai tanah yang luas, ada sebagian orang
yang endless terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah. Muara
dari permasalahan ini adalah munculnya konflik sosial di bidang pertanahan.
Islam
sebagai agama yang lengkap dan sempurna sudah
pasti mengatur perkara-perkara yang sangat besar bagi kehidupan manusia
termasuk pengelolaan pertanahan. Bagaimana Islam mengatur manusia dalam masalah penggunaan dan pemanfaatan tanah di
muka bumi? Bagaimana Islam mengatur juga hak-hak manusia terhadap penguasaan
dan pemilikan tanah di muka bumi? Insya Allah , tulisan ini akan menguraikan
secara jelas kedua permasalahan tersebut berdasarkan nash-nash al qur’an dan
sunnah, serta fatwa dari ulama.
Hal yang perlu ditegaskan bahwa dalam pemanfaatan penggunaan dan
penguasaan tanah Islam telah memberikan aturan yang jelas. Ketiga perkara
tersebut bukan semata untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini, melainkan
harus jauh memikirkan keberlangsungan untuk kebutuhan masa depan anak cucu.
Bahkan Islam melarang dengan keras terhadap usaha penggunaan, pemanfaatan dan
penguasaan tanah yang hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pada saat ini
dengan mengabaikan kebutuhan mendatang, sebagaiamana di nukil oleh Syaikul Islam
Ibnu Taimiyah dalam kitab Taqi ad-Din Ahmad Ibnu Taimiyah “Telah diketahui bahwa dalam makhluk-makhluk ini Allah menunjukkan
maksud-maksud yang lain dari melayani manusia, dan lebih besar dari melayani
manusia: Dia hanya menjelaskan kepada anak-cucu Adam apa manfaat yang ada
padanya dan apa anugrah yang Allah Ta’ala berikan kepada ummat manusia.”.
Adanya penguasaan tanah yang
berlebihan, islam melakukan pelarangan. Seorang muslim dilarang berlebihan
dalam menguasai dan memiliki tanah. Pelarangan ini dikarenakan akan munculnya
terhadap kecintaan terhadap dunia sehingga lupa memikirkan urusan akhirat. Hal
ini sebagaimana termaktub dalam hadist riwayat Ibnu
Abbas ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kalian
berlebih-lebihan dalam al-Dhi'ah sehingga menjadikan kalian cenderung terhadap
dunia." Lebih lanjut Ahmad bin Mas'ud meriwayatkan secara marfu dengan
lafadz: "Rasulullah melarang berlebih-lebihan dalam keluarga dan harta." Dan lebih khusus lagi Syaikh Muhammad Nashirudin Al Bani dalam
kitab Silsilah Hadist Sahih 1/18
menjelaskan : Ketahuilah, bahwa
berlebih-lebihan yang dapat memalingkan dari pelaksanaan kewajiban, di
antaranya ; Jihad fi sabilillah adalah maksud dari at-Tahlukah (kebinasaan)
dalam firmanAllah Ta’ala yang artinya : "Dan janganlah knmu menjatuhkan
dirimu sendiri kedalam kebinasaan: QS al-Baqarah 195, yang merupakan sebab
dari turunnya ayat tersebut. Hal ini berbeda dengan apa yang diduga oleh
kebanyakan orang.
B. PENGGUNAAN
TANAH BERDASAR KAIDAH SUNNAH
D
|
alam
mengunakan dan memanfaatkan tanah untuk memenuhi kebutuhan manusia, Islam telah
menggariskan beberapa kaidah sebagai berikut :
1. Tanah yang dimanfaatkan untuk kepentingan
orang banyak mempuyai nilai kemuliaan dan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan untuk kepentingan pribadi.
Manusia yang mempunya, menguasai dan mengolah
tanahnya yang tujuannya untuk kepentingan orang lain akan mendapat kemuliaan
disisi Allah Ta’ala dan penghargaan yang luar biasa dimata manusia lainnya.
Bahkan lebih khusus lagi, seandainya
manusia mengolah tanah dengan segala jerih payah, dana, waktu, tenaga, pikiran
namun hasilnya tidak dapat dinikmati untuk dirinya, keluarganya atau orang lain
tetapi yang menikmati adalah seekor burung atau jenis hewan lain, Allah Ta’ala
akan memberikan nilai sedekah terhadap segala upaya yang dihabiskan untuk
memanfaatkan tanah tersebut. Tidak ada usaha yang sia-sia apa yang dilakukan
oleh manusia yang mengolah dan memberdayakan tanah. Jika dia mampu memperoleh
hasil dan menikmatinya maka dia akan memperoleh 2 kenikmatan, yaitu kenikmati
menikmati hasil jerih payahnya dan kenikmatan memperoleh nilai sedekah dari
Allah terhada apa yang diusahakan. Jika gagal menikmati hasil jerih payahnya
akibat bencana alam, dimakan pemangsa, dicuri orang dan sejenisnya, Allah tetap
memberikan nilai sedekah. Hal ini sebagaimana tercantum dalam hadist riwayat Dari anas radhiallahu
anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallah ‘alau ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seorang muslim yang menanam atau menabur
benih, lalu ada sebagian yang dimakan oleh burung atau manusia, ataupun oleh
binatang,niscaya semua itu akan menjadi sedekah baginya” (HR Imam Bukhari
(2/67), Imam Muslim (5/28), Imam Ahmad (3/147), M. Nashirudin Albani, Silsilah hadisth sahih
(I/25)).
Dalam riwayat lain dengan redaksi berbeda rasulullah bersabda : oleh Jabir
r.a. rasulullah bersabda : “Seorang
muslim yang menanam suatu tanaman, niscaya apa yang termakan akan menjadi
sedekah, apa yang terurai akan menjadi sedekah, apa yang termakan oleh burung akan menjadi sedekah dan apapun yang
diambil oleh seseorang dari tanaman itu akan menjadi sedekah pula bagi
pemiliknya sampai hari kiamat datang” (HR Imam Ahmad 339)”
2. Pemanfaatan tanah
harus berorientasi ke masa depan dan melarang bersifat boros hanya untu
kepentingan sesaat.
Pengelolaan
dan pemanfaatan tanah tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan menimbulkan
kerusakan sehingga kebutuhan yang sama dimasa mendatang sudah tidak ada lagi.
Pengelolaan tanah harus memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga tetap
lestari dan berkelanjutan untuk masa mendatang.Terlebih lagi mengelola tanah
dengan menimbulkan kerusakan dengan berbagai macam polusinya. Islam mengajarkan
meski umur manusia telah tua dimana harapan hidup hamper tidak ada atau ibarat
dunia hampir kiamat dan kehisupanpun sudah hampir musnah, seandainya masih
mengenggam tanaman yang masih bisa ditanam maka harus melakukan penanaman pohon.
Padahal pelakunya tahu bahwa dia kemungkinan besar tidak akan menikmati hasil
dari apa yang ditanam, tetapi dia punya kewajiban memberikan kemanfaatan kepada
anak cucu atau orang lain atau binatang lain untuk menikmati jerih payahnya
walau hanya dengan sebuah pohon. Perintah ini sebagaimana tercantum dalam
hadist dari Anas r.a. dari rasulullah , beliau bersabda “Kendatipun hari kiamat akan terjadi, sementara itu di tangan salah
seorang di antara kamu masih ada bibit pohon kurma, jika ia ingin hari kiamat
tidak akan terjadi sebelum ia menanamnya, maka hendaklah ia menanamnya” (Imam
Ahmad 3/183, 184,191, Ath Thayalisi )2078, Imam Bukhari – Adab Al Mufarrad
479), Ibnul Arabi kitab Al Mu’jam (i/21)
Islam melarang
orang yang putus asa dan bersifat ananiyah dalam mengelola tanah. Keputusasaan
tersebut bisa jadi disebabkan karena usia sudah tua atau karena mau meninggal.
Tetapi sebaliknya dalam mengelola tanah manusia dianjurkan untuk selalu optimis
dengan cara meninggalkan kebaikan untuk generasi penerus. Karena hal ini akan
menjadi amal jariyah yang pahalanya akan selalu mengalir meski yang berbuat
telah di alam kubur. Hal ini sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir dari Ammarah bin Khuzaimah bin Tsabit yang berkata : “Saya mendengar Umar bin Khatab berkata kepada Ayahku : “Apa yang
menghalangimu menanami tanahmu?” Ayah saya menjawab: ”saya sudah tua dan besok akan mati”. Kemudian Umar berkata : “Aku benar-benar menghimbaumu agar engkau
mau menanaminya’. Tidak lama kemudian saya benar-benar melihatnya (Umar bin
Khathab) menanam sendiri bersama ayah saya” (Al Jami’aul Kabir, karya As
Suyuthi 3/337/2)
Lebih lanjut Syaikh Muhammad Nashirrudin Albani
menjelaskan bahwa orang yang mengelola tanah dengan memperhatikan kepentingan
masa depan termasuk amal jariyah. Dalam menjelaskan hadist diatas menjelaskan
beliau menulis : selain hadist tersebut
tiada hadis lain yang menjelaskan anjuran untuk menjadikan agar lebih produktif,
terlebih hadist terakhir diatas menyiratkan pesan yang cukup dalam agar
seseorang memanfaatkan masa hidupnya untuk menanam sesuatu yang dapat dinikmati
oleh orang-orang sesudahnya, hingga pahalanya tetap mengalir di hari kiamat
tiba . Hal ini sebagai amal sedekahnya atau sedekah jariyah.
Sejalan dengan
pandangan Syaikh Muhammad Nashiruddin
Albani, Imam Bukhari menjelaskan tetang apa-apa yang diusahakan manusia demi
anak cucunya termasuk amal kebaikan. Imam Bukhari menerjemahkan hadist ini
(Kitab Babu Ishthina’il Mal) dari Hadist
Riwayat Al Harits bin Laqith ia mengatakan “Ada seseorang yang diantara kami
yang memiliki kuda yang telah beranak pinak, lalu disembelihnya kuda itu.
Setelah itu ada surat dari Umar yang datang kepada kami, yang isinya :
“Peliharalhah dengan baik rezeki yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala kepada
kalian . Sebab dalam hal yang demikian itu tercatat kemudahan bagi pemiliknya.”
3. Orang yang berusaha dalam mengelola tanah mendapat kemulian dihadapan
Allah sebagai karyawan dari Allah Ta’ala.
Ini
adalah kemuliaan yang sangat luar biasa yang dimiliki oleh seorang muslim yang
bekerja pada bidang pertanian, perkebunan dan sejenisnya. Kerena orang yang
bekerja di luar bidang ini seperti karyawan perkantoran, guru, pedagang,
pekerja pabrik, dan sebagainya tidak memperoleh kedudukan yang mulia ini. Hal
ini sebagaimana kisah sahabat berikut ini :
Sebagian
sahabat menganggap bahwa orang yang bekerja untuk mengolah dan meanfaatkan
lahannya adalah karyawan Allah Ta’ala. Imam
Bukhari dalam Kitab Al Adab Al Muffarad (448) dari Nafi’ bin Ashim,: bahwa ia mendengar Abdullah Ibnu Amer berkata
kepada salah seorang anak saudaranya yang keluar menuju tanah lapang (kebun :
Apakah para karyawanmu sedang bekerja?” “Saya Tidak tahu “ : jawab anak
saudaranya. Lalu Abdullah bin Amer menyambung: “Seandainya engkau orang yang
terdidik, niscaya engkau akan tahu apa yang sedang dikerjakan oleh para
karyawanmu.” Kemudian ia (Abdullah bin Amer) menoleh kepada kami seraya
berkata;” Jika seorang bekerja bersama para karyawannya di rumahnya, maka ia
termasuk karyawanAllah Ta’ala SWT.” Al wahthu berarti al bustan (kebun) yaitu
tanah lapang yang luas milik Amer bin Ash yang berada di Thaif, sekitar 3 mill
dari Wijj. Tanah tersebut telah diwariskan kepada anak-anaknya. Ibnu Asakir dalam kitab At Tarikh (13/264/12)
meriwayatkan dari Amer Bi Dinar, mengatakan “ Amer Bin Aash berjalan memasuki
sebidang kebun miliknya yang ada di Thaif yang biasa dikenal Al Waththu. Di tanah itu terdapat satu
juta kayu yang dipergunakan untuk menegakkan pohon anggur. Satu batangnya
dibeli dengan harga satu dirham.
Berkaitan
dengan orang yang berusaha dalam mengelola tanah adalah karyawan dari Allah
Ta’ala, lalu bagaimana dengan hadist dari Abu umamah Al Bahili . Ia melihat
sungkal bajak dan alat pertanian lainnya, lalu dia berkata: Saya mendengar
rasulullah saw bersabda : ”Bila
benda-benda itu masuk kedalam sebuah rumah, niscayaAllah Ta’ala juga akan
memasukkan kehinaan” (Imam Bukhari - Kitab Sahih-, Syarah Fathul Bari 4/5).
Al Kabair karya Ath Thabrani dari abu Umamah meriwayatkan “Para penghuni rumah yang pagi-pagi keluar dengan sepasang lembu untuk
membajak, pasti akan ditimpa kehinaan”.
Ulama
mengintegrasikan hadist tersebut :
a)
Yang dimaksud adz dzul adalah kewajiban ,(pajak) bumi yang
diminta oleh Negara. Orang yang melibatkan diri didalamnya, berarti telah
menceburkan atau menyodorkan dirinya ke dalam kehinaan. Lebih lanjut Al Manawi
dalam kitab al Faidh menjelaskan: Hadist ini tidak mencela pekerjaan bercocok
tanam, sebab pekerjaan ini terpuji, karena banyak yang membutuhkannya.
Disampingitu kehinaan (karena melibatkan diri dalam urusan pajak) tidak
menghalangi pahala sebagian orang yang bercocok tanam. Jadi keduanya tidak ada
hubungannya (talazum)
b) Karena itu Ibnu at
Tin mengatakan :”Hadist ini merupakan salah satu berita Nabi Muhammad SAW
tentang hal yang bersifat abstrak, karena dalam kenyataannya yang kita saksikan
sekarang ini malah mayoritas orang yang teraniaya adalah para petani.”
c)
Hadist ini dimaksudkan bagi mereka yang terbengkalai urusan ibadahnya
karena terlalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan itu, lebih-lebih untuk
berperang yang saat itu dibutuhkan. Dengan dalil ini Imam Bukhari mengambil
judul diatas “”Peringatan Keras terhadap Akibat yang ditimbulkan Karena terlalu
Sibuk dengan Alat-alat Pertanian, yang Melebihi Batas yang Telah Ditentukan.”.
Terlalu menyibukkan diri dengan urusan pekerjaan dapat membuat seseorang lupa
diri dengan kewajibannya, rakus terhadap dunia, mau terus menerus bergulat
dalam usaha pertanian bahkan nggan untuk berperang. Seperti banyak terlihat
pada orang-orang kaya.
d) Penggabungan kedua
hadist ini dipertegas hadist ishaq abu abdurahmman, rasulullah bersabda : “Jika
kalian berjaul beli dengan cara ‘inah (penjualan secara kredit dengan tambahan
harga) dan mengambil ekor sapi, merasa lega dengan bertanam, dan meninggalkan
jihad, mak aAllah Ta’ala akan menurunkan kerendahan bagi kalian. Dia
sekali-kali tidak akan melepaskannya, kecuali jika kalian kembali ke agama
kalian.” Jadi Kerendahan dimaksudkan di dalam hadist diiringi dengan kesibukan
yang melalaikan perjuangan, sedang kewajiban bercocok tanam yang tidak
menganggu kewajiban, justru merupakan maksud dari hadist yang menganjurkan
bercocok tanam.
e)
Dari Ibnu Mas’ud, rasulullah bersabda :”Janganlah kalian membuat
pekarangan, yang membuat kalian cinta kepada dunia.” (Imam Tirmidzi:4/264, Abu
Al Syikh –Ath Thabaqat 298, Imam Ahmad 2598,4047, dll)
f)
Dari Ibnu Mas’ud : rasulullah Muhammad SAW “ melarang berlebih-lebihan
dalam hal keluarga dan harta benda” (HR. Imam Ahmad 4118,41740). Dalam hal ini,
Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani menjelaskan bahwa berlebihan dalam bekerja
dapat melalaikan kewajiban seperti jihad sebagaimana dalam firmanAllah Ta’ala
QS. Al Baqoroh 195 :”Dan Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam
kebinasaan.”
4. Dalam mengelola tanah harus memperhatikan daya dukung agar menghasilkan
produksi yang maksimal dan berkelanjutan.
Ibnu Chaldun
menjelaskan bahwa manusia harus memanfaatkan kekayaan alam untuk kemaslahan manusia dengan
tetap menjaga kelestariannya. Dalam menjaga kelestarian ini, maka setiap ketinggian, kemiringan, dan
iklim tertentu mempunyai daya dukung untuk tumbuhnya tanaman tertentu pula.
Dengan demikian tidaklah sama antara daerah datar, daerah berbukit, daerah
bergelombang hingga daerah puncak bukit atau gunung jenis tanamannya maupun
pemanfaatan tanahnya. Untuk daerah yang ada di dataran rendah dengan kondisi
topografi datar maka jenis tanaman untuk produksi makanan pokok, tanaman
komoditas, perikanan, penggembalaan dapat diusahakan. Namun untuk daerah bukit
atau dengan kemiringan lereng yang terjal dan curam, maka tanaman yang ditanam
adalah utnuk fungsi perlindungan, menjaga ketersediaan air, menjaga longsor dan
menjaga habitat binatang. Maka dalam
jaman rasulullah dan sahabat dikenal dengan beberapa istilah sebagai berikut :
a)
Ihya al-mawat, menghidupkan
lahan yang terlantar dengan cara reklamasi atau memfungsikan kawasan tersebut
agar menjadi produktif
b) Iqta, lahan yang
diijinkan oleh negara untuk kepentingan pertanian sebagai lahan garap untuk
pengembang atau investor.
-insya Allah bersambung bagian 2-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar