Oleh
Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari – hafizhahullah-
Naskah ini diangkat berdasarkan khutbah Jum’at
Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari – hafizhahullah- di Masjid al Akbar
Surabaya, 18 Muharram 1427H bertepatan 17 Februari 2006. Narasi khutbah
tersebut diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib, kemudian kami tulis kembali
dalam bentuk naskah, dengan penyesuaian seperlunya, tanpa mengurangi substansi
materi. Judul di atas adalah dari Redaksi. Semoga bermanfaat. (Redaksi).
_________________________________________________________
Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
_________________________________________________________
Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَعَنَ اللهُ مَن ذَبَحَ
لِغَيرِ اللهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن سَبَّ وَالِدَيهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن غَيَّرَ
مَنَارَ الأَرضِ,
لَعََنَ اللهُ مَن آوَى مُحدِثَا
لَعََنَ اللهُ مَن آوَى مُحدِثَا
Allah
melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang
mencaci-maki kedua orang- tuanya. Allah melaknat orang yang merubah tanda batas
tanah (orang lain), dan Allah melaknat orang yang melindungi orang yang
mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid’ah).
TAKHRIJ
HADITS
- HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allah man la’ana walidaih, no. 17.
- Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.
- An Nasa-i, dalam as Sunan, kitab adh dhahaya, no. 4346, dan
- Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.[1]
- HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allah man la’ana walidaih, no. 17.
- Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.
- An Nasa-i, dalam as Sunan, kitab adh dhahaya, no. 4346, dan
- Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.[1]
SYARAH
HADITS
Di antara nikmat Allah yang terbesar dan anugerahNya yang paling agung, yaitu dijadikannya kita sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang hanya beribadah kepadaNya, dan yang hanya mengikuti NabiNya Shallallahu ‘alaihi was sallam, serta menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al Qur`an dan Sunnah.
Allah berfirman dalam al Qur`an :
Di antara nikmat Allah yang terbesar dan anugerahNya yang paling agung, yaitu dijadikannya kita sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang hanya beribadah kepadaNya, dan yang hanya mengikuti NabiNya Shallallahu ‘alaihi was sallam, serta menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al Qur`an dan Sunnah.
Allah berfirman dalam al Qur`an :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Dan
Kami turunkan kepadamu al Qur`an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka. [an Nahl : 44].
Al
Qur`an adalah dzikr, dan Sunnah adalah dzikr, sebagaimana yang telah disabdakan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ketahuilah, bahwa aku telah diberi
al Qur`an dan yang semisal dengannya”.
Al Qur`an
adalah Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang merupakan mukjizat, dan membacanya terhitung sebagai suatu ibadah.
Demikian pula Sunnah (hadits) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu
Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti yang telah Dia firmankan :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
, إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى .
Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [an Najm :
3-4].
Dan
sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Amru bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya dia pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sambil bertanya : “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya, Anda terkadang berkata
dalam keadaan marah dan terkadang dalam keadaan ridha. Apakah boleh kita
menulis semua yang Anda katakan?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab,”Tulis semuanya, demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidaklah yang
keluar dariku melainkan haq (benar),” sambil menunjuk ke arah mulut beliau yang
suci.
Hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tafsir bagi ayat-ayat yang global
dalam al Qur`an dan pengkhusus bagi ayat-ayat yang umum, serta pengikat bagi
ayat-ayat yang mutlak, dan dia adalah wahyu Allah Ta’ala. Di antara wahyu
tersebut adalah diberinya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jawaami’ul kalim,
sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim, Pent),
beliau bersabda : “Aku diutus dengan jawaami’ul kalim”. Arti jawaami’ul kalim adalah
ucapan singkat, tetapi padat maknanya.
Di
antara jawaami’ul kalim tersebut adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang merupakan pembahasan kita sekarang yang tercantum dalam Shahih
Muslim, dari seorang sahabat yang mulia dan seorang khalifah yang mendapat
petunjuk, yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَعَنَ اللهُ مَن ذَبَحَ
لِغَيرِ اللهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن سَبَّ وَالِدَيهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن غَيَّرَ
مَنَارَ الأَرضِ, لَعََنَ اللهُ مَن آوَى مُحدِثَا و
Allah
melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang
mencaci-maki kedua orang- tuanya. Allah melaknat orang yang merubah tanda batas
tanah (orang lain), dan Allah melaknat orang yang melindungi orang yang
mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid’ah).
Hadits
ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang berharga, karena
menjelaskan hak-hak yang agung, yang menjadi landasan sosial masyarakat muslim.
Jika kaum Muslimin telah mundur ke belakang, maka dengan mewujudkan hak-hak
ini, mereka akan kembali menjadi umat yang maju di tengah umat-umat yang lain.
Di
dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak ibadah, hak sunnah, hak nafs
(jiwa), dan hak orang lain. Jika kita mau merenungi keempat hak-hak di atas,
maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah mencakup semua hak muslim, baik
yang berkaitan dengan dirinya, orang lain, dan yang berkaitan dengan Rabb-nya
serta NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hak
ibadah adalah tauhid yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sabda beliau “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah”.
Bagaimana dia bisa mengarahkan sembelihan kepada selain Allah? Sedangkan
tindakan tersebut termasuk ibadah. Dan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup
hal-hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik yang
berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana
yang telah Allah Azza wa Jalla firmankan :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ(162)لَا شَرِيكَ لَهُ
وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah:
“Sesungguhnya shalatku, ibadatku (sesembelihanku), hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)”. [al An'am : 162-163].
Menjaga
hak tauhid dan ibadah, adalah kewajiban yang harus ditanamkan di dalam hati dan
akal pikiran, lalu diwujudkan dalam amal perbuatan dengan penuh keyakinan,
tanpa ada sedikit pun keraguan. Bagaimana tidak demikian, sedangkan kita
tidaklah diciptakan, melainkan hanya untuk beribadah kepadaNya saja,
sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56) مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا
أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ (57) إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ
الْمَتِينُ
Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku
tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki
supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezki
Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. [adz Dzariyaat : 56-58].
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengajarkan kepada sahabat-sahabat beliau
yang masih kecil, apalagi kepada yang dewasa tentang hak ibadah ini agar
ditanamkan dalam hati, dan tumbuh di dalam akal pikiran serta anggota badan.
Telah
diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu –sepupu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam- bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadanya : “Wahai, anak kecil. Aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa
perkara. (Yaitu) jagalah Allah, maka pasti Allah menjagamu. Jagalah Allah,
pasti engkau akan mendapatiNya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah
kepada Allah. Dan jika engkau memohon pertolongan, mintalah kepada Allah”.
Maka,
tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allah. Tidak ada yang berhak dimintai
pertolongan melainkan Allah. Tidak ada yang berhak dijadikan sumpah melainkan
Allah. Dan tidak ada yang berhak diistighasahi, melainkan Allah. Tidak ada yang
berhak diserahi sesembelihan dan nadzar, melainkan Allah. Tidak boleh bernadzar
kepada Nabi, wali maupun siapa saja, meskipun tinggi kedudukannya. Dengan ini,
(seorang muslim) bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya.
Kemudian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah melaknat orang yang
melindungi muhditsan”.
Al
muhdits, adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama (bid’ah) dan
yang merubah Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini, terdapat
pemeliharaan terhadap hak Sunnah dan ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam). Ketika kita mengikrarkan kalimat tauhid Laa ilaha illallah
Muhammaddur Rasulullah. Maka, ucapan ini mengandung hak-hak,
kewajiban-kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi. Dan kalimat tersebut, bukan
hanya sekedar huruf-huruf yang digandeng, atau ucapan yang terlepas begitu saja
dari lisan. Tetapi, dengan kalimat inilah berdiri langit dan bumi. Tidak
diciptakan manusia, melainkan untuk mewujudkan kandungan kalimat tersebut. Dan
tidaklah diturunkan kitab-kitab Allah serta diutus para rasul, melainkan
karenanya.
Kalimat
Laa ilaha illallahu, maknanya tidak ada yang berhak disembah dengan benar,
kecuali Allah. Dan kalimat Muhammadur Rasulullah, maknanya tidak ada yang
berhak diikuti, melainkan Rasulullah. Sebaik-baiknya perkara adalah apa yang
disunnahkannya. Dan sejelek-jeleknya perkara adalah apa yang beliau tinggalkan
(bid’ah, Pent). Tidaklah beliau meninggal dunia, melainkan beliau telah
menjelaskan segala kebaikan kepada kita dan melarang dari segala kejelekan.
Diriwayatkan
oleh Imam Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Dzar al Ghifari
Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata : “Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam meninggal dunia, melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kita,
sampai-sampai burung yang terbang di udara telah beliau jelaskan kepada kita
ilmunya”.
Dalam
hadits ini terdapat penjelasan tentang hak Sunnah yaitu hak Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliaulah suri tauladan yang baik dan yang sempurna bagi kita;
bagaimana tidak, sedangkan Allah telah berfirman tentang beliau :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia
banyak menyebut Allah. [al Ahzab : 21].
Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan, bahwa satu-satunya jalan petunjuk, yang
seorang hamba selalu memohonnya lebih dari sepuluh kali sehari semalam di kala
shalat fardhu, sunnah maupun nafilah, yaitu اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (Tunjukilah kami jalan yang lurus), adalah
dengan mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada jalan
yang lurus melainkan dengan mengikuti Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sebagaimana yang telah Allah firmankan وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا (Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.
–an Nuur : 54). Apabila kalian mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka kalian akan mendapat hidayah yang selalu kalian minta kepada Rabb kalian
dikala siang dan petang hari. Inilah hak Allah, dan inilah hak RasulNya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta hak agamaNya. Maka apakah kita telah
menjalankan semua hak-hak ini?
Di
bagian yang lain dari hadits ini terdapat peringatan adanya dua kewajiban lain.
Yang
pertama, yang merupakan urutan kedua dari hadits di atas, yaitu sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Allah melaknat orang yang mencela kedua orang
tuanya”. Ini adalah kewajibanmu dan anda mesti menjadi pemeliharanya dengan
baik. Yaitu engkau berbakti kepada keduanya, mendoakan mereka dan menjaga hak-hak
mereka, tidak meremehkannya serta tidak menjadi penyebab engkau mencaci kedua
orang tuamu.
Hak
kedua orang tua, terkadang bisa secara langsung disia-siakan oleh anak yang
durhaka, yaitu dengan mencaci-maki ayah atau ibunya karena mencari ridha sang istri,
hawa nafsu maupun setannya. Dan sangat disesalkan, hal ini terjadi (di tengah
masyarakat kita, Pent).
Adapun
yang kedua, secara tidak langsung, yaitu engkau berbuat sesuatu yang
menyebabkan orang lain mencaci-maki kedua orang tuamu. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda : “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki
kedua orang tuanya,” para sahabat bertanya,”Bagaimana seseorang bisa
mencaci-maki kedua orang tuanya?” maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab : “Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki
kembali orang tuanya”. Dan ini (termasuk) di antara arah tujuan syariat, yaitu
menutup segala pintu (kejelekan) serta membendung kerusakan. Engkau tidak boleh
berbuat suatu yang mengakibatkan kerusakan yang besar di kemudian hari. Tetapi
amat disayangkan, perkara ini secara global banyak disepelekan oleh sebagian
kaum Muslimin, bahkan oleh Islamiyyin (orang-orang yang bersemangat membela
Islam tanpa bekal ilmu yang benar, Pent). Kita melihat, mereka bersemangat
dalam banyak perkara dan banyak berbuat sesuatu, dan mereka mengira hal
tersebut sebagai suatu bentuk hidayah dan kebenaran, namun hakikatnya tidak
seperti itu [2]. Mereka melakukan dengan semangat membara, yang mengakibatkan
umat Islam menjadi santapan lezat bagi umat-umat yang lain, dan menjadikan
orang-orang kafir menguasai kaum Muslimin dan merampas harta kekayaan mereka.
Ini
termasuk menutup segala pintu kejelekan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika melarang kita mencaci-maki orang tua, sebuah tindakan yang
termasuk dosa, maka bagaimana jika kita melakukannya lebih dari itu? Yaitu
mencaci-maki orang tua orang lain, lalu orang tersebut mencaci-maki kedua orang
tua kita? Ini termasuk dosa besar. Jika kita melaksanakan ketaatan kepada
mereka maka ini termasuk menjaga hak jiwa pribadi (nafs) . Adapun meremehkan
dan menyia-nyiakan mereka, maka akibat buruknya akan menimpa dirinya sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : [وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا] Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya.” (Al-Isra’ : 23).
Di
dalam ayat ini Allah menyatukan antara ketaatan kepada kedua orang tua dengan
ibadah hanya kepada-Nya saja, karena didalamnya terdapat unsur pemeliharaan
terhadap hak jiwa sendiri, ayah dan anak.
Adapun
hak yang terakhir yang disebutkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan
hak orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini
empat hak yaitu : (1). Hak Allah (2). Hak Nabi (3). Hak nafs (4). Hak orang
lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah melaknat orang yang
merubah tanda batas tanah orang lain” maksudnya dia melanggar hak (tanah) orang
lain baik itu tetangganya, kerabat, saudaranya ataupun orang yang jauh darinya.
Barangsiapa yang melanggar hak orang lain meski kelihatannya sepele, niscaya
akan terkena ancaman dalam hadits ini. Jika melanggar hak tanah orang lain saja
yang berkaitan dengan masalah dunia mengakibatkan terlaknat, maka bagaimana
kalau pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak yang lebih besar dari itu
seperti melanggar kehormatan atau kemuliaan orang lain dengan menggunjingnya,
mengadu domba, berdusta atas namanya ?
Renungilah
sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam : [إِنَّ أربَى الرِبَا استِطَالَة الرَجُلِ فِي عِرضِ
أَخِيهِ المُسلِم]
Artinya : “Dosa riba yang paling besar adalah seseorang melanggar kehormatan
saudaranya muslim” yaitu dengan menggunjingnya, berdusta atas namanya, berburuk
sangka kepadanya atau dengan mengadu domba antara dia dengan orang lain. Semua
ini terlarang dan merupakan sebab perampasan hak orang lain dan termasuk dosa
besar.
Jika
kita mengetahui sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam : “Satu dirham (hasil) riba yang dimakan oleh seseorang yang tahu
(hukum-nya-pent) lebih besar dosanya di sisi Allah dari pada 36 kedustaan”
Apabila ini tingkat paling rendah akibat harta riba, maka bagaimana dengan riba
yang paling besar ? Ini semua dalam rangka menjaga hak-hak orang lain baik
kerabat maupun orang yang jauh. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
berpesan kepada Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda : “Dan pergauli manusia
dengan akhlak yang baik”
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan (pergaulilah) orang-orang mukmin
atau muslimin atau yang berpuasa saja atau orang-orang shalih atau shadiqin
saja, tapi beliau malah mengatakan (pergaulilah manusia) maksudnya semua
manusia baik dia mukmin atau kafir, shaleh atau tholeh. Karena dengan akhlakmu
disertai pemeliharaan terhadap hakmu dan hak orang lain, engkau dapat mengambil
hati mereka sehingga engkau bisa menyerunya (kepada kebenaran).
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun
VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Sumber: almanhaj.or.id dan dipublikasikan oleh www.salafiyunpad.wordpress.com
Sumber: almanhaj.or.id dan dipublikasikan oleh www.salafiyunpad.wordpress.com
_______
Footnote
[1]. Takhrij ini merupakan tambahan dari Redaksi
[2]. Hal ini seperti yang dilakukan oleh harokiyyin yang selalu semangat dalam mengobarkan api jihad melawan orang-orang kafir dengan melakukan peledakan-peledakan atau pembantaian warga sipil. Mereka kira, dengan semua itu dapat memuliakan Islam dan kaum Muslimin, padahal jika mereka mau merenungi kembali, justru mereka telah menyebabkan kaum Muslimin semakin ditindas dan mencoreng nama Islam. Sungguh benar yang Allah firmankan tentang mereka ini :
Footnote
[1]. Takhrij ini merupakan tambahan dari Redaksi
[2]. Hal ini seperti yang dilakukan oleh harokiyyin yang selalu semangat dalam mengobarkan api jihad melawan orang-orang kafir dengan melakukan peledakan-peledakan atau pembantaian warga sipil. Mereka kira, dengan semua itu dapat memuliakan Islam dan kaum Muslimin, padahal jika mereka mau merenungi kembali, justru mereka telah menyebabkan kaum Muslimin semakin ditindas dan mencoreng nama Islam. Sungguh benar yang Allah firmankan tentang mereka ini :
[قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ
بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا(103)الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah:
"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya”. -al Kahfi : 103-104. (Redaksi)
[3]. Kemudian khutbah ini beliau tutup dengan doa. (Redaksi).
[3]. Kemudian khutbah ini beliau tutup dengan doa. (Redaksi).
Sumber : Ustadz haris.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar