Oleh Ustadz Ahmas Faiz
bin Asifuddin, Lc. (Pimpinan Ponpes Imam Bukhari, Solo dan Pimpinan Majalah
As-Sunnah)
Ada beberapa cara yang secara teoritis dapat
ditempuh oleh kaum Muslimin dan pihak-pihak berkepentingan untuk mengatasi dan
memutuskan berlangsungnya kegiatan teror. Namun, secara praktis memerlukan
kesungguhan dan keikhlasan kerja dari berbagai pihak. Motivasi yang mendorong
kerja keras ini, yang paling pokok adalah keimanan kepada Allah Azza wa Jalla,
dengan maksud mencari ridha serta pahala-Nya. Sehingga yang diutamakan adalah
kemaslahatan dan kepentingan umum, bukan kemaslahatan dan kepentingan pribadi.
Dengan demikian, akan tercipta upaya penanggulangan bersama, dalam lingkup
ta’âwun ‘alal al-Birri wat-Taqwa (tolong menolong serta kerjasama berdasarkan
kebaikan dan ketakwaan), bukan atas dasar berebut kepentingan duniawi yang
memicu persaingan tidak sehat dan saling mencurigai.
Akar radikalisme yang memicu tindakan kekerasan dan terorisme sebenarnya sudah
muncul semenjak zaman Sahabat masih hidup. Terutama mulai mencuat pada zaman
pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhu. Oleh sebab itu, beberapa
kiat yang akan dipaparkan di bawah ini di dasarkan pada langkah-langkah yang
pernah dilakukan oleh para Sahabat dan para Ulama salaf dalam mengatasi
berkembangnya akar radikalisme pada waktu itu.
Sebelum
menyimpulkan kiat-kiat dimaksud, alangkah baiknya dikemukakan terlebih dahulu
beberapa riwayat shahîh yang akan dijadikan landasan dalam megambil kesimpulan.
Riwayat-riwayat
itu antara lain:
A.Dialog Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu dengan orang-orang khawarij. Beliau
bercerita, “Ketika orang-orang Haruriyah [1] melakukan pembangkangan terhadap
pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhu, mereka mengisolir diri di
sebuah camp. Jumlah mereka pada waktu itu sekitar 6000 orang. Mereka bersepakat
untuk melakukan pemberontakan kepada Ali bin Abi Thâlib. Dan sudah seringkali
orang datang kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu dan mengingatkannya seraya berkata,
“Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya orang-orang Harûriyah itu akan memberontak
kepada engkau”. Setiap kali itu pula Ali Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Biarkan
mereka. Saya tidak akan memerangi mereka sampai mereka memerangi saya. Dan
mereka pasti akan melakukannya!”
Pada
suatu hari, sebelum shalat Zhuhur, aku datang menemui Ali Radhiyallahu ‘anhu.
Aku berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mu’minin, tundalah shalat Zhuhur sampai
waktu tidak terlalu panas, karena aku ingin berbicara sebentar dengan
orang-orang Harûriyah itu.
Ali
Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku mengkhawatirkan engkau.”
Aku menjawab, “Jangan khawatir!” Aku dikenal (di masyarakat) sebagai orang yang
memiliki akhlak baik, aku tidak pernah menyakiti siapapun.
Akhirnya
Ali Radhiyallahu ‘anhu mengizinkan aku untuk pergi mendatangi mereka. Lalu
kukenakan pakaian paling indah yang berasal dari Yaman dan ku sisir rambutku.
Selanjutnya aku datangi mereka di suatu perkampungan pada tengah hari saat
mereka sedang bersantap siang. Ternyata, aku dapati bahwa mereka itu adalah
sekelompok orang yang aku lihat, sebelumnya tidak pernah ada seorang pun yang
yang lebih bersemangat dalam beribadah selain mereka. Dahi-dahi mereka hitam
menebal karena banyak bersujud. Telapak-telapak tangan mereka seolah-olah
seperti lutut onta (karena sering digunakan untuk menopang tubuh saat
bersujud). Mereka mengenakan pakaian yang sudah usang, sedangkan wajah-wajah
mereka pucat (karena banyak shalat malam).
Aku
ucapkan salam kepada mereka. Tetapi jawaban mereka adalah, “Selamat datang
wahai Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu ! Mewah sekali pakaian yang engkau
kenakan!”
Aku
menjawab, “Mengapa kalian mencela aku? Padahal aku pernah melihat Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakain dari Yaman yang jauh lebih
indah daripada yang aku kenakan ini. Kemudian aku bacakan sebuah ayat al-Qur’ân
kepada mereka:
“Katakanlah,”Siapakah
yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik”? [Ali
Imrân/7:32]
Mereka
lalu bertanya kepadaku, “Ada perlu apa engkau datang kemari?”
Aku menjawab,
“Aku datang sebagai utusan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yaitu para Muhajirin dan Anshar. Juga sebagai utusan dari anak paman Nabi dan
sekaligus menantu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang kepada
merekalah al-Qur’ân turun langsung, sehingga mereka pasti lebih memahami tafsir
al-Qur’ân dibanding kalian. Sementara itu, tidak ada seorang Sahabat Nabi-pun
yang berada di tengah-tengah kalian. Sekarang aku siap (menjadi jembatan) untuk
menyampaikan kepada kalian apa yang mereka katakan, dan siap menyampaikan
kepada mereka apa yang kalian katakan.
Tiba-tiba
sebagian mereka berkata kepada kawan-kawannya, “Kalian jangan melayani
pertengkaran dengan orang Quraisy, karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
“Sebenarnya
mereka adalah kaum yang suka bertengkar”. [az-Zukhruf/43:58]
Tetapi,
kemudian ada seorang yang datang menuju kepadaku. Orang ini berkata (kepada
mereka), “Ada dua atau tiga orang yang akan berbicara kepadanya (maksudnya Ibnu
Abbâs Radhiyallahu ‘anhu)
Maka
aku berkata, “Silakan! Apa (sebab) penolakan kalian kepada para Sahabat Nabi n
dan kepada anak paman beliau?”
Mereka menjawab, “Ada tiga hal.”
Aku berkata, “Apa saja ketiga hal itu?”
Mereka berkata, “Pertama, karena sesungguhnya Ali Radhiyallahu ‘anhu telah menjadikan
manusia sebagai penentu hukum dalam urusan (agama) Allah Azza wa Jalla. Padahal
Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
“Tidak
lain hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah”. [al-An'âm/6:57, juga
Yûsuf/12:40 dan 67]
Aku
berkata, “Ini yang pertama.”
Mereka
melanjutkan, “Adapun yang kedua, karena Ali Radhiyallahu ‘anhu telah memerangi
(Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, begitu juga Mu’âwiyah Radhiyallahu ‘anhu), tetapi
ia tidak melakukan penawanan perang dan tidak mengambil ghanîmah. Jika yang
diperangi Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah orang-orang kafir, berarti tawanannya
adalah halal. Tetapi kalau yang diperangi Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah
orang-orang Mukmin, berarti tidak halal mengadakan tawanan perang dan tidak
halal pula memerangi mereka.
Aku
berkata, “Ini yang nomor dua, lalu apa yang ketiga?”
Mereka
berkata, “Ia telah menghapus kedudukan Amirul Mukminin dari dirinya. Dengan
demikian, kalau ia bukan Amirul Mukminin, berarti ia adalah Amirul Kafirin
(amirnya orang-orang kafir).
Aku
berkata, “Apakah masih ada sesuatu yang lain selain yang tiga itu?”
Mereka menjawab, “Cukup itu saja.”
Selanjutnya,
akupun berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian, jika aku bacakan
ayat-ayat dari Kitabullâh (al-Qur’ân) dan Sunnah Nabi-Nya yang dapat
membatalkan perkatakaan kalian, apakah kalian mau rujuk (kembali kepada
kebenaran)?
Mereka
menjawab, “Ya.”
Aku
berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu telah menjadikan
manusia sebagai penentu hukum dalam urusan agama Allah Azza wa Jalla, maka akan
aku bacakan kepada kalian ayat al-Qur’ân yang menjelaskan bahwa Allah Azza wa
Jalla telah menyerahkan hukum-Nya kepada manusia dalam masalah yang nilainya
hanya seperempat dirham. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan manusia untuk
menetapkan hukum dalam hal ini.
Bukankah
kalian membaca firman Allah Azza wa Jalla :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika
kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan hukum dua orang yang adil di antara kamu”.
[al-Mâ'idah/5:95]
Dalam
ayat ini, ketetapan hukum Allah Azza wa Jalla ialah menyerahkan keputusan hukum
kepada manusia agar memutuskan hukum tentang pembunuhan terhadap hewan buruan
yang dilakukan oleh orang yang sedang berihrâm. Padahal, jika Allah Azza wa
Jalla menghendaki, Dia akan menghukuminya sendiri. Jadi, diperbolehkan putusan
hukum manusia.
Demi
Allah Azza wa Jalla, aku minta kalian bersumpah; apakah putusan hukum yang
dibuat manusia dengan tujuan mendamaikan hubungan kaum Muslimin dan mencegah
tertumpahnya darah mereka itu lebih baik ataukah urusan darah kelinci (yang
lebih baik)?
Mereka
menjawab, “Tentu ini lebih baik.”
Aku
melanjutkan, Begitu juga tentang seorang perempuan dengan suaminya, Allah Azza
wa Jalla berfirman:
“Dan
jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
hakam (pemutus hukum) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim (pemutus hukum)
dari keluarga perempuan”. [an-Nisa'/4:35]
Aku
minta kalian bersumpah, apakah ketetapan hukum manusia dalam rangka perdamaian
hubungan sesama kaum Muslimin dan dalam rangka pencegahan bagi tertumpahnya
darah mereka, itu lebih baik ataukah ketetapan hukum manusia tentang kemaluan
seorang perempuan?
Sudahkah
jawabanku menjadikan kalian puas?
Mereka menjawab, “Ya.”
Selanjutnya
aku berkata, “Adapun perkataan kalian (yang kedua) bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu
memerangi (Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma), tetapi tidak melakukan penawanan dan
tidak mengambil ghanîmah. Maka (aku katakan,) “Apakah kalian akan menawan ibu
kalian; Aisyah Radhiyallahu ‘anha ?, Apakah kalian akan menghalalkannya
sebagaimana kalian menghalalkan wanita lain sedangkan beliau adalah ibu kalian?
Jika kalian menjawab bahwa kami menghalalkannya sebagaimana kami menghalalkan
wanita lain yang menjadi tawanan, berarti kalian telah kafir. Sebaliknya jika
kalian mengatakan bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘anha bukan ibu kami, kalianpun
telah menjadi kafir. Sebab Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
“Nabi
itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri
dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka”. [al-Ahzab/ 33:6]
Dengan
demikian, kalian berada pada salah satu di antara dua kesesatan, silahkan coba
cari jalan keluarnya.
Jadi
apakah jawaban dapat memuaskan kalian?
Mereka menjawab, “Ya.”
Aku
melanjutkan, “Adapun (perkataan kalian yang ketiga) bahwa Ali Radhiyallahu
‘anhu telah menghapuskan kedudukan sebagai Amirul Mukminin dari dirinya; maka
akan aku datangkan jawaban yang memuaskan bagi kalian. Yaitu, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membuat perjanjian damai di Hudaibiyah
dengan orang-orang kafir Mekah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu, “Hapuslah wahai Ali (kata Rasul Allah Azza wa
Jalla ). Allâhumma, sesungguhnya engkau mengetahui (wahai Ali Radhiyallahu
‘anhu ) bahwa aku adalah Rasul Allah Azza wa Jalla. Tulislah kata-kata, “Ini
adalah perjanjian damai yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullâh’.”[2]
(Ibnu
Abbas Radhiyallahu ‘anhu selanjutnya berkata:) Demi Allah, sesungguhnya Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti lebih baik dari Ali Radhiyallahu ‘anhu,
ternyata beliau telah menghapus kata ‘Rasul Allah’ dari dirinya, dan ternyata
hal itu tidak berarti bahwa beliau menghapus kenabian dari dirinya.
Sudahkah aku dapat keluar (dari perkataan kalian) hingga menjadikan kalian
puas?
Mereka
menjawab, “Ya.”
Akhirnya,
ada dua ribu orang di antara mereka yang rujuk (kembali kepada kebenaran),
sedangkan sisanya tetap melakukan pembangkangan dan pemberontakan. Akhirnya,
dalam kesesatan mereka, mereka semua dibunuh oleh para Sahabat Muhajirin dan
Anshar dalam peperangan”.[3]
Dari
riwayat ini dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:
1.Khawârij adalah pencetus lahirnya gerakan radikal kaum Muslimin, yang intinya
adalah takfîr (pengkafiran) terhadap umat Islam, khususnya para penguasa.
2.Upaya pembinaan dilakukan dengan cara dialog oleh orang yang ahli dan
menguasai dalil.
3.Pelaku pembinaan, di samping harus menguasai dalil dan bermanhaj salaf,
juga
harus dikenal sebagai orang yang berakhlak mulia, sehingga memperkecil
kemungkinan mendapat perlakuan yang berbahaya.
4.Pembinaan dilakukan dengan penuh hikmah. Yang dimaksud penuh hikmah adalah
ilmiah berdasarkan kekuatan hujjah dan tidak berbentuk tekanan berupa
penghinaan. Sebab, hal itu akan dapat menghambat keterbukaan.
5.Radikalisme dan kegiatan peledakan pada akhir-akhir ini dimotori oleh
orang-
orang yang memiliki kemampuan mengemukakan dalil-dalil untuk membenarkan
tindakannya meskipun salah. Mereka juga menguasai serta menghafalkan dalil-
dalil,
beberapa kaidah penting dan penafsiran para Ulama terkenal yang mereka
fahami
menurut kemauan mereka. Sehingga apabila pembinaan dilakukan oleh orang-
orang
yang tidak menguasai ajaran Islam dengan benar, maka argumentasinya akan
dianggap angin lalu, meskipun untuk sementara waktu mungkin ditanggapi diam.
Tetapi sebanarnya sedang menimbun api dalam sekam.
6.Mereka tentu terdiri dari kelompok-kelompok yang berjengjang. Karena itu
memerlukan penanganan terpisah menurut bobot masing-masing.
7.Intisari dari kesimpulan ini adalah kembali pada manhaj Sahabat.Sebab
al-Qur’ân
turun langsung kepada para Sahabat, sehingga merekalah yang paling
memahami
makna-makna dan maksud-maksud al-Qur’ân dengan bimbingan langsung dari
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cara inilah yang ditempuh oleh Ibnu
Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma, dan beliau adalah seorang Sahabat.
B.
Riwayat yang kedua adalah tentang kasus Yazîd bin Shuhaib al-Faqîr. Seorang
tabi’in yang berdomisili di Kufah Irak, negeri yang waktu itu banyak didominasi
oleh berbagai aliran menyimpang, di antaranya orang-orang khawârij. Semula, ia
termakan oleh pemikiran sesat khawarij, dan bahkan menjadi tokoh. Namun,
akhirnya Yazîd terselamatkan dari kesesatan pemikirannya setelah bertemu dengan
seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengkonsultasikan
pemahamannya tentang al-Qur’ân kepada Sahabat Nabi tersebut.
Riwayat
ini terdapat dalam Kitab Shahîh Muslim. Kisahnya adalah sebagai berikut:[4]
Yazid
al-Faqîr berkata, “Aku sangat tergiur dengan pemikiran khawârij. Suatu ketika
kami keluar bersama sekelompok orang (khawârij) dalam jumlah besar untuk pergi
haji, kemudian kami melakukan penentangan kepada umat (dengan kekuatan
bersenjata). Kami melewati kota Madinah dan ternyata ada Jâbir bin `Abdillâh z
yang duduk sambil bersandar pada salah satu tiang masjid, sedang membawakan
hadits-hadits Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selanjutkan
Yazîd mengatakan, “Tiba-tiba Jâbir bin `Abdillâh (seorang Sahabat Nabi)
menyebut-nyebut tentang Jahannamiyun (orang-orang yang dibakar di dalam neraka
Jahanam, namun kemudian dimasukkan ke dalam surga). Aku bertanya kepadanya,
“Wahai Sahabat Nabi! Apa yang sedang engkau ceritakan ini?! Bukankah Allah Azza
wa Jalla berfirman :
“Ya
Rabb kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka
sungguh Engkau pasti hinakan ia (maksudnya pasti kekal dalam neraka)”. [Ali
Imrân/3:192]
Dan
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
$!
“Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka, mereka dikembalikan (lagi) ke
dalamnya”. [as-Sajdah/32:20].
Jadi,
apa maksud ucapanmu ini?!”
Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân, seorang Ulama Yordania, sampai pada
penggalan hadits di atas memberikan penjalasan berikut [5]: “Tabi’in (Yazid
al-Faqîr) ini berhujjah berdasarkan ayat-ayat al-Qur’ân yang difahami menurut
pemikirannya. Ia telah didoktrin dengan ayat-ayat semacam ini bahwa ayat-ayat
itu menegaskan pengertian-pengertian yang difahami secara terpisah tanpa
melihat hubungannya dengan nash-nash lainnya. Maka, Sahabat Nabi yang mulia,
Jâbir bin `Abdillâh Radhiyallahu ‘anhu mengingatkan akan kesalahan manhaji
(kesalahan dalam metodologi pemahaman) yang dilakukan Yazîd ini.” Karena
itulah, Jâbir bin `Abdillâh berkata kepada Yazîd al-Faqîr:
“Apakah
engkau membaca al-Qur’ân?” Aku (Yazîd) menjawab, “Ya”. Jâbir Radhiyallahu ‘anhu
berkata lagi, “Apakah engkau pernah mendengar tentang kedudukan terpuji Nabi
(al-Maqam al-Mahmûd) yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla ?”
Aku
menjawab: “Ya”.
Jabir
berkata, “Itulah kedudukan terpuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
karena kedudukan itu Allah Azza wa Jalla mengeluarkan orang-orang yang
dikehendaki-Nya dari neraka.
Selanjutnya
Yazîd menceritakan, “Kemudian Jâbir Radhiyallahu ‘anhu menjelaskan sifat
pemasangan jembatan shirâth di atas Jahanam dan menceritakan pula sifat
lewatnya manusia pada jembatan shirâth ini. Yazîd melajutkan, “Dan masih banyak
lagi yang diceritakan Jâbir Radhiyallahu ‘anhu, yang mungkin sebagian aku lupa.
Tetapi yang jelas Jâbir z menyatakan tentang kepastiannya bahwa ada sekelompok
orang yang akan keluar dari neraka sesudah mereka di azab di dalamnya…dst.”
Setelah
Jâbir Radhiyallahu ‘anhu memaparkan hadits itu kepada Yazîd, akhirnya Allah
memberikan hidayah petunjuk kepadanya berupa pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat
yang dikemukakannya di atas. Yazîd mengatakan, “Kami kembali (ke Kufah), dan
kamipun berkata kepada sesama orang yang bersama kami, ‘Aduhai betapa celaka
kalian! apa mungkin Syaikh (Jâbir) berdusta atas nama Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam ?’ Akhirnya, kamipun rujuk (dari pendapat yang salah). Demi
Allah Azza wa Jalla, setelah itu, tidak ada seorang pun dari kami yang keluar
untuk melakukan pemberontakan kecuali hanya satu orang saja.”
Dari
riwayat yang kedua dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
1.
Melalui keyakinan terhadap kebenaran Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, akhirnya Allah Azza wa Jalla membukakan pintu hati Yazîd bin Shuhaib
al-Faqîr, sehingga dia selamat dari pemahaman sesat yang hampir
menjerumaskannya ke dalam tindakan pemberontakan. Keyakinan semacam ini, bagi
para Ulama Rabbani, merupakan salah satu syarat bagi seseorang yang ingin
mendapat manfaat dari bimbingan para Ulama, sehingga langkahnya menjadi benar,
dalam kondisi apapun pada umumnya, maupun dalam kondisi kacau pada khususnya
[6].
2. Pembinaan untuk menyadarkan kaum radikal akan sangat bermanfaat bila
menggunakan hujjah-hujjah yang dikemukakan para Ulama berdasarkan hujjah para
Sahabat. Sehingga syubhat (keracuan faham) yang menyelimuti pemikiran mereka akan
tersingkirkan. Itulah jalan satu-satunya untuk memperbaiki pemahaman serta
langkah-langkah mereka [7].
3. Dialog-dialog pembinaan harus dilakukan oleh orang-orang yang manhajnya
lurus dan menguasai dalil.
4. Kisah ini membuktikan perlunya semua Muslim memahami nash-nash al-Qur’ân dan
Sunnah dengan mengikuti pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Secara
keseluruhan, melalui dua riwayat di atas dapat disimpulkan langkah-langkah
berikut:
1.
Mengembalikan umat Islam pada pemahaman Islam yang benar sebagaimana pemahaman
para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Pembinaan yang benar kepada umat Islam terutama generasi mudanya. Pembinaan
ini harus melibatkan para tokoh yang betul-betul memahami Islam, dalil-dalil
serta istidlâl (penggunaan dan penerapan dalil)nya.
3. Bimbingan serta penyuluhan dari pihak-pihak berkepentingan berdasarkan
dalil-dalil serta argumentasi-argumentasi yang kuat yang bisa diterima sebagai
kebenaran oleh semua kalangan meskipun tidak sependapat.
4. Tidak semua orang diperkenankan ikut bersuara dan berbicara, apalagi tanpa
dalil. Sebab, hal ini tidak menyelesaikan masalah, justru menambah
ketidakpercayaan banyak kalangan umat Islam. Dan ini berarti menimbun api dalam
sekam. Apalagi sindiran-sindiran keras melalui forum-forum resmi yang tidak
berdasarkan dalil.
Allah
Azza wa Jalla berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil
Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)”.
[an-Nisâ'/4:83]
5.
Memutuskan mata rantai tumbuh kembangnya pembinaan radikal ala takfîri.
Tokoh-tokohnya dipisahkan secara bijaksana dengan para obyek binaan.
Masing-masing ditangani secara terpisah dalam wadah pembinaan tersendiri,
sesuai dengan bobot masing-masing.
6. Menjelaskan perbedaan makna antara jihad syar’i dengan jihad-jihad lain yang
revolusioner dan tidak syar’i. Wallâhu A’lam, wa ‘alaihi at-Tuklân.
Marâji’:
1. Fathul Bâri, Jâmi’atul Imam, Riyâdh, KSA.
2. Shahîh Muslim Syarh an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Dârul-Ma’rifah,
Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M.
3. Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafiy, Syaikh Sâlim bin ‘Id al-Hilâliy,
ad-Durarr al-Atsariyah, Amman, Yordania, cet. I, 1420 H/1999 M.
4. Al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahîhain, Imam al-Hâkim, Dârul-Ma’rifah, Beirut, cet.
II, 1427 H/2006 M
5. Al-’Irâq Fî Ahâdîts wa Atsar al-Fitan, Syaikh Abu Ubaidah Mashûr bin Hasan
Alu-Salmân, Maktabah al-Furqân, Dubai, Emirat, cet. I, th. 1425 H/2004 M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10//Tahun
XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Disalin dari www.almanhaj.or.id
________
Footnote
[1]. Orang-orang Harûriyah adalah orang-orang khawârij. Dinamakan harûriyah
karena mereka awalnya mengkonsentrasikan diri di daerah Harûra’, sebuah desa
yang terletak kurang lebih dua mil dari Kûfah.
[2]. Kisah yang senada dengan ini banyak diriwayatkan dalam hadits shahîh, di
antaranya oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab Shahîhnya. Lihat Fathul Bâri 5/303,
Kitab Ash-Shulhi , no. 2698 dan 2699, dan Imam Muslim dalam Shahîhnya, lihat
Shahîh Syarh an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Dârul Ma’rifah, Beirut,
cet. III, 1417 H/1996 M, 12/348-349, dari hadits al-Barrâ’ bin ‘Azib, no. 4605
dan 3/351, dari Anas, no. 4608.
[3]. Riwayat ini dinukil dari Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafiy, Syaikh
Sâlim bin ‘Id al-Hilâliy, ad-Durarr al-Atsariyah, Ammân, Yordania, cet. I, 1420
H/1999 M, hlm. 101-104, no. 3 di bawah sub judul: Ihtijâj ash-Shahâbah dst.
Riwayat senada banyak dikemukakan oleh para Imam. Di antaranya terdapat dalam
kitab Al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahîhain, Imam al-Hâkim, Dârul-Ma’rifah, Beirut,
cet. II, 1427 H/2006 M, 2/494-496, no. 2703, Kitab Qitâl Ahli al-Baghiy, Bab
Munâzharah Ibnu Abbâs Ma’al-Harûriyyah. Imam Hâkim mengatakan, “Riwayat ini
shahîh sesuai dengan syarat dua orang Syaikh; Imam al-Bukhâri dan Muslim,
tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadits ini. Syaikh Sâlim al-Hilâliy juga
mengatakan, “Atsar ini shahîh.
[4]. HR. Muslim, Lihat Syarh Shahîh Muslim, an-Nawawi, 3/50 no. 472
[5]. Lihat Abu Ubaidah, Syaikh Mashûr bin Hasan Alu-Salmân, al-’Irâq Fî Ahadits
wa Atsarul-Fitan, Maktabah al-Furqân, Dubai, Emirat, cet. I, th. 1425 H/2004 M.
1/110-111.
[6]. Syaikh Masyhûr, al-’Irâq, Ibid
[7]. Ibid, dengan bahasa bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar