20 Agustus 2012

Hukum Makan Daging Yang Tidak Diketahui Apakah Disembelih Dengan Menyebut Nama Allah Ataukah Tidak? Dan Hukum Bergaul dengan Orang-orang Kafir



Pertanyaan:
Apa yang kita lakukan apabila dihidangkan kepada kita daging untuk dimakan sedangkan kita tidak tahu apakah disembelih atas nama Allah atau tidak? Bagaimana pendapat Syaikh tentang bergaul dengan kaum kafir?

Jawaban:
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari yang bersumber dari Aisyah -rodliallaahu'anha-: "Bahwasanya ada suatu kaum yang berkata kepada Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam-, Sesungguhnyaada satu kelompok manusia yang datang kepada kami dengan membawa daging, kami tidak tahu apakah disembelih atas nama Allah ataukah tidak? Maka beliau menjawab: "Sebutlah nama Allah oleh kamu atasnya dan makanlah." Aisyah menjawab, "Mereka pada saat itu masih baru meninggalkan kekufuran."
(Riwayat Imam al-Bukhari, Hadits no. 2057)
Maksudnya, mereka baru masuk Islam. Dan orang seperti mereka kadang-kadang tidak banyak mengetahui hukum-hukum secara rinci yang hanya diketahui oleh orang-orang yang sudah lama tinggal bersama kaum Muslimin. Namun begitu, Rasulullah ­sholallaahu'alaihi wasallam- mengajarkan kepada mereka (para penanya) agar pekerjaan mereka diselesaikan oleh mereka sendiri, seraya bersabda: "Sebutlah nama Allah oleh kamu atasnya", yang maksudnya adalah: Bacalah Bismillah atas makanan itu lalu makanlah.
Adapun apa yang dilakukan oleh orang selain anda, dari orang-orang yang perbuatannya dianggap sah, maka harus diyakini sah, tidak boleh dipertanyakan. Sebab mempertanyakannya termasuk sikap berlebihan. Kalau sekiranya kita mengharuskan diri kita untuk mempertanyakan tentang hal seperti itu, maka kita telah mempersulit diri kita sendiri, karena adanya kemungkinan setiap makanan yang diberikan kepada kita itu tidak mubah (tidak boleh), padahal siapa saja yang mengajak anda untuk makan, maka boleh jadi makanan itu adahal hasil ghashab (mengambil tanpa diketahui pemiliknya) atau hasil curian, dan boleh jadi berasal dari uang yang haram, dan boleh jadi daging yang ada di makanan tidak disebutkan nama Allah (waktu disembelih). Maka termasuk dari rahmat Allah kepada hamba-hambaNya adalah bahwasanya suatu perbuatan, apabila datangnya dari ahlinya, maka jelas ia mengerjakannya secara sempurna hingga bersih dari dzimmah (beban) dan tidak perlu menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
Adapun pertanyaan mengenai pergaulan dengan orang-orang kafir, kalau dari pergaulan itu bisa diharapkan masuk Islam setelah ditawarkan kepadanya, dijelaskan keunggulan­keunggulannya dan keutamaannya, maka boleh-boleh saja bergaul dengan mereka untuk mengajak mereka masuk Islam. Jika seseorang sudah melihat tidak ada harapan dari orang-orang kafir itu untuk masuk Islam, maka hendaknya jangan bergaul dengan mereka, karena bergaul dengan mereka akan menimbulkan dosa, karena pergaulan itu sendiri menghilangkan ghirah (kecemburuan) dan sensifitas (terhadap agama), bahkan barangkali bisa menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang kepada mereka, kaum kuffar. Allah -subhanahu wata'ala- telah berfirman,
"Kamu tidak akan mendapat sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara­saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan dariNya." (Al-Mujadilah: 22).
Berkasih sayang kepada musuh-musuh Allah, mencintai dan loyal kepada mereka adalah sangat bertentangan dengan apa yang menjadi kewajiban bagi seorang Muslim. Sebab Allah -subhanahu wata'ala- telah melarang akan hal itu, seraya berfirman,
"Wahai orang-orang yang berfirman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nashrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebab sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim." (Al-Ma'idah: 51).
Dan firmanNya,
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-musuhKu, dan musuh-musuh kamu menjadi teman-teman setia(mu) yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu." (Al-Mumtahanah: 1).
Dan sudah tidak diragukan lagi bahwa setiap orang kafir adalah musuh Allah dan musuh kaum beriman. Allah telah berfirman,
"Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, Jibril dan Mika'il, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir." (Al-Baqarah: 98).
Maka tidak sepantasnya bagi seorang yang beriman bergaul dengan musuh-musuh Allah, berbelaskasih dan mencintai mereka, karena mengandung banyak bahaya besar atas agama dan manhajnya.

Rujukan:
Ibnu Utsaimin: Fatawa nur 'alad darbi.  Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, hal. 397-399, penerbit Darul Haq.


Tidak Sepantasnya Menanyakan Teknis Penyembelihan Hewan Ternak dan Ayam
Ulama : Syaikh Ibnu Utsaimin Kategori : Sembelihan

Pertanyaan:
Pada suatu hari saya mengundang beberapa sahabat dan rekan kerja saya makan siang. Tatkala mereka datang, saya sajikan hidangan makan siang untuk mereka yang di dalamnya ada ayam panggang yang kami masak sendiri di rumah. Saya ditanya oleh salah seorang dari mereka yang dikenal dengan komitmennya kepada agama, apakah ayam panggang ini produk dalam negeri atau impor? Maka saya jelaskan bahwasanya ayam tersebut import dan kalau tidak keliru berasal dari Prancis. Maka orang itu tidak mau memakannya. Saya bertanya kepadanya, kenapa? Ia jawab dengan mengatakan, ini haram! Maka saya katakan: Dari mana anda mengambil kesimpulan ini? Ia menjawab dengan mengatakan: Saya dengar dari sebagian masyayikh (ulama) yang berpendapat demikian. Maka saya berharap penjelasan hukum syar'i yang sebenarnya di dalam masalah ini dari Syaikh yang terhormat.

Jawaban:
Ayam impor dari negara asing, yakni non muslim, jika yang menyembelihnya adalah ahlu kitab, yaitu Yahudi atau Nasrani maka boleh dimakan dan tidak sepantasnya dipertanyakan bagaimana cara penyembelihannya atau apakah disembelih atas nama Allah atau tidak? Yang demikian itu karena Nabi -sholallaahu'alaihi wasallam- pernah makan daging domba yang dihadiahkan oleh seorang perempuan Yahudi kepadanya di Khaibar (Muttafaq 'Alaih), dan beliau juga memakan makanan ketika beliau diundang oleh seorang Yahudi, yang di dalam makan itu ada sepotong gajih (Imam Al-Bukhari. Lihat pula Fathul Bari tentang masalah ini, apakah orang Yahudi yang mengundang beliau ataukah Anas yang menghidangkannya, ataukah orang Yahudi itu yang menyuruh Anas untuk mengundangnya, sebagaimana di dalam riwayat yang lain.) dan beliau tidak menanyakan bagaimana mereka menyembelihnya atau apakah disembelih dengan menyebut nama Allah atau tidak?!
Di dalam Shahih Bukhari diriwayatkan: "Bahwasanya ada sekelompok orang berkata kepada Nabi -sholallaahu'alaihi wasallam-. Sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging, kami tidak tahu apakah disembelih atas nama Allah atau tidak. Maka beliau menjawab, "Bacalah bismillah atasnya oleh kamu dan makanlah." Aisyah -rodhiallaahu'anhu- berkata: Mereka pada saat itu masih baru meninggalkan kekafiran.
Di dalam hadits-hadits di atas terdapat dalil yang menunjukkan bahwa tidak selayaknya (bagi kita) mempertanyakan tentang bagaimana sebenarnya penyembelihannya jika yang melakukannya orang yang diakui kewenangannya. Ini adalah merupakan hikmah dari Allah dan kemudahan dariNya; sebab jika manusia dituntut untuk menggali syarat­syarat mengenai wewenang yang sah yang mereka terima, niscaya hal itu akan menimbulkan kesulitan dan membebani diri sehingga menyebabkan syariat ini menjadi syariat yang sulit dan memberatkan.
Adapun kalau hewan potong itu datang dari negara asing dan orang yang melakukan penyembelihannya adalah orang yang tidak halal sembelihannya, seperti orang-orang majusi dan penyembah berhala serta orang-orang yang tidak menganut ajaran suatu agama (atheis), maka ia tidak boleh dimakan, sebab Allah -subhanahu wata'ala- tidak
membolehkan sembelihan selain kaum Muslimin, kecuali orang-orang ahlu kitab yaitu Yahudi dan Nasrani. Apabila kita meragukan orang yang menyembelihnya, apakah berasal dari orang yang halal sembelihannya ataukah tidak, maka yang demikian itu tidak apa-apa.
Para Fuqaha (ahli fiqih) berkata: "Apabila anda menemukan sembelihan dibuang di suatu tempat yang sembelihan mayoritas penduduknya halal, maka sembelihan itu halal", hanya saja dalam kondisi seperti ini kita harus menghindari dan mencari makanan yang tidak ada keraguannya. Sebagai contoh: Kalau ada daging yang berasal dari orang-orang yang halal sembelihannya, lalu sebagian mereka ada yang menyembelih secara syar'i dan pemotongan benar-benar dilakukan dengan benda tajam, bukan dengan kuku atau gigi; dan sebagian lagi ada yang menyembelih secara tidak syar'i, sedangkan mayoritas yang berlaku adalah penyembelihan secara sysar'i, maka tidak apa memakan sembelihan yang berasal dari tempat itu bersandarkan kepada yang mayoritas, akan tetapi sebaiknya menghindarinya karena sikap hati-hati.

Rujukan:
Ibnu Utsaimin: Majalah Al-Muslimun, edisi 2.  Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, hal 400-401, Penerbit Darul Haq

Tidak ada komentar: