Pertanyaan:
|
Apa yang kita lakukan apabila dihidangkan kepada
kita daging untuk dimakan sedangkan kita tidak tahu apakah disembelih atas
nama Allah atau tidak? Bagaimana pendapat Syaikh tentang bergaul dengan kaum
kafir?
|
Jawaban:
|
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari yang
bersumber dari Aisyah -rodliallaahu'anha-: "Bahwasanya ada suatu kaum
yang berkata kepada Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam-, Sesungguhnyaada satu
kelompok manusia yang datang kepada kami dengan membawa daging, kami tidak
tahu apakah disembelih atas nama Allah ataukah tidak? Maka beliau menjawab: "Sebutlah
nama Allah oleh kamu atasnya dan makanlah." Aisyah menjawab,
"Mereka pada saat itu masih baru meninggalkan kekufuran."
|
(Riwayat Imam al-Bukhari, Hadits no. 2057)
|
Maksudnya, mereka baru masuk Islam. Dan orang
seperti mereka kadang-kadang tidak banyak mengetahui hukum-hukum secara rinci
yang hanya diketahui oleh orang-orang yang sudah lama tinggal bersama kaum
Muslimin. Namun begitu, Rasulullah sholallaahu'alaihi wasallam- mengajarkan
kepada mereka (para penanya) agar pekerjaan mereka diselesaikan oleh mereka
sendiri, seraya bersabda: "Sebutlah nama Allah oleh kamu
atasnya", yang maksudnya adalah: Bacalah Bismillah atas
makanan itu lalu makanlah.
|
Adapun apa yang dilakukan oleh orang selain anda,
dari orang-orang yang perbuatannya dianggap sah, maka harus diyakini sah,
tidak boleh dipertanyakan. Sebab mempertanyakannya termasuk sikap berlebihan.
Kalau sekiranya kita mengharuskan diri kita untuk mempertanyakan tentang hal
seperti itu, maka kita telah mempersulit diri kita sendiri, karena adanya kemungkinan
setiap makanan yang diberikan kepada kita itu tidak mubah (tidak
boleh), padahal siapa saja yang mengajak anda untuk makan, maka boleh jadi
makanan itu adahal hasil ghashab (mengambil tanpa diketahui
pemiliknya) atau hasil curian, dan boleh jadi berasal dari uang yang haram,
dan boleh jadi daging yang ada di makanan tidak disebutkan nama Allah (waktu
disembelih). Maka termasuk dari rahmat Allah kepada hamba-hambaNya
adalah bahwasanya suatu perbuatan, apabila datangnya dari ahlinya, maka jelas
ia mengerjakannya secara sempurna hingga bersih dari dzimmah (beban)
dan tidak perlu menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
|
Adapun pertanyaan mengenai pergaulan dengan
orang-orang kafir, kalau dari pergaulan itu bisa diharapkan masuk Islam
setelah ditawarkan kepadanya, dijelaskan keunggulankeunggulannya dan
keutamaannya, maka boleh-boleh saja bergaul dengan mereka untuk mengajak
mereka masuk Islam. Jika seseorang sudah melihat tidak ada harapan dari
orang-orang kafir itu untuk masuk Islam, maka hendaknya jangan bergaul dengan
mereka, karena bergaul dengan mereka akan menimbulkan dosa, karena pergaulan
itu sendiri menghilangkan ghirah (kecemburuan) dan sensifitas (terhadap
agama), bahkan barangkali bisa menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang kepada
mereka, kaum kuffar. Allah -subhanahu wata'ala- telah berfirman,
|
"Kamu
tidak akan mendapat sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudarasaudara
ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan dariNya."
(Al-Mujadilah: 22).
|
Berkasih sayang kepada musuh-musuh Allah, mencintai
dan loyal kepada mereka adalah sangat bertentangan dengan apa yang menjadi
kewajiban bagi seorang Muslim. Sebab Allah -subhanahu wata'ala- telah
melarang akan hal itu, seraya berfirman,
|
"Wahai orang-orang yang berfirman, janganlah
kamu mengambil orang-orang yahudi dan nashrani menjadi pemimpin-pemimpin
(mu); sebab sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zhalim." (Al-Ma'idah:
51).
|
Dan firmanNya,
|
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil musuh-musuhKu, dan musuh-musuh kamu menjadi teman-teman setia(mu)
yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih
sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang
kepadamu." (Al-Mumtahanah: 1).
|
Dan sudah tidak diragukan lagi bahwa setiap orang
kafir adalah musuh Allah dan musuh kaum beriman. Allah telah berfirman,
|
"Barangsiapa yang menjadi musuh Allah,
malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, Jibril dan Mika'il, maka sesungguhnya
Allah adalah musuh orang-orang kafir." (Al-Baqarah: 98).
|
Maka tidak sepantasnya bagi seorang yang beriman
bergaul dengan musuh-musuh Allah, berbelaskasih dan mencintai mereka, karena
mengandung banyak bahaya besar atas agama dan manhajnya.
|
Rujukan:
|
Ibnu Utsaimin: Fatawa nur 'alad darbi. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid
1, hal. 397-399, penerbit Darul Haq.
|
Tidak Sepantasnya Menanyakan Teknis Penyembelihan
Hewan Ternak dan Ayam
|
Ulama : Syaikh Ibnu Utsaimin Kategori : Sembelihan
|
Pertanyaan:
|
Pada suatu hari saya mengundang beberapa sahabat dan
rekan kerja saya makan siang. Tatkala mereka datang, saya sajikan hidangan
makan siang untuk mereka yang di dalamnya ada ayam panggang yang kami masak
sendiri di rumah. Saya ditanya oleh salah seorang dari mereka yang dikenal
dengan komitmennya kepada agama, apakah ayam panggang ini produk dalam negeri
atau impor? Maka saya jelaskan bahwasanya ayam tersebut import dan kalau
tidak keliru berasal dari Prancis. Maka orang itu tidak mau memakannya. Saya
bertanya kepadanya, kenapa? Ia jawab dengan mengatakan, ini haram! Maka saya
katakan: Dari mana anda mengambil kesimpulan ini? Ia menjawab dengan
mengatakan: Saya dengar dari sebagian masyayikh (ulama) yang berpendapat
demikian. Maka saya berharap penjelasan hukum syar'i yang sebenarnya di dalam
masalah ini dari Syaikh yang terhormat.
|
Jawaban:
|
Ayam impor dari negara asing, yakni non muslim, jika
yang menyembelihnya adalah ahlu kitab, yaitu Yahudi atau Nasrani maka
boleh dimakan dan tidak sepantasnya dipertanyakan bagaimana cara
penyembelihannya atau apakah disembelih atas nama Allah atau tidak? Yang
demikian itu karena Nabi -sholallaahu'alaihi wasallam- pernah makan daging
domba yang dihadiahkan oleh seorang perempuan Yahudi kepadanya di Khaibar
(Muttafaq 'Alaih), dan beliau juga memakan makanan ketika beliau diundang
oleh seorang Yahudi, yang di dalam makan itu ada sepotong gajih (Imam
Al-Bukhari. Lihat pula Fathul Bari tentang masalah ini, apakah orang
Yahudi yang mengundang beliau ataukah Anas yang menghidangkannya, ataukah
orang Yahudi itu yang menyuruh Anas untuk mengundangnya, sebagaimana di dalam
riwayat yang lain.) dan beliau tidak menanyakan bagaimana mereka
menyembelihnya atau apakah disembelih dengan menyebut nama Allah atau tidak?!
|
Di dalam Shahih Bukhari diriwayatkan: "Bahwasanya
ada sekelompok orang berkata kepada Nabi -sholallaahu'alaihi wasallam-.
Sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging,
kami tidak tahu apakah disembelih atas nama Allah atau tidak. Maka beliau menjawab,
"Bacalah bismillah atasnya oleh kamu dan makanlah." Aisyah
-rodhiallaahu'anhu- berkata: Mereka pada saat itu masih baru meninggalkan
kekafiran.
|
Di dalam hadits-hadits di atas terdapat dalil yang
menunjukkan bahwa tidak selayaknya (bagi kita) mempertanyakan tentang
bagaimana sebenarnya penyembelihannya jika yang melakukannya orang yang
diakui kewenangannya. Ini adalah merupakan hikmah dari Allah dan kemudahan
dariNya; sebab jika manusia dituntut untuk menggali syaratsyarat mengenai
wewenang yang sah yang mereka terima, niscaya hal itu akan menimbulkan
kesulitan dan membebani diri sehingga menyebabkan syariat ini menjadi syariat
yang sulit dan memberatkan.
|
Adapun kalau hewan potong itu
datang dari negara asing dan orang yang melakukan penyembelihannya adalah
orang yang tidak halal sembelihannya, seperti orang-orang majusi dan
penyembah berhala serta orang-orang yang tidak menganut ajaran suatu agama
(atheis), maka ia tidak boleh dimakan, sebab Allah -subhanahu wata'ala- tidak
|
membolehkan
sembelihan selain kaum Muslimin, kecuali orang-orang ahlu kitab yaitu
Yahudi dan Nasrani. Apabila kita meragukan orang yang menyembelihnya, apakah
berasal dari orang yang halal sembelihannya ataukah tidak, maka yang demikian
itu tidak apa-apa.
|
Para Fuqaha (ahli fiqih) berkata:
"Apabila anda menemukan sembelihan dibuang di suatu tempat yang
sembelihan mayoritas penduduknya halal, maka sembelihan itu halal",
hanya saja dalam kondisi seperti ini kita harus menghindari dan mencari
makanan yang tidak ada keraguannya. Sebagai contoh: Kalau ada daging yang
berasal dari orang-orang yang halal sembelihannya, lalu sebagian mereka ada
yang menyembelih secara syar'i dan pemotongan benar-benar dilakukan dengan
benda tajam, bukan dengan kuku atau gigi; dan sebagian lagi ada yang menyembelih
secara tidak syar'i, sedangkan mayoritas yang berlaku adalah penyembelihan
secara sysar'i, maka tidak apa memakan sembelihan yang berasal dari tempat
itu bersandarkan kepada yang mayoritas, akan tetapi sebaiknya menghindarinya
karena sikap hati-hati.
|
Rujukan:
|
Ibnu Utsaimin: Majalah Al-Muslimun, edisi 2. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid
1, hal 400-401, Penerbit Darul Haq
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar