Telah tersebut dalam
Hadist Shahih Bukhari-Muslim dan yang lain-lain dari Ibnu Abbas t bahwa Nabi telah
menentukan miqat untuk penduduk Madinah di Zul Hulaifah, penduduk Syam di
Juhfah, penduduk najed di Qarn, dan penduduk Yaman di Yalamlam. Dan sabda
beliau yang artinya :
“Tempat-tempat tersebut
adalah miqat untuk penduduk masing-masing tempat tersebut, dan juga untuk
orang-orang (bukan penduduk tempat tersebut) yang datang ke tempat tersebut,
yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah.”
Dari Aisyah r,a, bahwa
Nabi r telah menetapkan miqat penduduk Iraq di
Zdatu Irq (riwayat Abu Daud dan Nasa’I).
Miqat-miqat yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah r ini merupakan
batasan-batasan agama yang telah ditetapkan secara tauqify, yang
diwariskan dari Pembuat Syari’at, yang tak seorangpun dibolehkan merobah,
melanggar, atau melampauinya tanpa ihram bagi yang hendak menunaikan ibadah
haji atau umrah, karena hal itu berarti pelanggaran terhadap batasan-batasan
(hukum-hukum) Allah, dan Allah Ta’ala telah berfirman :
]ومن يتعدّ حدود الله فأولئك هم الظالمون[
“Dan
barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang
zhalim.” (Al-Baqarah : 229)
Dan
karena Nabi Muhammad r juga telah bersabda dalam hadits Ibnu
Umar t
[يهل أهل المدينة من ذي الحليفة، ويهل أهل الشام من الجحفة، ويهل
أهل نجد من قرن].
“Penduduk
Madinah bertalbiah dari Zul Hulaifah, penduduk Syam bertalbiah dari Juhfah, dan
penduduk Najed dari Qarn.”
Hadits ini bentuknya
berita tapi mempunyai makna perintah. Bertalbiah artinya : bersuara keras dengan
talbiah, dan ini dilakukan setelah ihram. Maka ihram dari miqat-miqat tersebut
hukumnya wajib bagi yang hendak haji dan umrah, jika melewatinya atau melewati
tempat yang sejajar dengannya, baik yang datang melalui darat, laut, atau
udara.
Jika datang melalui
darat, hendaknya turun di miqat tersebut jika melewatinya, atau turun di tempat
yang sejajar dengan miqat tersebut jika tidak melewatinya, kemudian melakukan
hal-hal yang harus di kerjakan pada saat ihram, seperti : mandi, memakai wangi-wangian di badannya,
memakai pakaian ihram, dan kemudian niat ihram sebelum berangkat.
Jika melalui laut,
hendaknya mandi, memakai wangi-wangian di badannya, dan memakai pakaian ihram
pada saat kapalnya berhenti di tempat yang sejajar dengan miqat, lalu niat ihram
sebelum kapal berangkat. Tapi jika kapalnya tidak berhenti di tempat yang
sejajar dengan miqat, maka pekerjaan-pekerjaan tersebut (mandi, memakai
wangi-wangian di badannya, dan memakai pakaian ihram) hendaknya dilakukan
sebelum kapal melewati tempat yang sejajar dengan miqat, sedang niat ihram,
baru dilakukan saat kapal melewati tempat tersebut.
Jika melalui udara,
hendaknya mandi terlebih dahulu ketika akan naik kapal, lalu memakai
wangi-wangian di badannya, dan memakai
pakaian ihram sebelum kapal melewati tempat yang sejajar dengan miqat,
dan baru melakukan niat ihram beberapa saat sebelum kapal melewati tempat
tersebut, tanpa harus menunggu kapal melewatinya, karena kapal terbang akan
lewat dengan cepat tanpa memberi kesempatan untuk niat. Jika niat ihram
dilakukan sebelum kapal melewati tempat tersebut untuk suatu kehati-hatian,
maka hal itu tidak apa-apa karena tidak berbahaya.
Kesalahan yang biasa
dilakukan oleh sebagian jamaah haji adalah, bahwa mereka tidak
ihram ketika kapal mereka lewat di atas miqat atau lewat di atas tempat yang
sejajar dengan miqat, dan baru melaksanakan ihram saat sudah turun di Airport
Jeddah. Hal ini bertentangan dengan perintah Nabi r dan melanggar
hukum-hukum Allah –subhanahu wata’ala.
Di dalam Shahih Bukhari
dari Abdullah bin Umar t, berkata : ketika dua kota ini di buka,
yakni bashrah dan kufah, orang-orang datang kepada Umar t sambil berkata : “Wahai
Amirul mukminin, sesunguhnya Nabi r telah menentukan batas
miqat bagi penduduk Najed dan Qarn, tapi tempat itu di luar jalan yang kita
lalui, dan kalau kita ingin datang ke tempat tersebut sangat sulit bagi kita.”
Umar memjawab : “Maka carilah tempat yang sejajar dengan tempat tersebut dari
jalan yang kalian lewati.” Dengan demikian Amirul mukminin, salah seorang khulafaurrasyidin,
telah menentukan miqat untuk orang yang tidak melewati miqat-miqat yang telah
ditentukan di tempat yang sejajar dengan miqat-miqat tersebut. Maka barangsiapa
melewati tempat yang sejajar dengan miqat (di atas udara) sama hukumya dengan
orang yang melewati tempat yang sejajar dengan miqat tersebut lewat darat,
keduanya tidak ada bedanya.
Jika seseorang melakukan
kesalahan ini lalu turun di Jeddah tanpa ihram, maka dia wajib kembali ke miqat
yang di lewatinya di atas udara lalu melakukan ihram dari tempat tersebut. Jika
tidak kembali dan hanya melakukan ihram dari Jeddah, maka menurut kebanyakan
ulama wajib baginya membayar fidyah dengan binatang yang di sembelih di Makkah,
dan seluruh dagingnya dibagikan kepada fuqara’ Makkah, tidak boleh makan darinya
atau menghadiahkan sebagian kepada orang kaya, karena fidyah (binatang
tersebut) berfungsi sebagai kaffarah (penghapus dosa).
Sumber : Kitab
Haji dan Umrah dan kesalahan yang dilakukan oleh sebagian umat ,
karya: Syaikh Muhammad Shalih Al
‘Utsaimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar