20 Agustus 2012

Hukum Menggerutu (Mendongkol) Terhadap Musibah Yang Menimpa



Ulama: Syaikh Ibnu Utsaimin 

Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai orang yang menggerutu (mendongkol) bila ditimpa suatu musibah; apa hukumnya?

Jawaban:
Kondisi manusia dalam menghadapi musibah ada empat tingkatan: 
Tingkatan pertama, menggerutu (mendongkol) terhadapnya. Tingkatan ini ada beberapa macam:
Pertama: Direfleksikan dengan hati, seperti seseorang yang menggerutu terhadap Rabbnya dan geram terhadap takdir yang dialaminya; perbuatan ini hukumnya haram dan bisa menyebabkan kekufuran. Allah q berfirman, 
"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat." (Al-Hajj: 11).
Kedua: Direfleksikan dengan lisan, seperti berdoa dengan umpatan 'celaka', 'hancurlah' dan sebagainya; perbuatan ini haram hukumnya.
Ketiga: Direfleksikan dengan anggota badan, seperti menam-par pipi, menyobek kantong baju, mencabut bulu dan sebagainya; semua ini adalah haram hukumnya karena menafikan kewajiban bersabar.
Tingkatan kedua, bersabar atasnya. Hal ini senada dengan ungkapan seorang penyair, 
.الْعَسَِ ِمَِ َأَحْلَ َعَوَاقِبُُ ُلَكِْ ْمَذَاقَتُُ ُمٌُّ .اسْمِِ ِمِثُْ ُوَالصَّبُْ ُ
Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya
Akan tetapi hasilnya lebih manis daripada madu.
Orang yang dalam kondisi ini beranggapan bahwa musibah tersebut sebenarnya berat baginya akan tetapi dia kuat menanggungnya, dia tidak suka hal itu terjadi akan tetapi iman yang bersemayam di hatinya menjaganya dari menggerutu (mendongkol). Terjadi dan tidak terjadinya hal itu tidak sama baginya. Perbuatan seperti ini wajib hukumnya karena Allah – subhanahu wata’ala- memerintahkan untuk bersabar sebagaimana dalam firmanNya,
"Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Anfal: 46).
Tingkatan ketiga, ridha terhadapnya seperti keridhaan seseorang terhadap musibah yang dialaminya di mana baginya sama saja; ada dan tidak adanya musibah tersebut. Adanya
musibah tidak membuat-nya sesak dan menanggungnya dengan perasaan berat. Sikap seperti ini dianjurkan tetapi bukan suatu kewajiban menurut pendapat yang kuat. 
Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya amat jelas sekali, sebab dalam tingkatan ini ada dan tidak adanya musibah sama saja bagi orang yang mengalaminya sementara pada tingkatan sebelumnya, adanya musibah dirasakan sulit baginya tetapi dia bersabar atasnya.-
Tingkatan keempat, bersyukur atasnya. Ini merupakan tingkatan paling tinggi. Hal ini direfleksikan oleh orang yang mengalaminya dengan bersyukur kepada Allah atas musibah apa saja yang dialami. Dalam hal ini, dia mengetahui bahwa musibah ini merupakan sebab (sarana) untuk menghapus semua kejelekan-kejelekannya (dosa-dosa kecilnya) dan barangkali bisa menambah kebaikannya. Rasulullah -shollallaahu’alaihi wasallam-bersabda, 
"Tiada suatu musibah pun yang menimpa seorang Muslim, melainkan dengannya Allah hapuskan (dosa-dosa kecil) darinya sampai-sampai sebatang duri pun yang menusuknya." (Shahih al-Bukhari, kitab al-Mardla, no. 5640; Shahih Muslim, kitab al-Birr wa ash-Shilah, no. 2572)


Rujukan:
Kumpulan Fatwa dan Risalah Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz II, hal. 109-111. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.
.يُشَاآُهَ االشَّوْآَِ ِحَتَّ ىعَنُْ ُبِهَ ااُ ُآَفََّ َإَِّ .الْمُسْلَِ َتُصِيُْ ُمُصِيْبٍَ ٍمِْ ْمَ ا

Tidak ada komentar: