|
Ulama: Syaikh Ibnu Utsaimin
|
Pertanyaan:
|
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai orang yang
menggerutu (mendongkol) bila ditimpa suatu musibah; apa hukumnya?
|
Jawaban:
|
Kondisi manusia dalam menghadapi musibah ada empat
tingkatan:
|
Tingkatan pertama, menggerutu (mendongkol) terhadapnya. Tingkatan ini ada beberapa
macam:
|
Pertama: Direfleksikan dengan hati, seperti
seseorang yang menggerutu terhadap Rabbnya dan geram terhadap takdir yang
dialaminya; perbuatan ini hukumnya haram dan bisa menyebabkan kekufuran.
Allah q berfirman,
|
"Dan di antara manusia ada orang yang
menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika memperoleh kebajikan,
tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana,
berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat."
(Al-Hajj: 11).
|
Kedua: Direfleksikan dengan lisan, seperti berdoa
dengan umpatan 'celaka', 'hancurlah' dan sebagainya; perbuatan ini haram
hukumnya.
|
Ketiga: Direfleksikan dengan anggota badan, seperti
menam-par pipi, menyobek kantong baju, mencabut bulu dan sebagainya; semua
ini adalah haram hukumnya karena menafikan kewajiban bersabar.
|
Tingkatan kedua, bersabar atasnya. Hal ini senada dengan ungkapan seorang
penyair,
|
.الْعَسَِ
ِمَِ َأَحْلَ َعَوَاقِبُُ ُلَكِْ ْمَذَاقَتُُ ُمٌُّ .اسْمِِ ِمِثُْ ُوَالصَّبُْ
ُ
|
Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya
|
Akan tetapi hasilnya lebih manis daripada madu.
|
Orang yang dalam kondisi ini beranggapan bahwa
musibah tersebut sebenarnya berat baginya akan tetapi dia kuat menanggungnya,
dia tidak suka hal itu terjadi akan tetapi iman yang bersemayam di hatinya
menjaganya dari menggerutu (mendongkol). Terjadi dan tidak terjadinya hal itu
tidak sama baginya. Perbuatan seperti ini wajib hukumnya karena Allah –
subhanahu wata’ala- memerintahkan untuk bersabar sebagaimana dalam firmanNya,
|
"Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar." (Al-Anfal: 46).
|
Tingkatan ketiga, ridha terhadapnya seperti
keridhaan seseorang terhadap musibah yang dialaminya di mana baginya sama
saja; ada dan tidak adanya musibah tersebut. Adanya
|
musibah
tidak membuat-nya sesak dan menanggungnya dengan perasaan berat. Sikap
seperti ini dianjurkan tetapi bukan suatu kewajiban menurut pendapat yang
kuat.
|
Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan
sebelumnya amat jelas sekali, sebab dalam tingkatan ini ada dan tidak adanya
musibah sama saja bagi orang yang mengalaminya sementara pada tingkatan
sebelumnya, adanya musibah dirasakan sulit baginya tetapi dia bersabar
atasnya.-
|
Tingkatan keempat, bersyukur atasnya. Ini merupakan tingkatan paling tinggi. Hal ini
direfleksikan oleh orang yang mengalaminya dengan bersyukur kepada Allah atas
musibah apa saja yang dialami. Dalam hal ini, dia mengetahui bahwa musibah
ini merupakan sebab (sarana) untuk menghapus semua kejelekan-kejelekannya
(dosa-dosa kecilnya) dan barangkali bisa menambah kebaikannya. Rasulullah
-shollallaahu’alaihi wasallam-bersabda,
|
"Tiada suatu musibah pun yang menimpa
seorang Muslim, melainkan dengannya Allah hapuskan (dosa-dosa kecil) darinya
sampai-sampai sebatang duri pun yang menusuknya." (Shahih
al-Bukhari, kitab al-Mardla, no. 5640; Shahih Muslim, kitab al-Birr wa
ash-Shilah, no. 2572)
|
Rujukan:
|
Kumpulan Fatwa dan Risalah Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz
II, hal. 109-111. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit
Darul Haq.
|
.يُشَاآُهَ
االشَّوْآَِ ِحَتَّ ىعَنُْ ُبِهَ ااُ ُآَفََّ َإَِّ .الْمُسْلَِ َتُصِيُْ
ُمُصِيْبٍَ ٍمِْ ْمَ ا
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar