Sebagai seorang wanita muslimah mungkin merasa sedikit kerepotan untuk bepergian ke luar rumah mengerjakan tugas-tugas pekerjaan. Terutama karena tidak adanya angkutan umum. Satu-satunya angkutan hanya ojek. tentu saja wanita muslimah yang insya Allah selalu berupaya untuk berpegang pada norma-norma ajaran Islam, merasa kurang sreg untuk duduk dibonceng oleh tukang ojek, yang jelas-jelas bukan mahram.
Mungkin bila ada situasi darurat, ada alasannya. Tapi naik ojek itu bukan hanya sekali, tapi tiap hari pagi dan petang. Ternyata yang mengalami masalah ini bukan hanya saja seorang. Teman-teman akhwat lainnya pun ikut merasakan perasaan yang sama. Di komplek perumahan kami paling tidak ada puluhan para akhwat yang mengalami hal ini. Bagaimana mungkin kita tiap hari berdawah dan mengarahkan orang lain untuk ber-Islam secara kaffah, tapi setiap hari kita malah boncengan dengan laki-laki dan Bukankah hal ini sangat kontradiktif
Masalah wanita muslimah naik ojek memang sejak dulu selalu timbul dan hingga hari ini belum pernah tuntas. Di satu sisi, ada ketentuan di dalam syariat Islam tentang pergaulan antara laki-laki dan wanita. Salah satunya larangan untuk berduaan, bersentuhan atau saling bersamaan tanpa mahram.
Jika kendaraan tersebut (ojeg)di atasnya menggunakan, seperti pelana (semacam tempat duduk tersendiri, dengan pegangannya), atau yang sejenis, dimana kalau wanita tersebut naik di belakangnya, dia tidak akan menyentuh pemboncengnya, dan rute perjalanannya di dalam kota, dengan kata lain tidak melintasi kawasan terpencil, maka hukumnya boleh jika memenuhi dua syarat ini: (1) wanita tersebut naik di belakangnya, sementara dia tidak menyentuh pemboncengnya, dan (2) tidak membawanya, kecuali pada rute dimana mata orang bisa memandanginya. Alasannya, karena Rasulullah saw. pernah membawa Asma’ ra. (adik ipar Nabi) di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di atas kepalanya. Maka, Rasulullah saw. hendak merundukkan untanya agar bisa dinaiki Asma’, namun Asma’ lebih suka melanjutkan perjalanannya, dengan tidak menaiki (unta Nabi). Sudah lazim diketahui, bahwa di atas unta itu ada punuk, dimana yang pertama bisa dinaiki oleh seseorang, setelah itu berikutnya bisa dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak harus menyentuh orang yang pertama. Punuk tadi ada di antara kedua orang tersebut. Orang yang kedua pun bisa memegang punuk tadi, sesuka hatinya. Dengan kata lain, unta itu merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk dinaiki dua orang, dimana satu sama lain tidak harus saling berpegangan.
Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma’ bint Abi Bakar berkata:
وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِيْ أَقْطَعَهُ رَسُوْلُ اللهِ عَلَى رَأْسِيْ … إِلَى أَنْ تَقُوْلَ “ثُمَّ قَالَ الرَّسُوْلُ إِخْ إِخْ لَيَحْمِلْنِي خَلْفَهُ فَاسْتَحْيَيْتُ …”.
Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair (suami saya), yang telah diberikan oleh Rasulullah saw., dipanggul di atas kepala saya… sampai pernyataan beliau: Kemudian, Rasulullah saw. berkata: Ikh, ikh agar beliau bisa membonceng saya di belakangnya, tetapi saya merasa malu..
Ikh, ikh maksudnya, beliau ingin merundukkan untanya (supaya bisa dinaiki Asma’ di belakangnya).
Karena itu, jika bagian punggung kendaraan tersebut memang siap untuk dinaiki dua orang, tanpa harus bersentuhan satu sama lain, sementara rute perjalanannya bukan di kawasan sepi (terpencil), maka hal itu boleh (mubah).
Tetapi, jika tidak (memenuhi dua syarat tersebut), maka tidak boleh (haram). maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa naiknya wanita di ojek, dibelakang lelaki (bukan mahram) yang tidak ada sesuatu yang bisa memisahkan tempat duduknya, dalam konteks seperti ini hukumnya tidak boleh (haram). Namun, kalau orang-orang itu ingin membonceng di belakangnya, hendaknya membonceng kaum pria saja, atau membawa kaum wanita tersebut dengan mengendarai kendaraan (seperti motor tossa yang di belakangnya ada gerobak pengangkut, atau becak Aceh), sementara pria pengendaranya membawa mereka. Bukan dengan wanita tersebut naik di belakangnya (ojek), dan memegangi (tubuh pengemudi)-nya, maka ini hukumnya tidak boleh (haram). AllahuA’lam
sumber : saif muhammad al amrin. wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar